Dalam setiap perjalanan hidup, kita selalu dihadapkan pada tantangan yang mendorong kita keluar dari zona nyaman. Ada yang harus beradaptasi dengan lingkungan baru, ada yang belajar memahami disiplin ilmu yang berbeda, dan ada pula yang, seperti saya saat ini, mendapati diri terjebak dalam situasi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya berdiri di panggung mengikuti ajang Putra Putri Counseling, berusaha tampil anggun, percaya diri, dan… belajar catwalk.

    Sejujurnya, jika hidup ini adalah skenario yang bisa saya pilih, saya mungkin lebih memilih jalur yang penuh dengan buku teori dan diskusi mendalam tentang psikologi manusia. Namun, takdir (atau barangkali keputusan impulsif saya sendiri) membawa saya ke arena di mana estetika, kepercayaan diri, dan komunikasi nonverbal menjadi kunci utama. Ini adalah semesta yang berbeda dari keseharian saya, tempat di mana bahasa tubuh berbicara lebih lantang dari kata-kata, dan di mana melangkah dengan tepat bisa sama pentingnya dengan menyusun argumen yang kuat. Jika ini anime, mungkin ini adalah episode spesial di mana karakter utama harus menghadapi tantangan di luar keahliannya. Jika ini adalah dunia isekai, saya pasti baru saja dipindahkan ke realitas di mana keseimbangan tubuh lebih penting daripada keseimbangan teori.

    Dunia ini penuh paradoks. Di satu sisi, saya memahami konsep Halo Effect, yang menjelaskan bagaimana kesan pertama seseorang dapat mempengaruhi penilaian secara keseluruhan. Saya tahu bahwa dalam ajang ini, bukan hanya isi pikiran yang dinilai, tetapi juga bagaimana saya membawa diri, bagaimana saya berbicara, dan ya bagaimana saya berjalan. Di sisi lain, pemahaman saya tentang teori ini tidak serta-merta membuat saya bisa mengaplikasikannya dengan mulus. Knowing is not the same as doing, dan ini adalah kenyataan yang harus saya hadapi.

    Ketika pertama kali mengikuti sesi latihan catwalk, saya datang dengan harapan bahwa ini akan seperti belajar skill baru yang bisa saya kuasai dalam beberapa jam. Well, saya salah besar. Bayangkan seseorang yang terbiasa berjalan dengan langkah cepat dan fokus ke tujuan, lalu tiba-tiba harus berjalan perlahan, mengikuti ritme, dengan postur tegap dan ekspresi wajah yang tetap tenang. Itu saya. Jika gerakan saya bisa dikategorikan, mungkin ia berada di antara robot yang sistemnya baru saja crash dan seseorang yang mencoba menyeimbangkan diri di atas kapal yang terombang-ambing.

Pelatih berkata, "Jangan tegang, jalanmu harus mengalir."Saya mencoba. Saya gagal. Saya merasa seperti program yang butuh debugging.

"Jangan menunduk, harus percaya diri."Saya mencoba lagi. Kini saya lebih terlihat seperti seseorang yang baru pertama kali belajar berjalan setelah sekian lama bertapa di gunung.

    Di titik ini, saya mulai mempertanyakan banyak hal. Mengapa saya di sini? Apakah saya benar-benar harus bisa catwalk hanya untuk menunjukkan bahwa saya layak dalam ajang ini? Mengapa saya lebih canggung daripada peserta lain? Apakah ada kemungkinan bahwa saya sebenarnya NPC dalam game ini, bukan karakter utama?

   Namun, semakin saya merenung, semakin saya menyadari bahwa pengalaman ini bukan sekadar tentang catwalk atau makeup. Ini tentang sesuatu yang lebih mendalam tentang keberanian melangkah di tempat yang asing, tentang menantang diri untuk berkembang, dan tentang menerima bahwa kita tidak harus selalu unggul dalam segala hal sejak awal.

    Saya ingat konsep growth mindset yang dikembangkan oleh Carol Dweck. Orang dengan fixed mindset akan melihat tantangan ini sebagai bukti ketidakmampuan, sementara mereka yang memiliki growth mindset akan melihatnya sebagai peluang untuk belajar dan bertumbuh. Saya sadar bahwa awalnya saya memiliki pola pikir yang salah saya berpikir bahwa dunia ini "bukan tempat saya." Tapi jika saya terus berpegang pada asumsi itu, bukankah saya justru membatasi diri sendiri?

    Maka, saya memutuskan untuk terus berjalan secara harfiah dan metaforis. Saya belajar untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri, menerima bahwa tersandung adalah bagian dari proses, dan memahami bahwa tidak ada yang langsung sempurna dalam satu malam. Jika seorang pemula seperti saya bisa bertahan di panggung ini, maka siapa pun bisa.

   Lantas, apakah saya sekarang sudah ahli dalam catwalk? Oh, tentu tidak. Jika saya harus berjalan di runway Paris Fashion Week, saya mungkin masih akan terlihat seperti seseorang yang baru belajar keseimbangan. Tapi setidaknya, saya telah membuktikan satu hal pada diri sendiri: bahwa saya bisa menghadapi tantangan di luar zona nyaman saya, bahwa saya bisa melangkah meskipun awalnya ragu, dan bahwa saya bisa tetap berdiri di panggung ini meskipun saya yang tidak bisa catwalk.

   Saya mulai menerima kenyataan bahwa ada dua tipe orang di dunia ini: mereka yang lahir dengan bakat berjalan anggun seperti peri di atas embun pagi, dan mereka yang jika disuruh catwalk malah terlihat seperti bayi jerapah yang baru lahir tebak saya masuk kategori yang mana?

   Pelatih catwalk saya sudah hampir putus asa. Setiap kali saya melangkah, ekspresinya berubah seperti AI yang baru saja mengalami error. “Santai aja, jangan tegang!” katanya. Saya pun mencoba santai. Hasilnya? Langkah saya malah seperti orang yang baru selesai dikerok angin duduk tapi berusaha tegar.

   Lalu saya diberi instruksi lagi: “Jangan terlalu banyak gerak, biarkan tubuhmu mengikuti alur.” Masalahnya, alur yang mana? Kalau dibiarkan begitu saja, tubuh saya lebih mirip karakter NPC dalam game yang jalannya nabrak tembok daripada seorang peserta ajang prestisius.

    Ketika akhirnya saya berhasil berjalan sedikit lebih baik setidaknya tidak terlihat seperti orang yang habis kejedot pintu tiba-tiba ada tantangan baru: ekspresi wajah! Saya disuruh untuk tersenyum elegan dan percaya diri. Itu mudah bagi mereka yang sudah terbiasa, tapi bagi saya, ini seperti meminta kucing untuk berenang. Saya tersenyum, tapi hasilnya lebih mirip orang yang baru sadar utangnya jatuh tempo.

    Sejujurnya, jika ada yang merekam perjalanan saya dalam belajar catwalk, saya yakin bisa dijadikan studi kasus dalam psikologi perilaku. Dari ekspresi bingung, canggung, hingga pasrah, semuanya ada. Tapi di balik kekacauan ini, ada satu hal yang perlahan mulai saya pahami: percaya diri bukan datang dari kesempurnaan, tapi dari keberanian untuk terus mencoba meskipun kita sadar masih jauh dari kata sempurna.

    Saya pun mulai menyesuaikan diri. Jika sebelumnya saya berjalan seperti WiFi yang koneksinya putus-putus, kini setidaknya saya sudah bisa stabil meskipun kecepatannya masih “3G.”

    Tapi drama belum selesai. Setelah catwalk, tibalah sesi tanya jawab. Kalau ini kompetisi rebahan, saya pasti juara, tapi sayangnya ini ajang di mana public speaking adalah kuncinya. Saya duduk di ruang tunggu sambil melihat peserta lain dengan penuh kekaguman. Mereka begitu fasih berbicara, ekspresi mereka tenang, suara mereka mantap. Sementara saya? Saya berusaha menenangkan diri dengan cara ilmiah: mengulang-ulang dalam hati bahwa ini hanya spotlight effectbahwa orang lain sebenarnya tidak seobsesif itu memperhatikan kesalahan saya.

Apakah itu berhasil? Tidak.

   Begitu giliran saya maju, otak saya seperti Windows yang baru saja update loading lama dan masih belum jelas apakah sistemnya berjalan dengan benar. Saya mencoba berbicara dengan tenang, tapi di dalam kepala saya terdengar suara lain: “Ngomong apa sih tadi? Kok kedengarannya nggak kayak di latihan?”

    Tapi anehnya, justru di momen inilah saya menyadari sesuatu yang lebih penting. Saya menyadari bahwa ketidaksempurnaan itu bukan sesuatu yang harus ditakuti. Nyatanya, semua orang di ruangan ini juga pernah menjadi pemula. Bahkan orang yang terlihat paling percaya diri pun pasti pernah mengalami momen di mana mereka merasa tidak cukup baik.

    Jadi, apakah saya sekarang sudah jago catwalk? Masih jauh. Apakah saya sudah menjadi pembicara publik yang karismatik? Masih butuh banyak latihan. Tapi apakah saya menyesal ikut pengalaman ini? Sama sekali tidak. Saya datang dengan langkah yang kaku dan ketakutan, tapi saya pulang dengan cerita, pengalaman, dan tentu saja keseimbangan yang lebih baik saat berjalan pakai high heels. Jadi, untuk kalian yang merasa ragu dalam mencoba hal baru, ingatlah satu hal: kalau saya yang tidak bisa catwalk saja berani melangkah di panggung, kalian juga pasti bisa menghadapi tantangan kalian sendiri. Mungkin awalnya akan terasa aneh, mungkin kalian akan merasa seperti NPC yang kehilangan skrip, tapi selama kalian terus maju, itu sudah cukup.

Setelah pengalaman nyaris mencetak rekor sebagai peserta dengan langkah paling kreatif dalam sejarah catwalk, saya pikir penderitaan saya sudah berakhir. Tapi ternyata, masih ada satu tantangan lagi: sesi foto.

Kalau ada satu hal yang lebih sulit daripada berjalan anggun, itu adalah pose elegan tanpa terlihat seperti karakter game yang animasinya belum selesai dirender.

“Santai aja, ekspresinya jangan tegang,” kata fotografer dengan penuh kesabaran.

Masalahnya, saya bukan model profesional yang bisa langsung masuk mode Vogue dalam hitungan detik. Saya mencoba tersenyum natural, tapi hasilnya lebih mirip senyum customer service yang sudah bekerja 12 jam tanpa istirahat.

Lalu datanglah tantangan berikutnya: pose tangan.

Saya nggak pernah menyangka kalau saya bisa overthinking hanya karena sebuah tangan. Taruh di pinggang? Terlihat seperti emak-emak yang mau negur tetangga soal jemuran. Lipat tangan? Terlihat seperti kepala sekolah yang sedang menilai kelakuan muridnya. Akhirnya saya mencoba letakkan tangan di depan, tapi kok malah mirip orang yang lagi antre sembako?

Dan jangan lupakan tatapan mata. Saya disuruh memberikan ekspresi “elegan tapi fierce.” Saya mencoba, tapi refleksi di layar kamera malah menampilkan seseorang yang ekspresinya seperti baru ingat kalau lupa cabut charger semalaman.

Sesi foto itu berjalan lebih lama dari yang saya kira. Saya mencoba berbagai pose, tapi saya yakin di kepala fotografer, dia sedang menahan diri untuk tidak bilang, “Mbak, ini foto buat majalah fashion, bukan buat SIM baru.”

Setelah akhirnya mendapatkan satu-dua foto yang bisa diselamatkan (setidaknya tidak ada ekspresi ‘kepikiran tugas’ di wajah saya), saya merasa lega. Tapi ternyata, pengalaman belum selesai.

Ada momen evaluasi. Saya pikir ini akan menjadi sesi refleksi penuh inspirasi. Tapi tidak. Saya justru mendapatkan momen terkejut saat melihat rekaman latihan catwalk saya sendiri.

