DUA AKAR KEHANCURAN PROFESI AKUNATN
Kehancuran perusahaan Enron merupakan pukulan berat dalam bisnis. Dan peristiwa buruk tersebut tidak pernah diduga oleh banyak orang, khususnya pelaku bisnis dan pengamat ekonomi, mengingat perkembangan perusahaan Enron begitu pesat dalam kurun waktu tahun 90-an, bahkan sempat tercatat sebagai perusahaan yang memiliki reputasi sangat baik di tingkat dunia .
Secara umum, ada dua akar hancurnya Enron dan Arthur Anderson. Kedua akar itu adalah tidak berjalannya tata kelola dan minimnya kepedulian pada etika dalam menjalankan profesi akuntan. Faktor pertama sangat terkait dengan Enron, dan faktor kedua sangat berhubungan dengan Arthur Andersen
Kegagalan Negara Memberantas Kekerasan?
Kegagalan Negara Memberantas Kekerasan?
Aksi kekerasan yang terjadi belakangan ini menyisakan sejumlah persoalan serius. Salah satunya adalah kegagalan negara melindungi dan menjamin rasa aman warganya. Pernyataan Presiden SBY bahwa tidak ada ruang bagi anarkisme dan premanisme di negeri ini ternyata belum menjamin terciptanya rasa aman. Kegagalan negara menindak aksi premanisme kelompok sosial atau ormas tertentu tidak hanya mengusik rasa aman warga, tetapi juga menggugat peran negara selaku penjamin keharmonisan hidup bernegara.
Kita pun bertanya, di manakah negara ketika kelompok ormas tertentu bebas menebar ancaman, intimidasi, dan kekerasan? Di manakah aparat keamanan ketika para preman meneror warga negara? Pertanyaan ini menggugat tugas dan peran negara dalam sebuah negara kontraktarian. Dalam bukunya berjudul Leviathan, Thomas Hobbes berpendapat bahwa setiap individu dalam masyarakat memiliki kepentingan-diri (self interest) yang ia kejar dan realisasikan. Konflik sosial dan kekerasan horisontal terjadi ketika terdapat kesamaan tujuan yang ingin direalisasikan. Hobbes melihat bahwa konflik antarwarga negara merupakan kenyataan sosial yang niscaya terjadi, karena orang lain adalah ancaman bagi perealisasian kepentingan-diri tersebut. Pernyataan klasik homo homini lupus dari Thomas Hobbes menggambarkan sifat dasar setiap warga negara yang egoistis, individualistis, tertutup, kasar, dan anti sosial (Peter Singer, 1981: 23-24).
Negara harus imparsial
Mengikuti alur argumentasi Hobbesian, negara adalah pihak ketiga yang eksistensinya bersifat mutlak, karena menjamin bahwa perealisasian setiap kepentingan-diri tidak saling berbenturan satu sama lain. Dengan kekuatan pemaksanya yang lebih besar dari kekuatan individu atau kelompok serta legitimasi kekuasaan yang didapatkannya dari masyarakat, negara kemudian menindak tegas siapa saja yang ingin mengembalikan keadaan ke “semua melawan semua” (homo homini lupus).
Bagi penulis, cara beragumentasi semacam ini tidak tepat menjelaskan konflik dan kekerasan yang terjadi di Republik ini karena dua alasan. Pertama, dari perspektif evolusioner, karakter manusia tidak bersifat egoistik, kasar, individualis, tertutup dan anti sosial. Makhluk dengan karakteristik semacam itu akan mudah punah dalam evolusi (Frans de Waal, 2011). Pada dasarnya manusia adalah makhluk altruis. Dia membuka diri, bersedia hidup bersama, bahkan sanggup mengorbankan dirinya bagi sesama. Sikap altruis dalam mengorbankan hidupnya demi orang lain itu pertama-tama memang terbatas bagi keluarga inti saja, tetapi lama kelamaan akan berkembang menjadi tindakan-tindakan yang sangat heroik seperti membela kebenaran, menegakkan keadilan, dan sebagainya.
