ARSIP BULANAN : October 2024

MAHASISWA: DENGAN BERBAGAI TUNTUTAN (Family, Study, Responsibility, and Romantic) part 2

Di balik kehidupan kampus yang dinamis, mahasiswa sering kali terjebak dalam tekanan tanggung jawab yang terus bertambah. Tidak hanya berfokus pada akademik, mereka juga harus berhadapan dengan ekspektasi dari keluarga, pekerjaan, dan hubungan  sosial, termasuk romantis. Tantangan-tantangan ini dapat mengganggu keseimbangan emosional dan mental jika tidak dikelola  dengan baik.

Keluarga sering kali memiliki harapan besar terhadap mahasiswa, terutama dalam hal pencapaian akademik. Dalam beberapa budaya, tanggung jawab keluarga bahkan bisa menjadi lebih mendesak dibandingkan pendidikan. Kewajiban untuk membantu keuangan keluarga atau mengurus urusan rumah tangga kerap kali mempengaruhi performa akademik mahasiswa.

Penelitian oleh Turner et al. (2021) menunjukkan bahwa mahasiswa yang harus membagi perhatian antara tugas akademik dan  tanggung jawab keluarga cenderung mengalami penurunan kualitas tidur dan stres yang lebih tinggi. Hal ini bisa berdampak  negatif pada kemampuan kognitif mereka dan memperburuk performa di ruang kelas. Menemukan keseimbangan antara kedua hal ini sangat penting untuk menjaga stabilitas mental dan emosional.

Mahasiswa yang aktif dalam organisasi dan kegiatan kampus sering kali merasa tertekan oleh jadwal yang padat. Tuntutan akademik yang tinggi membuat waktu untuk diri sendiri semakin terbatas. Seperti yang diungkapkan oleh Garett et al. (2017) dalam Journal of American College Health, partisipasi dalam kegiatan ekstra-kurikuler meningkatkan risiko stres akademik karena mahasiswa berjuang untuk memenuhi tenggat waktu tugas dan tetap aktif di luar perkuliahan. Sementara itu, organisasi kampus memang dapat membangun soft skill seperti kepemimpinan dan manajemen waktu, tetapi terlalu banyak terlibat dapat menyebabkan Kelelahan.

Beberapa mahasiswa mengakui bahwa mereka sering kali harus "memotong" waktu istirahat atau relaksasi demi menyelesaikan tugas akademik. Ini membuat mereka lebih rentan terhadap burnout, seperti yang disebutkan dalam penelitian oleh Schaufeli et al. (2009). Burnout pada mahasiswa tidak hanya mengurangi produktivitas tetapi juga berdampak pada kesejahteraan psikologis mereka.

Selain tuntutan akademik dan keluarga, hubungan romantis juga memegang peranan signifikan dalam keseharian mahasiswa. Hubungan yang sehat dapat memberikan dukungan emosional, tetapi ketika hubungan tersebut berantakan, dampaknya dapat sangat besar. Menurut Furman dan Collibee (2019) dalam Journal of Adolescence, mahasiswa yang mengalami masalah dalam hubungan romantis lebih mungkin mengalami peningkatan tingkat kecemasan dan depresi.

Lebih lanjut, mereka yang merasa terjebak dalam konflik hubungan juga lebih sulit untuk fokus pada tanggung jawab akademik dan personal. Perasaan kehilangan pasangan sering kali menciptakan ruang hampa emosional yang sulit diatasi, terutama di tengah tekanan akademik yang sudah menumpuk.

Kunci untuk menghadapi tuntutan yang beragam ini adalah kemampuan untuk memprioritaskan dan mengelola stres. Lazarus dan Folkman (1984), dalam teori coping mereka, menekankan pentingnya strategi coping berbasis emosi dan masalah dalam mengatasi tekanan. Mahasiswa perlu belajar untuk memahami kapan mereka harus fokus pada tugas akademik, kapan harus memberikan perhatian pada keluarga, dan kapan mereka perlu istirahat dari semua tanggung jawab.

Dukungan sosial, baik dari teman maupun mentor, memainkan peran besar dalam proses ini. Sebagaimana dijelaskan oleh Cohen dan Wills (1985), dukungan sosial dapat menjadi penyangga terhadap efek negatif dari stres. Mereka yang merasa memiliki tempat untuk berbagi cerita cenderung lebih mampu mengatasi berbagai tekanan hidup mereka.

