Resensi Buku Filsafat Ilmu Komunikasi
Nama : RIFLAWATI KASIM
NIM : 291413025
Jurusan : Ilmu Komunikasi
Tugas :Etika & Filsafat Komunikasi
PENDAHULUAN
Buku “Filsafat Ilmu Komunikasi” ini ibarat ushul fiqh[1] yang menawarkan pencarian makna dibalik defenisi-defenisi komunikasi sehingga kita bisa mendapatkan alasan yang kuat untuk mempercayai suatu defenisi komunikasi. Bahkan lebih jauh lagi, buku ini memperluas mindset kita hingga kita merasa bisa menciptakan dan mengembangkan defenisi kita sendiri tentang Ilmu Komunikasi.
Pada komunikasi manusia merupakan masalah perspektif ;yang di pakai untuk memahaminya. Perspektif adalah sudut pandang dan cara pandang kita terhadap sesuatu. Selain itu APA ITU KOMUNIKASI ? Paradigma positivisme mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses linier atau proses sebab akibat, yang mencerminkan pengirim pesan (komunikator, encoder) untuk mengubah pengetahuan (sikap atau perilaku) penerima pesan (komunikan / decoder) yang pasif.
Manusia bukanlah benda mati yang gampang di ukur. Kalau suatu benda di ukur, maka dengan mudah akan di temukan ukuran dari benda itu ; lalu ukuran itu akan terus berlaku bagi benda tersebut sampai kapanpun. Manusia juga dalam kehidupan sehari – hari tidak mungkin tidak berkomunikasi. Komunikasi di pahami dan di hidupkan oleh pernyataan – pernyataan yang bertujuan. Dan juga individu tidak di anggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pemikirannya, karena sangat berhubungan dan di pengaruhi oleh kekuatan social yang ada dalam masyarakat. Masyarakat aktif mengubah makna dan dampak informasi yang mereka terima lewat media.
PEMBAHASAN
Judul : Filsafat Ilmu Komunikasi
Penulis : Elvinaro Ardianto & Bambang Qanees
Penulis : PT. Remaja Rosdakarya Offset
Di dalam buku filsafat ilmu komunikasi terdapat berbagai perspektif komunikasi. Perspektif adalah cara memandang atau cara kita menentukan sudut pandang ketika mengamati sesuatu. Seluruh perspektif pada buku ini, memberikan sejenis skema atau petunjuk mengenai sudut pandang mana yang akan kita gunakan untuk meneliti kebenaran peristiwa komunikasi.
Pada perspektif – perspektif ilmu komunikasi terdapat Realisme, Nominalis, Konstruksionis. Realisme beranggapan bahwa benda – benda atau objek yang diamati sebagai apa adanya, telah berdiri di sana secara benar, tanpa campur tangan ide dari pengamat ( mengarahkan cara pandang yang menafikan peran subjek pengamat dalam penelitian ). Nominalis menganggap bahwa dunia social adalah eksternal pada persepsi individu, tersusun tidak lebih dari sekedar nama, konsep dan label yang digunakan untuk membuat struktur realitas. Konstruktivisme mengatakan bahwa kita tidak pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Yang kita mengerti adalah struktur konstruksi kita akan suatu objek.
Di dalam buku tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangannya yaitu :
Kelebihan dari buku ini menjelaskan secara rinci apa itu perspektif, jenis – jenis perspektif dan penggunaan perspektif untuk membantu pembuatan skripsi, sedangkan kekurangan buku ini penggunaan bahasanya terlalu tinggi intelktual, sehingga membuat pembaca agak tidak terlalu paham dengan apa yang coba di sampaikan oleh penulis.
Pada buku ini penulis juga menjelaskan apa itu teori. Teori ini merupakan turunan dari perspektif positivisme dan post – positivisme awal. Kedua aliran ini meyakini bahwa struktur social itu bersifat nyata dan berfungsi dengan cara – cara yang dapat diobservasi secara objektif. Selain itu juga penulis menjelaskan bahwa pada perspektif – perspektif ilmu komunikasi mempunyai beberapa bidang yaitu ontology, epistemology dan metodologis.