Potret ini menegaskan bahwa akar kekerasan massa tidak bisa dipahami dengan mengasumsikan karakter manusia sebagai makhluk yang melulu individualis, kasar, dan anti sosial. Ada faktor eksternal yang menjadi pemicunya, dan untuk Indonesia bisa jadi disebabkan oleh kesenjangan ekonomi dan penegasian hak rakyat atas tanah leluhurnya, akses kepada pelayanan publik, pemerataan pembangunan, pelayanan kesehatan, dan sebagainya (kasus Bima, Mesuji, Papua dan daerah-daerah lainnya).
Ideologi agama pun dapat menjadi faktor pemicu kekerasan. Sebagai hasil kreasi budaya manusia, agama seharusnya membangun ideologinya di atas kenyataan manusia sebagai makhluk altruis, yakni spesies yang tidak hanya bersifat sosial, tetapi juga sanggup mengorbankan kepentingannya demi kepentingan yang lebih besar. Agama yang ideologinya menentang sifat dasar manusia sebenarnya melawan kodrat Sang Pencipta sendiri yang menginginkan keselamatan bagi semua, kecuali agama mengkonstruksi sendiri wujud Tuhan yang eksklusif, yakni Sang Pencipta yang mempersempit cinta-Nya hanya untuk sekelompok orang.
Kedua, jika paham negara kontraktarian Hobbes dipertahankan, penegakan hukum yang pasti dan adil seharusnya menjadi jaminan terciptanya keamanan, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Dalam kasus di mana negara gagal mencegah kelompok tertentu melakukan kekerasan (aksi premanisme di RSPAD Gatot Soebroto atau premanisme di ruang sidang), sudah hampir pasti terjadi keberpihakan negara terhadap penegakan hukum. Paham negara kontraktarian mengisyaratkan bahwa setiap pihak yang berkonflik hanya akan menyerahkan kekuasaannya kepada negara jika negara sebagai penjaga keamanan memiliki sikap imparsial alias tidak memihak. Satu-satunya kepentingan negara adalah terciptanya keamanan bagi semua warga, dan bukan keamanan bagi kelompok tertentu saja demi perealisasian kepentingan dirinya.
Hemat penulis, dalam konteks inilah peran negara sebagai penjaga keamanan yang imparsial itu sedang dipertaruhkan di Republik ini. Pertanyaan di balik upaya negara menghalau aksi protes dan kekerasan negara selalu berbunyi, “Kepentingan siapakah yang sedang dibela?” Ini pertanyaan dasar yang menggugat imparsialitas negara sebagai penjamin keamanan masyarakat. Kewibawaan negara merosot persis ketika masyarakat tahu bahwa yang dibela negara adalah kepentingan pemilik modal, kepentingan liberalisasi ekonomi, kepentingan kelompok kaya, atau bahkan kepentingan penegak keamanan itu sendiri.
Situasi dilematis
Apa jadinya jika negara tidak sanggup menjamin keamanan warga karena sikapnya yang memihak? Pertama, negara dapat saja meningkatkan kekuatan pemaksa agar sanggup menindas kelompok yang dianggapnya pengacau. Tetapi, cara ini justru menciptakan rasa tidak aman bagi semua kelompok masyarakat. Negara bagi kelompok tertindas akan dilihat sebagai kekuatan penanding dan sama sekali bukan penjamin rasa aman. Sementara bagi kelompok yang dibela, negara memang menjamin rasa aman, tetapi bersifat semu karena rasa aman tercipta melalui akumulasi kekuatan pemaksa negara. Kita tahu bahwa akumulasi kekuatan bersenjata tidak pernah bersifat tak-terbatas.
Kedua, pembubaran negara dapat dipikirkan sebagai jalan keluar ketika negara ketahuan membela hanya kelompok tertentu dan menindas kelompok lainnya. Ini langkah paling ekstrem yang secara teoretis dapat dipahami. Masyarakat kemudian kembali ke keadaan asali (the original state) sampai semua pihak yang bertikai kembali membentuk negara baru demi mencegah situasi permusuhan semua melawan semua. Jalan keluar semacam sulit diwujudkan bukan hanya karena memiliki biaya politik yang tinggi, tetapi juga merendahkan rasionalitas manusia. Negara modern yang demokratis, yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip kebebasan, persamaan derajat, dan rasional justru memberi peluang bagi pembaruan dan reorientasi peran negara. Ini dilakukan melalui tekanan publik dan pemberitaan media massa terhadap sikap berpihak negara terhadap kelompok tertentu serta keberingasannya terhadap kelompok lainnya.
