KATEGORI : artikel Muji

Kesalahan Orang Tua Dalam Mendidik Anak Remaja

13 October 2013 21:18:04 Dibaca : 1992

Kesalahan Orang Tua Dalam Mendidik Anak Remaja

Masa remaja adalah masa perkembangan psikologis anak untuk menjadi seorang anak yang mulai tumbuh dewasa atau biasa dikenal dengan masa peralihan dari masa keanak-anak menjadi orang dewasa. Dimasa ini anak remaja biasanya sukanya meniru gaya atau stile orang yang dikaguminya sehingga dalam hal ini sangat dibutuhkan bimbingan dari orang tua agar anak remajanya tidak salah gaya yang dapat membuat rusak untuk masa depannya. Tapi kebanyak orang tua tidak mengetahui dalam mendidik anak remaja mereka tidak tau bakat apa yang dimiliki anaknya sehingga bakat anaknya itu terkandas karena kesalahan dari orang tua. Olehnya itu berikut beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak remaja mereka:

Salah persepsi

Seringkali orang tua menanamkan persepsi yang salah tentang diri sendiri juga persepsi tentang keberhargaan diri dalam diri anak anaknya baik secara sadar attau tidak sadar hal ini mempengaruhi pertumbuhan psikologis anak. Ketika orang tua mengajarkan persepsi yang salah kepada diri anak, sebenarnya saat itulah orang tua sedang menanam ranjau ranjau psikologis yang sewaktu waktu dapat meledak.

Persepsi salah yang seperti apakah yang sering dan tanpa disadari dilakukan orang tua kepada anak anaknya..? Contoh kecil saja, banyak orang tua yang memaksakan anaknya harus baik dalam segala hal. Adalah menjadi kebanggaan dan keberhargaan diri bagi orang tua jika anak anaknya memiliki prestasi diatas rata rata teman teman lainnya. Orang tua sering menganggap buruk terhadap anak laki-laki yang mengekspresikan emosi negative, orang tua juga sering meminta anaknya untuk tidak melakukan kesalahan bahkan menurut orang tua meminta pertolongan adalah salah dan memalukan. Ibarat bom waktu, seorang anak bukan saja membutuhkan perhatian, pujian, dan teguran. Keseimbangan akan hal itu akan membuat sang anak merasa dicintai dan dikasihi. Namun sayang karena kesibukan perkerjaan dan rutinitas banyak orang tua membiarkan anak anaknya tumbuh dengan sendirinya sehingga ketika masalah timbul barulah sang orang tua sibuk mencoba menjadi orangtua yang baik atau bijaksanana.

Kesibukan orang tua kadang membuat mereka tak ada waktu lagi untuk anak anaknya, tak ada waktu lagi menemani belajar, bahkan tak ada waktu lagi bersenda gurau. Bahkan kadang lupa memberi apresiasi kepada anaknya yang berprestasi, baru ketika anak berbuat salah maka orang tua sibuk memberikan perhatian dan sok bijak.

Tidak Konsisten

Adalah perangkap masalah umum ketika orang tua tidak lagi konsisten dalam mengasuh anak. Para orang tua memiliki berbgai macam alasan untuk membenarkan ketidak konsistenan terhadap anak anaknya. Apapun alasannya, ketidak konsintenan dapat memperbesar variasi prolem terhadap perilaku anak anaknya. Lalu muncul pertanyaan pertanyaan pada diri saya “manakah yang lebih baik anak anak tumbuh di dalam keluarga otoriter atau permisif…? Sebenarnya yang terpenting adalah adanya aturan yang bisa di prediksi dan konsisten.

Komunikasi tertutup

Komunikasi adalah hal atau faktor terpenting dalam mengasuh dan mendidik anak anaknya. Jika anak anak berpikir bahwa mereka dapat berbicara dengan orang tua mereka tentang perasaan dan hidup mereka, Jika ketika mereka berhasil atau gagal bisa dan mampu menyampaikan secara terbuka kepada orang tuanya, dengan begitu mereka akan merasa dimiliki dan diperhatikan. Sehinga anak anak akan merasa bermakna bagi diri juga orang tuanya.