Bayangkan momen di mana kamu berpikir kamu sudah melakukan sesuatu dengan cukup baik, lalu melihat rekamannya dan menyadari bahwa di kenyataan, gerakanmu lebih mirip orang yang baru belajar jalan pakai VR headset.

Saat video itu diputar, saya hanya bisa menatap layar dengan perasaan campur aduk antara malu, geli, dan pasrah. Saya melihat diri saya sendiri melangkah dengan ritme yang kurang stabil, ekspresi wajah bingung, dan momen-momen di mana saya nyaris kehilangan keseimbangan.

Lalu, tiba-tiba, sesuatu yang aneh terjadi: saya tertawa.

Bukan tertawa menertawakan diri sendiri dengan rasa malu, tapi tertawa karena saya sadar bahwa ini semua adalah bagian dari proses. Semua orang pernah punya momen canggung saat belajar hal baru. Semua orang pernah merasa jadi ‘NPC error’ dalam situasi yang belum mereka kuasai. Dan justru itulah yang membuat perjalanan ini menyenangkan.

Saya mulai berpikir: kalau saya bisa tertawa melihat kekonyolan saya sendiri, bukankah itu artinya saya sudah berkembang? Dulu saya mungkin akan stres dan overthinking berhari-hari tentang performa saya yang tidak sempurna. Tapi sekarang, saya bisa melihatnya dengan sudut pandang yang lebih santai.

Dan di situlah saya menyadari satu hal lagi: percaya diri bukan soal menjadi sempurna, tapi soal menerima diri sendiri apa adanya termasuk dengan segala keanehan dan kekonyolan kita.

    Dalam setiap langkah yang saya ambil di panggung ini, saya belajar bukan hanya tentang catwalk, tetapi tentang kepercayaan diri, penerimaan diri, dan keberanian untuk melangkah meskipun tahu bahwa saya mungkin akan terlihat konyol di awal. Karena pada akhirnya, hidup bukan hanya tentang menampilkan versi terbaik dari diri kita, tetapi juga tentang menerima setiap proses yang membawa kita ke titik tersebut.

    Jadi, meskipun saya belum bisa melangkah seanggun model profesional, saya telah melangkah lebih jauh dari yang pernah saya bayangkan. Dan bagi saya, itu sudah merupakan kemenangan tersendiri.

 

Kata Mereka Saya Wanita yang Sulit, Lalu Apa Masalahnya?

24 January 2025 19:01:39 Dibaca : 58

     Kata orang, saya sulit. Nah, begini: saya tidak membantah, tapi saya juga tidak merasa itu masalah besar. Dunia ini, secara alami, penuh dengan hal-hal yang sulit. Alam semesta saja tidak bisa dimengerti hanya dengan satu rumus. Jadi, mengapa manusia harus lebih sederhana dari galaksi? Tapi, serius, apa sebenarnya yang dimaksud dengan "sulit"? Saya yakin, bagi banyak orang, sulit itu artinya saya tidak sesuai dengan skema standar mereka. Misalnya, saya suka bertanya balik saat diberi jawaban yang terdengar... ya, asal. Kalau seseorang bilang, "Ya, begitulah hidup," saya langsung refleks, "Begitu bagaimana? Hidup siapa dulu?" Bukan karena saya ingin mengganggu mereka, tapi lebih karena, secara neurologis, otak saya terprogram untuk mencari pola. Itu kebiasaan saya: menggali sampai akar, bahkan kalau itu artinya saya bikin orang lain merasa tidak nyaman. 

     Bicara soal pola, mari kita bahas otak perempuan (termasuk otak saya yang katanya, 'terlalu banyak bekerja'). Tahukah Anda, ada penelitian menarik dari Ragini Verma dan timnya di University of Pennsylvania (2013). Otak perempuan itu lebih aktif dalam hal koneksi antarbelahan otak? Itu sebabnya saya bisa berpikir logis sambil memikirkan perasaan Anda. Jadi, kalau Anda merasa saya terlalu "rumit," mungkin itu karena saya memproses variabel yang bahkan Anda belum sadari. Rumit? Ya, tapi juga efisien. Sebenarnya, saya tidak pernah melihat diri saya sebagai seseorang yang sulit. Saya lebih merasa seperti teka-teki. Tahu, kan, puzzle 1000 keping yang gambarnya langit biru? Itu saya. Ribet? Tentu. Tapi saat Anda berhasil menyelesaikan gambarnya, pemandangannya luar biasa.

      Lucunya, saya pernah bertanya ke seorang teman, “Kenapa orang sering bilang saya sulit?” Jawabannya begini: “Karena kamu suka bikin orang mikir ulang keputusan mereka.” Saya tertawa. Itu pujian atau kritik? Sampai sekarang, saya tidak yakin. Tapi, ya sudahlah. Kalau saya bisa membuat orang berpikir lebih baik, itu berarti kehadiran saya ada gunanya, bukan?  Intinya, sulit itu bukan hal buruk. Sulit itu seni. Sulit adalah ketika Anda tidak membiarkan diri Anda menjadi versi setengah jadi hanya karena takut membuat orang lain pusing. Jadi, kalau saya sulit, itu bukan karena saya ingin merepotkan hidup Anda. Itu karena saya tahu, hidup tanpa tantangan itu seperti film tanpa plot twist: membosankan. Lalu, bagaimana dengan Anda? Apakah Anda tidak ingin mencoba jadi sedikit lebih sulit juga? Jangan takut. Dunia ini sudah penuh dengan hal-hal mudah. Sulitlah, dan buat hidup ini lebih menarik. Toh, seperti yang saya bilang tadi, manusia itu tidak lebih sederhana dari galaksi.  Intinya, menjadi "sulit" itu bukan masalah (itu justru cerminan dari pemikiran yang tidak pernah berhenti).