Dalam arti itu siapapun penegak hukum dan aparat keamanan yang bersikap parsial, misalnya menindas rakyat karena membela kelompok bermodal harus dibawa ke pengadilan dan dihukum seadil-adilnya. Dalam negara demokratis, inilah satu-satunya jaminan yang sanggup meyakinkan publik bahwa negara memang berdiri di atas semua pihak. Apakah kemudian kita pantas berharap bahwa kekerasan di Bima, Mesuji, Papua, atau pembekingan terhadap kelompok preman tertentu dapat diselesaikan dengan menyeret aparat keamanan atau penegak hukum tertentu yang nakal ke meja hijau? Proses demokratisasi akan membuktikan ini, tetapi yang jelas, keberpihakan negara yang menguntungkan kelompok tertentu saja hanya akan memperpendek usia Republik ini. Itulah ketakutan terbesar setiap kita yang cinta Indonesia.[]
Keterangan: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Suara Pembaruan, Sabtu: 3 Maret 2012.
http://jeremiasjena.wordpress.com/category/artikel-populer/
PANCASILA PENJAMIN PLURALITAS BANGSA
PANCASILA PENJAMIN PLURALITAS BANGSA
Apa kado istimewa yang akan kita berikan di hari ulang tahun Pancasila yang ke-66, 1 Juni 2011? Kita sedang berada dalam situasi kehidupan berbangsa dan bernegara di mana Pancasila diragukan sebagai sebuah ideologi yang sakti. Pancasila bukan sebuah ideologi yang sakti dalam pengertian memposisikannya sebagai “self-operated tool” yang bekerja secara otomatis dalam menangkal setiap ancaman terhadap eksistensi bangsa. Dalam arti ini, benar kiranya apa yang ditegaskan Christian Wibisono, bahwa yang penting bukan apakah Pancasila itu ideologi yang sakti atau tidak, tetapi bagaimana kita menerima dan mempertahankannya sebagai ideologi pemersatu bangsa (Suara Pembaruan, 27 September 2005). Masih menurut Wibisono, eksistensi bangsa dan negara bahkan terletak pada kesediaan kita menerima atau menolak Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Di sinilah letak pentingnya merefleksikan kedudukan Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa. Menyimak kembali pidato Bung Karno di hadapan sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, kita mengerti mengapa Pancasila adalah ideologi pemersatu bangsa dan negara Indonesia. Bung Karno menempatkan Pancasila sebagai filosofische grondslag, yakni “fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang kekal dan abadi.” Demikianlah, kelima sila Pancasila merupakan pengejawantahan (embodiment) dari seluruh nilai dan norma bangsa Indonesia. Kelima nilai dasar Pancasila merupakan jiwa atau hasrat yang mendalam dan kekal yang seharusnya menjadi fondamen penggerak dan justifikasi perilaku berbangsa dan bernegara.
Bagi Bung Karno, pemikiran semacam ini hanya mungkin dipahami kalau kita juga mengetahui raison d’etre pendirian negara RI. Bagi dia, kemerdekaan Indonesia tidak saja sebagai “jembatan emas” menuju kehidupan bersama yang lebih baik dan sejahtera, tetapi juga kesempatan emas untuk mewujudkan kehidupan bersama yang menghormati, menghargai dan memberi tempat bagi nilai-nilai plural bangsa. Apa yang dikatakan Bung Karno mengenai negara Indonesia sebagai “semua untuk semua” tidak lain sebagai penegasan atas dimensi plural bangsa. Hanya Pancasila yang menjamin bahwa bahwa pluralitas akan tetap dihormati, diakui dan diberi tempat di Indonesia. Karena itu, secara ekstrem dapat dikatakan bahwa negara Indonesia akan hancur dan runtuh ketika Pancasila diganti dengan ideologi lain.
Ancaman mengenai kehancuran bangsa dan negara Indonesia nyata di hadapan mata. Kecuali internasionalisme, keempat nilai dasar Pancasila yang dikemukakan Bung Karno dapat menjadi dasar untuk mengidentifikasi ancaman terhadap keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Pertama, paham kebangsaan dan faham negara bangsa (nationale staat) sebagaimana dibayangkan Bung Karno yang meliputi seluruh wilayah yang pernah dikuasasi Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit jelas tidak mungkin kita wujudkan sekarang. Tetapi yang terpenting dari penegasan Bung Karno mengenai paham kebangsaan adalah bahwa masyarakat yang mendiami wilayah kesatuan RI ini harus memiliki hasrat untuk hidup bersama. Hasrat itu tampaknya melemah seiring dengan praktik ketidakadilan dan korupsi yang merajalela di negeri ini. Inilah ancaman kedua yang harus diwaspadai. Ketidakadilan itu ditunjukkan oleh negara secara sangat gamblang selama masa pemerintahan Orde Baru dan sekarang semakin menjadi-jadi. Sebagian besar masyarakat hidup serba terbatas karena krisis ekonomi berkepanjangan, sementara pengadilan terhadap para koruptor belum memenuhi rasa keadilan. Belum lagi upaya rekonsiliasi dan penghentian penyidikan atas kasus Soeharto, mantan penguasa Orde Baru, yang tidak hanya menegasikan hak politik rakyat, tetapi juga memperkaya diri dan kroni-kroninya. Persamaan ekonomi (economic equality) sebagaimana dibayangkan Bung Karno ketika mengusulkan sila kesejahteraan sebagai nilai keempat Pancasila jelas jauh panggang dari api.
Ketiga, memudarnya dasar mufakat dari praktik pengambilan segala keputusan publik di Republik ini menjadi salah satu ancaman kehancuran bangsa. Simak saja apa yang terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat. Menguatnya praktik voting dalam proses pengambilan keputusan yang penting jelas dapat menghancurkan semangat hidup bersama. Bayangkan saja bahwa RUU APP yang kontroversial itu akan diputuskan melalui sebuah mekanisme voting. Sudah dapat dipastikan bahwa RUU APP tersebut akan lolos dan diundangkan, karena hampir semua fraksi telah menyetujuinya. Di sini kita lupa bahwa persetujuan by majority tidak hanya memaksa kaum minoritas untuk menerima apa yang sudah diputuskan, tetapi juga menegasikan hak-hak politik mereka.
Saya yakin, ketika Bung Karno berbicara mengenai dasar mufakat atau musyawarah dalam pengambilan keputusan, yang muncul dalam pikiran Beliau adalah kesediaan untuk duduk bersama dan berbicara secara terbuka sebagai sesama anak bangsa, terlepas dari segala atribut suku, agama, dan ras. Contoh yang sangat nyata dan historis mengenai hal ini adalah bagaimana kelompok Islam bersedia bermusyawarah dengan kelompok anak bangsa yang lain dan bersepakat untuk menghilangkan tujuh kata dari sila pertama dalam Piagam Jakarta. Prinsip musyawarah sebetulnya cocok dengan apa yang dikatakan David Tracy (1991:8-10) mengenai pluralisme radikal, bahwa kalau pun hanya ada satu orang yang berbeda pendapat, perbedaan itu tidak bisa dimatikan atas nama kehendak mayoritas.
Keempat, formalisme keagamaan dan kecendrungan intoleransi yang menguat akhir-akhir ini dapat membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau kita perhatikan, penegasan bahwa negara menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masih sebatas nilai normatif yang belum diwujudkan sepenuhnya. Izin pendirian rumah ibadah, penghancuran rumah-rumah ibadah atau larangan bagi agama lain untuk berkembang di sebuah daerah tertentu hanyalah sederet contoh kecil yang dapat dikemukakan. Bung Karno mengatakan bahwa paham ketuhanan yang hendak diwujudkan di Indonesia bukan dalam arti mendasarkan negara atas ajaran agama tertentu, tetapi mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berketuhanan dengan menghormati satu sama lain. Karena itu, memperjuangkan kepentingan politik, apapun bentuknya, dengan mendasarkannya pada imperatif agama tertentu justru menjadi ancaman yang serius bagi keberlangsungan hidup agama lain. Selain itu, pemaksaan kehendak atas nama ajaran agama tertentu dalam proses perundang-undangan juga sangat membahayakan kelangsungan hidup bangsa.