Problem solver

Banyak anak dan remaja sekarang menjadi anggota generasi bingung, kalau mau ditelusuri ke latar belakang pengasuhan mereka, biasanya ditemui bahwa orang tua mereka kebanyakan berfungsi sebagai problem solver bagi anak anaknya. Akibatnya anak anak mereka mengalami over-provided dan hidupnya menjadi pasif. Lalu apa alasan orang tua menjadi problem solver..? Alasan klasiknya adalah orang tua ingin membahagiakan anak anaknya, orang tua tak ingin anaknya mengalami masalah dalam hidupnya.

Tidak ada keteladanan

Seringkali orang tua menggunakan teknik dalam membangun dan mendidik anak anak dengan cara memerintah, meminta anak anaknya melakukan apa yang di katakan, padahal hal yang tak kalah pentingnya keteladanan memberikan pengaruh yang sangat kuat dan positif. Anak anak perlu diberi contoh, dan bukan dengan diperintah. Contoh kecil, banyak orang tua berharap anak anaknya cerdas, lalu para orang tua memerintahkan anaknya untuk belajar apapun dan bagaimanapun caranya. Mungkin dengan memberi contoh dan mengajaknya belajar akan beda, karena penerimaan anakpun akan merasa dirinya diperhatiakan orang tuanya.

Pilih waktu untuk bermain dengan anak anak

Sebagai orang dewasa kadang para orang tua lupa bagaimana menjadi seorang anak kecil. Banyak orang tua terjebak dalam kesibukan sehari hari untuk mencari nafkah dan membayar cicilan rumah, tapi banyak orang tua lupa bahwa anak anak juga butuh bermain. Anak anak butuh berfantasi dan mengembangkan kreatifitasnya. Jangan sibukkan anak anak dengan berbagai macam les sepanjang minggu. Niatnya baik tapi belum tentu caranya benar, kadang les yang tidak disukai anak tidak menyelesaikan persoalan justru menambah persoalan bagi si anak.

duniaremaja.net http://www.duniaremaja.net/kesalahan-orang-tua-dalam-mendidik-anak-remaja-mereka-1001.html

Kikis Habis Tawuran Antar Pelajar

13 October 2013 21:17:13 Dibaca : 1136

Kikis Habis Tawuran Antar Pelajar

Sebuah bentuk kegiatan masa yang anarkis, brutal dan jauh dari nilai dan norma yang dibelajarkan pendahulu kita memang marak ditayangkan oleh media apa saja yang berkepentingan dengan gejala sosial tersebut. Namun keprihatinan terus saja menyeruak di sanubari Rakyat Indonesia, khususnya para pendidik serta pemerhati pendidikan, bila yang melakukan anarkis ini adalah peserta didik kita yang masih duduk di bangku sekolah.

Lantas apa jadinya bila tindakan anarkis ini hingga sekarang masih sering kita jumpai di mana-mana. Bagaimana jadinya pula bahwa tabiat tak terpuji ini terus berlanjut hingga mereka duduk di bangku kuliah nantinya. Yang jelas mau tidak mau kita harus memulai langkah yang konkrit untuk mengatasi masalah ini, sebelum masalah tawuran antara pelajar menjadi semacam bola salju yang tambah besar dan menggilinding tanpa arah.

Dengan pertimbangan bahwa mereka yang terlibat tawuran, adalah para peserta didik yang masih berusia remaja, maka langkah persuasif dan komprhensif perlu diprioritaskan. Karena penanganan yang gegabah, tentunya akan merusak masa depan mereka sebagai anak bangsa. Padahal mereka masih harus duduk di bangku sekolah untuk menerima input, yang tentunya akan membentuk aspek afektif mereka yang utuh. Bukankah penanganan dengan cara yang gegabah justru akan melahirkan bentukan-bentukan pelaku kriminal yang baru.

Dengan demikian mendudukan para ahli dari berbagai disipilin ilmu pada satu meja untuk mengkonsep tindakan yang taktis, optimal, efisien dan terpadu adalah cara yang bijaksana. Dengan cara demikian maka kita mampu memilah mana remaja yang melakukan tawuran lantaran solidaritas semu, pencarian jati diri atau memang memiliki potensi crime behaviour yang kuat.

Namun karena kebanyakan mereka hanya berlatar- belakang solidaritas semu dan upaya pencarian jati diri, maka tentunya tindakan yang paling berhasil guna adalah bimbingan kolektif antara pihak orang-tua, lembaga sekolah dan aparat yang berwajib. Penanganan yang sejuk ini terbukti memang manjur, karena setelah dilakukan upaya semacam itu, mereka yang beringas di jalan-jalan dalam waktu yang relatif singkat kembali untuk belajar di kelas masing-masing.

