Saya Lupa Betapa Menakutkannya Menjadi Pemula, Tapi Saya Tetap Datang
Dalam setiap perjalanan hidup, kita selalu dihadapkan pada tantangan yang mendorong kita keluar dari zona nyaman. Ada yang harus beradaptasi dengan lingkungan baru, ada yang belajar memahami disiplin ilmu yang berbeda, dan ada pula yang, seperti saya saat ini, mendapati diri terjebak dalam situasi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya berdiri di panggung mengikuti ajang Putra Putri Counseling, berusaha tampil anggun, percaya diri, dan… belajar catwalk.
Sejujurnya, jika hidup ini adalah skenario yang bisa saya pilih, saya mungkin lebih memilih jalur yang penuh dengan buku teori dan diskusi mendalam tentang psikologi manusia. Namun, takdir (atau barangkali keputusan impulsif saya sendiri) membawa saya ke arena di mana estetika, kepercayaan diri, dan komunikasi nonverbal menjadi kunci utama. Ini adalah semesta yang berbeda dari keseharian saya, tempat di mana bahasa tubuh berbicara lebih lantang dari kata-kata, dan di mana melangkah dengan tepat bisa sama pentingnya dengan menyusun argumen yang kuat. Jika ini anime, mungkin ini adalah episode spesial di mana karakter utama harus menghadapi tantangan di luar keahliannya. Jika ini adalah dunia isekai, saya pasti baru saja dipindahkan ke realitas di mana keseimbangan tubuh lebih penting daripada keseimbangan teori.
Dunia ini penuh paradoks. Di satu sisi, saya memahami konsep Halo Effect, yang menjelaskan bagaimana kesan pertama seseorang dapat mempengaruhi penilaian secara keseluruhan. Saya tahu bahwa dalam ajang ini, bukan hanya isi pikiran yang dinilai, tetapi juga bagaimana saya membawa diri, bagaimana saya berbicara, dan ya bagaimana saya berjalan. Di sisi lain, pemahaman saya tentang teori ini tidak serta-merta membuat saya bisa mengaplikasikannya dengan mulus. Knowing is not the same as doing, dan ini adalah kenyataan yang harus saya hadapi.
Ketika pertama kali mengikuti sesi latihan catwalk, saya datang dengan harapan bahwa ini akan seperti belajar skill baru yang bisa saya kuasai dalam beberapa jam. Well, saya salah besar. Bayangkan seseorang yang terbiasa berjalan dengan langkah cepat dan fokus ke tujuan, lalu tiba-tiba harus berjalan perlahan, mengikuti ritme, dengan postur tegap dan ekspresi wajah yang tetap tenang. Itu saya. Jika gerakan saya bisa dikategorikan, mungkin ia berada di antara robot yang sistemnya baru saja crash dan seseorang yang mencoba menyeimbangkan diri di atas kapal yang terombang-ambing.
Pelatih berkata, "Jangan tegang, jalanmu harus mengalir."Saya mencoba. Saya gagal. Saya merasa seperti program yang butuh debugging.
"Jangan menunduk, harus percaya diri."Saya mencoba lagi. Kini saya lebih terlihat seperti seseorang yang baru pertama kali belajar berjalan setelah sekian lama bertapa di gunung.
Di titik ini, saya mulai mempertanyakan banyak hal. Mengapa saya di sini? Apakah saya benar-benar harus bisa catwalk hanya untuk menunjukkan bahwa saya layak dalam ajang ini? Mengapa saya lebih canggung daripada peserta lain? Apakah ada kemungkinan bahwa saya sebenarnya NPC dalam game ini, bukan karakter utama?
Namun, semakin saya merenung, semakin saya menyadari bahwa pengalaman ini bukan sekadar tentang catwalk atau makeup. Ini tentang sesuatu yang lebih mendalam tentang keberanian melangkah di tempat yang asing, tentang menantang diri untuk berkembang, dan tentang menerima bahwa kita tidak harus selalu unggul dalam segala hal sejak awal.
Saya ingat konsep growth mindset yang dikembangkan oleh Carol Dweck. Orang dengan fixed mindset akan melihat tantangan ini sebagai bukti ketidakmampuan, sementara mereka yang memiliki growth mindset akan melihatnya sebagai peluang untuk belajar dan bertumbuh. Saya sadar bahwa awalnya saya memiliki pola pikir yang salah saya berpikir bahwa dunia ini "bukan tempat saya." Tapi jika saya terus berpegang pada asumsi itu, bukankah saya justru membatasi diri sendiri?
Maka, saya memutuskan untuk terus berjalan secara harfiah dan metaforis. Saya belajar untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri, menerima bahwa tersandung adalah bagian dari proses, dan memahami bahwa tidak ada yang langsung sempurna dalam satu malam. Jika seorang pemula seperti saya bisa bertahan di panggung ini, maka siapa pun bisa.
Lantas, apakah saya sekarang sudah ahli dalam catwalk? Oh, tentu tidak. Jika saya harus berjalan di runway Paris Fashion Week, saya mungkin masih akan terlihat seperti seseorang yang baru belajar keseimbangan. Tapi setidaknya, saya telah membuktikan satu hal pada diri sendiri: bahwa saya bisa menghadapi tantangan di luar zona nyaman saya, bahwa saya bisa melangkah meskipun awalnya ragu, dan bahwa saya bisa tetap berdiri di panggung ini meskipun saya yang tidak bisa catwalk.
Saya mulai menerima kenyataan bahwa ada dua tipe orang di dunia ini: mereka yang lahir dengan bakat berjalan anggun seperti peri di atas embun pagi, dan mereka yang jika disuruh catwalk malah terlihat seperti bayi jerapah yang baru lahir tebak saya masuk kategori yang mana?
Pelatih catwalk saya sudah hampir putus asa. Setiap kali saya melangkah, ekspresinya berubah seperti AI yang baru saja mengalami error. “Santai aja, jangan tegang!” katanya. Saya pun mencoba santai. Hasilnya? Langkah saya malah seperti orang yang baru selesai dikerok angin duduk tapi berusaha tegar.
Lalu saya diberi instruksi lagi: “Jangan terlalu banyak gerak, biarkan tubuhmu mengikuti alur.” Masalahnya, alur yang mana? Kalau dibiarkan begitu saja, tubuh saya lebih mirip karakter NPC dalam game yang jalannya nabrak tembok daripada seorang peserta ajang prestisius.
Ketika akhirnya saya berhasil berjalan sedikit lebih baik setidaknya tidak terlihat seperti orang yang habis kejedot pintu tiba-tiba ada tantangan baru: ekspresi wajah! Saya disuruh untuk tersenyum elegan dan percaya diri. Itu mudah bagi mereka yang sudah terbiasa, tapi bagi saya, ini seperti meminta kucing untuk berenang. Saya tersenyum, tapi hasilnya lebih mirip orang yang baru sadar utangnya jatuh tempo.
Sejujurnya, jika ada yang merekam perjalanan saya dalam belajar catwalk, saya yakin bisa dijadikan studi kasus dalam psikologi perilaku. Dari ekspresi bingung, canggung, hingga pasrah, semuanya ada. Tapi di balik kekacauan ini, ada satu hal yang perlahan mulai saya pahami: percaya diri bukan datang dari kesempurnaan, tapi dari keberanian untuk terus mencoba meskipun kita sadar masih jauh dari kata sempurna.
Saya pun mulai menyesuaikan diri. Jika sebelumnya saya berjalan seperti WiFi yang koneksinya putus-putus, kini setidaknya saya sudah bisa stabil meskipun kecepatannya masih “3G.”
Tapi drama belum selesai. Setelah catwalk, tibalah sesi tanya jawab. Kalau ini kompetisi rebahan, saya pasti juara, tapi sayangnya ini ajang di mana public speaking adalah kuncinya. Saya duduk di ruang tunggu sambil melihat peserta lain dengan penuh kekaguman. Mereka begitu fasih berbicara, ekspresi mereka tenang, suara mereka mantap. Sementara saya? Saya berusaha menenangkan diri dengan cara ilmiah: mengulang-ulang dalam hati bahwa ini hanya spotlight effectbahwa orang lain sebenarnya tidak seobsesif itu memperhatikan kesalahan saya.
Apakah itu berhasil? Tidak.
Begitu giliran saya maju, otak saya seperti Windows yang baru saja update loading lama dan masih belum jelas apakah sistemnya berjalan dengan benar. Saya mencoba berbicara dengan tenang, tapi di dalam kepala saya terdengar suara lain: “Ngomong apa sih tadi? Kok kedengarannya nggak kayak di latihan?”
Tapi anehnya, justru di momen inilah saya menyadari sesuatu yang lebih penting. Saya menyadari bahwa ketidaksempurnaan itu bukan sesuatu yang harus ditakuti. Nyatanya, semua orang di ruangan ini juga pernah menjadi pemula. Bahkan orang yang terlihat paling percaya diri pun pasti pernah mengalami momen di mana mereka merasa tidak cukup baik.
Jadi, apakah saya sekarang sudah jago catwalk? Masih jauh. Apakah saya sudah menjadi pembicara publik yang karismatik? Masih butuh banyak latihan. Tapi apakah saya menyesal ikut pengalaman ini? Sama sekali tidak. Saya datang dengan langkah yang kaku dan ketakutan, tapi saya pulang dengan cerita, pengalaman, dan tentu saja keseimbangan yang lebih baik saat berjalan pakai high heels. Jadi, untuk kalian yang merasa ragu dalam mencoba hal baru, ingatlah satu hal: kalau saya yang tidak bisa catwalk saja berani melangkah di panggung, kalian juga pasti bisa menghadapi tantangan kalian sendiri. Mungkin awalnya akan terasa aneh, mungkin kalian akan merasa seperti NPC yang kehilangan skrip, tapi selama kalian terus maju, itu sudah cukup.
