Filosofi Kepemimpinan Hasta Brata

08 September 2022 09:31:51 Dibaca : 834

     Hasta brata berasal dari bahasa Jawa kuno atau Sansekerta. Hasta artinya delapan dan Brata yaitu perilaku atau tindakan pengendalian diri. Secara etimologi Hasta Brata dapat dimaknai sebagai delapan laku atau sifat atau watak. Jadi Hasta Brata dapat diartikan sebagai delapan syarat yang harus dipegang oleh seorang pemimpin. Hasta Brata sebagaimana disimbolkan dalam pewayangan yang menceritakan Sri Bathara Kresna yang sukses memimpin negaranya, ajaran ini kemudian diwejangkan kepada Arjuna, yang kelak oleh Arjuna diwejangkan kepada putranya Abimanyu. 

     Hasta Brata di Indonesia bukan hanya sebagai cerita pewayangan semata. Hasta Brata juga digunakan sebagai pegangan dalam bertindak oleh seorang pemimpin, bukan hanya raja, tetapi juga pemimpin lembaga pendidikan. Delapan sifat/watak dewa ini dijadikan pedoman bagi seorang pemimpin. Banyak argumen yang menyatakan bahwa falsafah kepemimpinan Jawa yang terkandung dalam Hasta Brata lebih ideal dibandingkan yang lain. Karena begitu idealnya, tidak sedikit pemimpin yang tidak mampu menerapkan ajaran Hasta Brata dalam menjalakan tugasnya. Namun meskipun ajaran ini sulit untuk di aplikasikan secara tuntas, bukan berarti ajaran ini hanya cukup dipahami secara parsial.

     Hasta Brata merupakan ilmu delapan perwatakan alam yang menjadi dasar laku seorang pemimpin. Delapan perwatakan alam tersebut yaitu;

1. Hambeging Kisma (Watak Bumi)   

   Watak ini menggambarkan bahwa seorang pemimpin harus meneladani sifat bumi yang kuat, kaya dan murah hati. Artinya seorang pemimpin haruslah tangguh, tidak mudah mengeluh serta siap untuk mengabdikan diri apapun resikonya. Pemimpin yang memiliki watak bumi akan mendorong dirinya untuk selalu peduli terhadap sesama. Hal ini didasarkan pada analogi bumi yang menjadi tempat tumbuh berbagai tanaman yang memberi manfaat kepada manusia. Bumi memiliki filosofi dapat menampung seluruh makhluk hidup. Seorangpemimpin harus mau manampung seluruh aspirasi masyarakat. Semua orang mempunyai hak untuk hidup di atas bumi, seorang pemimpin harus bersedia menerima tugas dan kewajiban melayani seluruh masyarakat dari berbagai status dan perangainya. Bumi sebagai sumber kehidupan yang kokoh dan tidak goyah membawa beban di atasnya senantiasa menyediakan segala kebutuhan dasar bagi para makhluk hidup. Harus memiliki jiwa yang kokoh dan tangguh dalam kepemimpinannya. 

2. Hambeging Tirta (Watak Air)   

   Watak ini menggambarkan seorang pemimpin harus selalu mengalir dinamis dan rendah hati. Dalam konteks kepemimpinan pendidikan mengalir dapat diartikan kepala sekolah harus mampu mendistribusikan kekuasaannya agar tidak merangsangnya untuk melakukan korupsi. Bagaikan permukaan air rata, kepala sekolah harus berlaku adil dalam menjalankan tugas dan kewajibannya yang melibatkan seluruh anggota. Pemimpin juga harus meniru sifat Air yang selalu menyesuaikan dan memenuhi wadahnya dan mengisi setiap celah. Air juga tidak pernah pilih kasih untuk membasahi sesuatu. Artinya kepala sekolah harus mampu beradaptasi dengan menyesuaikan diri dengan orang lain maupun lingkungan dan memperbaiki kesalahan-kesalahan kecil yang dapat mengganggu kinerja seluruh anggota. Kepala sekolah juga harus mampu melihat potensi, kebutuhan dan membuka pikirana seluruh anggotanya. Kepala sekolah tidak boleh membeda-bedakan setiap anggota yang nantinya akan menimbulkan kecemburuan.

3. Hambeging Samirana (Watak Angin)   

   Watak ini menggambarkan bahwa seorang pemimpin harus meneladani sifat angin yang ada dimanapun dan mampu menyusup ke celah yang kecil sekalipun. Artinya seorang pemimpin haruslah selalu dekat dengan seluruh rakyat tanpa memberi sekat, pemimpin juga harus meneliti dan mengetahui permasalahan yang ada secara aktual tidak mendasarkan dari perkataan orang semata. Falsafah ini mengajarkan untuk berhati-hati dalam berbicara, tidak “ngawur”, dan tidak melontarkan statement atau instruksi yang sekiranya dapat memicu pertikaian. Setiap ucapan ataupun tindakan seorang pemimpin harus memiliki substansi serta landasan kuat yang dapat dipertanggungjawabkan. Tindakannya disertai dengan argumen dengan kelengkapan data dan fakta. Setiap keputusan maupun kebijakan yang diambil, terlebih dahulu harus dipahami secara komperhensif, tidak hanya mendasarkan pada pertimbangannya sendiri, tidak menonjolkan emosi atau nafsunya. Ciri lain dari angin adalah keberadaannya yang tidak terlihat pandangan mata tetapi dapat dirasakan. Begitu pula dengan kepemimpinan, meskipun tidak selalu hadir secara langsung dalam masyarakat, keberadaan dan pengaruhnya akan tetap dirasakan melalui kebijakan-kebijakan yang dibuatnya.

4. Hambeging Samodra (Watak Lautan)   

   Watak ini menggambarkan bahwa seorang pemimpin harus meneladani sifat lautan yang luas serta menyejukkan. Artinya seorang pemimpin harus memiliki hati yang lapang, siap menerima keluhan dari seluruh rakyat, mendasarkan setiap kebijakan dan tindakan berdasarkan kecintaan kepada rakyatnya. Lautan adalah muara bagi semua aliran sungai dengan apapun yang mengalir mengikuti aliran sungai itu. semua yang dibawa oleh sungai diterima tanpa adanya penolakan. Lautan juga memberi limpahan manfaat seperti beragam hewan laut yang indah dan mempesona.

5. Hambeging Candra (Watak Bulan)   

   Watak ini menggambarkan bahwa seorang pemimpin harus meneladani sifat bulan yang menjadi penerang dalam kegelapan. Artinya seorang pemimpin haruslah mampu memberi keindahan spirit (dukungan moril atau spiritual) baik di saat suka maupun kondisi kedukaan. Pemimpin yang memiliki sifat Bulan adalah pemimpin yang bijak, dapat memberi rasa aman dan menjadi sinar dibalik gelap malam, memimpin dengan kearifan dan visioner. Dalam kondisi yang gelap (sulit) setiap anggota memerlukan sebuah dorongan yang mampu memacu kembali semangat kerjanya. Kebutuhan sebuah dorongan yang tidak atau belum terpenuhi menyebabkan ketegangan dan lambat laun menjadi semakin kumulatif. Ketegangan ini kemudian menciptakan dinamika praksis. Praksis yang timbul ini nantinya akan beragam, jika kebutuhan dorongan dari seorang pemimpin tersebut dapat terpenuhi maka akan berdampak positif terhadap kinerja anggota, dan begitupun sebaliknya. 

6. Hambeging Surya (Watak Matahari)   

   Watak ini menggambarkan bahwa seorang pemimpin harus meneladani sifat matahari yang memberi cahaya dan energi kehidupan di bumi. Matahari merupakan sumber kehidupan yang menyinari tanpa pilih-pilih, menyibak kegelapan dan memberi kehidupan alam semesta. Artinya seorang pemimpin haruslah mampu memberi kekuatan atau power kepada orang lain, membimbing dan mendidik anggotanya agar terhindar dari gelapnya kebodohan tanpa pilih kasih. Sifat lain yang melekat pada Matahari adalah memenyelesaikan tugasnya dengan sabar dan tuntas. 

7. Hambeging Dahana (Watak Api)   

   Watak ini menggambarkan bahwa seorang pemimpin harus meneladani sifat api yang panas dan membakar apapun yang disentuhnya. Artinya seorang pemimpin harus memiliki wibawa dan mampu menegakkan keadilan dengan menyelesaikan permasalahan secara adil tanpa pandang bulu. Api juga dapat mematangkan beberapa bahan makanan, dan menggambarkan keberanian dan keyakinan yang kuat. Dalam kontek kepemimpinan pendidikan api bersifat konstruktif. Sifat ini mengajarkan perlunya memgang teguh sebuah keadilan dengan menghukum yang bersalah.

8. Hambeging Kartika (Watak Bintang)   

   Watak ini menggambarkan bahwa seorang pemimpin harus meneladani sifat bintang yang memiliki sinar terang di ketinggian dan dapat menjadi petunjuk arah. Artinya seorang pemimpin harus memiliki tujuan yang baik, bijaksana dan dapat dijadikan tauladan. Bukan hanya menunjukkan keindahannya saja, ia juga memberi petunjuk arah mata angin. Dalam pendidikan. Menjadi pedoman berarti menjadi inspirasi bagi orang lain. Ajaran ini setidaknya sudah sering di dengar oleh masyarkat indonesia secara umum dalam sebuah pribahasa yang berbunyi “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Pribahasa ini mengindikasikan tentang sifat anak yang cenderung meniru atau meneladani orangtuanya. Ajaran keteladanan sudah sejak lama diajarkan dalam ungkapan Jawa “ing ngarso sung tulodho”. Petuah Ki Hadjar Dewantara ini menjadi implementasi dan realisasi seorang kepala sekolah.

  Kepemimpinan Hasta Brata yang digambarkan dengan delapan dewa atau alam merupakan kesatuan konsep yang integral. Artinya delapan perwatakan yang diajarkan konsep Hasta Brata harus menyatu dalam diri pemimpin. Bukan perkara yang benar jika pemimpin hanya mengambil atau menerapkan sebagian ajaran dan mengabaikan sebagian yang lain. Jika kedelapan watak tersebut dapat diterapkan dalam laku kepemimpinan maka watak tersebut dapat dikatakan sebagai wolu-woluning ngatunggal (delapan dalam satu).