KERUKUNAN DALAM ISLAM

22 February 2013 16:07:44 Dibaca : 1270

KERUKUNAN DALAM ISLAM

Kerukunan adalh istilah yang dipenuhi oleh muatan makna “baik” dan “damai”. Intinya, hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat” untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran. Bila pemaknaan tersebut dijadikan pegangan, maka “kerukunan adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia. Namun apabila melihat kenyataan ketika sejarah kehidupan generasi pertama keturunan Adam yakni Qabil dan Habil yang berselisih dan bertengkar dan berakhir dengan trebunuhnaya sang aidk yaitu Habil; maka apakah dapat dikatakan bahwa masyarak generasi pertama anak manusia bukanlah masyarakat yang rukun? Apakah perselisihan dan pertengkaran yang terjadi saat ini mencontoh nenek moyang kita itu? Tu perselisihan memang sudah sehakekat dengan kehidupen manusia sehingg dambaan terhadap kerukunan itu ada karena ketidakrukunan itumenjaadi kodrat dalam masyarakat manusia?

Pertanyaan seperti tersebut di atas bukan menginginkan jawaban akan tetapi hsnys untuk mengingatkan bahwa manusia itu senantiasa bergelut dengan tarikan yang berbeda arah, antara harapan dan kenyataan, antara cita-cita dan yang tercipta.

Manusia ditakdirkan Allah sebagai makhluk social yang membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan sesame manusia.sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kerja sama dengan orang lain dalm memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material maupun spiritual.

Ajaran islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong dengan sesame manusia dalam hal kebaikan. Dalam sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama.

Keberadaan Pers di Indonesia

22 February 2013 16:07:19 Dibaca : 1276

Keberadaan Pers di Indonesia

Keberadaan pers di Indonesia sering dibicarakan secara normatif. Artinya pers Indonesia harus menjalankan fungsi dan perannya sebagai pers Pancasila, sesuai dengan tuntutan normative pihak lain. Berkaitan dnegan pers Pancasila, tuntutan normatif itu pada dasarnya bersifat poltis, yaitu birokrasi kekuasaan Negara yang menggariskan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh institusi pers.

Tuntutan normatif ini terjadi dalam system berdasarkan korporatisme Negara yang menjadikan setiao institusi kemasyarakatan tidak boleh memiliki otonomi. Institusi pers, sebagaimana institus sosial lainnya sebagai asosiasi profesi, partai politik, bahkan lembaga keagamaan dan ekonomi, terkooptasi oleh birokrasi negara, dan hanya boleh menjalankan fungsi imperative yang berasal dari birokrasi negara. Dalam negara korporatif, keberhasilan aparat birokrasi poltik dilihat seberapa luas institusi sosial yang berada di bawah kendalinya. Tetapi upaya untuk mengkooptasi institusi kemasayarakatan ini biasanya sulit dijalankan terhadap institutsi ekonomi, terutama dalam era global sekarang. Istitusi ekonomi yang memiliki jaringan global pada dasrnya tidak terikat kepada satu Negara, karenanya kekuasaan birokrasi Negara tertentu, sulit untuk mengkooptasinya.

Institusi pers sebenarnya berwajah ganda, yaitu sisi poltik dan ekonomi. Sebagai institusi politik, informasi pers dinilai dalam ukuran normatif secara plitis. Untuk mewujudkan fungsi dan perannya semacam ini, negara menciptakan regulasi, mulai dari izin terbit atau usaha penerbitan, sampai haatzaai artikelen. Sebagai institusi ekonomi pers dapat menjalankan fungsi dan perannya sepenuhnya menggunakan norma ekonomi.. dengan formula industry yaitu informasi sebagai produk yang dipasarkan sesuai dengan kecenderungan sosiografis dan psikografis dari konsumen. Massa dilihat sebagai konsumen, karenanya keberadaan media bertolak dari azas komodifikasi pers.