Namun bagaimana penanganan bagi mereka yang telah kelewat batas, dalam artian menangani peserta didik yang dengan ringan tangan melakukan tindakan pidana penganiayaan berat pada saat malakukan tawuran. Dalam hal ini sangsi dengan hukum pidana barulah bisa diterapkan. Itupun hendaknya diterapkan dengan tidak mengabaikan usia mereka yang masih harus menerima input-input dari proses pembelajaran yang layak, sesuai dengan umur psikologis mereka.

Lantas bagaimana upaya ini harus dilakukan, apakah mereka yang menyandang status narapidana harus kembali ke kalas berkumpul dengan teman-teman mereka lagi. Tentunya tindakan ini, adalah tindakan yang kurang bijaksana. Karena justru pelaku ini dengan dominasinya yang kuat, akan menjadi virus yang berbahaya bagi teman lainnya. Apalagi usia mereka yang masih muda, adalah usia tang sedang memasuki fase gampang terpengaruh masukan dari luar.

Khusus untuk penangananan pelaku tindakan kriminal tersebut di atas, adalah dengan menampung mereka pada satuan pendidikan atau sekolah rehabilitasi khusus, yang dikelola bersama antara Diknas, Depag , Kepolisian atau lintas institusi lainnya. Sekolah rehabilitasi ini tentunya mengkonsepkan model pembelajaran yang penuh inovatif, menarik tapi tidak kalah berbobotnya dengan sekolah umumnya. Dalam hal ini, para paedogogis yang memang mumpuni di bidangnya disarankan untuk aktif terlibat di dalamnya.

Penanganan kedisiplinan yang ketat tapi mendidik, juga perlu diterapkan pada peserta didik yang sedang merehabilitasi sikap mentalnya yang sudah menyimpang. Sehingga setelah mereka kembali ke jenjang bangku sekolah yang lebih tinggi mereka akan membentuk dirinya sendiri menjadi profile pelajar bahkan mahasiswa yang berpendirian anti tawuran. Semoga saja sekelumit gagasan ini bisa didengar oleh semua pihak yang berkepentingan dengan penyiapan generasi mendatang yang handal, inovatif sekaligus berwawasan modern.

Adakah Pemimpin yang Jujur?

13 October 2013 21:15:59 Dibaca : 849

Adakah Pemimpin yang Jujur?

Sebuah surat pembaca dari Martha Novitasari yang tayang secara online di media ini (SP, 3 Mei 2012) membantu kita memahami sebagian dari akar krisis politik yang mendera bangsa kita. Martha Novitasari mengungkapkan rasa takjubnya atas kejujuran seorang sopir taksi yang berusaha mengembalikan tas penumpang yang tertinggal di taksi. Padahal ada peluang untuk mengambil barang-barang berharga yang ada di dalam tas tersebut. Novitasari melihat ini sebagai contoh tindakan jujur yang absen dari perilaku politik di negeri ini.

Berperilaku jujur memang sedang menjadi barang langka sekarang. Itulah yang menjadi alasan mengapa kita sangat menghargai perilaku para politisi berhati jujur seperti Jenderal Hoegeng Iman Santoso dan Baharuddin Lopa, pendekar penegak hukum yang berani dan jujur. Dewasa ini karakter seperti ini sulit ditemukan baik di kalangan legislatif maupun eksekutif. Alih-alih menemukan pemimpin yang jujur, kita justru berhadapan dengan jajaran pemimpin yang mencitrakan diri sebagai jujur, padahal memiliki sifat kotor karena memperkaya diri. Mereka sibuk melanggengkan kekuasaan dengan berbagai cara dan mulai melupakan hakikat kekuasaan sebagai amanah untuk menyejahterakan masyarakat. Kekuasaan lebih sering dijalankan di luar arena kejujuran ketika anggaran pembangunan dimanipulasi demi kepentingan diri, tindakan korupsi dibenarkan dengan memanfaatkan kelemahan hukum, dan sebagainya.

Kejujuran Politik

Di harian ini penulis pernah mengatakan bahwa kita butuh pemimpin yang memiliki karakter. Bahwa pemimpin berkarakter adalah sosok yang tahu akan apa yang baik dan buruk secara moral serta memiliki komitmen teguh untuk mempraktikkan hal yang baik tersebut (SP, 28/1/2012). Sudut pandang penulis tersebut kini goyah berhadapan dengan kenyataan bahwa korupsi kini menyerang institusi pendidikan. Diwartakan bahwa ada kepala sekolah yang menjadi pemborong atau makelar proyek. Guru-guru pun tidak malu-malu memanipulasi dana bantuan pendidikan, merekayasa data diri demi lolos sertifikasi, dan sebagainya. Berita terakhir menyebutkan ada beberapa rektor yang diduga terkait korupsi pengadaan alat-alat laboratorium.

Bagi kita, para rektor ini termasuk sosok yang punya pengetahuan mumpuni akan yang baik dan buruk secara moral, tetapi gagal mempraktikkannya. Apa yang salah? Memang dapat dikatakan bahwa mereka tidak memiliki komitmen untuk menjalankan tindakan politik bermoral. Persoalannya, mengapa komitmen itu seakan sirna dari praktik politik kaum cendekia ini? Penulis mengajukan dua kondisi untuk melengkapi pengetahuan yang baik dan buruk serta pentingnya komitmen untuk bertindak secara moral. Pertama, kejujuran harus menjadi watak utama dalam praktik politik. Kedua, kontrol sosial dalam proses demokrasi harus dimaksimalkan demi “menghukum” politisi yang tidak berkarakter etis.

Thomas Aquinas (1225-1274) membantu kita memahami kondisi pertama (ST, 2nd part of the 2nd Part, Question 145). Agar dapat membedakan hal yang baik dan buruk secara moral, kita mengandaikan kemampuan rasio (nalar). Menurut Aquinas, ada dua kemampuan rasional manusia yang bekerja sekaligus setiap kali melakukan pertimbangan rasional, yakni rational appetite dan sensitive appetite. Keduanya sama-sama mengejar kenikmatan (appetite) tetapi berbeda dari segi isinya. Dengan kemampuan rational appetite, seseorang membedakan yang baik dan buruk secara moral dan bertindak sesuai kebaikan tersebut demi mewujudkan kebaikan pada dirinya (in itself). Kenikmatan yang dikejar adalah kebaikan pada dirinya tersebut. Thomas Aquinas berpendapat bahwa kejujuran adalah “keadaan terhormat” (an honorable state) yang dicapai seseorang dalam hidupnya, dan itulah kebaikan tertinggi yang dikejar. Itu berarti kebaikan tertinggi yang dikejar karena memiliki tujuan pada dirinya itu seharusnya adalah watak kejujuran. Hanya orang jujur yang rational appetite-nya menolong dia melakukan kebaikan demi dirinya sendiri.

Lawannya adalah sensitive appetite, yakni kenikmatan yang diperoleh bukan demi tujuan pada dirinya. Tindakan korupsi, misalnya, pasti didorong oleh sensitive appetite. Koruptor sebenarnya tahu bahwa tindakannya tidak bermoral (berkat rational appetite), tetapi mengabaikannya karena dia memilih kenikmatan lain karena dorongan gaya hidup, pemerkayaan diri, investasi politik, sumbangan ke partai politik, dan sebagainya.

Mengatasi ketegangan kedua nalar ini, menurut penulis, kita membutuhkan keugaharian politik (political temperance). Ini menjadi semacam opsi motivasi tindakan politik yang bermoral. Keugaharian politik sanggup memurnikan motivasi politik berhadapan dengan daya magis sensitive appetite. Berkat keugaharian politik inilah seorang politisi atau pemimpin memilih tindakan politiknya yang tidak lagi didasarkan pada keinginan untuk memperkaya diri atau melanggengkan kekuasaan (dorongan sensitive appetite), tetapi karena panggilan nurani untuk mensejahterakan masyarakat (dorongan rational appetite). Salah satu wujud keugaharian politik adalah kesederhanaan hidup. Jika diadopsi menjadi lifestyle, kesederhanaan hidup justru dapat membebaskan politisi dari sensitive appetite dan memurnikan motivasi politik untuk hanya memajukan kemakmuran masyarakat yang diwakilinya.