Karena itu, kado istimewa yang harus kita berikan pada hari ulang tahun Pancasila yang ke-66, adalah penegasan kembali akan komitmen kita, bahwa Pancasila benar-benar ingin kita jadikan sebagai dasar atau fondamen kehidupan bersama. Tanpa komitmen itu, negara perlahan-lahan akan hancur, karena masing-masing orang atau kelompok memperjuangkan kepentingannya sendiri. Sayang memang, sebuah republik yang didirikan dengan susah payah akhirnya harus hancur karena ego dan kepentingan sesaat masyarakatnya sendiri.
Sumber: http://jeremiasjena.wordpress.com/category/artikel-populer/page/2/
Rekayasa Sosial Demi Mencegah Terorisme?
Rekayasa Sosial Demi Mencegah Terorisme?
Sidney Jones, peneliti senior International Crisis Group Working to Prevent Conflict Worldwide menolak anggapan umum bahwa kekerasan dan terorisme dalam bentuk bom bunuh diri disebabkan oleh rendahnya pendidikan atau kemiskinan para pelakunya (Kompas.com, 21 April 2011). Meskipun bukanlah hal baru dalam kajian mengenai terorisme, asumsi atau hipotesa semacam ini menarik karena bisa menjelaskan aksi bom bunuh diri yang terjadi di Cirebon beberapa waktu lalu, di mana tingkat pendidikan dan ekonomi pelakunya tidak bisa dikatakan rendah. Demikian pula justifikasi atas perekrutan beberapa mahasiswa di Malang (Jawa Timur), bukan untuk menjadi calon teroris, tetapi menjadi anggota kelompok radikal yang menginginkan pendirian NKRI bukan atas dasar Pancasila.
Bagaimana pun juga, sinyalemen semacam ini harus ditanggapi positif, misalnya dengan memicu penelitian ilmu sosial secara ekstensif dan mendalam soal motivasi orang dan/atau kelompok tertentu yang menghalalkan cara terror dan kekerasan demi mencapai tujuan politiknya. Sayangnya, penelitian semacam ini belum banyak dilakukan di Indonesia, persis ketika kita terlalu sibuk mengurus hal-hal lain seputar korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, atau skandal seks anggota DPR. Bagi saya, penelitian sosial mengenai pandangan ideologis atau epistemologi sosial yang melatarbelakangi lahirnya kelompok radikal atau terorisme seharusnya lebih giat dilaksanakan karena …. Alasan pragmatis.
Pertama, pada tataran rekayasa sosial demi kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat pluralis, dta mengenai keadaan real masyarakat mutlak diperlukan. Misalnya, mengapa kelompok masyarakat tertentu begitu mudah direkrut menjadi anggota kelompok radikal? Jika bukan karena alasan ekonomi atau alasan rendahnya pendidikan, apa alasan utamanya? Apakah valid mengatakan bahwa aksi kekerasan massa bermotifkan ajaran agama merupakan bagian dari solidaritas semesta dari kelompok agama tertentu dalam rangka membela kepentingan saudara-saudaranya di belahan dunia tertentu yang “menderita” kekerasan dan ketidakadilan karena dominasi negara-negara Barat?
Kedua, penelitian sosial semacam ini sangat penting tidak hanya dalam merumuskan kebijakan-kebijakan publik, tetapi juga dalam rekayasa dan desain kurikulum pendidikan nasional. Tentu hal ini masih bisa diperdebatkan, misalnya apakah etis menyertakan ideologi dan kepentingan bangsa dalam desain kurikulum pendidikan nasional? Untuk ilmu-ilmu eksak, jawabannya bisa saja “tidak”, tetapi tidak untuk ilmu sosial. Justru muatan kepentingan bangsa berdasarkan ideologi Pancasila selaku penjamin pluralitas kehidupan berbangsa dan bernegara sangat dibutuhkan sangat dibutuhkan.
Kadang atas nama kebebasan dan demokrasi, kita melupakan kepentingan bangsa. Mungkin menarik juga melakukan penelitian sosial untuk mengevaluasi buku-buku teks ilmu sosial dan agama yang digunakan di sekolah-sekolah dasar dan menengah di seluruh Indonesia. Saya tidak mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus disusupi muatan kepentingan bangsa (pluralitas, Pancasila, persatuan dan kesatuan, dan sebagainya). Tetapi kalau kita tidak cukup jeli dan waspada terhadap cara berpikir dan argumentasi yang sifatnya eksklusif, yang cenderung mengkategorikan masyarakat berdasarkan “kelompok kita” dan “kelompok mereka”, “orang seagama” dan “berbeda agama”, atau “the we” dan “the they”, maka kita sebetulnya sedang menggali kubur kehancuran negara kita sendiri.
Saya teringat beberapa hari lalu bersama seorang rekan mahasiswa asal Indonesia, beragama Islam dan kawan dekat saya, makan siang di restoran mahasiswa bersama seorang rekan peneliti (berprofesi sebagai Medical Doctor) dari Mesir. Semula dia mengira saya seorang Muslim, mungkin karena berpikir bahwa mayoritas orang Indonesia adalah Muslim, karena itu saya adalah seorang Muslim. Dalam obrolan kami tersebut, dia membangun serangkaian argumentasi yang menurut saya cukup menyudutkan inti ajaran Kekristenan, misalnya anggapannya bahwa keyakinannya seputar keesaan Allah dan konsep tri tunggal (trinity) dalam kekristenan sebagai hal yang non-sense dan sulit dibuktikan. Ketika dia berbicara agak tendesius dan intoleran, temanku mungkin merasa tidak nyaman, dan mengatakan kepada rekan dari Mesir itu kalau aku seorang Katolik.
Saya bisa melihat kekagetan rekan dari Mesir itu. Tetapi yang menarik setelah itu adalah dia menanyakan apakah kami bisa “berdebat” mengenai agama, dan ketika saya mengatakan tidak apa-apa, dia lalu “menyerang” habis-habisan pemahamanku saya mengenai trinitas, bagaimana saya bisa menjelaskan paham Allah yang Esa dalam kerangka trinitas. Tentu saya tidak bisa menjelaskan secara menyakinkan, karena pemahaman saya pun bukanlah yang terbaik. Tetapi, kalau pun pemahaman saya mengenai trinitas adalah yang terbaik, apakah saya sanggup memuaskan dia?
Di sinilah saya melihat sesuatu sikap yang persis berbeda dengan rekan saya dari Indonesia yang adalah seorang Islam. Dalam dialog antaragama, menurut saya, yang harus terjadi bukanlah “perdebatan” mengenai siapa yang paling benar, tetapi sebuah sharing iman dan pengalaman rohani serta berbagi kepedulian dan komitmen sosial untuk memajukan kehidupan sosial. Alasannya, perdebatan di tingkat inti ajaran, kredo, dan teologis, tidak akan pernah mencapai kesepakatan persis ketika agama-agama mengklaim diri sebagai yang paling benar dan otentik.
Contoh ini saya kemukakan untuk membantu menjelaskan pentingnya memiliki pemahaman yang holistik mengenai kelompok sosial dan agama yang berbeda dengan kita. Saya teringat penelitian UIN Syarifhidayatullah belum lama ini yang mengatakan bahwa guru-guru agama di Indonesia adalah kelompok yang paling tidak toleran. Taruhlah jika kebanyakan guru agama di Indonesia demikian keadaannya, dan mereka mengajarkan murid-muridnya untuk bersikap radikal terhadap agamanya tanpa bersikap toleran terhadap agama lain, bayangkan apa efek sosialnya. Tentu saya tidak mengatakan bahwa muatan pendidikan agama harus dikontrol negara. Lagi-lagi, kalau pun dikontrol negara, tidak ada jaminan bahwa kita tidak akan mengajarkan intoleransi kepada para siswa dan orang-orang di sekitar kita.
Sekali lagi, ini semua hanyalah contoh. Yang ingin saya katakan adalah bahwa kita perlu membaca separah apakah keadaan sosial masyarakat Indonesia? Apakah kita cukup toleran, menerima kehadiran orang lain yang berbeda secara suku dan agama sebagai bagian dari realitas sosial, atau menerimanya dengan sikap kebencian, rasa muak, dan keinginan untuk meniadakan mereka. Bagi saya, penelitian sosial bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sekaligus membantu kita merekayasa kehidupan sosial kita menjadi lebih baik lagi.
Pengaruh Kehamilan Dini Terhadap Ibu dan Bayi
Pengaruh Kehamilan Dini Terhadap Ibu dan Bayi
Abstrak
Anak adalah anugerarah terindah dari Tuhan yang tidak dapat ditolak oleh setiap manusia. Seorang wanita, sebagai calon ibu, diberikan rahim oleh Tuhan untuk sabar menunggu datangnya hadiah itu masuk menjadi benih yang tumbuh dalam tubuhnya. Untuk itu, wanita harus merawat rahim dan vaginanya dengan baik.
Vagina merupakan alat reproduksi dan seksual wanita yang harus dirawat dengan baik. Dari vagina inilah, sebuah kehidupan akan muncul. Tidak sekadar untuk menjadi tempat penyalur hasrat seksual, tetapi vagina merupakan organ paling penting untuk dijaga. Melakukan hubungan seksual dengan sembarangan ataupun berhubungan intim sejak dini sangat berbahaya bagi kesehatan vagina. Akan berpengaruh pula terhadap kesehatan rahim. Begitu pula dengan rahim.
Rahim yang masih sangat muda akan berbahaya jika dibuahi. Sayangnya, di beberapa tempat di dunia ini, banyak sekali kasus pernikahan dini yang menyebabkan adanya ibu-ibu muda. Dampak kehamilan ibu muda sangat berbahaya bagi nyawa sang ibu dan perkembangan sang janin.
Misalnya, dalam kehidupan masyarakat di Afrika. Rata-rata, usia pernikahan mereka kisaran usia 10 hingga 19. Begitupun kehidupan di beberapa daerah kecil Indonesia. Pernikahan dini menjadi hal lazim, seorang wanita belasan tahun dituntut memberikan keturunan pada keluarganya.
Tidak hanya orang-orang pedesaan dan pedalaman, kehamilan muda dapat dialami para remaja ibukota. Bahkan, di negara maju seperti Amerika. Kehamilan itu biasanya disebabkan oleh pergaulan bebas sehingga mereka mengalami kehamilan pranikah.
Usia matang rahim seseorang untuk diisi janin adalah 18 tahun. Panggul tubuhnya sudah terbentuk dan organ reproduksinya telah berkembang secara sempurna. Perkembangan organ reproduksi yang telah sempurna membuat rahim siap dibuahi.
Berikut ini dampak yang terjadi pada kehamilan usia dini.
Dampak Berbahaya untuk Ibu
Mengalami perdarahan. Perdarahan ketika melahirkan disebabkan oleh otot rahim yang terlalu lemah ketika proses involusi, adanya selaput ketuban stosel (bekuan darah yang tertinggal dalam rahim), proses pembekuan darah yang lambat, dan adanya sobekan pada jalan lahir.Kemungkinan keguguran atau abortus. Keguguran biasanya disebabkan oleh faktor-faktor alamiah dan abortus yang disengaja.Persalinan lama dan sulit karena adanya komplikasi yang dialami ibu dan janin. Komplikasi ini biasanya disebabkan kelainan letak janin ataupun kelainan panggul sehingga sang ibu kehilangan kekuatan ketika mengejan.Adanya infeksi rahim serta perdarahan hebat akan berakibat pada kematian sang ibu.
Dampak Berbahaya untuk Bayi
Lahir secara prematur. Bayi akan lahir ketika usia kadungan kurang dari 37 minggu (259 hari). Hal ini terjadi karena pada masa pertumbuhan dalam rahim, zat yang diperlukan janin berkurang.Bayi akan lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram. Hal ini diakibatkan kurangnya gizi saat hamil karena usia sang ibu kurang dari 20 tahun. Dapat juga diakibatkan penyakit menahun yang diderita ibu hamil.Bayi akan mengalami cacat bawaan yang disebabkan adanya kelainan pertumbuhan struktur organ janin pada masa pertumbuhannya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kelainan genetik dan kromosom, infeksi, virus rubela, serta faktor gizi dan kelainan hormon.Bayi akan mengalami kematian pada usia 7 hari. Hal ini disebabkan bobot bayi kurang dari 2.500 gram akibat masa kehamilan 37 minggu (259 hari). Peristiwa ini disebut kelahiran kongenital dan dapat disertai asfiksia.
Untuk itu, perlu ada penanganan serius bagi permasalahan kehamilan dini ini. Kehamilan merupakan sebuah permasalahan sosial yang berdampak pada kesehatan. Bahkan, kematian.
Sumber :
http://hqsa.blogspot.com/2012/07/contoh-karya-tulis-ilmiah-kesehatan.html
http://www.anneahira.com