Diantar kedua fungsi politik dan ekonomi yang bersifat imperatif, sering pula institusi pers dituntut sebagai institusi budaya. Sebagai mana institusi budaya lainnya, seperti lembaga agama dan sekolah, pers dituntut untuk juga mendidik masyarakat, membangun budi pekerti dan sebagainya. Fungsi imperatif semacam ini hanya bersifat moral, sangat bebrbeda kekuatanya disbanding dengan fungsi imperatif poltis dan ekonomis yang bersifat empiris. Tidak ada konsekuensi apapun jika pers tidak memenuhi tuntutan ini, berbeda dengan tekanan imperatif poltik atu tekanan ekonomi.

Dalam melihat keberadaan pers Pancasila agaknya lebih tepat menumpukkan perhatian kepada faktor-faktor imperatif yang melingkupinya. Tidak mungkin bertolak dari nilai normatif yang hanya dijalankan oleh institusio pers sendiri. Dengan kata lain, pers Pancasila hanya bias dilihat dari inter-relasi pers dengan institusi lain, sabab format institusi pers pada dasarnya dibangunkan oleh faktor-faktor imperatif dari institusi lain.

Tutntutan terhadap fungsi pers untuk mengubah dan mendidik masyarakat ini pada dasarnya bertolak dari asumsi tentang daya pengaruh informasi media. Kepercayaan ini sekaligus menjadi ancaman bagi media pers, menyebabkan setiap penguasa negara berusaha mengendalikan media pers. Ini dapat dilihat pada masa lalu di Indonesia, pad awal abad 20. Setelah redanya penentang fisik melalui pemberontakan kalangan bangsawanndan petani, pemerintah Hindia Belanda menghadapi penetang secara intelektual. Sebagai hasil samping politik etis, bertumbuh kalangan pribumi terdidik secara moderen di Hindia Belanda.

Karenanya pada abad le 20, gerakan penentang umumnya dilakukan oleh kalangan intelektual modern, dan format gerakannya dengan sendirinya menggunakan perangkat modern, seperti partai politik dan pers. Tekanan penguasa kolonial bebeda pula formatnya, tidak lagi bertumpu pada marsose, tetapi melalui pengendalian polisional sipil. Disini sangat berperan polisi yang menjalankn fungsi intel politik.

Pada puncak tekanan penjajahan di abad 20, birokrasi negara menjelankan ketentuan-ketentuan hokum yang semakin keras dan telanjang, bahkan ahli hokum belanda sendiri tidak dapat menrimanya. Di antaranya adalah kekuasaan Gubernur Jendral untuk menggunakan hak eksorbitan, dan pelarangan terbit Koran atau yang popular disebut sebagi persbreidel ordonnantie. kedua kewenangan yang bersifat preventif ini banyak mengambil korban para pejuang nasional yang dibuang ke Digul dan daerah-daerah lain, serta Koran-koran yang berhenti terbit. Selain itu tindakan represif juga dijalankan pula dengan menerapkan ketentuan yang terdapat dalam Hukum Pidana terutama haatzaai artikelen yang biasa disebut sebagai pasal-pasal “karet”, karena sangat longgar dalam pengiterpretasiannya. Pembuktian hukum untuk pasal pidana ini tidak melalui pengujian material perbuatan pelaku maupun efek empirisnya, tetapi melalui ucapan atau tulisan yang diinterpretasikan secara semantis oleh penuntut yang mewakili kekuasaan negara. Penginterpretasian atas dasar kekuasaan negara ini terus menerus berhadapan dengan upaya membangun otonomi lembaga peradilan di Hindia Belanda.

Ketentuan haatzaai artikelen sebagai produk hukum kolonial, tidak terdapat dalam hukum pidana Belanda yang menjadi acuan dari hukum pidana Hindia Bekanda. Haatzaai artikelen masih dipertahankan dalam hukum pidana RI. Kendati sudah merdeka, masih menggunakan ketentuan kolonial, karenanya kehidupan pers di Indonesia masih berada dalam setting hukum kolonial.