Kontrol Sosial

Kondisi kedua yang juga penting adalah memaksimalisasi kontrol sosial atas praktik politik yang tidak bermoral. Demokrasi yang sudah matang mensyaratkan diskursus politik yang rasional dan partisipasi politik yang setara. Jika hal yang kedua sudah cukup baik dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2004, tidak demikian dengan yang pertama. Praktik politik di negeri ini masih diwarnai oleh politik pencitraan atau politik redaksi media massa yang pro kepentingan politisi dan/atau partai politik. Ini dapat merusak watak diskursif dan rasional demokrasi, dan pada gilirannya akan menyulitkan kontrol sosial atas praktik-praktik politik yang tidak bermoral.

Proyek bersama jangka pendek menghadapi pemilu 2014 adalah mengidentifikasi politisi dan/atau partai politik yang tidak bermoral dan kemudian menghukum mereka dengan tidak lagi mendukungnya. Proyek ini hanya bisa direalisasikan jika diskursus politik dijalankan secara rasional dan imparsial. Tentu ini sebuah idealisme yang masih harus dibuktikan, terutama ketika kita berhadapan dengan tidak meratanya akses terhadap informasi atau praktik politik balas budi karena tindakan karitatif politisi atau partai tertentu dalam membantu masyarakat mengatasi kesulitan hidup. Justru di sinilah kita ditantang untuk mewujudkan diskursus demokrasi yang rasional dan imparsial tersebut.

Politik yang jujur itu baik karena mampu mengatasi motivasi tindakan politik yang tidak bermoral. Meskipun demikian, kondisi ini saja tidaklah memadai. Kehadiran kontrol sosial adalah sebuah keniscayaan demi mengendalikan perilaku politik yang tidak bermoral. Semoga ini menjadi cita-cita bersama yang bisa direalisasikan.

Catatan: Tulisan ini sudah dimuat di Harian Suara Pembarua, 16 Juni 2012, hlm. 4 (Kolom ETIKA)

http://jeremiasjena.wordpress.com/category/artikel-populer/

Bahaya Kekerasan Agama

13 October 2013 21:15:00 Dibaca : 1204

Bahaya Kekerasan Agama

Kekerasan massa semakin merajalela di republik ini. Harian Suara Pembaruan menurunkan berita miris tentang kepala daerah yang gagal menjaga dan menjamin toleransi antarumat beragama (SP, 8/5/2012). Mengutip data Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), terdapat 19 peraturan gubernur, bupati, dan walikota yang mendukung diskriminasi terhadap kelompok agama tertentu. Sementara itu, penyegelan dan penutupan rumah ibadah (utamanya gereja), larangan mendirikan rumah ibadah dan tempat ziarah rohani, atau teror terhadap kelompok masyarakat yang mengizinkan pendirian rumah ibadah terus saja terjadi.

Tidak jarang pejabat publik, aparat penegak hukum, pemuka agama, atau kelompok masyarakat pembela pluralitas tampil mengecam kekerasan massa bermotif agama, tetapi kritik dan kecaman tersebut sama sekali tidak berdampak. Gerak dan manuver kelompok-kelompok keagamaan yang mendalangi aksi protes dan kekerasan massa seakan tak terbendung. Jika benar analisa para pengamat, bahwa pemerintah RI lemah dalam memberantas kekerasan, maka kita sebetulnya sedang menghadapi fase serius kehancuran republik ini.

Gagalnya Proses Individualisasi

Mengapa kekerasan massa di negara ini sepertinya tidak dapat dicegah? Pada tataran relasional (interaksi sosial dan pembentukan identitas kelompok), pendirian rumah ibadah atau menjalankan ritual keagamaan adalah bagian dari proses pembentukan identitas kelompok. Ini dilakukan tidak hanya demi membangun relasi yang kudus dan mulia dengan Tuhan, tetapi juga demi pembentukan kesadaran kolektif. Demikianlah, beribadah dalam sebuah masyarakat yang plural dipahami sebagai cara mendefinisikan identitas kelompok sekaligus mendistingsi diri dari kelompok lain. Dalam proses ini, problem identifikasi individu dengan kelompoknya diandaikan telah tercapai.

Penegasan identitas kelompok ini sering berhadapan secara frontal dengan kelompok mayoritas dalam masyarakat plural. Di sinilah berbagai masalah dan konflik biasanya muncul. Pertama, kelompok mayoritas mengklaim dirinya sebagai yang berhak mengendalikan proses pembentukan nilai dan norma bagi semua. Klaim ini sering dijustifikasi oleh landasan teologis yang mengatakan bahwa kelompok yang berbeda adalah kaum kafir, bahwa Tuhan memerintahkan agar kelompok lain itu ditobatkan. Meskipun demikian, alasan kultur juga ikut mendukung, misalnya, pandangan bahwa daerah tertentu harus beragama tertentu, dan sebagainya.

Bisa jadi cara berpikir seperti inilah yang mendasari mengapa banyak kepala daerah bersikap diskriminatif dalam menelorkan kebijakan dan peraturan tentang kaum minoritas di daerahnya. Memang kebijakan ini dapat melanggengkan ketidaksetaraan dan membenarkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas. Akan tetapi, hal yang lebih berbahaya adalah tindakan ini justru memperkuat kesadaran kolektif kaum mayoritas bahwa merekalah yang berhak membentuk identitas kelompok. Kesadaran kolektif yang salah seperti inilah yang akan melanggengkan kebencian dan kekerasan terhadap sesama.

Kedua, penegasan identitas kelompok dalam proses sosial yang normal biasanya melalui fase kolektivisasi (Beck and Beck-Gernsheim, 2002) ke fase individualisasi (Alastair Hudzon, 2007). Pertanyaan “siapa kita” dijawab dalam fase kolektivisasi ketika setiap individu mengidentifikasi diri dengan identitas kelompoknya sekaligus membedakan kelompoknya dari kelompok lain. Narasi teologis atau warisan budaya hadir memperkuat proses ini. Proses fragmentasi kelompok tidak dapat dihindari pada fase kolektivisasi persis ketika setiap kelompok sosial menegaskan identitas dirinya sebagai yang berbeda dan eksklusif dari kelompok lain.

Ayn Rand pernah mengingatkan kita di tahun 1963 (The Virtue of Selfishness), bahwa rasisme telah menjadi perwujudan kesadaran kolektif yang paling berbahaya karena sanggup mengkonstruksi kebencian etnis seperti yang dipraktikkan Adolf Hitler di Jerman di abad ke-20. Jika saja filsuf Amerika keturunan Rusia itu masih hidup, dia harus mengakui bahwa agama telah menjadi pemicu kebencian yang paling menakutkan di abad ini dengan Indonesia sebagai contoh. Sama seperti cara kerja ideologi ultra nasionalis Nazisme, teologi agama dewasa ini berhasil mengkolonialisasi kesadaran individu, bahwa sumber pembentuk identitas dirinya hanya bersumber pada agamanya, dan bahwa eksistensi agama lain hanya akan mendistorsi kemurnian pembentukan identitas diri.

Proses individualisasi terjadi ketika seseorang berbusanakan identitas kelompok dan agamanya berinteraksi dengan identitas yang berbeda. Dalam proses normal, interaksi tersebut memungkinkan terjadinya redefinisi identitas diri, di mana seseorang mempertanyakan nilai dan norma kelompoknya, mempertegas prinsip-prinsip moralnya atau meninggalkan nilai-nilai tertentu yang dianggap ketinggalan zaman. Pross individualisasi memberikan kesempatan kepada individu “… to dictate their own biographies in contrast to traditional social patterns” (Alastair Hudzon, 2007: 2). Dalam konteks Indonesia, proses normal ini mengalami kegagalan karena pandangan teologis telah mengebiri pemikiran kritis individu tentang keragaman identitas yang berimplikasi pada penolakan kelompok lain yang berbeda. Inilah proses kolektivisasi yang gagal karena tidak memberi ruang bagi eksistensi agama lain sekaligus melumpuhkan perangkat kesadaranindividu tentang relativitas kebenaran agama. Individu terpasung dalam identitas agama dengan berbagai kepentingan yang menyertainya.

Tugas Berat

Proses pembentukan identitas diri tidak bisa dibiarkan tanpa kontrol negara dalam arti positif. Pertama, proses sosial yang normal dari fase kolektivisasi ke fase individualisasi menyembunyikan bahaya terkooptasinya kelompok lain yang berbeda ke dalam identitas kelompok mayoritas. Atau, paling ekstrem adalah penghancuran kelompok lain yang berbeda itu. Pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif tanpa koreksi tegas negara hanya akan mematikan proses individualisasi, cepat atau lambat. Dalam arti itu, proses individualisasi dengan intervensi negara secara minimal seharusnya dibenarkan demi pengakuan terhadap eksistensi kelompok yang berbeda. Masalahnya, kekerasan bermotif agama yang sering terjadi di negeri ini membuat kita khawatir bahwa proses individualisasi seperti itu segera akan terjadi.

Kedua, kita membutuhkan rekayasa sosial demi mengatasi kemandekan proses sosial dari fase kolektivisasi ke fase individualisasi tersebut. Pendidikan dan penyadaran sosial dapat menjadi sarana efektif bagi rekayasa sosial itu. Melalui pendidikan, pemerintah dapat menginjeksikan kesadaran bahwa orang lain – siapa pun dia – adalah sesamaku. Tentu dengan catatan bahwa pemerintah memiliki kontrol penuh atas isi pembelajaran, termasuk pembelajaran agama yang selama ini diduga menjadi pintu masuk bagi penyebaran ajaran radikal dan eksklusif.

Sekaranglah setiap elemen bangsa ini bekerja keras mengkampanyekan sikap inklusif. Ketika sedang berpacu dengan waktu karena anacaman disintegrasi bangsa begitu nyata di depan mata, Emmanual Levinas tampil mengajarkan kita untuk selalu melihat orang lain sebagai sesama (Ethics and Infinity, 1982). Sebagai ganti terhadap sikap eksklusif, kebencian dan penganiayaan, orang lain seharusnya dijumpai dalam kepolosan wajah dan kesucian dirinya. Seperti yang dikatakan Levinas, “wajah” (face) orang lain yang dijumpai adalah kepolosan dan kesucian bermartabat yang sanggup melarang kita menyakiti dan membunuhnya. “The face is what one cannot kill, or at least it is that whose meaning consists in saying: ‘thou shalt not kill’” (1982, 87). Ini mengandaikan kita beralih dari menjadi pengikut agama yang hanya menekankan doktrin dan formalisme kepada mengalami kebaikan Tuhan dalam diri orang lain.

Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di harian Suara Pembaruan, 12 Mei 2012.

http://jeremiasjena.wordpress.com/category/artikel-populer/

Pendidikan Dimulai Sejak Janin

13 October 2013 21:12:32 Dibaca : 1940

Pendidikan Dimulai Sejak Janin

Sejak lebih dari satu dasawarsa silam, tak sedikit ahli mulai mendalami penelitian terhadap pendidikan prenatal. Menariknya, tak diperlukan seorang yang ahli di bidang pendidikan untuk melakukannya. justru orang tua, terutama ibu, menjadi guru pertama bagi si buah hati. Dalam hampir semua budaya dan dalam pandangan banyak orang, peran menjadi orang tua dimulai setelah si kecil hadir di dalam pelukan orang tuanya di ruang bersalin, Pandangan semacam ini menyebabkan terpisahnya peranan aktif orang tua dalam membesarkan anak sejak periode kehidupan si kecil di dalam kandungan. para ahli yang tak setuju dengan paradigma tersebut kemudian giat melakukan pengamatan, eksperimen, dan pengembangan terhadap stimulasi dan pendidikan prenatal. Hasil beberapa studi tampaknya akan membuat Anda berpikir dua kali untuk mengabaikan stimulasi si buah hati saat masih dalam kandungan:

Dua peneliti bidang psikologi dan pendidikan anak Amerika Serikat, Rene Van de Carr dan Marc Lehrer, merupakan salah satu pelopor penelitian di bidang stimulasi dan pendidikan prenatal. Penelitian terhadap ribuan pasangan muda dan keluarga di seantero negeri Paman Sam dan beberapa negara lain membuktikan bahwa stimulasi, dini terhadap janin memang benar meningkatkan kemampuan dan perkembangan anak setelah lahir beberapa persen dibandingkan dengan anak yang lahir tanpa stimulasi semasa janin.

Penelitian yang dilakukan sejak tahun 1979 ini. ternyata menggugurkan pandangan beberapa kalangan ahli yang berasumsi bahwa bayi belum memiliki kesadaran atau kemampuan belajar pada bulan-bulan pertama kelahirannya, demikian pula janin. Lebih jauh lagi, Van de Carr dan Lehrer mengembangkan metode pendidikan prenatal yang menjadi model bagi studi serupa yang dilakukan di negara lain, seperti.Venezuela dan Thailand.

Terdapat beberapa prinsip dasar yang diterapkan dalam pendidikan prenatal yang dikembangkan kedua pakar psikologi dan pendidikan asal California tersebut, antara lain prinsip kerja sama yang diwujudkan dalam permainan dan latihan stimulasi, prinsip ikatan cinta (bonding/attachment) sejak sebelum lahir, serta prinsip keterlibatan anggota keluarga yang lain, termasuk ayah. Latihan serta permainan yang dikembangkan ini, teruta.ma untuk mengaktifkan seluruh indra janin yang menggunakan sentuhan dan suara serta merangsang perkembangan emosi melalui komunikasi ibu dan janin.

Latihan yang praktis dan komprehensif itu antara lain dilakukan melalui komunikasi ibu dengan janin segera sesudah diketahui telah terjadi kehamilan. Misalnya, melatih indra janin dengan suara ibu dan anggota keluarga, melatih motorik kasar janin dengan memberi instruksi menendang, dan diam dengan cara meraba serta mengelus perut ibu secara ritmis disertai kata¬kata tertentu. Lain di Amerika Serikat, lain lagi di Venezuela. Di negara Amerika Latin ini, Dr. Beatriz Manrique bersama tim melakukan riset selama 16 tahun dalam stimulasi prenatal dan postnatal yang menggunakan model atau metode yang sama dengan yang digunakan rekan terdahulunya, Van de Carr dan Lehrer. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap ribuan ibu hamil (berusia 18¬26 tahun) serta bayi di Venezuela merupakan dasar baru dalam pendidikan anak, sebab pendidikan anak sudah dimulai sejak janin.

Mula-mula Manrique membagi sampel penelitiannya dalam dua kelompok, yaitu kelompok terkontrol (terdiri dari bayi yang semasa janin tidak diberi stimulasi) dan kelompok eksperimental (terdiri dari bayi yang semasa janin diberi stimulasi). Parameter yang menjadi alat pengukuran terhadap bayi kelompok eksperimental antara lain evaluasi perkembangan emosi bayi, evaluasi keterampilan motorik, antisipasi, evaluasi sebab-akibat, dan perkembangan bahasa terhadap anal(‘ sejak lahir hingga berusia enam tahun.

Wanita pakar psikologi klinis, profesor, dan penulis ini menemukan hal menakjubkan dalam riset yang telah diakui oleh American Society of Pre and Postnatal Psychology (Masyarakat Psikologi Pre- dan Postnatal Amerika Serikat). Menariknya, bayi yang selalu diberi stimulasi rnenunjukkan kemampuan menangkap dan mengikuti rangsang visual dan auditori 1,02 poin lebih tinggi (skala Bayley) dibandingkan bayi kelompok terkontrol saat usianya 2 hari. Selain itu, kemampuan motorik bayi kelompok eksperimental lebih tinggi 0,47 poin dibandingkan kelompok kontrol, serta 0,53 poin lebih tinggi untuk kemampuan melakukan transisi antara keadaan tidak sadar dan sadar.

Hasil menakjubkan juga ditunjukkan saat kelompok eksperimental menginjak usia 18 bulan, yakni lebih tinggi 1,3 poin untuk perkembangan motorik kasar; 1,76 poin lebih tinggi untuk perkembangan bahasa; serta 2,19 poin lebih tinggi untuk koordinasi mata-tangan dibandingkan dengan anak-anak dari kelompok terkontrol. Hasil tersebut kurang lebih sama dengan studi yang dilakukan oleh Van de Carr dan Lehrer.

Meski pencapaian dalam perkembangan emosi dan inteligensi yang diperlihatkan cukup fantastis, baik para peneliti maupun pendidik prenatal yang mengembangkan metode stimulasi dini tersebut, tidak mengutamakan “target” yang mesti dicapai. Semua stimulasi dan latihan yang diberikan hanya merupakan bagian dari upaya untuk mengakomodasi semua kebutuhan anak demi tumbuh-kembang yang optimal.

Semoga bermanfaat dan bisa membantu!! Terima kasih kepada :

SUMBER : http://www.karyatulisilmiah.com/

http://rutemilia.blogspot.com/2011/10/contoh-tulisan-ilmiah-populer.html