    Jika hidup ini hanya tentang mengikuti alur yang sudah ditentukan, saya rasa kita semua akan terjebak dalam rutinitas yang membosankan. Sulit itu memaksa kita untuk berpikir lebih dalam, untuk mengeksplorasi lebih jauh, dan untuk menantang diri kita sendiri, serta orang lain, untuk menjadi lebih dari sekadar yang tampak di permukaan. Bahkan, saya pernah menonton sebuah video yang membahas tentang bagaimana memahami seorang perempuan dan oh, itu sangat menggugah. Dalam video itu, dijelaskan bahwa banyak orang yang bingung dengan pola pikir perempuan, dan mereka sering kali menganggap bahwa "iya" berarti "iya" dan "tidak" berarti "tidak." Tapi, kenyataannya, bukan itu yang terjadi. Kalau saya harus menjelaskannya dengan cara yang lebih filosofis, jika seorang perempuan bilang "iya," bisa saja itu berarti "tidak," dan kalau dia bilang "tidak," bisa jadi itu justru "iya." Pusing? Tenang, saya juga pusing pada awalnya. Tapi kemudian, saya mulai memahami lebih dalam bahwa ada banyak lapisan dalam setiap kata, dan dalam setiap niat, yang tidak bisa hanya diukur dengan satu definisi sederhana.

     Pada dasarnya, konsep "iya" dan "tidak" dalam dunia perempuan, atau bahkan manusia secara umum, lebih kompleks daripada yang kita kira. Ada nuansa, ada konteks yang harus diperhitungkan bahkan kadang, dalam keheningan, ada jawaban yang lebih besar daripada kata-kata. Jadi, ketika saya bilang "iya," itu bisa jadi berarti saya ingin lebih banyak ruang untuk berbicara. Ketika saya bilang "tidak," itu bisa jadi saya sedang memberi Anda kesempatan untuk menunjukkan lebih banyak usaha.  Susah dimengerti? Pasti. Tapi justru di situlah keindahannya. Setiap interaksi, setiap kata yang diucapkan atau tidak diucapkan, adalah kesempatan untuk belajar lebih banyak, untuk menggali lebih dalam. Jika Anda bisa memahami kompleksitas ini, Anda akan tahu bahwa sulit itu bukanlah penghalang justru itu adalah pintu menuju kedalaman yang lebih dalam, tempat di mana kita bisa benar-benar melihat orang lain untuk siapa mereka sebenarnya. Jadi, kalau Anda merasa pusing mencoba memahami saya, atau siapa pun, itu bukan karena Anda salah. Itu karena dunia ini tidak diciptakan untuk dipahami dalam sekali pandang.

     Butuh waktu, usaha, dan, tentu saja, sedikit "sulit" untuk mengerti bahwa di balik setiap "iya" dan "tidak" ada dunia penuh makna yang menunggu untuk dijelajahi. Begitulah hidup, kan? Semua yang bernilai sering kali datang dengan tantangan, dengan usaha lebih, dengan "kesulitan" yang justru membuatnya lebih berharga. Dan bicara soal kesulitan, ada hal menarik yang saya temui: (seorang pria entah dia sadar atau tidak akan menginginkanmu justru jika kamu seorang wanita yang sulit). Pikirkan tentang ini: seorang pria yang mencari wanita yang mudah ditebak, yang segalanya sudah jelas dan terbuka, mungkin akan merasa puas, tapi takkan ada sensasi, tak ada ketegangan dalam hubungan itu. Sedangkan seorang wanita yang "sulit" yang penuh lapisan, yang punya pemikiran yang tidak mudah dipahami, yang mengundang rasa penasaran dan keinginan untuk lebih mengenal, untuk menggali lebih dalam  itu akan membuat pria tertantang.

     Ini bukan soal permainan, bukan soal membuat orang lain merasa bingung demi kesenangan, tapi lebih pada kenyataan bahwa seseorang yang sulit itu menciptakan ruang untuk kedalaman, untuk pemahaman yang lebih besar, untuk koneksi yang lebih kuat. Kenapa begitu? Sederhana: sesuatu yang mudah didapatkan cenderung cepat kehilangan nilai. Tapi sesuatu yang sulit dicapai akan selalu membuat orang berusaha lebih keras. Ini adalah prinsip dasar dalam banyak aspek kehidupan, termasuk dalam hubungan antar manusia. Ketika seseorang merasa seperti mereka harus berjuang untuk mendapatkan perhatian atau untuk memahami kamu, mereka akan merasa lebih terikat, lebih tertantang, dan lebih berinvestasi dalam perjalanan itu.

    Kesulitan dalam hubungan bukan berarti drama atau konflik yang tidak sehat, melainkan tentang menciptakan dinamika yang penuh rasa ingin tahu, penuh pemikiran, penuh tantangan di mana keduanya belajar dan tumbuh bersama.

     Dan bukan berarti kita harus bermain-main dengan perasaan orang lain. Yang saya maksud adalah, menjadi diri sendiri, menjadi pribadi yang punya prinsip, yang tidak langsung mengungkapkan segala hal dengan mudah, yang membuat orang berpikir dua kali tentang apa yang mereka katakan atau lakukan. Ketika seorang pria merasa dia perlu belajar tentangmu, mencari tahu apa yang ada di balik kata-kata dan tindakanmu, maka dia akan menginginkanmu bukan hanya karena penampilanmu, tetapi karena kedalaman dan misteri yang kamu bawa. Tentu saja, tidak semua pria akan siap untuk itu. Beberapa mungkin lebih suka yang mudah, yang nyaman, yang sudah pasti. Tapi yang menarik adalah, yang "sulit" ini tidak untuk semua orang tapi hanya untuk mereka yang siap menghadapinya. Mereka yang berani mendalami, mengerti, dan menghargai semua lapisan yang ada. Dan ketika seorang pria berhasil melewati tantangan itu, ketika dia mengerti "sulit"-mu, maka hubungan itu tidak hanya akan bertahan tapi akan menjadi lebih kuat dan lebih berarti.

     Karena pada akhirnya, hanya yang mampu memahami yang akan menghargai dan mencintai segala sesuatu yang sulit, yang bahkan tak terucapkan. Jadi, jika saya sulit, biarkan saya menjadi sulit. Jika Anda tidak siap untuk itu, mungkin Anda belum siap untuk saya. Tapi jika Anda siap untuk menggali, untuk bertanya, untuk tidak puas hanya dengan jawaban yang sederhana, saya janji, Anda akan menemukan harta yang lebih berharga daripada sekadar kemudahan. 

    Waktu kecil, saya benar-benar yakin bahwa saya adalah keajaiban dunia kedelapan semacam mahakarya kosmos yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Bagaimana tidak? Orang-orang di sekitar saya memperlakukan saya seperti manuskrip kuno yang harus dijaga dengan penuh kehati-hatian, sambil terus memuji betapa "spesialnya" saya. Sejak kecil, saya bisa menyelesaikan soal matematika dengan kecepatan yang membuat teman-teman sekelas tercengang, membaca buku tanpa ilustrasi layaknya seorang sarjana kecil, dan menulis esai tentang menyelamatkan dunia di usia 10 tahun. Bahkan kucing tetangga pun, saya pikir, menganggap saya sebagai sosok yang terhormat. Namun, tak seorang pun memperingatkan saya bahwa "spesial" bisa menjadi beban yang sangat berat. Kata itu seperti duri tersembunyi dalam bunga mawar indah untuk dipandang, tapi menyakitkan jika terlalu erat digenggam. Di usia belia, saya mulai merasa bahwa keistimewaan saya bukan lagi sesuatu yang membebaskan, melainkan penjara yang dibangun dari ekspektasi. Setiap keberhasilan kecil hanya menambah batu bata pada dinding itu, dan pada akhirnya, saya kehilangan ruang untuk bernapas.

    Pujian yang dulu seperti pelangi kini berubah menjadi awan kelabu. Ketika saya masuk masa remaja, dunia mulai menunjukkan wajah aslinya: kompetisi. Di sekolah menengah, tak ada yang peduli dengan kemampuan saya membaca tabel periodik. Mereka lebih tertarik pada siapa yang bisa mencetak gol di lapangan atau memenangkan lomba cheerleading. Dan di sinilah semua ilusi saya runtuh. Ternyata, menjadi "spesial" saja tidak cukup. Anda harus membuktikan diri berkali-kali, setiap hari, tanpa henti. Dunia bukan tempat untuk mereka yang sekadar berbakat; dunia adalah arena bagi mereka yang tahu bagaimana bertahan dalam ketidaksempurnaan. Masuk usia belasan tahun , saya mulai melihat dunia dari sudut pandang yang lebih sinis atau mungkin realistis. Dunia tidak lagi tertarik pada kehebatan masa lalu. Ia hanya peduli pada apa yang bisa Anda hasilkan sekarang, detik ini juga. Dan saya? Saya mulai sadar bahwa saya sama sekali tidak tahu bagaimana memulai sesuatu dari nol. Hidup saya selalu tentang hasil akhir, bukan proses. Ketika mencoba memasak untuk pertama kalinya dan hasilnya berantakan, saya merasa seperti kegagalan terbesar umat manusia. Ironis, bukan? Saya yang dulu yakin bisa menyelamatkan dunia, kini gagal membuat sepiring telur dadar.

    Lalu saya menemukan istilah "gifted kid burnout," dan seperti pencerahan, saya mulai memahami pola yang selama ini menghantui hidup saya. Saya tidak takut gagal; saya takut terlihat tidak sempurna. Saya terbiasa berada di atas, sehingga saat menghadapi tantangan nyata, saya tidak tahu harus mulai dari mana. Proses belajar yang penuh trial-and-error terasa seperti mimpi buruk. Dan saya menyadari satu hal penting: selama ini, saya terlalu sibuk mengejar validasi hingga lupa menikmati perjalanan. Kuliah, yang dulu saya bayangkan sebagai ajang diskusi mendalam tentang teori besar, ternyata lebih sering tentang bagaimana bertahan hidup dengan tiga jam tidur dan setumpuk tugas yang menunggu. Dunia akademik itu seperti hutan belantara, dengan dosen sebagai predator dan deadline sebagai jebakan yang siap melumat Anda kapan saja. Saat pertama kali menghadapi ujian, saya merasa seperti ksatria tanpa perisai, melawan naga soal-soal yang terlalu rumit untuk dinalar. Lucunya, saya masih sempat berharap soal ujian akan berupa pertanyaan filosofis seperti "Apa makna hidup menurut teori relativitas?" Tapi kenyataannya? Lebih mirip kuis trivia yang entah bagaimana terasa lebih berat daripada makna eksistensial.

    Diskusi kelompok? Jangan tanya. Itu selalu berakhir dengan semua mata tertuju pada saya, yang konon selalu siap (kata mereka). Padahal, saya hanya menumpuk pengetahuan instan dari artikel acak yang saya baca beberapa jam sebelum pertemuan. Dalam hati, saya sering bertanya-tanya, apakah menjadi dewasa benar-benar seperti ini—selalu berpura-pura tahu, selalu berusaha mengejar sesuatu yang terasa tak pernah cukup? Namun, di tengah semua kekacauan ini, saya mulai belajar satu hal penting. Hidup bukanlah tentang menjadi sempurna, melainkan tentang terus mencoba, gagal, dan bangkit lagi. Dan mungkin, itulah keajaiban sejati—kemampuan untuk menerima ketidaksempurnaan sebagai bagian dari perjalanan, bukan akhir dari segalanya.

    Dulu, saya pikir dunia ini akan membentangkan karpet merah untuk saya hanya karena IQ saya sempat menyentuh angka yang bikin tetangga iri. Tapi kenyataannya? Dunia lebih sering membentangkan karpet yang bikin saya tergelincir. Dan tahukah Anda, tidak ada yang lebih lucu sekaligus tragis daripada kepercayaan diri seorang mantan “anak ajaib” yang tiba-tiba sadar bahwa hidup tidak semudah itu. Contohnya, waktu saya pertama kali ikut seminar pengembangan diri di kampus. Judulnya keren, semacam "Unlock Your Potential and Be Your Best Self." Saya duduk di barisan depan, bawa notes, siap mencatat pencerahan hidup. Pembicaranya mulai dengan kalimat, “Semua orang punya potensi besar, hanya butuh usaha dan konsistensi.” Di kepala saya, langsung muncul pikiran, "Usaha? Konsistensi? Aduh, ini kok ribet banget ya." Akhirnya, saya malah sibuk menggambar doodle di sudut notes saya dan berpikir, "Kayaknya hidup saya udah cukup unlock, deh." Spoiler alert: ternyata hidup saya masih terkunci rapat sampai sekarang.

    Lalu ada juga momen waktu saya mencoba belajar coding. Sebagai seseorang yang dulu dianggap “bocah jenius,” saya pikir belajar coding bakal seperti mempelajari bahasa alien—aneh tapi saya pasti jago. Jadi, saya buka tutorial Python, dan kalimat pertama yang saya baca adalah, “Hello, World!” Saya senyum puas, “Gampang nih.” Tapi setelah tiga jam berkutat, saya cuma berhasil membuat kode yang bikin laptop saya hang. Rasanya seperti mencoba memecahkan rubik dengan mata tertutup. Bahkan Google mulai capek menjawab pertanyaan saya: “Why Python code error please fix help urgent.”

    Dan soal masak? Jangan ditanya. Setelah gagal memasak telur dadar, saya pikir saya harus memulai dari yang lebih sederhana. Saya coba bikin mi instan. Tapi ajaibnya, bahkan mi instan pun berakhir seperti eksperimen sains yang gagal. Kuahnya terlalu banyak, mie-nya kelembekan, dan entah kenapa ada rasa gosong padahal cuma direbus. Saya duduk di depan mangkuk itu, memandangi hasil karya saya, lalu berpikir, "Ini sih bukan akhir dunia, tapi mungkin ini awal dari sesuatu yang sangat mengkhawatirkan."

    Belum lagi urusan asmara—atau lebih tepatnya, ketidakadaan asmara. Sebagai seseorang yang tumbuh dengan membaca novel-novel berat waktu kecil, saya punya ekspektasi cinta yang tinggi. Saya pikir jatuh cinta itu akan seperti kisah di buku-buku klasik: penuh metafora, percakapan yang berbobot, dan pergolakan batin yang dramatis. Tapi kenyataannya, jangankan jatuh cinta, bicara dengan lawan jenis saja sudah jadi tantangan. Ada momen di mana saya mencoba berbasa-basi dengan seorang teman sekelas yang menurut saya cukup menarik. Dalam otak saya, percakapan itu akan mengalir lancar seperti dialog di film romantis. Tapi apa yang keluar? “Eh, kamu kalau ke kampus biasanya naik apa? Aku kayaknya pernah lihat kamu... kayak, gak tahu juga sih.” Percakapan itu mati dalam hitungan detik, dan saya berakhir mendoakan lantai supaya menelan saya hidup-hidup. Jadi, jika cinta di novel adalah puisi, cinta di hidup saya saat ini lebih mirip esai acak yang belum selesai ditulis. Tapi ya sudahlah, setidaknya saya punya cerita lucu untuk ditertawakan sendiri di tengah malam.

   Di kampus, drama ini makin intens. Saya pernah ditunjuk jadi ketua kelompok diskusi secara dadakan. Dengan percaya diri, saya buka presentasi dengan, “Hari ini kita akan membahas teori relativitas.” Tapi entah kenapa, saya malah terjebak menjelaskan sesuatu yang bahkan saya sendiri ga paham. Akhirnya, saya mengakhiri presentasi dengan kalimat: “Pokoknya, teori ini penting banget. Ada pertanyaan?” Semua diam, lalu teman saya yang terkenal suka ngemil cuma angkat tangan dan bilang, “Kapan makan siang?”

    Tapi hei, hidup itu kan penuh absurditas, ya? Di balik semua kekonyolan ini, saya mulai belajar tertawa. Ternyata, kunci menjalani hidup bukanlah menjadi sempurna, tapi bagaimana kita bisa menertawakan diri sendiri. Karena, jujur saja, kalau nggak ada momen-momen kocak ini, hidup bakal terasa seperti esai ilmiah tanpa paragraf humor—kaku dan membosankan. Jadi, kalau hidup saya adalah sebuah komedi, maka saya adalah pemain utamanya. Dan itu, bagi saya, sudah lebih dari cukup. 

     Setelah pembaruan Windows 10 baru-baru ini, saya melihat bahwa Microsoft Copilot kini hadir sebagai fitur baru yang begitu mengesankan. Tentu saja, sebagai seseorang yang selalu penasaran dengan segala hal yang berbau teknologi, saya langsung tertarik untuk mengeksplorasi lebih jauh apakah ini benar-benar terobosan dalam dunia teknologi, ataukah sekadar trik pemasaran cerdas yang menjual ilusi kecerdasan? Apakah Copilot ini benar-benar membuat kita lebih produktif, atau malah menunjukkan kepada kita bahwa kita sedang tergantung pada alat yang mengaku cerdas, namun sebenarnya hanyalah hasil pengolahan data besar yang semakin tidak terkontrol? Mari kita mulai dari dasar: AI bukanlah entitas yang memahami. Ia tidak memiliki kesadaran, tidak punya rasa ingin tahu, dan jelas tidak bisa menulis blog ini (meskipun ironisnya, mungkin ia membantu saya melakukannya). AI hanyalah mesin statistik, algoritma yang dirancang untuk mengenali pola dari data yang diberikan. Apa pun yang kita berikan kepadanya baik atau buruk ditelan mentah-mentah, tanpa kritik atau pertanyaan. Ini adalah murid paling patuh yang pernah ada, tetapi justru di situlah masalahnya.

    Dalam banyak hal, kecerdasan buatan (AI) adalah cermin dan bukan sembarang cermin, tetapi cermin yang mencerminkan dunia sebagaimana dunia itu tertangkap dalam data. Tetapi, mari kita berhenti sejenak dan merenung: cermin itu tidak sempurna. Tidak, cermin itu retak, bahkan pecah. Mengapa? Karena data yang mencerminkan dunia ini juga penuh dengan cacat. Data bukanlah entitas yang objektif dan netral; ia dipenuhi oleh bias, ketidaktahuan, bahkan kesalahan manusia yang terselip dalam setiap angka, setiap pola yang kita susun, dan setiap keputusan yang kita buat. Ketika kita berbicara tentang "ketidaktahuan yang teragregasi," kita berbicara tentang hal-hal yang tersembunyi di balik lapisan-lapisan data itu persepsi yang terdistorsi, informasi yang salah, dan kesalahan-kesalahan yang terakumulasi, lalu diperkuat dan dipresentasikan kembali sebagai “pengetahuan” yang tampak sahih. Dan akhirnya, kita sering kali terpesona dengan keindahan penampilan kecerdasan ini, yang kadang sangat mengesankan, tetapi apakah itu benar-benar cerdas?

     Mari kita bawa diskusi ini ke dalam konteks yang lebih praktis. Bayangkan skenario ini: kita meminta AI untuk memberikan rekomendasi medis. Kita memberinya data medis yang terakumulasi selama beberapa dekade terakhir, penuh dengan angka dan variabel, bahkan mungkin dengan algoritma canggih yang menjanjikan solusi cepat. Tetapi, data itu, seperti halnya manusia yang menghasilkan data tersebut, tak luput dari bias. Bias terhadap kelompok tertentu seperti perempuan, orang kulit berwarna, atau mereka yang berada di komunitas yang tidak memiliki akses penuh terhadap layanan kesehatan. Hasilnya, rekomendasi yang diberikan oleh AI mungkin tampak sangat ilmiah sesuatu yang tidak diragukan oleh kebanyakan orang. Tetapi pada kenyataannya, ia tidak lebih dari sekadar memperkuat ketidakadilan yang sudah ada dalam sistem. Apa yang kita anggap sebagai "kecerdasan buatan" hanyalah cara baru untuk memperbesar kesalahan-kesalahan lama kita, dan lebih parahnya menyebutnya sebagai inovasi.

     Di sinilah letak keunikan dari kecerdasan buatan. Kita, sebagai manusia, tampaknya begitu ingin percaya bahwa mesin-mesin ini lebih pintar daripada kita. Mungkin karena kita lelah dengan ketidaktahuan kita sendiri, atau mungkin kita ingin menyerahkan beban keputusan kepada entitas yang tak akan pernah mempertanyakan niat kita. Ini adalah paradoks besar: kita menciptakan AI untuk melampaui batas-batas kemampuan manusia, tetapi, ironisnya, pada akhirnya, AI hanya mencerminkan batasan-batasan kita sendiri. Itu adalah cermin kita yang lebih besar, cermin yang penuh dengan lapisan bias yang kita tinggalkan dalam dunia ini.

     Namun, mari kita luruskan. Jangan salah paham saya tidak bermaksud mengatakan bahwa AI tidak berguna. Dalam banyak hal, ia adalah alat yang luar biasa. Ia dapat menganalisis data dengan kecepatan dan ketepatan yang tidak bisa dicapai oleh manusia. Ia membantu kita menemukan pola-pola yang tersembunyi dalam ribuan atau bahkan jutaan titik data, dan memberikan solusi yang lebih efisien daripada apa yang bisa dilakukan oleh pemikiran manusia biasa. Tetapi, seperti halnya pedang bermata dua, alat ini berbahaya di tangan yang salah. Di tangan yang salah, AI dapat menjadi senjata yang memperburuk prasangka, memperbesar ketimpangan sosial, dan bahkan menjustifikasi ketidaktahuan kita dengan label yang lebih glamor, yaitu “inovasi.”

     Coba bayangkan, jika kita terlalu mempercayakan segalanya kepada AI tanpa pertimbangan manusiawi, kita mungkin akan jatuh dalam jebakan yang disebut "automated bias." Dan pada akhirnya, kita hanya akan terjebak dalam labirin besar yang penuh dengan refleksi diri kita yang salah. Dalam kecanggihan AI, kita mungkin sedang melihat cermin dunia yang telah terdistorsi oleh ketidaktahuan kita sendiri. Jadi, mari kita berhenti sejenak dan bertanya pada diri kita sendiri: Apakah kita benar-benar ingin mempercayakan keputusan-keputusan penting kepada mesin, yang pada akhirnya hanya mencerminkan ketidaktahuan kita yang teragregasi?

Dan akhirnya, untuk menutup pemikiran ini dengan sedikit humor, bayangkan jika AI dihadapkan pada situasi seperti ini: Seorang yang tidak tahu cara membuat kopi. Tentu saja, mesin itu akan memberitahu kita bahwa untuk membuat kopi, kita harus mengikuti algoritma tertentu, menggunakan jumlah gram yang tepat, suhu air yang sempurna, dan menimbang biji kopi dengan presisi tetapi kita semua tahu bahwa sebenarnya, esensi dari secangkir kopi yang baik itu bukan dalam angka-angka, tetapi dalam sentuhan pribadi, dalam rasa yang dirasakan dan pengalaman yang terjalin. Begitu juga dengan kecerdasan buatan meskipun ia bisa menghitung segalanya dengan sempurna, tak ada yang bisa menggantikan sentuhan manusia dalam keputusannya.

     Jadi, saat kita melangkah lebih jauh ke dalam dunia yang semakin dikuasai oleh AI, mari kita tetap menjaga keseimbangan, mempertanyakan, dan tidak tergoda untuk menyerahkan segalanya pada kecerdasan buatan. Karena seperti kata pepatah, "Kecerdasan buatan hanya secerdas pembuatnya." 

Tulisan ini lahir karena serangkaian pengujian yang saya lakukan mengungkap bahwa kepercayaan pada hasil chatbot AI adalah hal yang sangat berisiko. Kueri sederhana yang tampak jelas justru menyisakan ketidakpastian, dan hasilnya lebih banyak mencerminkan keterbatasan daripada kecerdasan. Jadi, gunakan dengan risiko Anda sendiri karena di balik setiap algoritma cerdas, ada ruang untuk kesalahan yang tak terdeteksi.

Aneka Cerita tentang Si Pecinta Apel dan Doodle

03 November 2024 15:19:32 Dibaca : 54

Hai, teman-teman! Kali ini, aku mau berbagi beberapa fakta tentang diriku. Beberapa mungkin bikin kalian senyum, atau bahkan mengernyitkan dahi. Yuk, kita mulai!

1. Apel Jadi camilan Favorit, Tapi Ikan dan Daging Merah? No, Thanks! Setiap hari, aku selalu ngemil apel. Crunchiness-nya itu bikin aku ketagihan! Sejak kecil, aku lebih suka buah-buahan daripada makanan berat. Apel selalu jadi pilihan utama karena rasanya yang segar dan manfaatnya yang banyak. Tapi kalau disuruh makan ikan, daging sapi, atau kambing... hmm, itu semua jauh dari daftar makanan favoritku. Sayuran dan buah-buahan adalah teman setia untuk hidup sehat!

2. Robot Hijau: Sahabat Masa Kecilku Punya mainan yang selalu bikin kamu tersenyum? Aku punya robot hijau yang selalu menemaniku. Dia bukan hanya sekadar mainan, tapi simbol dari masa kecilku yang penuh kenangan. Setiap kali lihat, aku teringat saat-saat bahagia saat bermain dan berimajinasi. Nostalgia banget deh setiap kali lihat!

3. Suka Doodle di Setiap Buku Catatan Setiap kali melihat halaman kosong, otakku langsung pengen doodle. Dari gambar-gambar acak sampai desain warna-warni, semuanya jadi seni mini yang aku buat. Doodle adalah cara aku mengekspresikan diri dan mengalirkan kreativitas. Kreativitas itu memang tidak ada batasnya, kan? Selain itu, doodling juga bisa membantu fokus saat belajar.

4. Latihan Menulis dengan Tangan Kiri Beberapa waktu lalu, aku mulai menulis dengan tangan kiri. Katanya ini bagus buat melatih otak. Latihan ini ternyata challenging banget! But it’s fun, dan sekarang aku bisa sedikit-sedikit pakai dua tangan! Selain melatih koordinasi, ini juga bikin aku lebih kreatif dan fleksibel dalam berpikir.

5. Obsesi dengan Alam Bawah Sadar Hal-hal yang terjadi antara sadar dan tidur selalu menarik perhatianku. Hypnagogic state, atau kondisi setengah tidur, menjadi topik favorit karena banyak ide kreatif muncul di momen itu. Proses kreatif seringkali dipicu oleh mimpi atau hal-hal yang muncul saat kita hampir tidur. Siapa tahu, ide besar berikutnya bisa datang dari situ!

6. Menganggap Diri Sendiri Seperti Karakter dalam Cerita Dalam hidupku, aku merasa seolah-olah aku adalah karakter dalam cerita yang sedang berlangsung. Setiap pengalaman, baik maupun buruk, menjadi bagian dari plot yang membentuk diriku. Kadang, aku bahkan membayangkan bagaimana karakter ini akan berkembang di dalam kisahnya, menjadikan hidupku lebih menarik dan penuh makna.

7. Sudah Siapkan Rancangan Manusia Salju Impian Meski belum pernah main salju asli, aku sudah punya desain manusia salju impian. Ini adalah salah satu impian sederhana yang kutunggu-tunggu. Membayangkan bagaimana rasanya membuat manusia salju dengan semua detailnya membuatku bersemangat. Tinggal nunggu waktu dan salju untuk eksekusi!

8. Playlist Musik Panjang (10+ Jam) Playlist musikku ngga pernah sederhana. Sekali bikin, bisa lebih dari sepuluh jam! Semua lagu itu seperti soundtrack untuk hidupku, mengiringi suasana hatiku kapan pun. Musik adalah bagian penting dari hidupku, dan aku selalu mencari lagu-lagu baru untuk ditambahkan ke dalam daftar putar.

9. Mengumpulkan Souvenir Unik dari Perjalanan Setiap kali traveling, aku suka mengumpulkan barang-barang unik. Dari kerikil yang aneh sampai brosur vintage, setiap barang punya ceritanya sendiri dan bikin nostalgia. Ini seperti membangun galeri kecil di rumah! Souvenir-souvenir ini mengingatkanku pada momen-momen berharga selama perjalanan.

10. Ngobrol dengan Cermin Kadang-kadang, aku suka berdialog dengan bayanganku di cermin. Ini seperti latihan monolog atau curhat kecil. Meskipun terlihat aneh, tapi ini membantu banget buat refleksi diri! Ngobrol dengan diri sendiri membantuku memahami perasaan dan pikiran lebih baik.

11. Paradoks Ingatan yang Sulit Dimengerti Uniknya, aku bisa lupa nama orang yang baru saja kujumpai, tapi wajah dan jalan yang sudah bertahun-tahun kulihat menempel kuat di ingatan. Orang yang mengenalku memiliki dua gambaran yang bertolak belakang: sebagian bilang aku ramah dan ringan tangan, sementara yang lain merasa aku keras dan intimidatif. Ini sering bikin bingung orang lain untuk mendefinisikanku.

12. Percaya Prinsip: Semua Orang Dianggap Jahat Sampai Terbukti Baik Kepercayaanku sederhana: lebih baik curiga sejak awal daripada terluka karena toxic people. Tapi, kalau seseorang sudah jadi teman, aku akan menjaganya selamanya. Pilihan berkawan kutata seketat mungkin, dan aku lebih memilih untuk bergaul dengan orang-orang yang bisa dipercaya.

13. Tidak Pernah Terpikat Gaya Minimalis Gaya hidup minimalis yang populer itu bukan gayaku. Aku lebih suka ruang yang ramai, berisi, dan penuh cerita. Setiap benda punya makna, dan aku tidak ingin menggantikan dengan ‘kosong’ yang sepi. Bagiku, keberadaan banyak benda justru memberikan warna dalam hidup.

Nah, itu dia—tiga belas fakta tentang aku! Semoga kalian terhibur membaca ini. Ada fakta unik tentang diri kalian yang mau dibagikan? Yuk, tulis di kolom komentar!

Thanks for reading, dan sampai jumpa di petualangan berikutnya!