Penarapan hukum ini terhadap penyampaian informasi dapat dijadikan indicator sejauh mana kehidupan pers berhadapan dengan penguasa negara. Dengan mencatat penerapan hukum ini terhadap pers khususnya dan intelektual umumnya, dapat dilihat karakteristik dari format kehidupan pers dan kebebasan menyatakan pendapat, misalnya dengan membandingkan secara empiris frekuensi pada masa Hindia Belanda, masa perang kemerdekaan, masa liberal, masa Orde Lama, dan era Orde Baru sekarang.

Catatan sejarah tentang tekanan penguasa negara tehadap wartawan dan intelektual, menggambarkan perjalanan institusi pers dan forum intelektual Indonesia. Pada masa belakangan ini penerapan haatzaai artikelen menunjukkan frekuensi lebih tinggi disbanding dengan era sebelumnya. Karenanya sulit membayakan bahwa pers Pancasila itu semakin menemukan formatnya, yaitu ruang bagi kebebasan dan otonomi yang lebih pasti dan terjamin bagi masyarakat dalam menyatakan pendapat.

Institusi pers sebagai wahana bagi masyarakat dalam menyampaikan dan memperoleh informasi sekarang perlu dilihat sebagai bagian dari hukum penawaran dan permintaan, bukan sebagai praksis dari suatu idiologi. Sebagai institusi yang berada di dua ranah, yaitu ranah ekonomi dan ranah politik, pers harus hadir berlandaskan hukum-hukum ekonomi, sementara dalam ranah poltik, bukan dari peran politik yang dapat dijalankan, tetapi dalam posisinya menghadapi birokrasi negara. Keberadaan media pers di Indonesia pada dasarnya tidak lebih ditentukan hubungan antara birokrasi negara, melalui lisensi terbit yang dikeluarkan birokrasi negara untuk terbitnya pers. Lisensi ini dapat bernama izin usaha atau izin terbit. Prinsipnya adalah hak masyarakat untuk menerbitkan pers ditentukan oleh perjabat birokrasi atau tata usaha negara.

Dalam menyikapi kedua macam lisensi ini dapat dilihat perbedaan antara Surat Izin Usaha Pernerbitan Pers (SIUPP) dengan Surat Izin Terbit (SIT). SIT sepenuhnya bersifat politis, sebagai perangkat pengendalian kekuasaan negara terhadap media pers, melalui muatan/isi jurnalistik dari suatu media pers. Belum pernah pencabutan SIT diberlakukan berdasarkan pelanggaran dari muatan iklan komersial, atau pelanggaran keperusahaan. Dari sejarahnya dapat disimpulkan bahwa ukuran yang digunakan adalah penialaian terhadap isi kredaksinya berupa karya jurnalistik. Sedangkan SIUPP bertolak dari ketentuan yang mengatur perusahaan. Ciri terpenting dalamm persyaratan untuk mendapatkan SIUPP dititikberatkan pada aspek perusahaan, termasuk yang paling menentukan adalah permodalan.

Kebebasan versus Ketahanan

22 February 2013 16:06:33 Dibaca : 1212

Kebebasan versus Ketahanan

Kemerdekaan berpendapat dirasakan pula sebagai ancaman terhadap kepentingan bersama. Dengan perkembangan zaman memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas, konsep kebebasan berpendapat perlu dijabarkan secara lebih kontekstual. Dalam era informasi yang penuh persaingan, kemampuan mengembangkan pikiran dan penalaran sangat diperlukan agar dapat memanfaatkan informasi dan tidak tenggelam dalam arusnya. Untuk itu diperlukan suasana kebebasan informasi memadai yang mendorong Sumber Daya Manusia generasi muda mempersiapkan dirinya menghadapi masa depan. Mengingat tingginya laju arus komunikasi, upaya untuk membendung informasi akan memakan biaya dan energi yang banyak dan belum tentu dapat dilakukan dengan efisien. Disamping itu, pengendalaan terhadap arus informasi dapat merugikan sumber daya kita.