Setelah pengalaman nyaris mencetak rekor sebagai peserta dengan langkah paling kreatif dalam sejarah catwalk, saya pikir penderitaan saya sudah berakhir. Tapi ternyata, masih ada satu tantangan lagi: sesi foto.
Kalau ada satu hal yang lebih sulit daripada berjalan anggun, itu adalah pose elegan tanpa terlihat seperti karakter game yang animasinya belum selesai dirender.
“Santai aja, ekspresinya jangan tegang,” kata fotografer dengan penuh kesabaran.
Masalahnya, saya bukan model profesional yang bisa langsung masuk mode Vogue dalam hitungan detik. Saya mencoba tersenyum natural, tapi hasilnya lebih mirip senyum customer service yang sudah bekerja 12 jam tanpa istirahat.
Lalu datanglah tantangan berikutnya: pose tangan.
Saya nggak pernah menyangka kalau saya bisa overthinking hanya karena sebuah tangan. Taruh di pinggang? Terlihat seperti emak-emak yang mau negur tetangga soal jemuran. Lipat tangan? Terlihat seperti kepala sekolah yang sedang menilai kelakuan muridnya. Akhirnya saya mencoba letakkan tangan di depan, tapi kok malah mirip orang yang lagi antre sembako?
Dan jangan lupakan tatapan mata. Saya disuruh memberikan ekspresi “elegan tapi fierce.” Saya mencoba, tapi refleksi di layar kamera malah menampilkan seseorang yang ekspresinya seperti baru ingat kalau lupa cabut charger semalaman.
Sesi foto itu berjalan lebih lama dari yang saya kira. Saya mencoba berbagai pose, tapi saya yakin di kepala fotografer, dia sedang menahan diri untuk tidak bilang, “Mbak, ini foto buat majalah fashion, bukan buat SIM baru.”
Setelah akhirnya mendapatkan satu-dua foto yang bisa diselamatkan (setidaknya tidak ada ekspresi ‘kepikiran tugas’ di wajah saya), saya merasa lega. Tapi ternyata, pengalaman belum selesai.
Ada momen evaluasi. Saya pikir ini akan menjadi sesi refleksi penuh inspirasi. Tapi tidak. Saya justru mendapatkan momen terkejut saat melihat rekaman latihan catwalk saya sendiri.
Bayangkan momen di mana kamu berpikir kamu sudah melakukan sesuatu dengan cukup baik, lalu melihat rekamannya dan menyadari bahwa di kenyataan, gerakanmu lebih mirip orang yang baru belajar jalan pakai VR headset.
Saat video itu diputar, saya hanya bisa menatap layar dengan perasaan campur aduk antara malu, geli, dan pasrah. Saya melihat diri saya sendiri melangkah dengan ritme yang kurang stabil, ekspresi wajah bingung, dan momen-momen di mana saya nyaris kehilangan keseimbangan.
Lalu, tiba-tiba, sesuatu yang aneh terjadi: saya tertawa.
Bukan tertawa menertawakan diri sendiri dengan rasa malu, tapi tertawa karena saya sadar bahwa ini semua adalah bagian dari proses. Semua orang pernah punya momen canggung saat belajar hal baru. Semua orang pernah merasa jadi ‘NPC error’ dalam situasi yang belum mereka kuasai. Dan justru itulah yang membuat perjalanan ini menyenangkan.
Saya mulai berpikir: kalau saya bisa tertawa melihat kekonyolan saya sendiri, bukankah itu artinya saya sudah berkembang? Dulu saya mungkin akan stres dan overthinking berhari-hari tentang performa saya yang tidak sempurna. Tapi sekarang, saya bisa melihatnya dengan sudut pandang yang lebih santai.
Dan di situlah saya menyadari satu hal lagi: percaya diri bukan soal menjadi sempurna, tapi soal menerima diri sendiri apa adanya termasuk dengan segala keanehan dan kekonyolan kita.
Dalam setiap langkah yang saya ambil di panggung ini, saya belajar bukan hanya tentang catwalk, tetapi tentang kepercayaan diri, penerimaan diri, dan keberanian untuk melangkah meskipun tahu bahwa saya mungkin akan terlihat konyol di awal. Karena pada akhirnya, hidup bukan hanya tentang menampilkan versi terbaik dari diri kita, tetapi juga tentang menerima setiap proses yang membawa kita ke titik tersebut.
Jadi, meskipun saya belum bisa melangkah seanggun model profesional, saya telah melangkah lebih jauh dari yang pernah saya bayangkan. Dan bagi saya, itu sudah merupakan kemenangan tersendiri.
Kategori
- Masih Kosong