Penulis juga mengatakan bahwa perspektif positivisme yang mengamati efek saja, sembari memisahkan dari proses penghasilnya. Persis seperti tukang foto yang memotret penggalan suatu peristiwa, dan foto tersebut menghadirkan peristiwa yang beku, tidak bergerak, dan terlihat sempurna.
Pada buku ini juga terdapat perspektif post – positivisme membawa pengaruh yang besar pada ilmu social termasuk ilmu komunikasi. Melalui kritik yang mendasar terhadap positivisme yang terlalu realis, bebas nilai, dan memisahkan subjek dan objek penelitian, post – positivisme memberikan model penilitian khas yang ilmu social.
Seorang ilmuan Wilbur Schramm mengatakan bahwa manusia itu tidak mungkin tidak berkomunikasi. Pada perspektif interpretif telah membawa kita melangkah lebih jauh lagi ihwal ilmu komunikasi. Ilmu komunikasi bukan lagi terbatas pada penelitian mengenai pengirim pesan, saluran, penerima pesan, dan efeknya: komunikasi telah melangkah jauh pada pencairan makna yang mendasari tindak komunikasi yang terdapat pada dunia social.
Penulis juga mengatakan perspektif konstruktivisme tidak hanya mulai mempertimbangkan konstruksi namun juga menyediakan cara – cara penelitian yang lebih khas. Teori kontruktivis atau konstrukvisme adalah pendekatan secara teoretis untuk komunikasi yang di kembangkan tahun 1970-an oleh jesse delia dan rekan – rekan sejawatnya (miller, 2002). Dan juga konstrukvisme ini lebih berkaitan dengan program penelitian dalam komunikasi antarpersona.
Di buku ini juga penulis menjelaskan bahwa perspektif teori kritis adalah upaya membongkar ideology dominan yang menindas. Ideology menjadi inti kritiknya. Ideology dalam hal ini dapat dipahami sebagai relasi kekuasaan yang ada di luar suatu kelas. Melalui perspektif kritis ini kita menemukan ilmu komunikasi yang lebih berwarna lagi.
Komunikasi telah mengalami perkembangan yang luar bisa pesat, dari sekedar studi retorika atau publisistik kini telah berkembang ke wilayah terdalam kehidupan manusia. Perkembangan ini di dasari oleh pergeseran epistemology yang juga di berangi dengan perubahan social yang terjadi di seluruh dunia.
Di dalam buku ini penulis mengajak pembaca untuk memahami apa itu perspektif dan teori – teori komunikasi, namun di dalam buku ini juga masih banyak terdapat berbagai macam kalimat yang susah di pahami oleh pembaca.
‘Perspektif’ Dibalik Ilmu Komunikasi
Perspektif adalah sistematika subjektifitas yang unik dan berbeda dari setiap orang. Seperti sidik jari kita, perspektif mempunyai kedudukan yang sama dalam hal keunikannya. Maka bisa jadi salah satu hal yang membedakan kita dengan orang lain adalah perspektif yang kita gunakan untuk berkomunikasi. Hal ini disebabkan oleh faktor gen dan historis kita pada suatu lingkungan sehingga menjadikan kita individu yang unik. Dengan kata lain perspektif adalah sudut pandang yang digunakan oleh seseorang untuk menilai suatu fakta –bukan fakta itu sendiri – maka berdasarkan perspektif yang kita gunakan akan menghasilkan penilaian yang berbeda dengan orang lain. Pengandaiannya, ketika si A menilai buah Durian sebagai suatu yang lezat dan harum maka akan berbeda dengan penilaian si B yang menganggap Durian adalah buah yang menjijikkan dan bau. Dalam kasus ini sulit untuk mengutarakan alasan masing-masing terhadap penilaiannya terhadap buah Durian, si A mungkin pada masa kecilnya mendapat kesan pertama (sensasi) pada Durian sebagai buah yang enak berbeda dengan si B yang mungkin mendapat sensasi berbeda.
Keunikan adalah salah satu sifat perspektif. Perspektif juga memiliki sifat samar, maksudnya orang kadang-kadang menilainya sebagai suatu fakta, pada contoh diatas si A akan benar-benar membantah penilaian si B begitu juga sebaliknya. Padahal faktanya Durian hanya buah yang kulitnya berduri, mempunyai daging lembek dan biji yang keras dengan bentuk sedemikian rupa, soal rasa dan bau tidak lebih dari persepsi atau pandangan. Karenanya seringkali ketika kita melakukan observasi, kita merasa bersikap netral padahal sadar atau tidak secara teknis dan nonteknis kita melakukannya dengan cara yang kita yakini pas dengan kita. Namun dengan sifat samarnya, perspektif tidak dapat merubah fakta, seyakin apapun kita dengan perpektif yang kita gunakan tidak akan merubah fakta bahwa kulit durian itu berduri. Jangan sampai kita tertipu dengan persepsi kita sendiri dalam membahas ilmu-ilmu sosial yang sifatnya dinamis khususnya Ilmu Komunikasi.
Mungkin sudah timbul pertanyaan, mengapa komunikasi – apabila dikatakan sebagai suatu fakta – bisa banyak defenisi, lalu dimana letak fakta dari komunikasi? Saya tidak akan menjawabnya secara gamblang, karena faktor ruang dari tulisan ini. Lagi pula inti pembahasan kita adalah perspektif. Defenisi komunikasi yang paling terkenal dan sederhana adalah source (sumber), massage (pesan), dan destination (penerima/tujuan). Apakah defenisi ini sebuah fakta dari komunikasi? Jawabannya bisa ya bisa tidak. Kalau jawabannya, defenisi diatas adalah sebuah persepsi, maka perspektif yang digunakan oleh sang ilmuwan sangat pas dan menyentuh substansi dari komunikasi, yaitu minimal dalam komunikasi terdapat sumber, pesan, dan tujuan. Tapi kalau kita menyebutnya sebagai fakta, maka defenisi tersebut masih jauh dari komunikasi yang sebenarnya, yaitu tidak adanya gangguan (noise) dalam prosesnya; komunikator dinilai sebagai sesuatu yang stagnan atau tetap sebagai si ‘source’ dan si ‘destination’, padahal dalam prosesnya komunikasi tidak ditentukan siapa si ‘source dan siapa si ‘destination’ karena keduanya bisa jadi menempati posisi ‘source sekaligus destination’; dan masih banyak lagi variabel komunikasi yang diabaikan pada defenisi itu.
Supaya kita tidak bingung, dalam filsafat dikenal dengan kebenaran absolut (tetap) dan kebenaran relatif (berubah-ubah), mari kita tempatkan persepsi sebagai kebenaran relatif dan fakta sebagai kebenaran absolut. Dalam buku ini dinyatakan bahwa bukan benar tidaknya persepsi yang kita gunakan tapi bermanfaatkah persepsi itu bagi kita? Diantara perselisihan persepsi dengan fakta, sebenarnya yang kita perlukan adalah suatu konsep yang relevan dengan tujuan – dalam hal ini komunikasi – agar persepsi kita bisa dinilai sebagai kebenaran (baca:relatif). Konsep ini merupakan prapersepsi yang membentuk suatu mode rancangan yang dekat dengan substansi komunikasi sehingga kita bisa memilih persepsi yang benar-benar perspektif. Proses terjadinya konsep ini, sebagai berikut: dalam hal memilih persepsi untuk pendekatan suatu fakta kita terlebih dahulu melihat fakta dengan segala variabelnya –kondisi zaman, kondisi masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan, dan sebagainya – tersebut kemudian akan muncul suatu gagasan yang kita sebut perspektif. Dalam buku ini terdapat jenis-jenis perspektif yang mendasari ilmu komunikasi berdasarkan perkembangan zaman.
Perkembangan Perspektif
Seperti yang dibahas diatas bahwa perspektif bukan benar dan salahnya tapi relevan tidaknya ia pada tujuan kita. Relevansi suatu perspektif tentu mempunyai perjalanan panjang. Dari segi waktu pun demikian, perspektif ilmu-ilmu sosial yang kita gunakan sekarang ternyata melalui lika-liku konflik dari zaman ke zaman. Pada awalnya ilmu-ilmu alam yang sudah berkembang lebih dulu, atau dari versi yang terkenal bahwa ilmu-ilmu alam yang pertama memisahkan diri dari tubuh filsafat, sedang ilmu-ilmu sosial pada waktu itu masih bersifat umum dan tergolong sebagai filsafat. Sebelum membahas jenis-jenis perspektif, ada baiknya kita mengenal dulu 3 bentuk konsep yang mendasari seluruh jenis-jenis perspektif.
Realisme
Bulat sebagai persepsi dan Segitiga adalah faktanya. Saya mencoba menjelaskan bahwa realisme menolak mentah-mentah kalau fakta diinterpretasikan oleh persepsi, artinya pada suatu penilitian subjek harus benar-benar memisahkan diri dari objek sehingga hasilnya adalah objektifitas murni. Ini selaras dengan istilah dualisme pemisahan antara inti/fakta dan pinggiran/persepsi. Realis percaya kalau hasil penilitian mereka yang objektif adalah kebenaran mutlak (absolut). Paham ini mungkin cocok pada ilmu alam, Semut dengan reaksi kimianya dan struktur biologinya adalah satu kebenaran (fakta) yang tidak bisa diganggu menggunakan persepsi. Namun ketika masuk ke ranah ilmu sosial yang objek formal dan materinya adalah manusia beserta tindak-tanduknya tentu akan sulit untuk paham ini menentukan fakta dan mengontrolnya kemudian. Kalau kita sudah paham tentang Semut dengan menggunakan ilmu alam maka kita bisa menentukan beberapa faktanya (Semut berkomunikasi lewat feromonnya[2]) dan bisa melakukan kontrol terhadapnya (karena Semut menggunakan feromon untuk berkomunikasi maka kita bisa mengelabuinya dengan menghilangkan jejak feromonnya). Manusia ‘secara sosial’ tidak ada fakta tetap padanya, karenanya kita tidak bisa melakukan ‘kontrol tetap’ pada manusia. Sebagai contoh: saya perokok berat, maka saya akan gelisah kalau dalam beberapa jam tidak merokok. Tapi pada saat bulan ramadhan saya tidak merasakan rasa gelisah itu.
Nominalis
Bentuk hampir segitiga adalah fakta dan ruang kosongnya adalah persepsi. Paham nominalis menghargai interpretasi seseorang terhadap fakta. Karena dalam konstruksi diatas tidak selamanya orang akan menggaris lurus ruang kosong tersebut untuk membentuk segitiga. Bisa jadi dia lebih memilih menambahkan setengah melingkar di ruang kosong tersebut sehingga hasilnya bukan segitiga seperti kebanyakan orang. Fakta bagi sebagian orang adalah suatu konstruksi yang dapat diubah sesuai persepsi yang mereka anggap relevan. Tetapi bentuk hampir segitiga tersebut oleh paham nominalis dianggap sebagai fakta murni yang belum lengkap sehingga harus diinterpretasikan.
Paham ini yang menjadi salah satu dasar dari post-positivisme, bahwa fakta tetaplah fakta yang tidak bisa diganggu oleh persepsi. Namun bedanya pandangan nominalis terhadap fakta tidak sama dengan realisme yang menganggap persepsi tidak bisa diikutsertakan dalam pembentukan suatu fakta. Paham ini sedikit membuka diri terhadap fleksibelitas ilmu sosial. Persepsi mempunyai kedudukan yang penting terhadap pembentukan suatu fakta. Contoh, paham nominalis terhadap dinamika ilmu sosial: saya orangnya perokok berat (fakta) tetapi saya tahu pada saat Ramadhan saya bisa menahannya (persepsi). Contoh tadi mengartikan bahwa perokok bisa menahan kecanduannya pada waktu-waktu tertentu (khas ilmu sosial) sehingga menimbulkan suatu fakta yang terdiri dari fakta dan persepsi: saya perokok berat pada saat-saat tertentu saja. Paham inipun percaya dengan terbentuknya suatu fakta berdasarkan penggabungan persepsi dan fakta maka fakta inipun bisa menjadi alat kontrol sosialnya: karena saya perokok pada saat-saat tertentu saja maka semua perokokpun begitu (khas ilmu alam). Nah, menurut paham selanjutnya (konstruksionis) paham ini masih rancu dalam menanggapi ilmu sosial dengan percaya bahwa dinamika sosial bisa dikontrol berdasarkan fakta-fakta yang telah dibentuk oleh paham nominalis.
Konstruksionis
Paham konstruksionis menganggap segala sesuatu didunia kehidupan ini termasuk fakta dan persepsinya bergantung pada individu yang menilai. Konstruksi suatu fakta sesungguhnya hanya dibentuk oleh persepsi orang terhadapnya. Jika kedua paham diatas menyebutkan segitiga dan hampir segitiga adalah fakta, maka konstruksionis dapat memberikan kritikan “bentuk ‘segitiga’
itu sebenarnya siapa yang memberikan predikat tersebut padanya? Bukankah persepsi yang relevan jua yang mempredikatkan suatu fakta?”
Paham ini meyakini dengan pasti bahwa dinamika sosial tidak dapat dibuatkan fakta yang bersifat objektif. Subjektifitas adalah solusi utama dalam ilmu sosial untuk menemukan serentetan yang diyakini sebagai fakta. Kembali pada dua konsep filsafat tentang kebenaran, yaitu kebenaran absolut dan kebenaran relatif. Konstruksionis memposisikan faktanya – yang dibentuk berdasarkan persepsi – adalah suatu kebenaran yang harus dipercayai, tapi kebenaran disini bersifat relatif, artinya selagi persepsi yang digunakan relevan dan disetujui umum dengan pertimbangan ilmiah maka sepantasnya kita percaya akan suatu fakta tersbut, tetapi jika fakta itu ditentang oleh fakta baru dengan pertimbangan ilmiah pula maka fakta yang barulah yang harus dipercaya.
Perspektif Terdahulu Sampai Sekarang
Tercatat pada buku ini, bahwa tahun 1760-1825 M, Henry Sain Simon bersama muridnya August Comte (1798-1857) mencetuskan ‘paham baru’ bagi ilmu sosial, yaitu dikenal dengan perspektif positivisme. Paham positif (perspektif positivisme) ini berlatarkan kondisi zaman pada waktu itu yang sedang terjadi revolusi kekuasaan di Perancis dengan tokoh revolusionernya adalah kebanyakan dari kalangan Filsuf. Henry kemudian mencetuskan positivisme yang dikembangkan oleh August sebagai solusi yang harus dipakai, karena menurutnya Filsuf-filsuf pada waktu itu masih menggunakan paham mistis (mistisme) yang dikritiknya sebagai suatu kebodohan. Menurutnya sudah saatnya ‘akal sehat’ (logika) digunakan, dia kemudian mengadopsi metode-metode ilmu alam sebagai solusi dari konflik sosial saat itu. Dari awal mulanya paham positivisme ini muncul dikemudian hari mendapat kritikan dan terjadilah rekonseptualisasi hingga dewasa ini muncul paham perpektif kritis.
Kita tidak perlu penjabaran metode-metode yang ada pada setiap perspektif, karena tujuan penulisan ini hanyalah memberikan sebuah pemahaman akan perspektif Ilmu Sosial (Ilmu Komunikasi). Berikut jenis-jenis persepektif:
Perpektif Positivisme (realisme);
Perpektif Post-Positivisme (realisme-nominalis);
Perpektif Interpretif (nominalis-konstruksionis);
Perpektif Konstruktivisme (konstruksionis);
Perpektif Kritis (nominalis-konstruksionis)
PENUTUP
Berdasarkan penjelasan di atas bahwa perspektif itu terdapat ontology, epistemology, aksiology. Perspektif interpretif selain menurunkan sejumlah teori komunikasi interaksionalisme, juga menurunkan teori khas interprektif. Teori ini menggambarkan proses munculnya pemahaman dari kehidupan social. Terakhir adalah teori kritis. Teori ini mencoba membongkar kepentingan atau ideology yang berdiri di balik fenomena social. Semua perspektif dan teori ini memiliki kelebihan dan kekurangannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ardianto Elvinaro. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Tugas Dasar-dasar Photograhy
Nama : RIFLAWATI KASIM
NIM : 291413025
BAB I
PENDAHULUAN
Memotret adalah proses kreatifitas yang tidak hanya sekedar membidik obyek yang akan kita rekam dan kemudian menekan tombol shutter pada kamera. Dalam menciptakan sebuah karya foto kita harus mempunyai ide (konsep) yang matang agar tidak mengalami kesulitan dilapangan dan yang tidak kalah pentingnya adalah memahami tentang komposisi, ketajaman dan pencahayaan (teknis).