Upaya yang lebih baik adalah mengembangkan Ketahanan Nasional dalam informasi dan komunikasi, dalam arti memberi kemampuan bagi Sumber Daya Manusia masa depan untuk meningkatkan kemampuan mengelola arus informasi yang deras. Karena mengingat tidak sedikit arus komunikasi yang datang tidak mengandung nilai yang tinggi, perlu dikembangkan ketahanan nasional dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, antara lain ketahanan budaya dalam menghadapi nilai-nilai asing, ketahanan komunikasi Indonesia kepasaran global

Kebebasan Komuniksi dan Dampaknya

22 February 2013 16:06:07 Dibaca : 1315

Kebebasan Komuniksi dan Dampaknya

Kebebasan berpendapat sebenarnya merupakan kebebasan untuk berkomunikasi, yang dikenal juga sebagai hak berkomunikasi (the right to communicate ). Putusnya saluran komunikasi dalam suatu institusi, maka institusi itu tidak dapat lagi berfungsi dengan baik .

Dari segi komunikasi, yang penting sebenarnya bukan hanya kesempatan untuk menyampaikan komunikasi, tetapi juga menerima informasi, memilih yang diinginkan, mempunyai akses pada saluran komunikasi agar dapat mencapai sumber informasi yang tepat, serta mampu memanggil dan memperoleh informasi yang sesuai dengan keperluan masing-masing.

Dalam era globalisasi dan keterbukaan, bobot masalah ketahanan nasional agaknya lebih berat terletak pada segi penerimaan komunikasi atau informasi yang diterima oleh masyarakat, ketimbang komunikasi yang dikirimkannya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang berikut ini.

kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi berikut penerapannya sangat pesat sehingga produk yang dihasilkan dating silih berganti dengan cepat. Teknologi ini menghasilkan produk baru yang mempermudah, mempercepat dan mempermurah hubungan antara manusia dalam segala tahap. Ini memungkinkan komunikasi cepat dari segala rupa informasi, bukan saja berita tetapi juga uang, niali, gagasan, dan sebagainya.informasi yang lebih kaya. Berkat teknologi digital, kualitas informasi lebih tinggi dalam berbagai bentuk. Meskipun kreatif dan mengembangkan informasi baru, kemampuan ini dapt pula member gambaran yang distorsi dan menghasilkan kesimpulan yang menyesatkan.jaringan global. Inilah jalan raya informasi yang didengungkan sebagai information superhighway. Kemampuannya sedemikian rupa, sehingga siapapun dari lokasi manapun akan dapat mengirim ke, meminta dari, mengolah dan “memanipulasi” segala rupa informasi.arus informasi global. Teknologi tersebut menunjang perkembangan arus informasi global buat masyarakat luas yang tidak punya akses pada jaringan Internet.masyarakat global. Global informasi juga mencakup berbagai jenis informasi lain yang mempunyai pengaruh pada gaya hidup masyarakat. Misalnya, arus informasi music pop, pasar modal dan uang, bursa komoditi, pertaruhan, dan sebagainnya. Akibat lebih lanjut adalh munculnya gaya hidup dan perhatian yang serupa karena ciri-ciri atau profesi yang sama. Mereka merasa lebih dekat dadlm berbagai hal dalm komunitas semu di luar negeri ketimbang dengan masyarakat sekitarnya atau bangsanya sendiri.

Sebagai akibat, laju pertumbuhan dan akumulasi pengetahuan serta informasi meningkat sangat cepat secara eksponensial. Menurut Howard Frederick, andaikata informasi di dunia pada tahun 1 jumlahnya dianggap satu unit, maka penggandaan pertama memakan wakti 1500 tahun, yang kedua 250 tahun, tetapi selanjutnya 150 tahun pada awal abad 20. Namun sejak 1950-an proses ini menanjak tajam. Masa berlipat dua ini menjadi 10 tahun pada tahun 1960 sampai tahun1967, kemudian 6 tahun sampai 1973. Jumlah informasi dunia ini ditaksir para ahli berlipat dua dalam kurun waktu yang lebih singkat lagi.