Pada akhirnya, mahasiswa perlu menyadari bahwa perjalanan mereka penuh dengan tantangan yang tidak bisa dihindari. Ungar (2013), dalam penelitiannya tentang resiliensi, menunjukkan bahwa mahasiswa yang mampu beradaptasi dengan berbagai tuntutan hidup lebih mungkin untuk berhasil dalam jangka panjang. Keseimbangan hidup bukan berarti menghilangkan semua masalah, melainkan kemampuan untuk tetap berdiri meski diterpa berbagai tanggung jawab yang berat. Dalam proses ini, penting bagi mahasiswa untuk merawat kesehatan mental mereka melalui kegiatan seperti olahraga, meditasi,atau sekadar istirahat yang cukup. Memahami batas diri dan mencari bantuan ketika diperlukan adalah langkah proaktif untuk menjaga kesejahteraan mereka.

Mahasiswa sering kali merasa berada di bawah tekanan yang luar biasa dari berbagai sisi kehidupan mereka. Namun, dengan manajemen diri yang baik, dukungan sosial yang kuat, dan pemahaman akan pentingnya keseimbangan hidup, mereka dapat melewati masa ini dengan lebih kuat dan bijaksana. Terlepas dari beratnya beban yang harus mereka pikul, pencarian makna dan keseimbangan tetap menjadi bagian integral dari proses pertumbuhan pribadi mereka.

 

Referensi:

Cohen, S., & Wills, T. A. (1985). Stress, social support, and the buffering hypothesis. Psychological Bulletin, 98(2), 310-357.

Furman, W., & Collibee, C. (2019). The role of peer and romantic relationships in adolescent psychological development. Journal of Adolescence, 76, 56-67.

Garett, R., Liu, S., & Young, S. D. (2017). The relationship between social media use and the well-being of college students. Journal of American College Health, 65(6), 359-367.

Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New York: Springer.

Schaufeli, W. B., Martínez, I. M., Pinto, A. M., Salanova, M., & Bakker, A. B. (2009). Burnout and engagement in university students: A cross-national study. Journal of Cross-Cultural Psychology, 33(5), 464-481.

Turner, R. J., Wheaton, B., & Lloyd, D. A. (2021). The epidemiology of social stress. American Sociological Review, 60(1), 104-125.

Ungar, M. (2013). Resilience, trauma, context, and culture. Trauma, Violence, & Abuse, 14(3), 255-266.

 

MAHASISWA: DENGAN BERBAGAI PILIHAN (Family, Study, Responsibility, and Romantic)

Menjadi mahasiswa sering kali dianggap sebagai fase untuk mengejar mimpi dan mengembangkan diri. Namun, ada sisi lain dari perjalanan ini yang jarang terlihat yaitu tanggung jawab yang menumpuk dan datang secara bersamaan, seperti ombak yang menghantam tanpa jeda. Di balik peran sebagai pelajar, ada banyak kewajiban lain yang harus ditunaikan, mulai dari organisasi kampus, pekerjaan tertentu yang memakan waktu, hingga tugas-tugas di rumah. Tidak jarang, semua itu terasa begitu berat dan melelahkan.

Ketika berbagai tanggung jawab datang menumpuk dalam waktu yang bersamaan, mahasiswa sering kali merasa seolah waktu 24 jam dalam sehari tidak pernah cukup. Jadwal yang padat, tuntutan untuk selalu tampil maksimal, dan harapan dari lingkungan sekitar membuat hari-hari terasa semakin panjang. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa dengan banyak peran cenderung mengalami tingkat stres yang lebih tinggi. Sebuah studi dari Journal of College Student Development menyebutkan bahwa tuntutan untuk mengelola waktu antara kegiatan akademik dan non-akademik dapat menyebabkan kelelahan fisik serta emosional.

Beban yang terus-menerus hadir ini berpotensi mempengaruhi kesehatan mental. Dalam situasi seperti ini, mahasiswa tidak hanya berhadapan dengan tuntutan dari dunia luar, tetapi juga pergulatan internal yang terus menggerogoti. Kesendirian dan perasaan tidak memiliki tempat untuk berbagi cerita dapat memperparah kondisi ini. Rasa frustasi terkadang muncul karena tak ada tempat untuk melarikan diri, terlebih lagi jika kehidupan pribadi mengalami goncangan, seperti berakhirnya hubungan yang sudah berlangsung lama.

Selain menghadapi berbagai kewajiban yang menuntut perhatian penuh, hubungan asmara juga menjadi aspek penting dalam kehidupan mahasiswa yang sering kali terabaikan. Mempertahankan hubungan yang sehat di tengah jadwal yang padat dan tekanan akademik bukanlah hal yang mudah. Tidak jarang, waktu bersama pasangan menjadi terbatas karena harus membagi fokus dengan tugas kuliah dan tanggung jawab lain. Kondisi ini dapat menimbulkan ketegangan dalam hubungan dan memicu konflik yang akhirnya berujung pada putusnya hubungan.

Menurut penelitian yang dimuat dalam Journal of Adolescence, mahasiswa yang mengalami masalah dalam hubungan romantis cenderung lebih rentan terhadap stres dan depresi. Kehilangan seseorang yang dulunya menjadi tempat berbagi cerita dan dukungan emosional dapat memperburuk kondisi mental, terutama ketika mahasiswa sudah merasa kewalahan dengan berbagai tanggung jawab lainnya. Kehidupan cinta yang tidak berjalan mulus menambah beban yang harus dipikul dan sering kali menciptakan perasaan hampa atau kesepian.

Setiap tanggung jawab yang diambil tidak selalu hadir dengan kebebasan untuk memilih. Kadang-kadang, pilihan tersebut lebih tampak sebagai kewajiban yang tidak bisa dihindari. Ketika harus memilih antara berkomitmen penuh pada organisasi, menunaikan tugas akademik, atau memenuhi harapan keluarga, mahasiswa sering kali dihadapkan pada dilema yang kompleks. Setiap keputusan yang diambil memiliki konsekuensinya masing-masing. Ada saat-saat di mana keinginan untuk beristirahat sejenak terpaksa dikesampingkan demi memenuhi kewajiban yang menumpuk.

Studi yang diterbitkan di Journal of Counseling Psychology mengungkapkan bahwa mahasiswa yang menjalani peran ganda sering kali merasa kesulitan dalam membagi waktu antara perkuliahan dan kegiatan lain, yang berujung pada kelelahan. Di tengah dilema ini, keterampilan manajemen stres dan kemampuan membuat prioritas menjadi sangat penting. Menurut penelitian dari International Journal of Behavioral Medicine, mahasiswa yang mampu menyeimbangkan berbagai aspek kehidupannya cenderung lebih mampu mengatasi tekanan yang ada.

Dalam dinamika kehidupan mahasiswa, tidak jarang muncul kebutuhan akan ruang untuk mengolah perasaan yang sering kali tersembunyi di balik rutinitas. Beban akademik, tuntutan organisasi, dan kewajiban lain yang menumpuk dapat menciptakan tekanan psikologis yang berimplikasi pada kesejahteraan emosional. Di tengah kondisi ini, dukungan sosial terbukti memiliki peranan penting dalam meredakan stres dan membangun ketahanan diri. Sebagaimana disampaikan oleh penelitian di bidang psikologi, kehadiran seseorang yang menyediakan rasa aman dan memahami tanpa banyak kata dapat menjadi bentuk intervensi yang signifikan dalam mengatasi tekanan emosional.

Berkurangnya dukungan emosional, terlebih saat mengalami perpisahan dalam hubungan romantis, sering kali menimbulkan dampak yang tidak dapat diabaikan. Penelitian menunjukkan bahwa perasaan kehilangan tersebut dapat memperburuk gejala stres dan memperpanjang masa pemulihan emosional. Dalam keadaan seperti ini, muncul kebutuhan untuk merekonstruksi kembali kekuatan diri, walaupun proses tersebut mungkin diiringi oleh rasa kesendirian dan keterasingan. Namun, pada dasarnya, pencarian makna dan keseimbangan dalam kehidupan adalah bagian dari proses pertumbuhan yang krusial.

Dalam konteks kesejahteraan mahasiswa, keseimbangan antara berbagai aspek kehidupan pribadi dan akademik merupakan elemen esensial yang perlu dicapai. Upaya untuk menemukan titik temu antara tuntutan eksternal dan kebutuhan internal memerlukan pengelolaan diri yang baik, serta keberanian untuk mengakui keterbatasan. Penelitian dalam bidang psikologi pendidikan menunjukkan bahwa mengidentifikasi dan menerima kelelahan sebagai bagian dari perjalanan bukanlah suatu bentuk kelemahan, melainkan langkah proaktif dalam mempertahankan kesehatan mental.

Pada akhirnya, harapan untuk memperoleh dukungan bukan semata-mata berfokus pada solusi, tetapi juga pada keberadaan yang menenangkan. Menurut literatur konseling, dukungan yang bermakna adalah yang mampu memberikan ruang bagi individu untuk memproses perasaan mereka tanpa tekanan untuk segera menemukan jalan keluar. Dengan demikian, membangun kembali keseimbangan hidup tidak hanya tentang menyelesaikan masalah yang ada, tetapi juga tentang menciptakan landasan untuk bertahan dan tumbuh di tengah dinamika yang tidak pasti.

 

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong