Jalur "Anak Berbakat" Menjadi "Orang Dewasa yang Tersesat", Menghabiskan Usia Belasan Tahun Saya

15 December 2024 13:57:21 Dibaca : 29

    Waktu kecil, saya benar-benar yakin bahwa saya adalah keajaiban dunia kedelapan semacam mahakarya kosmos yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Bagaimana tidak? Orang-orang di sekitar saya memperlakukan saya seperti manuskrip kuno yang harus dijaga dengan penuh kehati-hatian, sambil terus memuji betapa "spesialnya" saya. Sejak kecil, saya bisa menyelesaikan soal matematika dengan kecepatan yang membuat teman-teman sekelas tercengang, membaca buku tanpa ilustrasi layaknya seorang sarjana kecil, dan menulis esai tentang menyelamatkan dunia di usia 10 tahun. Bahkan kucing tetangga pun, saya pikir, menganggap saya sebagai sosok yang terhormat. Namun, tak seorang pun memperingatkan saya bahwa "spesial" bisa menjadi beban yang sangat berat. Kata itu seperti duri tersembunyi dalam bunga mawar indah untuk dipandang, tapi menyakitkan jika terlalu erat digenggam. Di usia belia, saya mulai merasa bahwa keistimewaan saya bukan lagi sesuatu yang membebaskan, melainkan penjara yang dibangun dari ekspektasi. Setiap keberhasilan kecil hanya menambah batu bata pada dinding itu, dan pada akhirnya, saya kehilangan ruang untuk bernapas.

    Pujian yang dulu seperti pelangi kini berubah menjadi awan kelabu. Ketika saya masuk masa remaja, dunia mulai menunjukkan wajah aslinya: kompetisi. Di sekolah menengah, tak ada yang peduli dengan kemampuan saya membaca tabel periodik. Mereka lebih tertarik pada siapa yang bisa mencetak gol di lapangan atau memenangkan lomba cheerleading. Dan di sinilah semua ilusi saya runtuh. Ternyata, menjadi "spesial" saja tidak cukup. Anda harus membuktikan diri berkali-kali, setiap hari, tanpa henti. Dunia bukan tempat untuk mereka yang sekadar berbakat; dunia adalah arena bagi mereka yang tahu bagaimana bertahan dalam ketidaksempurnaan. Masuk usia belasan tahun , saya mulai melihat dunia dari sudut pandang yang lebih sinis atau mungkin realistis. Dunia tidak lagi tertarik pada kehebatan masa lalu. Ia hanya peduli pada apa yang bisa Anda hasilkan sekarang, detik ini juga. Dan saya? Saya mulai sadar bahwa saya sama sekali tidak tahu bagaimana memulai sesuatu dari nol. Hidup saya selalu tentang hasil akhir, bukan proses. Ketika mencoba memasak untuk pertama kalinya dan hasilnya berantakan, saya merasa seperti kegagalan terbesar umat manusia. Ironis, bukan? Saya yang dulu yakin bisa menyelamatkan dunia, kini gagal membuat sepiring telur dadar.

    Lalu saya menemukan istilah "gifted kid burnout," dan seperti pencerahan, saya mulai memahami pola yang selama ini menghantui hidup saya. Saya tidak takut gagal; saya takut terlihat tidak sempurna. Saya terbiasa berada di atas, sehingga saat menghadapi tantangan nyata, saya tidak tahu harus mulai dari mana. Proses belajar yang penuh trial-and-error terasa seperti mimpi buruk. Dan saya menyadari satu hal penting: selama ini, saya terlalu sibuk mengejar validasi hingga lupa menikmati perjalanan. Kuliah, yang dulu saya bayangkan sebagai ajang diskusi mendalam tentang teori besar, ternyata lebih sering tentang bagaimana bertahan hidup dengan tiga jam tidur dan setumpuk tugas yang menunggu. Dunia akademik itu seperti hutan belantara, dengan dosen sebagai predator dan deadline sebagai jebakan yang siap melumat Anda kapan saja. Saat pertama kali menghadapi ujian, saya merasa seperti ksatria tanpa perisai, melawan naga soal-soal yang terlalu rumit untuk dinalar. Lucunya, saya masih sempat berharap soal ujian akan berupa pertanyaan filosofis seperti "Apa makna hidup menurut teori relativitas?" Tapi kenyataannya? Lebih mirip kuis trivia yang entah bagaimana terasa lebih berat daripada makna eksistensial.

    Diskusi kelompok? Jangan tanya. Itu selalu berakhir dengan semua mata tertuju pada saya, yang konon selalu siap (kata mereka). Padahal, saya hanya menumpuk pengetahuan instan dari artikel acak yang saya baca beberapa jam sebelum pertemuan. Dalam hati, saya sering bertanya-tanya, apakah menjadi dewasa benar-benar seperti ini—selalu berpura-pura tahu, selalu berusaha mengejar sesuatu yang terasa tak pernah cukup? Namun, di tengah semua kekacauan ini, saya mulai belajar satu hal penting. Hidup bukanlah tentang menjadi sempurna, melainkan tentang terus mencoba, gagal, dan bangkit lagi. Dan mungkin, itulah keajaiban sejati—kemampuan untuk menerima ketidaksempurnaan sebagai bagian dari perjalanan, bukan akhir dari segalanya.

    Dulu, saya pikir dunia ini akan membentangkan karpet merah untuk saya hanya karena IQ saya sempat menyentuh angka yang bikin tetangga iri. Tapi kenyataannya? Dunia lebih sering membentangkan karpet yang bikin saya tergelincir. Dan tahukah Anda, tidak ada yang lebih lucu sekaligus tragis daripada kepercayaan diri seorang mantan “anak ajaib” yang tiba-tiba sadar bahwa hidup tidak semudah itu. Contohnya, waktu saya pertama kali ikut seminar pengembangan diri di kampus. Judulnya keren, semacam "Unlock Your Potential and Be Your Best Self." Saya duduk di barisan depan, bawa notes, siap mencatat pencerahan hidup. Pembicaranya mulai dengan kalimat, “Semua orang punya potensi besar, hanya butuh usaha dan konsistensi.” Di kepala saya, langsung muncul pikiran, "Usaha? Konsistensi? Aduh, ini kok ribet banget ya." Akhirnya, saya malah sibuk menggambar doodle di sudut notes saya dan berpikir, "Kayaknya hidup saya udah cukup unlock, deh." Spoiler alert: ternyata hidup saya masih terkunci rapat sampai sekarang.

    Lalu ada juga momen waktu saya mencoba belajar coding. Sebagai seseorang yang dulu dianggap “bocah jenius,” saya pikir belajar coding bakal seperti mempelajari bahasa alien—aneh tapi saya pasti jago. Jadi, saya buka tutorial Python, dan kalimat pertama yang saya baca adalah, “Hello, World!” Saya senyum puas, “Gampang nih.” Tapi setelah tiga jam berkutat, saya cuma berhasil membuat kode yang bikin laptop saya hang. Rasanya seperti mencoba memecahkan rubik dengan mata tertutup. Bahkan Google mulai capek menjawab pertanyaan saya: “Why Python code error please fix help urgent.”

    Dan soal masak? Jangan ditanya. Setelah gagal memasak telur dadar, saya pikir saya harus memulai dari yang lebih sederhana. Saya coba bikin mi instan. Tapi ajaibnya, bahkan mi instan pun berakhir seperti eksperimen sains yang gagal. Kuahnya terlalu banyak, mie-nya kelembekan, dan entah kenapa ada rasa gosong padahal cuma direbus. Saya duduk di depan mangkuk itu, memandangi hasil karya saya, lalu berpikir, "Ini sih bukan akhir dunia, tapi mungkin ini awal dari sesuatu yang sangat mengkhawatirkan."

    Belum lagi urusan asmara—atau lebih tepatnya, ketidakadaan asmara. Sebagai seseorang yang tumbuh dengan membaca novel-novel berat waktu kecil, saya punya ekspektasi cinta yang tinggi. Saya pikir jatuh cinta itu akan seperti kisah di buku-buku klasik: penuh metafora, percakapan yang berbobot, dan pergolakan batin yang dramatis. Tapi kenyataannya, jangankan jatuh cinta, bicara dengan lawan jenis saja sudah jadi tantangan. Ada momen di mana saya mencoba berbasa-basi dengan seorang teman sekelas yang menurut saya cukup menarik. Dalam otak saya, percakapan itu akan mengalir lancar seperti dialog di film romantis. Tapi apa yang keluar? “Eh, kamu kalau ke kampus biasanya naik apa? Aku kayaknya pernah lihat kamu... kayak, gak tahu juga sih.” Percakapan itu mati dalam hitungan detik, dan saya berakhir mendoakan lantai supaya menelan saya hidup-hidup. Jadi, jika cinta di novel adalah puisi, cinta di hidup saya saat ini lebih mirip esai acak yang belum selesai ditulis. Tapi ya sudahlah, setidaknya saya punya cerita lucu untuk ditertawakan sendiri di tengah malam.

   Di kampus, drama ini makin intens. Saya pernah ditunjuk jadi ketua kelompok diskusi secara dadakan. Dengan percaya diri, saya buka presentasi dengan, “Hari ini kita akan membahas teori relativitas.” Tapi entah kenapa, saya malah terjebak menjelaskan sesuatu yang bahkan saya sendiri ga paham. Akhirnya, saya mengakhiri presentasi dengan kalimat: “Pokoknya, teori ini penting banget. Ada pertanyaan?” Semua diam, lalu teman saya yang terkenal suka ngemil cuma angkat tangan dan bilang, “Kapan makan siang?”

    Tapi hei, hidup itu kan penuh absurditas, ya? Di balik semua kekonyolan ini, saya mulai belajar tertawa. Ternyata, kunci menjalani hidup bukanlah menjadi sempurna, tapi bagaimana kita bisa menertawakan diri sendiri. Karena, jujur saja, kalau nggak ada momen-momen kocak ini, hidup bakal terasa seperti esai ilmiah tanpa paragraf humor—kaku dan membosankan. Jadi, kalau hidup saya adalah sebuah komedi, maka saya adalah pemain utamanya. Dan itu, bagi saya, sudah lebih dari cukup.