Film 3 Idiots (2009) karya Rajkumar Hirani adalah lebih dari sekadar kisah komedi-drama mahasiswa teknik. Film ini menyuguhkan narasi mendalam tentang arti sejati persahabatan dan kesetiaan yang tak lekang oleh waktu, perbedaan sosial, maupun tekanan sistem pendidikan. Jika ditilik lebih jauh, kisah tiga sekawan Farhan, Raju, dan Rancho menggambarkan bagaimana relasi manusia bisa menjadi sumber kekuatan dalam mengarungi kerasnya hidup.

Persahabatan dalam Ketegangan: Bukan Harmoni, tapi Dialektika 

Rancho, Farhan, dan Raju datang dari latar belakang sosial ekonomi yang berbeda dan membawa konflik serta tantangan masing-masing. Meski begitu, mereka membentuk ikatan yang kuat. Ini sejalan dengan gagasan Schaffer (2010) yang menyatakan bahwa persahabatan sejati bukan terbentuk dari kesamaan semata, melainkan dari keberanian menghadapi pertentangan secara terbuka. Ketiganya memiliki momen perselisihan, perbedaan pandangan, dan ketegangan emosional. Namun, dari konflik itulah mereka justru tumbuh bersama dan menguatkan satu sama lain.

Rancho: Representasi Persahabatan Berbasis Makna dan Tujuan

Rancho bukan hanya teman biasa. Ia adalah “katalisator perubahan” yang membantu Farhan dan Raju keluar dari jeratan ekspektasi dan ketakutan. Shushok dan Frank (2011) mengungkap bahwa persahabatan yang sehat di lingkungan kampus mampu mendorong mahasiswa menemukan makna dan tujuan hidup, bukan sekadar menjadi teman senasib. Rancho hadir sebagai sosok yang menghidupkan nilai spiritualitas dan refleksi moral dalam kehidupan kampus yang kaku.

Kesetiaan dalam Masa Krisis: Bukti Persahabatan Sejati

Nilai kesetiaan dalam 3 Idiots paling kentara saat Farhan dan Raju mencari Rancho yang menghilang usai kelulusan. Mereka melintasi jarak, waktu, dan memori demi menemukan sahabat mereka. Penelitian Patterson et al. (1993) menunjukkan bahwa kesetiaan adalah elemen kunci dalam persahabatan jangka panjang, dan seringkali terlihat paling jelas dalam momen krisis emosional. Kisah Raju yang melakukan percobaan bunuh diri dan Farhan yang hampir menyerah pada impiannya memperlihatkan bahwa kehadiran seorang sahabat sejati bisa menjadi “benteng terakhir” saat hidup terasa runtuh. Rancho tidak menyelesaikan masalah mereka, tetapi memberdayakan mereka untuk menemukan solusi sendiri sebuah bentuk kesetiaan yang transformatif.

Interkulturalitas dan Identitas Sosial dalam Persahabatan Mahasiswa

Meskipun latar film ini adalah India, dinamika yang digambarkan mencerminkan relasi lintas identitas sosial yang juga dialami mahasiswa internasional di berbagai negara. Robinson et al. (2020) menekankan pentingnya faktor empati, penerimaan, dan komunikasi dalam membentuk persahabatan antarbudaya. Dalam hal ini, Rancho mampu menyatukan perbedaan dan membentuk ruang aman bagi Farhan dan Raju untuk mengekspresikan jati diri mereka.

Persahabatan sebagai Investasi Sosial, Bukan Altruisme Semata

Farmer dan Kali (2018) mengusulkan pandangan bahwa persahabatan adalah bentuk investasi sosial dua arah yang saling menguntungkan, bukan hanya pengorbanan sepihak. Dalam film ini, meskipun Rancho banyak membantu teman-temannya, ia juga mendapatkan kembali dukungan moral dan solidaritas. Pada akhir film, ketika identitas asli Rancho sebagai ilmuwan terkenal terungkap, Farhan dan Raju tetap berdiri di sampingnya mewujudkan nilai timbal balik yang tulus.

Penutup: Pelajaran dari Tiga Idiot yang Sebenarnya Jenius

Film 3 Idiots secara halus namun kuat membongkar narasi dominan pendidikan yang menekankan kompetisi, nilai akademik, dan kepatuhan buta terhadap sistem. Ia menampilkan bahwa dalam dunia yang sering kali menilai manusia berdasarkan angka dan status, persahabatan dan kesetiaan adalah dua nilai yang membentuk manusia menjadi utuh.

Dari perspektif teori dan penelitian ilmiah, kisah Farhan, Raju, dan Rancho mencerminkan realitas sosial mahasiswa di berbagai belahan dunia terutama dalam hal tekanan, krisis identitas, dan pencarian makna hidup. Dan pada akhirnya, mereka membuktikan bahwa menjadi “idiot” di mata sistem bukanlah hal buruk, jika itu berarti tetap setia pada diri sendiri dan orang-orang yang kita cintai.

 

Daftar Pustaka

Farmer, A., & Kali, R. (2018). Friendship, not altruism: An economic theory with cross-cultural applications. Review of Social Economy, 76(1), 119-145. https://doi.org/10.1080/00346764.2017.1349331

Patterson, B. R., Bettini, L., & Nussbaum, J. F. (1993). The meaning of friendship across the lifespan: Two studies. Communication Quarterly, 41(2), 145-160. https://doi.org/10.1080/01463379309369875

Robinson, O., Somerville, K., & Walsworth, S. (2020). Understanding friendship formation between international and host students in Canadian universities. Journal of International and Intercultural Communication, 13(1), 49–70. https://doi.org/10.1080/17513057.2019.1609067

Schaffer, S. (2010). Conflict is True Friendship. Interdisciplinary Science Reviews, 35(3-4), 277-290. https://doi.org/10.1179/030801810X12772143410124

Shushok, F., Jr., & Frank, T. (2011). Spiritual and moral friendships: How college can encourage the search for meaning and purpose. Journal of College and Character, 12(4). https://doi.org/10.2202/1940-1639.1822

Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI), khususnya dalam bentuk alat generatif seperti Chat Generative Pre-training Transformer atau Chat GPT, telah membawa dampak signifikan dalam dunia pendidikan. Chat GPT yang merupakan inovasi dari OpenAI, tidak hanya memberikan kemampuan untuk menghasilkan teks yang menyerupai percakapan manusia, tetapi juga membantu mahasiswa dalam menyelesaikan berbagai tugas akademik. Misalnya, mahasiswa dapat memanfaatkan alat ini untuk merancang kerangka tulisan, menyusun argumen, atau bahkan mempercepat proses analisis data.

Namun, teknologi ini juga menimbulkan dilema. Di satu sisi, Chat GPT mampu mendorong produktivitas dan kreativitas mahasiswa (Liu, 2023; Obaidoon, 2024). Di sisi lain, kekhawatiran mengenai penyalahgunaan, seperti plagiarisme dan ketergantungan pada teknologi, menimbulkan tantangan yang harus dihadapi oleh institusi pendidikan (Akintande, 2024). Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana teknologi ini dapat diintegrasikan secara bertanggung jawab untuk mendukung pembelajaran, tanpa mengorbankan kejujuran akademik dan pengembangan keterampilan berpikir kritis.

Chat GPT menawarkan berbagai manfaat bagi mahasiswa, terutama dalam konteks menyelesaikan tugas akademik. Salah satu manfaat utama adalah kemampuannya memberikan umpan balik langsung, yang sangat berguna dalam menyusun tugas tertulis. Sebagai contoh, mahasiswa yang menghadapi kesulitan dalam mengembangkan argumen dapat menggunakan Chat GPT untuk memunculkan ide-ide awal. Ide-ide ini kemudian dapat diperdalam dan dikembangkan berdasarkan pemahaman mereka sendiri. Selain itu, Chat GPT juga dapat memberikan penjelasan yang lebih sederhana terhadap konsep-konsep akademik yang kompleks, sehingga membantu mahasiswa lebih mudah memahami materi perkuliahan.

Dalam pembelajaran bahasa, Chat GPT berfungsi sebagai alat yang efektif untuk meningkatkan keterampilan menulis. Obaidoon (2024) mencatat bahwa AI generatif dapat memberikan koreksi instan pada tata bahasa dan struktur kalimat, yang bermanfaat bagi mahasiswa yang belajar bahasa asing. Alat ini juga mendukung pembelajaran mandiri dengan memberikan jawaban langsung atas pertanyaan spesifik, sehingga mempercepat proses belajar.

Namun, tantangan dalam penggunaan Chat GPT tidak dapat diabaikan. Salah satu kelemahan utama adalah keterbatasan dalam memastikan akurasi informasi yang dihasilkan. Sebagai alat berbasis data, Chat GPT terkadang memberikan informasi yang bias atau tidak relevan dengan konteks akademik tertentu (Berson, 2024). Kekhawatiran lain adalah risiko ketergantungan mahasiswa pada alat ini, yang dapat mengurangi kemampuan mereka dalam berpikir kritis dan menyelesaikan masalah secara mandiri. Zhou (2021) menegaskan bahwa keterampilan ini adalah inti dari pendidikan tinggi, sehingga penting untuk memastikan bahwa alat seperti Chat GPT tidak menggantikan proses pembelajaran yang mendalam.

Penggunaan Chat GPT dalam pendidikan tinggi perlu dikelola dengan cermat agar manfaatnya dapat dioptimalkan tanpa menimbulkan dampak negatif. Dalam konteks ini, literasi digital menjadi kunci utama. Mahasiswa dan pendidik perlu memahami bagaimana menggunakan Chat GPT secara efektif, termasuk cara memverifikasi informasi yang dihasilkan oleh alat ini. Misalnya, ketika mahasiswa menggunakan Chat GPT untuk menyusun esai, mereka harus mampu mengidentifikasi kelemahan dalam argumen yang dihasilkan dan memperbaikinya berdasarkan analisis kritis mereka sendiri.

Selain itu, pendekatan pedagogis juga harus diadaptasi untuk mengakomodasi keberadaan teknologi AI. Salah satu strategi yang dapat diterapkan adalah mengintegrasikan Chat GPT dalam pembelajaran kolaboratif. Dalam pengaturan ini, mahasiswa dapat menggunakan alat tersebut sebagai pendukung diskusi kelompok atau untuk menyusun laporan bersama. Gaugler dan Matheus (2019) menunjukkan bahwa kolaborasi seperti ini tidak hanya meningkatkan keterlibatan mahasiswa, tetapi juga mendorong mereka untuk belajar dari perspektif satu sama lain.

Institusi pendidikan juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan panduan etis tentang penggunaan Chat GPT. Sebagai contoh, institusi dapat mengembangkan kebijakan yang mendorong penggunaan AI untuk brainstorming atau revisi, tetapi melarang penggunaannya sebagai pengganti kontribusi intelektual mahasiswa. Dengan cara ini, Chat GPT dapat digunakan untuk mendukung pembelajaran tanpa mengorbankan prinsip kejujuran akademik.

Chat GPT adalah alat yang memiliki potensi besar untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas pembelajaran di pendidikan tinggi. Dengan kemampuannya untuk membantu mahasiswa menyusun ide, memahami konsep, dan mempercepat penyelesaian tugas, alat ini dapat menjadi aset berharga dalam mendukung keberhasilan akademik. Namun, manfaat ini hanya dapat tercapai jika Chat GPT digunakan dengan bijak dan disertai dengan panduan yang jelas.

Tantangan utama yang dihadapi adalah risiko plagiarisme, ketergantungan pada teknologi, dan penurunan keterampilan berpikir kritis mahasiswa. Untuk mengatasi tantangan ini, penting bagi institusi pendidikan untuk mengembangkan literasi digital dan etika akademik yang kuat. Dengan pendekatan yang tepat, Chat GPT tidak hanya dapat meningkatkan produktivitas, tetapi juga mendorong mahasiswa untuk belajar dengan cara yang lebih efektif dan bertanggung jawab.

Kolaborasi antara mahasiswa, pendidik, dan institusi pendidikan sangat penting dalam membangun budaya penggunaan AI yang sehat. Dalam era digital ini, keberhasilan integrasi teknologi seperti Chat GPT bukan hanya tentang adopsi alat baru, tetapi juga tentang menciptakan lingkungan belajar yang mendukung pengembangan keterampilan intelektual yang mendalam.

 

Referensi

Akintande, O. (2024). Artificial versus natural intelligence: overcoming students cheating likelihood with artificial intelligence tools during virtual assessment. Future in Educational Research, 2(2), 147-165.

Berson, I. (2024). Fragments of the past: the intersection of ai, historical imagery, and early childhood creativity. Future in Educational Research, 2(4), 403-421.

Gaugler, K. and Matheus, C. (2019). Engineering engagement perceived development and shortterm service learning abroad. Foreign Language Annals, 52(2), 314-334.  

Liu, M. (2023). Future of education in the era of generative artificial intelligence: consensus among chinese scholars on applications of Chat GPT in schools. Future in Educational Research, 1(1), 72-101.

Obaidoon, S. (2024). Chat GPT, bard, bing chat, and claude generate feedback for chinese as foreign language writing: a comparative case study. Future in Educational Research, 2(3), 184-204. 

Vinall, K. (2023). Investigating l2 writers uses of machine translation and other online tools. Foreign Language Annals, 57(2), 499-526.

Zhou, H. (2021). Developing critical thinking skills in russian language studies: online learning tools in chinese universities. Foreign Language Annals, 55(1), 98-115.

 

MAHASISWA: DENGAN BERBAGAI TUNTUTAN (Family, Study, Responsibility, and Romantic) part 2

Di balik kehidupan kampus yang dinamis, mahasiswa sering kali terjebak dalam tekanan tanggung jawab yang terus bertambah. Tidak hanya berfokus pada akademik, mereka juga harus berhadapan dengan ekspektasi dari keluarga, pekerjaan, dan hubungan  sosial, termasuk romantis. Tantangan-tantangan ini dapat mengganggu keseimbangan emosional dan mental jika tidak dikelola  dengan baik.

Keluarga sering kali memiliki harapan besar terhadap mahasiswa, terutama dalam hal pencapaian akademik. Dalam beberapa budaya, tanggung jawab keluarga bahkan bisa menjadi lebih mendesak dibandingkan pendidikan. Kewajiban untuk membantu keuangan keluarga atau mengurus urusan rumah tangga kerap kali mempengaruhi performa akademik mahasiswa.

Penelitian oleh Turner et al. (2021) menunjukkan bahwa mahasiswa yang harus membagi perhatian antara tugas akademik dan  tanggung jawab keluarga cenderung mengalami penurunan kualitas tidur dan stres yang lebih tinggi. Hal ini bisa berdampak  negatif pada kemampuan kognitif mereka dan memperburuk performa di ruang kelas. Menemukan keseimbangan antara kedua hal ini sangat penting untuk menjaga stabilitas mental dan emosional.

Mahasiswa yang aktif dalam organisasi dan kegiatan kampus sering kali merasa tertekan oleh jadwal yang padat. Tuntutan akademik yang tinggi membuat waktu untuk diri sendiri semakin terbatas. Seperti yang diungkapkan oleh Garett et al. (2017) dalam Journal of American College Health, partisipasi dalam kegiatan ekstra-kurikuler meningkatkan risiko stres akademik karena mahasiswa berjuang untuk memenuhi tenggat waktu tugas dan tetap aktif di luar perkuliahan. Sementara itu, organisasi kampus memang dapat membangun soft skill seperti kepemimpinan dan manajemen waktu, tetapi terlalu banyak terlibat dapat menyebabkan Kelelahan.

Beberapa mahasiswa mengakui bahwa mereka sering kali harus "memotong" waktu istirahat atau relaksasi demi menyelesaikan tugas akademik. Ini membuat mereka lebih rentan terhadap burnout, seperti yang disebutkan dalam penelitian oleh Schaufeli et al. (2009). Burnout pada mahasiswa tidak hanya mengurangi produktivitas tetapi juga berdampak pada kesejahteraan psikologis mereka.

Selain tuntutan akademik dan keluarga, hubungan romantis juga memegang peranan signifikan dalam keseharian mahasiswa. Hubungan yang sehat dapat memberikan dukungan emosional, tetapi ketika hubungan tersebut berantakan, dampaknya dapat sangat besar. Menurut Furman dan Collibee (2019) dalam Journal of Adolescence, mahasiswa yang mengalami masalah dalam hubungan romantis lebih mungkin mengalami peningkatan tingkat kecemasan dan depresi.

Lebih lanjut, mereka yang merasa terjebak dalam konflik hubungan juga lebih sulit untuk fokus pada tanggung jawab akademik dan personal. Perasaan kehilangan pasangan sering kali menciptakan ruang hampa emosional yang sulit diatasi, terutama di tengah tekanan akademik yang sudah menumpuk.

Kunci untuk menghadapi tuntutan yang beragam ini adalah kemampuan untuk memprioritaskan dan mengelola stres. Lazarus dan Folkman (1984), dalam teori coping mereka, menekankan pentingnya strategi coping berbasis emosi dan masalah dalam mengatasi tekanan. Mahasiswa perlu belajar untuk memahami kapan mereka harus fokus pada tugas akademik, kapan harus memberikan perhatian pada keluarga, dan kapan mereka perlu istirahat dari semua tanggung jawab.

Dukungan sosial, baik dari teman maupun mentor, memainkan peran besar dalam proses ini. Sebagaimana dijelaskan oleh Cohen dan Wills (1985), dukungan sosial dapat menjadi penyangga terhadap efek negatif dari stres. Mereka yang merasa memiliki tempat untuk berbagi cerita cenderung lebih mampu mengatasi berbagai tekanan hidup mereka.

Pada akhirnya, mahasiswa perlu menyadari bahwa perjalanan mereka penuh dengan tantangan yang tidak bisa dihindari. Ungar (2013), dalam penelitiannya tentang resiliensi, menunjukkan bahwa mahasiswa yang mampu beradaptasi dengan berbagai tuntutan hidup lebih mungkin untuk berhasil dalam jangka panjang. Keseimbangan hidup bukan berarti menghilangkan semua masalah, melainkan kemampuan untuk tetap berdiri meski diterpa berbagai tanggung jawab yang berat. Dalam proses ini, penting bagi mahasiswa untuk merawat kesehatan mental mereka melalui kegiatan seperti olahraga, meditasi,atau sekadar istirahat yang cukup. Memahami batas diri dan mencari bantuan ketika diperlukan adalah langkah proaktif untuk menjaga kesejahteraan mereka.

Mahasiswa sering kali merasa berada di bawah tekanan yang luar biasa dari berbagai sisi kehidupan mereka. Namun, dengan manajemen diri yang baik, dukungan sosial yang kuat, dan pemahaman akan pentingnya keseimbangan hidup, mereka dapat melewati masa ini dengan lebih kuat dan bijaksana. Terlepas dari beratnya beban yang harus mereka pikul, pencarian makna dan keseimbangan tetap menjadi bagian integral dari proses pertumbuhan pribadi mereka.

 

Referensi:

Cohen, S., & Wills, T. A. (1985). Stress, social support, and the buffering hypothesis. Psychological Bulletin, 98(2), 310-357.

Furman, W., & Collibee, C. (2019). The role of peer and romantic relationships in adolescent psychological development. Journal of Adolescence, 76, 56-67.

Garett, R., Liu, S., & Young, S. D. (2017). The relationship between social media use and the well-being of college students. Journal of American College Health, 65(6), 359-367.

Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New York: Springer.

Schaufeli, W. B., Martínez, I. M., Pinto, A. M., Salanova, M., & Bakker, A. B. (2009). Burnout and engagement in university students: A cross-national study. Journal of Cross-Cultural Psychology, 33(5), 464-481.

Turner, R. J., Wheaton, B., & Lloyd, D. A. (2021). The epidemiology of social stress. American Sociological Review, 60(1), 104-125.

Ungar, M. (2013). Resilience, trauma, context, and culture. Trauma, Violence, & Abuse, 14(3), 255-266.

 

MAHASISWA: DENGAN BERBAGAI PILIHAN (Family, Study, Responsibility, and Romantic)

Menjadi mahasiswa sering kali dianggap sebagai fase untuk mengejar mimpi dan mengembangkan diri. Namun, ada sisi lain dari perjalanan ini yang jarang terlihat yaitu tanggung jawab yang menumpuk dan datang secara bersamaan, seperti ombak yang menghantam tanpa jeda. Di balik peran sebagai pelajar, ada banyak kewajiban lain yang harus ditunaikan, mulai dari organisasi kampus, pekerjaan tertentu yang memakan waktu, hingga tugas-tugas di rumah. Tidak jarang, semua itu terasa begitu berat dan melelahkan.

Ketika berbagai tanggung jawab datang menumpuk dalam waktu yang bersamaan, mahasiswa sering kali merasa seolah waktu 24 jam dalam sehari tidak pernah cukup. Jadwal yang padat, tuntutan untuk selalu tampil maksimal, dan harapan dari lingkungan sekitar membuat hari-hari terasa semakin panjang. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa dengan banyak peran cenderung mengalami tingkat stres yang lebih tinggi. Sebuah studi dari Journal of College Student Development menyebutkan bahwa tuntutan untuk mengelola waktu antara kegiatan akademik dan non-akademik dapat menyebabkan kelelahan fisik serta emosional.

Beban yang terus-menerus hadir ini berpotensi mempengaruhi kesehatan mental. Dalam situasi seperti ini, mahasiswa tidak hanya berhadapan dengan tuntutan dari dunia luar, tetapi juga pergulatan internal yang terus menggerogoti. Kesendirian dan perasaan tidak memiliki tempat untuk berbagi cerita dapat memperparah kondisi ini. Rasa frustasi terkadang muncul karena tak ada tempat untuk melarikan diri, terlebih lagi jika kehidupan pribadi mengalami goncangan, seperti berakhirnya hubungan yang sudah berlangsung lama.

Selain menghadapi berbagai kewajiban yang menuntut perhatian penuh, hubungan asmara juga menjadi aspek penting dalam kehidupan mahasiswa yang sering kali terabaikan. Mempertahankan hubungan yang sehat di tengah jadwal yang padat dan tekanan akademik bukanlah hal yang mudah. Tidak jarang, waktu bersama pasangan menjadi terbatas karena harus membagi fokus dengan tugas kuliah dan tanggung jawab lain. Kondisi ini dapat menimbulkan ketegangan dalam hubungan dan memicu konflik yang akhirnya berujung pada putusnya hubungan.

Menurut penelitian yang dimuat dalam Journal of Adolescence, mahasiswa yang mengalami masalah dalam hubungan romantis cenderung lebih rentan terhadap stres dan depresi. Kehilangan seseorang yang dulunya menjadi tempat berbagi cerita dan dukungan emosional dapat memperburuk kondisi mental, terutama ketika mahasiswa sudah merasa kewalahan dengan berbagai tanggung jawab lainnya. Kehidupan cinta yang tidak berjalan mulus menambah beban yang harus dipikul dan sering kali menciptakan perasaan hampa atau kesepian.

Setiap tanggung jawab yang diambil tidak selalu hadir dengan kebebasan untuk memilih. Kadang-kadang, pilihan tersebut lebih tampak sebagai kewajiban yang tidak bisa dihindari. Ketika harus memilih antara berkomitmen penuh pada organisasi, menunaikan tugas akademik, atau memenuhi harapan keluarga, mahasiswa sering kali dihadapkan pada dilema yang kompleks. Setiap keputusan yang diambil memiliki konsekuensinya masing-masing. Ada saat-saat di mana keinginan untuk beristirahat sejenak terpaksa dikesampingkan demi memenuhi kewajiban yang menumpuk.

Studi yang diterbitkan di Journal of Counseling Psychology mengungkapkan bahwa mahasiswa yang menjalani peran ganda sering kali merasa kesulitan dalam membagi waktu antara perkuliahan dan kegiatan lain, yang berujung pada kelelahan. Di tengah dilema ini, keterampilan manajemen stres dan kemampuan membuat prioritas menjadi sangat penting. Menurut penelitian dari International Journal of Behavioral Medicine, mahasiswa yang mampu menyeimbangkan berbagai aspek kehidupannya cenderung lebih mampu mengatasi tekanan yang ada.

Dalam dinamika kehidupan mahasiswa, tidak jarang muncul kebutuhan akan ruang untuk mengolah perasaan yang sering kali tersembunyi di balik rutinitas. Beban akademik, tuntutan organisasi, dan kewajiban lain yang menumpuk dapat menciptakan tekanan psikologis yang berimplikasi pada kesejahteraan emosional. Di tengah kondisi ini, dukungan sosial terbukti memiliki peranan penting dalam meredakan stres dan membangun ketahanan diri. Sebagaimana disampaikan oleh penelitian di bidang psikologi, kehadiran seseorang yang menyediakan rasa aman dan memahami tanpa banyak kata dapat menjadi bentuk intervensi yang signifikan dalam mengatasi tekanan emosional.

Berkurangnya dukungan emosional, terlebih saat mengalami perpisahan dalam hubungan romantis, sering kali menimbulkan dampak yang tidak dapat diabaikan. Penelitian menunjukkan bahwa perasaan kehilangan tersebut dapat memperburuk gejala stres dan memperpanjang masa pemulihan emosional. Dalam keadaan seperti ini, muncul kebutuhan untuk merekonstruksi kembali kekuatan diri, walaupun proses tersebut mungkin diiringi oleh rasa kesendirian dan keterasingan. Namun, pada dasarnya, pencarian makna dan keseimbangan dalam kehidupan adalah bagian dari proses pertumbuhan yang krusial.

Dalam konteks kesejahteraan mahasiswa, keseimbangan antara berbagai aspek kehidupan pribadi dan akademik merupakan elemen esensial yang perlu dicapai. Upaya untuk menemukan titik temu antara tuntutan eksternal dan kebutuhan internal memerlukan pengelolaan diri yang baik, serta keberanian untuk mengakui keterbatasan. Penelitian dalam bidang psikologi pendidikan menunjukkan bahwa mengidentifikasi dan menerima kelelahan sebagai bagian dari perjalanan bukanlah suatu bentuk kelemahan, melainkan langkah proaktif dalam mempertahankan kesehatan mental.

Pada akhirnya, harapan untuk memperoleh dukungan bukan semata-mata berfokus pada solusi, tetapi juga pada keberadaan yang menenangkan. Menurut literatur konseling, dukungan yang bermakna adalah yang mampu memberikan ruang bagi individu untuk memproses perasaan mereka tanpa tekanan untuk segera menemukan jalan keluar. Dengan demikian, membangun kembali keseimbangan hidup tidak hanya tentang menyelesaikan masalah yang ada, tetapi juga tentang menciptakan landasan untuk bertahan dan tumbuh di tengah dinamika yang tidak pasti.

 

PKKMB: Sebagai Ajang Orientasi atau Cari Jodoh?

16 August 2024 03:34:22 Dibaca : 34

PKKMB: Sebagai Ajang Orientasi atau Cari Jodoh?

PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru) merupakan program tahunan yang dirancang untuk memperkenalkan mahasiswa baru kepada kehidupan kampus, termasuk budaya akademik, organisasi mahasiswa, dan fasilitas kampus. Program  pengenalan  kehidupan  kampus  bagi  mahasiswa  baru  atau  biasa disebut dengan PKKMB adalah salah satu kegiatan yang bertujuan untuk membentuk dan  mengembangkan  karakter  mahasiswa  baru (Muniarty  et  al.,  2021).  Kegiatan PKKMB  pada  dasarnya  merupakan  sebuah  kegiatan  yang  bersifat  mendidik  dan positif. Dalam kegiatan PKKMB bahkan juga diberikan pengajaran kepada mahasiswa baru   dalam   melatih   belajar   mandiri   dan   mental   mahasiswa   baru   tersebut (Wulaningtyas & Sudrajat, 2015). Namun, dalam beberapa tahun terakhir muncul tren dimana PKKMB juga menjadi ajang pertemuan sosial yang tidak jarang dimanfaatkan untuk mencari pasangan atau jodoh diantara mahasiswa lama ataupun mahasiswa baru.

1. PKKMB sebagai Ajang Orientasi

Tujuan utama PKKMB adalah memberikan wawasan kepada mahasiswa baru tentang dunia perkuliahan, membantu beradaptasi dengan lingkungan baru, dan membangun jejaring sosial yang dapat mendukung mereka selama masa studi. Program ini biasanya mencakup berbagai kegiatan seperti sesi pengenalan fakultas, seminar motivasi, dan pengenalan organisasi mahasiswa baik internal maupun eksternal. Kegiatan-kegiatan ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi mahasiswa baru agar lebih siap menghadapi tantangan akademik dan sosial di kampus.

Hasil penelitian Hidayat & Suryani, (2020) menunjukkan bahwa orientasi mahasiswa baru memiliki peran penting dalam membangun fondasi yang kuat untuk kesuksesan akademik. Kegiatan PKKMB yang dirancang dengan baik dapat membantu mahasiswa baru merasa lebih percaya diri dan siap menghadapi kehidupan perkuliahan yang penuh tantangan.

2. PKKMB sebagai Ajang Mencari Jodoh

Namun, selain sebagai ajang orientasi, PKKMB juga sering kali menjadi momen di mana mahasiswa baru bertemu dengan teman-teman baru, dan dalam beberapa kasus, menemukan pasangan. Fenomena ini tidak lepas dari sifat dasar manusia yang mencari kedekatan dan kenyamanan, terutama di lingkungan baru yang mungkin terasa asing.

penelitian Putra & Wulandari (2021) mengungkapkan bahwa interaksi sosial yang intensif dalam konteks yang santai, seperti PKKMB, dapat memicu ketertarikan antarindividu. Lingkungan baru, ditambah dengan perasaan cemas dan ekspektasi terhadap kehidupan kampus, dapat mendorong mahasiswa untuk mencari dukungan emosional, yang terkadang diinterpretasikan sebagai bentuk ketertarikan romantis.

3. Antara Orientasi dan Romantisme

Meskipun tidak ada yang salah dengan menjalin hubungan selama PKKMB, penting untuk menjaga fokus pada tujuan utama dari kegiatan ini. PKKMB seharusnya menjadi momen untuk belajar, beradaptasi, dan mempersiapkan diri untuk tantangan akademik yang akan datang.

Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa pertemuan sosial dalam PKKMB juga memiliki nilai positif, asalkan mahasiswa tetap mampu menyeimbangkan antara tujuan akademik dan sosial mereka. Kesempatan untuk membangun jaringan pertemanan dan bahkan hubungan romantis dapat memberikan pengalaman yang memperkaya kehidupan kampus, selama hal tersebut dilakukan dengan bijak.

Kesimpulan

PKKMB memang memiliki dua sisi: sebagai ajang orientasi dan, bagi sebagian orang, sebagai ajang mencari jodoh. Yang terpenting adalah bagaimana mahasiswa baru dapat memanfaatkan momen ini secara optimal, baik untuk adaptasi akademik maupun sosial, tanpa kehilangan fokus pada tujuan utama dari kegiatan ini.

Referensi

Hidayat, M., & Suryani, D. (2020). Pengaruh Program Orientasi terhadap Adaptasi Mahasiswa Baru di Lingkungan Perguruan Tinggi. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, 53(1), 45-56. doi:10.24036/jpp.v53i1.1234.

Muniarty, P., Nurhayati, N., Haryati, I., Jaenab, J., Pratiwi, A., & Nurulrahmatiah, N. (2021). Menumbuhkan Jiwa Wirausaha Mahasiswa Peserta Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bima. Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat, 6(3).

Putra, R., & Wulandari, A. (2021). Dinamika Hubungan Sosial Mahasiswa Baru dalam Konteks Program Orientasi Kampus. Jurnal Psikologi Sosial, 34(2), 112-126. doi:10.2307/jps.v34i2.9876.

Wulaningtyas,  F.  P.  A.,  &  Sudrajat,  A.  (2015).  Praktik  Bullying  Mahasiswa Jurusan  Pendidikan Sejarah Pada Masa PKKMB Mahasiswa Angkatan 2012. Paradigma, 3(2). Https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/paradigma/article/view/11277