BAB II
PEMBAHASAN
JENIS-JENIS PHOTO DAN TEHNIK PEMOTRETAN
Jenis-jenis foto disini hanya sebagai pengelompokan secara garis besar, yang membantu mempermudah kita dalam memahami sebuah karya fotografi.
1. PHOTO MANUSIA
Foto manusia adalah semua foto yang obyek utamanya manusia, baik anak-anak sampai orang tua, muda maupun tua. Unsur utama dalam foto ini adalah manusia, yang dapat menawarkan nilai dan daya tarik untuk divisualisasikan. Foto ini dibagi lagi menjadi beberapa kategori yaitu :
a. Portrait
Portrait adalah foto yang menampilkan ekspresi dan karakter manusia dalam kesehariannya. Karakter manusia yang berbeda-beda akan menawarkan image tersendiri dalam membuat foto portrait. Tantangan dalam membuat foto portrait adalah dapat menangkap ekspresi obyek (mimic, tatapan, kerut wajah) yang mampu memberikan kesan emosional dan menciptakan karakter seseorang
b. Human Interest
Human Interest dalam karya fotografi adalah menggambarkan kehidupan manusia atau interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari serta ekspresi emosional yang memperlihatkan manusia dengan masalah kehidupannya, yang mana kesemuanya itu membawa rasa ketertarikan dan rasa simpati bagi para orang yang menikmati foto tersebut.
c. Stage Photography
Stage Photography adalah semua foto yang menampilkan aktivitas/gaya hidup manusia yang merupakan bagian dari budaya dan dunia entertainment untuk dieksploitasi dan menjadi bahan yang menarik untuk divisualisasika
d. Sport
Foto olahraga adalah jenis foto yang menangkap aksi menarik dan spektakuler dalam event dan pertandingan olah raga. Jenis foto ini membutuhkan kecermatan dan kecepatan seorang fotografer dalam menangkap momen terbaik.
2. PHOTO NATURE
Dalam jenis foto nature obyek utamanya adalah benda dan makhluk hidup alami (natural) seperti hewan, tumbuhan, gunung, hutan dan lain-lain.
a. Foto Flora
Jenis foto dengan obyek utama tanaman dan tumbuhan dikenal dengan jenis foto flora. Berbagai jenis tumbuhan dengan segala keanekaragamannya menawarkan nilai keindahan dan daya tarik untuk direkam dengan kamera
b. Foto Fauna
Foto fauna adalah jenis foto dengan berbagai jenis binatang sebagai obyek utama. Foto ini menampilkan daya tarik dunia binatang dalam aktifitas dan interaksinya.
c. Foto Lanskap
Foto lanskap adalah jenis foto yang begitu popular seperti halnya foto manusia. Foto lanskap merupakan foto bentangan alam yang terdiri dari unsur langit, daratan dan air, sedangkan manusia, hewan, dan tumbuhan hanya sebagai unsur pendukung dalam foto ini. Ekspresi alam serta cuaca menjadi moment utama dalam menilai keberhasilan membuat foto lanskap.
3. PHOTO ARSITEKTUR
Dalam jenis foto ini menampilkan keindahan suatu bangunan baik dari segi sejarah, budaya, desain dan konstruksinya. Memotret suatu bangunan dari berbagai sisi dan menemukan nilai keindahannya menjadi sangat penting dalam membuat foto ini.
4. PHOTO STILL LIFE
Foto still life adalah menciptakan sebuah gambar dari benda atau obyek mati. Membuat gambar dari benda mati menjadi hal yang menarik dan tampak “hidup”, komunikatif, ekspresif dan mengandung pesan yang akan disampaikan merupakan bagian yang paling penting dalam penciptaan karya foto ini. Foto still life bukan sekadar menyalin atau memindahkan objek ke dalam film dengan cara seadanya, karena bila seperti itu yang dilakukan, namanya adalah mendokumentasikan. Jenis foto ini merupakan jenis foto yang menantang dalam menguji kreatifitas, imajinasi, dan kemampuan teknis.
5. PHOTO JURNALISTIK
Foto jurnalistik adalah foto yang digunakan untuk kepentingan pers atau kepentingan informasi. Dalam penyampaian pesannya, harus terdapat caption (tulisan yang menerangkan isi foto) sebagai bagian dari penyajian jenis foto ini. Jenis foto ini sering kita jumpai dalam media massa (Koran, majalah, bulletin, dll).
Ø TEHNIK PEMOTRETAN
Setelah kita mengenal jenis-jenis foto, sekarang saatnya untuk mengetahui bagaimana cara memotrer untuk menghasilkan sebuah karya foto. Seorang fotografer pada awalnya harus menguasai kamera dan bagaimana cara kerja kamera tersebut.
1. Focusing
Istilah focusing dalam fotografi adalah proses penajaman imaji pada bidang tertentu suatu obyek pemotretan. Focusing adalah teknik paling dasar tetapi begitu penting, karena untuk mendapatkan gambar yang tajam dan jelas kita harus melakukan focusing secara tepat. Pemilihan bidang atau titik tertentu dalam suatu obyek foto akan menentukan kesan “kedalaman” pada sebuah foto. Obyek yang akan kita hadapi dalam pemotretan tidak hanya sekedar benda diam saja, tetapi kita juga akan dihadapkan pada benda bergerak (misalnya foto olahraga), hal ini akan berpengaruh pada tingkat kesulitan
dalam focusing. Untuk tahap pembelajaran, lakukanlah focusing pada benda diam dahulu hingga kita memahami tehnik focusing dengan tepat.
2. Pengaturan Speed
Proses pembakaran negatif di dalam kamera untuk mendapatkan imaji tertentu dipengaruhi oleh cara kerja dan kecepatan rana kamera. Kita bisa menentukan kecepatan rana saat pembakaran dengan pengaturan speed. Semakin tinggi speed (high speed) yang kita pakai maka akan semakin cepat pula rana bekerja dan sebaliknya, semakin rendah speed (low speed) yang kita pakai maka akan semakin lambat pula rana bekerja. Dalam dunia fotografi terdapat istilah pencahayaan normal (normal eksposure), pencahayaan rendah (under eksposure) danpencahayaan tinggi (over eksposure). Pencahayaan normal adalah dimana kita menentukan speed dan diafragma yang tepat untuk mendapatkan gambar seperti pada keadaan obyek foto yang sebenarnya. Over eksposure (pencahayaan tinggi) adalah kompensasi pada pengaturan speed untuk mendapatkan intensitas pencahayaan yang lebih banyak daripada pencahayaan normal dan gambar yang dihasilkan pun lebih terang daripada kondisi aslinya. Under eksposure (pencahayaan rendah) adalah kompensasi pencahayaan pada pengaturan speed untuk mengurangi intensitas cahaya dibawah pencahayaan normal. Under eksposure sering digunakan ketika kondisi cahaya dalam pemotretan terlalu keras sehingga pengkompensasian akan diperlukan untuk mendapatkan gambar yang lebih maksimal.
3. Pengaturan Diafragma
Sebuah foto yang menarik adalah dimana foto tersebut terdapat dimensi ruang atau kesan kedalaman. Fasilitas diafragma pada lensa kamera berperan penting dalam mengatur pemisahan antara bidang background dan obyek utama. Diafragma juga menetukan seberapa luas ruang tajam pada foto. Semakin kecil bukaan diafragma semakin luas ruang tajam yang bisa kita dapatkan dan semakin besar bukaan diafragma maka semakin sempit ruang tajam dalam foto.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Belajar jenis-jenis dan tehnik photograpi dapat menambah pengetahuan seorang mahasiswa agar dapat mengetahui bagaimana jenis-jenis dari photograpi dan dapat mengetahui tehnik-tehnik dari kamera atau cara memotret dengan baik dan benar.
B. Saran
Hanya dengan cara dan metode tertentu pengetahuan dapat diperolehIlmu pengetahuan yang diperoleh tidak berguna bila tidak dibagi atau diberikan kepada orang lainIlmu pengetahuan yang ada harus dimanfaatkan
DAFTAR PUSTAKA
https://www.google.com/search?q=tehnik+dan+jenis-jenis+photograpi&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:id:official&client=firefox-a
Kategori
- Masih Kosong
Blogroll
- Masih Kosong