MAHASISWA: DENGAN BERBAGAI TUNTUTAN !!!! (Family, Study, Responsibility, and Romantic) part 2
MAHASISWA: DENGAN BERBAGAI TUNTUTAN (Family, Study, Responsibility, and Romantic) part 2
Di balik kehidupan kampus yang dinamis, mahasiswa sering kali terjebak dalam tekanan tanggung jawab yang terus bertambah. Tidak hanya berfokus pada akademik, mereka juga harus berhadapan dengan ekspektasi dari keluarga, pekerjaan, dan hubungan sosial, termasuk romantis. Tantangan-tantangan ini dapat mengganggu keseimbangan emosional dan mental jika tidak dikelola dengan baik.
Keluarga sering kali memiliki harapan besar terhadap mahasiswa, terutama dalam hal pencapaian akademik. Dalam beberapa budaya, tanggung jawab keluarga bahkan bisa menjadi lebih mendesak dibandingkan pendidikan. Kewajiban untuk membantu keuangan keluarga atau mengurus urusan rumah tangga kerap kali mempengaruhi performa akademik mahasiswa.
Penelitian oleh Turner et al. (2021) menunjukkan bahwa mahasiswa yang harus membagi perhatian antara tugas akademik dan tanggung jawab keluarga cenderung mengalami penurunan kualitas tidur dan stres yang lebih tinggi. Hal ini bisa berdampak negatif pada kemampuan kognitif mereka dan memperburuk performa di ruang kelas. Menemukan keseimbangan antara kedua hal ini sangat penting untuk menjaga stabilitas mental dan emosional.
Mahasiswa yang aktif dalam organisasi dan kegiatan kampus sering kali merasa tertekan oleh jadwal yang padat. Tuntutan akademik yang tinggi membuat waktu untuk diri sendiri semakin terbatas. Seperti yang diungkapkan oleh Garett et al. (2017) dalam Journal of American College Health, partisipasi dalam kegiatan ekstra-kurikuler meningkatkan risiko stres akademik karena mahasiswa berjuang untuk memenuhi tenggat waktu tugas dan tetap aktif di luar perkuliahan. Sementara itu, organisasi kampus memang dapat membangun soft skill seperti kepemimpinan dan manajemen waktu, tetapi terlalu banyak terlibat dapat menyebabkan Kelelahan.
Beberapa mahasiswa mengakui bahwa mereka sering kali harus "memotong" waktu istirahat atau relaksasi demi menyelesaikan tugas akademik. Ini membuat mereka lebih rentan terhadap burnout, seperti yang disebutkan dalam penelitian oleh Schaufeli et al. (2009). Burnout pada mahasiswa tidak hanya mengurangi produktivitas tetapi juga berdampak pada kesejahteraan psikologis mereka.
Selain tuntutan akademik dan keluarga, hubungan romantis juga memegang peranan signifikan dalam keseharian mahasiswa. Hubungan yang sehat dapat memberikan dukungan emosional, tetapi ketika hubungan tersebut berantakan, dampaknya dapat sangat besar. Menurut Furman dan Collibee (2019) dalam Journal of Adolescence, mahasiswa yang mengalami masalah dalam hubungan romantis lebih mungkin mengalami peningkatan tingkat kecemasan dan depresi.
Lebih lanjut, mereka yang merasa terjebak dalam konflik hubungan juga lebih sulit untuk fokus pada tanggung jawab akademik dan personal. Perasaan kehilangan pasangan sering kali menciptakan ruang hampa emosional yang sulit diatasi, terutama di tengah tekanan akademik yang sudah menumpuk.
Kunci untuk menghadapi tuntutan yang beragam ini adalah kemampuan untuk memprioritaskan dan mengelola stres. Lazarus dan Folkman (1984), dalam teori coping mereka, menekankan pentingnya strategi coping berbasis emosi dan masalah dalam mengatasi tekanan. Mahasiswa perlu belajar untuk memahami kapan mereka harus fokus pada tugas akademik, kapan harus memberikan perhatian pada keluarga, dan kapan mereka perlu istirahat dari semua tanggung jawab.
Dukungan sosial, baik dari teman maupun mentor, memainkan peran besar dalam proses ini. Sebagaimana dijelaskan oleh Cohen dan Wills (1985), dukungan sosial dapat menjadi penyangga terhadap efek negatif dari stres. Mereka yang merasa memiliki tempat untuk berbagi cerita cenderung lebih mampu mengatasi berbagai tekanan hidup mereka.
Pada akhirnya, mahasiswa perlu menyadari bahwa perjalanan mereka penuh dengan tantangan yang tidak bisa dihindari. Ungar (2013), dalam penelitiannya tentang resiliensi, menunjukkan bahwa mahasiswa yang mampu beradaptasi dengan berbagai tuntutan hidup lebih mungkin untuk berhasil dalam jangka panjang. Keseimbangan hidup bukan berarti menghilangkan semua masalah, melainkan kemampuan untuk tetap berdiri meski diterpa berbagai tanggung jawab yang berat. Dalam proses ini, penting bagi mahasiswa untuk merawat kesehatan mental mereka melalui kegiatan seperti olahraga, meditasi,atau sekadar istirahat yang cukup. Memahami batas diri dan mencari bantuan ketika diperlukan adalah langkah proaktif untuk menjaga kesejahteraan mereka.
Mahasiswa sering kali merasa berada di bawah tekanan yang luar biasa dari berbagai sisi kehidupan mereka. Namun, dengan manajemen diri yang baik, dukungan sosial yang kuat, dan pemahaman akan pentingnya keseimbangan hidup, mereka dapat melewati masa ini dengan lebih kuat dan bijaksana. Terlepas dari beratnya beban yang harus mereka pikul, pencarian makna dan keseimbangan tetap menjadi bagian integral dari proses pertumbuhan pribadi mereka.
Referensi:
Cohen, S., & Wills, T. A. (1985). Stress, social support, and the buffering hypothesis. Psychological Bulletin, 98(2), 310-357.
Furman, W., & Collibee, C. (2019). The role of peer and romantic relationships in adolescent psychological development. Journal of Adolescence, 76, 56-67.
Garett, R., Liu, S., & Young, S. D. (2017). The relationship between social media use and the well-being of college students. Journal of American College Health, 65(6), 359-367.
Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New York: Springer.
Schaufeli, W. B., Martínez, I. M., Pinto, A. M., Salanova, M., & Bakker, A. B. (2009). Burnout and engagement in university students: A cross-national study. Journal of Cross-Cultural Psychology, 33(5), 464-481.
Turner, R. J., Wheaton, B., & Lloyd, D. A. (2021). The epidemiology of social stress. American Sociological Review, 60(1), 104-125.
Ungar, M. (2013). Resilience, trauma, context, and culture. Trauma, Violence, & Abuse, 14(3), 255-266.
MAHASISWA: DENGAN BERBAGAI PILIHAN (Family, Study, Responsibility, and Romantic)
MAHASISWA: DENGAN BERBAGAI PILIHAN (Family, Study, Responsibility, and Romantic)
Menjadi mahasiswa sering kali dianggap sebagai fase untuk mengejar mimpi dan mengembangkan diri. Namun, ada sisi lain dari perjalanan ini yang jarang terlihat yaitu tanggung jawab yang menumpuk dan datang secara bersamaan, seperti ombak yang menghantam tanpa jeda. Di balik peran sebagai pelajar, ada banyak kewajiban lain yang harus ditunaikan, mulai dari organisasi kampus, pekerjaan tertentu yang memakan waktu, hingga tugas-tugas di rumah. Tidak jarang, semua itu terasa begitu berat dan melelahkan.
Ketika berbagai tanggung jawab datang menumpuk dalam waktu yang bersamaan, mahasiswa sering kali merasa seolah waktu 24 jam dalam sehari tidak pernah cukup. Jadwal yang padat, tuntutan untuk selalu tampil maksimal, dan harapan dari lingkungan sekitar membuat hari-hari terasa semakin panjang. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa dengan banyak peran cenderung mengalami tingkat stres yang lebih tinggi. Sebuah studi dari Journal of College Student Development menyebutkan bahwa tuntutan untuk mengelola waktu antara kegiatan akademik dan non-akademik dapat menyebabkan kelelahan fisik serta emosional.
Beban yang terus-menerus hadir ini berpotensi mempengaruhi kesehatan mental. Dalam situasi seperti ini, mahasiswa tidak hanya berhadapan dengan tuntutan dari dunia luar, tetapi juga pergulatan internal yang terus menggerogoti. Kesendirian dan perasaan tidak memiliki tempat untuk berbagi cerita dapat memperparah kondisi ini. Rasa frustasi terkadang muncul karena tak ada tempat untuk melarikan diri, terlebih lagi jika kehidupan pribadi mengalami goncangan, seperti berakhirnya hubungan yang sudah berlangsung lama.
Selain menghadapi berbagai kewajiban yang menuntut perhatian penuh, hubungan asmara juga menjadi aspek penting dalam kehidupan mahasiswa yang sering kali terabaikan. Mempertahankan hubungan yang sehat di tengah jadwal yang padat dan tekanan akademik bukanlah hal yang mudah. Tidak jarang, waktu bersama pasangan menjadi terbatas karena harus membagi fokus dengan tugas kuliah dan tanggung jawab lain. Kondisi ini dapat menimbulkan ketegangan dalam hubungan dan memicu konflik yang akhirnya berujung pada putusnya hubungan.
Menurut penelitian yang dimuat dalam Journal of Adolescence, mahasiswa yang mengalami masalah dalam hubungan romantis cenderung lebih rentan terhadap stres dan depresi. Kehilangan seseorang yang dulunya menjadi tempat berbagi cerita dan dukungan emosional dapat memperburuk kondisi mental, terutama ketika mahasiswa sudah merasa kewalahan dengan berbagai tanggung jawab lainnya. Kehidupan cinta yang tidak berjalan mulus menambah beban yang harus dipikul dan sering kali menciptakan perasaan hampa atau kesepian.
Setiap tanggung jawab yang diambil tidak selalu hadir dengan kebebasan untuk memilih. Kadang-kadang, pilihan tersebut lebih tampak sebagai kewajiban yang tidak bisa dihindari. Ketika harus memilih antara berkomitmen penuh pada organisasi, menunaikan tugas akademik, atau memenuhi harapan keluarga, mahasiswa sering kali dihadapkan pada dilema yang kompleks. Setiap keputusan yang diambil memiliki konsekuensinya masing-masing. Ada saat-saat di mana keinginan untuk beristirahat sejenak terpaksa dikesampingkan demi memenuhi kewajiban yang menumpuk.
Studi yang diterbitkan di Journal of Counseling Psychology mengungkapkan bahwa mahasiswa yang menjalani peran ganda sering kali merasa kesulitan dalam membagi waktu antara perkuliahan dan kegiatan lain, yang berujung pada kelelahan. Di tengah dilema ini, keterampilan manajemen stres dan kemampuan membuat prioritas menjadi sangat penting. Menurut penelitian dari International Journal of Behavioral Medicine, mahasiswa yang mampu menyeimbangkan berbagai aspek kehidupannya cenderung lebih mampu mengatasi tekanan yang ada.
Dalam dinamika kehidupan mahasiswa, tidak jarang muncul kebutuhan akan ruang untuk mengolah perasaan yang sering kali tersembunyi di balik rutinitas. Beban akademik, tuntutan organisasi, dan kewajiban lain yang menumpuk dapat menciptakan tekanan psikologis yang berimplikasi pada kesejahteraan emosional. Di tengah kondisi ini, dukungan sosial terbukti memiliki peranan penting dalam meredakan stres dan membangun ketahanan diri. Sebagaimana disampaikan oleh penelitian di bidang psikologi, kehadiran seseorang yang menyediakan rasa aman dan memahami tanpa banyak kata dapat menjadi bentuk intervensi yang signifikan dalam mengatasi tekanan emosional.
Berkurangnya dukungan emosional, terlebih saat mengalami perpisahan dalam hubungan romantis, sering kali menimbulkan dampak yang tidak dapat diabaikan. Penelitian menunjukkan bahwa perasaan kehilangan tersebut dapat memperburuk gejala stres dan memperpanjang masa pemulihan emosional. Dalam keadaan seperti ini, muncul kebutuhan untuk merekonstruksi kembali kekuatan diri, walaupun proses tersebut mungkin diiringi oleh rasa kesendirian dan keterasingan. Namun, pada dasarnya, pencarian makna dan keseimbangan dalam kehidupan adalah bagian dari proses pertumbuhan yang krusial.
Dalam konteks kesejahteraan mahasiswa, keseimbangan antara berbagai aspek kehidupan pribadi dan akademik merupakan elemen esensial yang perlu dicapai. Upaya untuk menemukan titik temu antara tuntutan eksternal dan kebutuhan internal memerlukan pengelolaan diri yang baik, serta keberanian untuk mengakui keterbatasan. Penelitian dalam bidang psikologi pendidikan menunjukkan bahwa mengidentifikasi dan menerima kelelahan sebagai bagian dari perjalanan bukanlah suatu bentuk kelemahan, melainkan langkah proaktif dalam mempertahankan kesehatan mental.
Pada akhirnya, harapan untuk memperoleh dukungan bukan semata-mata berfokus pada solusi, tetapi juga pada keberadaan yang menenangkan. Menurut literatur konseling, dukungan yang bermakna adalah yang mampu memberikan ruang bagi individu untuk memproses perasaan mereka tanpa tekanan untuk segera menemukan jalan keluar. Dengan demikian, membangun kembali keseimbangan hidup tidak hanya tentang menyelesaikan masalah yang ada, tetapi juga tentang menciptakan landasan untuk bertahan dan tumbuh di tengah dinamika yang tidak pasti.
PKKMB: Sebagai Ajang Orientasi atau Cari Jodoh?
PKKMB: Sebagai Ajang Orientasi atau Cari Jodoh?
PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru) merupakan program tahunan yang dirancang untuk memperkenalkan mahasiswa baru kepada kehidupan kampus, termasuk budaya akademik, organisasi mahasiswa, dan fasilitas kampus. Program pengenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa baru atau biasa disebut dengan PKKMB adalah salah satu kegiatan yang bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan karakter mahasiswa baru (Muniarty et al., 2021). Kegiatan PKKMB pada dasarnya merupakan sebuah kegiatan yang bersifat mendidik dan positif. Dalam kegiatan PKKMB bahkan juga diberikan pengajaran kepada mahasiswa baru dalam melatih belajar mandiri dan mental mahasiswa baru tersebut (Wulaningtyas & Sudrajat, 2015). Namun, dalam beberapa tahun terakhir muncul tren dimana PKKMB juga menjadi ajang pertemuan sosial yang tidak jarang dimanfaatkan untuk mencari pasangan atau jodoh diantara mahasiswa lama ataupun mahasiswa baru.
1. PKKMB sebagai Ajang Orientasi
Tujuan utama PKKMB adalah memberikan wawasan kepada mahasiswa baru tentang dunia perkuliahan, membantu beradaptasi dengan lingkungan baru, dan membangun jejaring sosial yang dapat mendukung mereka selama masa studi. Program ini biasanya mencakup berbagai kegiatan seperti sesi pengenalan fakultas, seminar motivasi, dan pengenalan organisasi mahasiswa baik internal maupun eksternal. Kegiatan-kegiatan ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi mahasiswa baru agar lebih siap menghadapi tantangan akademik dan sosial di kampus.
Hasil penelitian Hidayat & Suryani, (2020) menunjukkan bahwa orientasi mahasiswa baru memiliki peran penting dalam membangun fondasi yang kuat untuk kesuksesan akademik. Kegiatan PKKMB yang dirancang dengan baik dapat membantu mahasiswa baru merasa lebih percaya diri dan siap menghadapi kehidupan perkuliahan yang penuh tantangan.
2. PKKMB sebagai Ajang Mencari Jodoh
Namun, selain sebagai ajang orientasi, PKKMB juga sering kali menjadi momen di mana mahasiswa baru bertemu dengan teman-teman baru, dan dalam beberapa kasus, menemukan pasangan. Fenomena ini tidak lepas dari sifat dasar manusia yang mencari kedekatan dan kenyamanan, terutama di lingkungan baru yang mungkin terasa asing.
penelitian Putra & Wulandari (2021) mengungkapkan bahwa interaksi sosial yang intensif dalam konteks yang santai, seperti PKKMB, dapat memicu ketertarikan antarindividu. Lingkungan baru, ditambah dengan perasaan cemas dan ekspektasi terhadap kehidupan kampus, dapat mendorong mahasiswa untuk mencari dukungan emosional, yang terkadang diinterpretasikan sebagai bentuk ketertarikan romantis.
3. Antara Orientasi dan Romantisme
Meskipun tidak ada yang salah dengan menjalin hubungan selama PKKMB, penting untuk menjaga fokus pada tujuan utama dari kegiatan ini. PKKMB seharusnya menjadi momen untuk belajar, beradaptasi, dan mempersiapkan diri untuk tantangan akademik yang akan datang.
Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa pertemuan sosial dalam PKKMB juga memiliki nilai positif, asalkan mahasiswa tetap mampu menyeimbangkan antara tujuan akademik dan sosial mereka. Kesempatan untuk membangun jaringan pertemanan dan bahkan hubungan romantis dapat memberikan pengalaman yang memperkaya kehidupan kampus, selama hal tersebut dilakukan dengan bijak.
Kesimpulan
PKKMB memang memiliki dua sisi: sebagai ajang orientasi dan, bagi sebagian orang, sebagai ajang mencari jodoh. Yang terpenting adalah bagaimana mahasiswa baru dapat memanfaatkan momen ini secara optimal, baik untuk adaptasi akademik maupun sosial, tanpa kehilangan fokus pada tujuan utama dari kegiatan ini.
Referensi
Hidayat, M., & Suryani, D. (2020). Pengaruh Program Orientasi terhadap Adaptasi Mahasiswa Baru di Lingkungan Perguruan Tinggi. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, 53(1), 45-56. doi:10.24036/jpp.v53i1.1234.
Muniarty, P., Nurhayati, N., Haryati, I., Jaenab, J., Pratiwi, A., & Nurulrahmatiah, N. (2021). Menumbuhkan Jiwa Wirausaha Mahasiswa Peserta Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bima. Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat, 6(3).
Putra, R., & Wulandari, A. (2021). Dinamika Hubungan Sosial Mahasiswa Baru dalam Konteks Program Orientasi Kampus. Jurnal Psikologi Sosial, 34(2), 112-126. doi:10.2307/jps.v34i2.9876.
Wulaningtyas, F. P. A., & Sudrajat, A. (2015). Praktik Bullying Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah Pada Masa PKKMB Mahasiswa Angkatan 2012. Paradigma, 3(2). Https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/paradigma/article/view/11277
SEBELUM MASUK JURANG: KENALI CIRI-CIRI MAHASISWA 'SENIOR' Dan 'SOK SENIOR' DI LINGKUNGAN KAMPUS
Sebelum Masuk Jurang: Kenali Ciri-Ciri Mahasiswa 'Senior' Dan 'Sok Senior' Di Lingkungan Kampus
Dalam lingkungan perguruan tinggi, terutama di Indonesia, istilah "senior" memiliki arti yang beragam, seringkali tergantung pada konteks dan perilaku individu. Mahasiswa "senior" umumnya dianggap sebagai panutan yang memiliki pengalaman lebih dalam hal akademis dan kehidupan kampus. Di sisi lain, ada juga mahasiswa yang dikenal sebagai "sok senior," yang biasanya menunjukkan perilaku otoriter atau merasa lebih superior dibandingkan mahasiswa baru, tanpa dasar pengalaman atau prestasi yang memadai. Mengenali perbedaan antara kedua tipe ini penting untuk menghindari potensi masalah sosial, psikologis, dan akademis.
Ciri-Ciri Mahasiswa "Senior"
1. Berwawasan dan Berpengalaman
Mahasiswa senior biasanya memiliki pemahaman yang mendalam tentang materi perkuliahan dan sistem kampus. Mereka sering kali menjadi sumber informasi bagi junior dalam menghadapi kesulitan akademis dan memberikan saran yang bermanfaat.
2. Pendukung dan Pembimbing
Mahasiswa senior biasanya berperan sebagai pembimbing yang mendukung junior dalam menavigasi dunia perkuliahan. Mereka menyediakan waktu untuk mendengarkan dan memberikan solusi atas masalah yang dihadapi junior baik itu masalah antar sesama mahasiswa ataupun miskomunikasi dengan beberapa dosen tertentu.
3. Memiliki Kepedulian Sosial
Mahasiswa senior biasanya menunjukkan kepedulian terhadap sesama, baik itu dalam hal akademis maupun non-akademis. Mereka aktif dalam kegiatan kemahasiswaan dan berperan dalam membangun lingkungan kampus yang inklusif dan suportif.
Ciri-Ciri Mahasiswa "Sok Senior"
1. Perilaku Otoriter dan Mengontrol
Mahasiswa "sok senior" sering kali menggunakan status mereka untuk mengontrol junior, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka mungkin menuntut penghormatan atau kepatuhan tanpa memberikan alasan yang jelas. Mahasiswa “sok senior” selalu mengintervensi kesepakatan yang telah diambil oleh juniornya tanpa alasan yang jelas atau sesuai dengan kepentingan mereka.
2. Kurang Berwawasan dan Cenderung Mengintimidasi
Meskipun mereka mungkin memiliki pengalaman lebih lama di kampus, mahasiswa "sok senior" sering kali kurang berwawasan dan menggunakan intimidasi sebagai alat untuk mendapatkan pengakuan (Smith & Brown, 2019).
3. Memanfaatkan Status untuk Keuntungan Pribadi
Mahasiswa "sok senior" sering memanfaatkan status mereka untuk kepentingan pribadi, seperti meminta bantuan akademis tanpa balasan atau memanfaatkan junior dalam kegiatan non-akademis.
4. Tidak Mendukung atau Memberikan Bantuan yang Relevan
Alih-alih memberikan bantuan yang konstruktif, mahasiswa "sok senior" mungkin hanya memberikan arahan yang tidak relevan atau bahkan menyesatkan, yang dapat merugikan junior dalam jangka panjang.
Dampak Sosial dan Psikologis
Perbedaan antara mahasiswa senior dan "sok senior" tidak hanya berpengaruh pada hubungan interpersonal tetapi juga memiliki dampak sosial dan psikologis yang signifikan bagi mahasiswa baru. Mahasiswa baru yang berinteraksi dengan "sok senior" mungkin mengalami tekanan mental, penurunan motivasi belajar, dan bahkan kehilangan rasa percaya diri. Sebaliknya, interaksi dengan senior yang benar-benar mendukung dapat meningkatkan adaptasi, kesejahteraan mental, dan keberhasilan akademis (Wiboowo, 2019).
Keberadaan mahasiswa sok senior dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi mahasiswa baru. Tekanan sosial yang diberikan dapat menyebabkan stres, rendah diri, dan bahkan memengaruhi prestasi akademik mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati, (2020) mengungkapkan bahwa mahasiswa yang merasa terintimidasi oleh senior cenderung mengalami penurunan motivasi belajar dan keterlibatan sosial
Kesimpulan
Mengenali perbedaan antara mahasiswa "senior" dan "sok senior" sangat penting bagi mahasiswa baru untuk menghindari potensi masalah dalam perjalanan akademis mereka. Senior sejati adalah mereka yang rendah hati, berwawasan, dan peduli terhadap junior, sementara "sok senior" cenderung otoriter, kurang wawasan, dan mengutamakan kepentingan pribadi. Dengan pemahaman ini, mahasiswa baru dapat memilih untuk berinteraksi dengan senior yang mendukung pertumbuhan mereka secara positif.
Referensi
Rahmawati, D. (2020). Dampak Intimidasi Senior terhadap Mahasiswa Baru di Perguruan Tinggi. Jurnal Psikologi Indonesia.
Smith, J., & Brown, L. (2019). The Psychology of Power Dynamics in University Settings. Journal of Social Psychology.
Wibowo, A. (2019). "Interaksi Sosial antara Mahasiswa Senior dan Mahasiswa Baru di Lingkungan Perguruan Tinggi." Jurnal Sosiologi Pendidikan, 10(1), 45-57.
Mimpi dan Harapan Sederhana Dalam Lirik Lagu NANTI KITA SEPERTI INI dari Batas Senja
Mimpi dan Harapan Sederhana Dalam Lirik Lagu “NANTI KITA SEPERTI INI” dari Batas Senja
Lagu "Nanti Kita Seperti Ini" yang dibawakan oleh Batas Senja menggambarkan impian dan harapan tentang masa depan yang penuh dengan kebahagiaan sederhana bersama pasangan. Liriknya memberikan pandangan tentang kehidupan yang harmonis dan seimbang, mencerminkan nilai-nilai yang sangat relevan dalam konteks hubungan romantis dan keluarga.
1. Impian Masa Depan yang Sederhana
Lagu ini dimulai dengan sebuah harapan tentang masa depan yang akan dijalani setelah sekian lama bersama. Ada gambaran tentang rumah yang menjadi tempat untuk bermesraan, bertukar cerita, dan menghabiskan waktu bersama keluarga. Kesederhanaan ini mencerminkan kebahagiaan yang tidak memerlukan kemewahan, melainkan kehangatan dan kedekatan dengan orang-orang tercinta. Impian akan rumah tangga yang sederhana tetapi penuh makna ini sejalan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa kebahagiaan dalam pernikahan tidak bergantung pada kekayaan materi, tetapi pada kualitas hubungan dan komunikasi antara pasangan (Dewi & Ratnasari, 2017)
2. Peran dalam Keluarga
Lirik "Kau dipanggil ibu, sementara aku ayah" menunjukkan peran yang diharapkan dalam keluarga. Ada kebanggaan dan kebahagiaan dalam menjalani peran tersebut, bertukar cerita di ruang keluarga, bercengkerama, dan menimang buah hati. Lagu ini memberikan pesan bahwa peran sebagai orang tua bukan hanya tentang tanggung jawab, tetapi juga tentang kebahagiaan dan kebersamaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemenuhan peran ini sering kali dikaitkan dengan kepuasan pernikahan dan kebahagiaan keluarga. Salah satunya yaitu hasil penelitian oleh yang dilakukan oleh Susanto (2018) menunjukkan bahwa pembagian peran yang jelas dan adil dalam keluarga berkontribusi terhadap kesejahteraan emosional dan psikologis pasangan.
3. Kebahagiaan yang Lengkap
Reff lagu ini menekankan bahwa kebahagiaan terasa lengkap ketika dijalani bersama-sama. "Sederhana, bahagia ini lengkap sudah, sama-sama, hingga nanti kita tutup mata" menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati adalah yang dijalani dengan orang yang kita cintai sampai akhir hayat. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kebersamaan dan dukungan emosional dari pasangan merupakan faktor utama dalam mencapai kebahagiaan pernikahan (Putri, 2019).
4. Keyakinan pada Masa Depan
Lirik lagu ini juga menekankan pentingnya keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan. "Semoga saja, niat baik 'kan terwujud segera, asal kita, percaya Dia Maha Segalanya" menggambarkan bahwa meskipun perjalanan hidup mungkin tidak selalu mudah, keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan akan membantu mewujudkan impian tersebut dan menghadapi segala tantangan. Penelitian menunjukkan bahwa pasangan yang memiliki keyakinan spiritual yang kuat sering kali lebih mampu menghadapi konflik dan stres dalam hubungan mereka (Mahmood & Ghaffar, 2020).
5. Pesan Ketenangan dan Penyerahan Diri
Penutup lirik "Jangan dulu lelah, yakin semua indah, pejamkanlah mata, pada-Nya kita berserah" memberikan pesan ketenangan. Lagu ini mengingatkan kita untuk tetap percaya dan berserah diri pada Tuhan, karena Dia yang Maha Menentukan segalanya.
Dalam konteks psikologi, penyerahan diri dan keyakinan pada kekuatan yang lebih besar dapat memberikan rasa aman dan mengurangi stres (Park, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Wibisono (2018) juga menunjukkan bahwa penyerahan diri pada Tuhan dapat membantu individu dalam menghadapi tekanan dan tantangan hidup.
Kesimpulan
"Nanti Kita Seperti Ini" oleh Batas Senja adalah lagu yang penuh makna tentang impian dan harapan membangun kehidupan yang bahagia bersama pasangan. Dengan lirik yang sederhana namun mendalam, lagu ini mengajak pendengar untuk memaknai kebahagiaan sejati yang tidak terletak pada materi, melainkan pada hubungan dan kepercayaan. Lagu ini menjadi pengingat bahwa dalam perjalanan hidup, keyakinan dan cinta adalah dua hal yang paling berharga.
Referensi
Dewi, R., & Ratnasari, K. (2017). Kebahagiaan dalam Pernikahan: Studi Tentang Pasangan yang Menikah di Usia Muda. Jurnal Psikologi.
Mahmood, Z., & Ghaffar, A. (2020). Spirituality and Marital Satisfaction: A Study of Pakistani Muslim Couples. Journal of Religion and Health.
Park, C. L. (2007). Religiousness/Spirituality and Health: A Meaning Systems Perspective. Journal of Behavioral Medicine, 30(4), 319-328.
Putri, L. D. (2019). Pengaruh Dukungan Emosional Terhadap Kepuasan Pernikahan pada Pasangan Suami Istri di Kota Malang. Jurnal Psikologi dan Pendidikan.
Susanto, A. (2018). Pembagian Peran dalam Keluarga dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Emosional. Jurnal Ilmu Sosial.
Wibisono, S. (2018). Penyerahan Diri Pada Tuhan dan Kesejahteraan Psikologis. Jurnal Psikologi Islam.
Kategori
- Masih Kosong
Blogroll
- Masih Kosong