Pertumbuhan ini bukan hanya mengenai jumlah , tetapi juga jenis, kualitas dan kompeleksitas informasi yang berkembang disegala bidang termasuk yang tidak atau belum tentu berguna serta limbah informasi. Begitu rupa perkembangannya, sehingga mulai muncul penyakit “kecemasan informasi”. Orang mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya, tetapi belum tentu mampu mengelola dengan baik agar informasi yang tepat dalm bentuk yang sesuai dapat ditemukan dengan cepat dan dimanfaatkan pada waktunya. “Penyakit” memburu informasi dapat dimengerti karena dalam era baru yang akan datang informasi makin penting sebagai instrument penentu kekuasaan, menggntikan tanah , kekuatan fisik, barang modal atau uang yang merupakan faktor pada waktu yang lampau.

Gabungan dari berbagai faktor itu menyebabkan arus informasi yang tersedia bagi berbagai lapisan masyarakat sangat banyak, dan sukar dikendalikan dan diawasi. Dari satu segi, arus yang besar ini berguna untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia Indonesia dalam era perdagangan bebas mendatang dan dengan demikian memperkuat ketahanan Nasional. Dari segi itu pula, maka kebebasan komunikasi dalam arti kata yang lebih luas memang diperlukan. Namun dari segi lain, besaran dan laju informasi yang membanjir akan dapat “menenggelamkan” sumberdaya manusia yang jumlahnya relatif masih sangat sedikit.

Kebebasan Berserikat dan Berpendapat

22 February 2013 16:05:37 Dibaca : 1137

Kebebasan Berserikat dan Berpendapat

Dalam polity berazaskan humanism dan jalan kapitalisme, berbagai institusi masyarakat seperti partai politik, lembaga swadaya, dan pers, hanya dapat berfungsi atas dasar adanya kebebasan berserikat dan berpendapat. Kebebasan ini disatu pihak adalah ruang gerak (eksternal), dan dipihak lain adanya dinamika otonom (internal). Artinya kebebasan institusi masyarakat merupakan kondisi bersifat ekstrnal dan internal. Kondisi eksternal adalah sejauh mana Negara dan masyarakat memberi ruang gerak bagi suatu institusi menjalankan fungsinya. Kondisi internal adalah sejauh mana system didalam organisasi bergerak dalam otonominya untuk menjalankan etos kebebasan, untuk dapat memenuhi fungsi sosialnya.

Kondisi eksternal dan internal ini memperjelas makna kebebasan dan otonomi. Kedua hal ini menjadi basis bagi keberadaan institusi masyarakat. Jalan ekonomi kapitalisme modern mungkin” memaksa” jalan politik berdasarkan libertarianisme. Tetapi tadak ada jaminan bahwa kapitalisme dapat mengubah paradigma kolektivisme Negara dan otoritarianisme kearah sebaliknya. Banyak sudah uraian tentang polity dengan kolekrivisme Negara, otoritarianisme dan komunisme, sekaligus menggambarkan kekuasaan birokrasi Negara dan tingkat keterkendalian masyarakatnya. Tetapi tidak banyak yang mengungkapkan jaan kapitalisme yang diberlakukan daam polity semacam ini. Berbeda dari polity yang menjalankan komunisme, rezim pendukung kapitalisme di dalam seting kolektivisme Negara dan otoritarianisme, dapat dilihat sebagai faktor bagi kebebasan masyarakat. Setidaknya kebebasan berserikat dan berpendapat dari dua sisi pertama, kondisi yang diberikan oleh kekuasaan (birokrasi) Negara kepada masyarakat, atau kedua, kodisi yang menjadi prasyarat dalam kehidupan polity.

Kondisi pertama, yang diberikan kekuasaan bersifat pragmatis, bertolak dari orientasi teknis dari penyelenggaraan birokrasi negara; atau bahkan bertolak dari kecenderungan individual jika penyelenggaraan birokrasi adalah perluasan (ekstended) dari ranah personal pejabat Negara. Kondisi bersifat subyektif ini sepenuhnya dibaca dari pernyataan, imbauan bahkan dugaan atas itikad dari pejabat Negara. Pernyataan-pernyataan penguasa Negara biasa dijadikan acuan untuk batas kebebasan dan otonomi. Dengan demikian ruang kebebasan dan otonomi ini mengembang dan mengempis sesuai dengan selera dan kepentingan pragmatis dari penguasa negara.

Kondisi kedua, jika birokrasi dan masyarakat menggunakan acuan nilai yang sama tetntang batas kekuasaan birokrasi di satu pihak dan batas kebebasan masyarakat. Acuan nilai selalu bersifat normative, dan bunyi ideal, seperti dalam konstitusi. Tetapi normative konstitusional masih harus diwujudkan secara empiris, sehingga menjadi nilai sosial. Setiap keputusan birokrasi negara di atu pihak,dan respon masyarakat di pihak lain, merupakan penafsiran atas nilai. Proses diharapkan bersifat konsisten, sehingga nilai sosial dari kebebasan masyarakat dapat semakin terwujud secara empiris sebagai nilai sosial.

Tuntutan untuk kejelasan platform ini terutama datang dari institusi ekonomi.institusi yang menjadi tulang punggung kapitalisme, dapat menuntut konsesi yang lebih jelas dan transparan, sehingga setiap regulasi dapat diarahkan kepada kapastian bagi gerak institusi bisnis. Jalan kapitalisme memang harus menggunakan platform yang dapat diterima dalam azas resiprokal (bertimbal balik), baik oleh institusi birokrasi Negara. Institusi bisnis merupakan suatu ranah (domain) yang bersifat mondial dengan menggunakan ukuran-ukuran yang berlaku antara Negara.

Jalan kapitalisme tidak membawa signifikasi yang berarti kepada institusi masyarakat lainnya. Dengan kata lain, kapitalisme pada dasarnya tidak memerlukan institusi masyarakat baik politik maupun budaya. Institusi bisnis sebagai pelaku jalan kapitalisme, cukup memerlukan dukungan institusi birokrasi Negara. Bagi institusi Negara, kecuali institusi ekonomi, perilaku birokrasi Negara bagaikan kotak hitam yang tidak dapat diketahui secara persis muatannya. Kotak hitam itu merupakan rantang antara kolektivisme Negara dengan kapitalisme. Disebut sebagai kotak hitam, karena tidak dapat sepenuhnya sebagai otoritarianisme. Dalam mendukung kapitalisme, birokrasi Negara adakalanya menjlankan otoritarianisme dengan menekan pelaku bisnis untuk kepentingan masyarakat.

Ditarik ke konteks Indonesia, keberadaan institusi masyarakat dapat dilihat sebagai wahana bagi kegiatan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran, disebutkan dalam pasal 28 UUD1945. Institusi semacam ini diantaranya adalah partai poltik, lembaga-lembaga penampungan kelompok penekan, pers, dan sebagainya. Institusi pers dipinjam namannya untuk menggambarkan kebebasan dan otonomi institusi masyarakat, dengan sebutan kebebasan pers. Dengan kata lain, kebebasan pers pada hakekatnya dapat dinyatakan sebagai ujung tombak untuk menjelaskan hak masyarakat untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran. Ini perlu untuk mengingat bahwaUUD 1945 tidak ada secara eksplisit menyebut partai politik dan institusi sosial lainnya. Dengan kebebasan pers, yaitu hak masyarakat melalui institusinya menyampaikan dan memperoleh informasi baik lisan maupun tulisan. Istilah lisan dan tulisan dapat dijadikan payung bagi seluruh media masa. Karenanya istilah lisan dan tulisan yang tersurat dalam pasal 28 UUD 1945 hebdaknya tidak diartikan secara harafiah, sehingga segala teknologi media yang muncul setelah tahun 1945 dianggap tidak dicakup dalam undang-undang. Cara berpikir formalitas, sering menjadikan media masa dilihat dari bentuknya, bukan dari karakter dan fungsinya dalam masyarakat.

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll