ARSIP BULANAN : September 2022

KONSEP DASAR SOSIOLINGUISTIK DAN MASYARAKAT BAHASA

30 September 2022 13:59:56 Dibaca : 5025

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Kemunculan sosiolinguistik sebagai sebuah disiplin ilmu tak lepas dari perkembangan sosial masyarakat yang menumbuhkembangkan bahasa sebagai identitas sosial kemasyarakatannya. Sosiolinguistik adalah ilmu antardisiplin. Secara istilah, sosiolinguistik berakar dari rumpun sosiologi dan linguistik.

Pengistilahan itu merujuk pada aspek sosial dan aspek bahasa yang berfusi dikarenakan bahasa dan strukturnya berkembang dalam pranata masyarakat. Hubungan mesra antara masyarakat dan linguistik dalam tataran sosiolinguistik memiliki kompleksitasnya tersendiri. Hal ini menunjukkan betapa berperannya sosiolinguistik.

Sosiolinguistik memaparkan tentang cara penggunaan bahasa dalam aspek sosial tertentu. Pemahaman sosiolinguistik dapat menunjang interaksi dan komunikasi dalam masyarakat. Hubungan antara bahasa dan masyarakat maupun berbagai fungsi bahasa dalam masyarakat dikenal sebagai masyarakat bahasa dalam kajian sosiolinguistik. Malabar (2015:12) menegaskan bahwa masyarakat bahasa yang dimaksudkan di sini tidak hanya berdasarkan pada perkembangan bahasa, tetapi berdasarkan pada sejarah, budaya, dan politik.

Hadirnya sosiolinguistik memperkaya pedoman dalam berkomunikasi dengan menampilkan bahasa, ragam bahasa, atau gaya bahasa yang sesuai digunakan dalam masyarakat penutur bahasa tertentu. Dengan demikian, kehadiran sosiolinguistik meredam pelbagai persoalan bahasa dalam masyarakat penutur.

Atas rasionalitas seluk-beluk sosiolinguistik tersebut, maka penulis menyegarkan pemahaman pengetahuan melalui penyajian makalah yang mengangkat judul “Konsep Dasar Sosiolinguistik dan Masyarakat Bahasa”.

 

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:

Bagaimanakah hakikat sosiolinguistik?Apa saja objek kajian sosiolinguistik?

Bagaimana relevansi sosiolinguistik dengan cabang ilmu lain

Apa manfaat sosiolinguistik?

Bagaimanakah relevansi bahasa dan masyarakat?

Bagaimanakah pengertian masyarakat bahasa? 

1.3  Tujuan Penulisan

Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:

Untuk mengetahui tentang hakikat sosiolinguistik

Untuk memahami tentang objek kajian sosiolinguistik

Untuk mengetahui relevansi sosiolinguistik dengan cabang ilmu lain

Untuk mengetahui manfaat sosiolinguistik

Untuk memahami relevansi bahasa dan masyarakat

Untuk mengetahui pengertian masyarakat bahasa 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 KONSEP DASAR SOSIOLINGUISTIK

2.1.1 Hakikat Sosiolinguistik

Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik. Chaer dan Agustina (2010: 2) menjelaskan bahwa untuk memahami sosiolingusitik perlu dipahami terlebih dahulu sosiologi dan linguistik itu. Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari manusia di dalam masyarakat, menyangkut di dalamnya mengenai proses interaksi sosial manusia di dalam masyarakat. Sementara itu, linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajarai bahasa. Linguistik mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik merupakan bidang ilmu antardisiplin yang mempelajarai bahasa dalam kaitan penggunaan bahasa tersebut di dalam masyarakat.

Terkait dengan definisi sosiolinguistik, Soemarsono (2012: 1) mendefinisikan sosiolinguistik merupakan kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan. Beberapa pakar (melalui Chaer dan Agustina (2010: 3) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai berikut.

1.    Sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan pelbagai variasi bahasa, serta hubungannya di antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat (Kridalaksana, 1978).

2.    Pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan disebut sosiolinguistik (Nababan, 1984).

3.    Sociolinguistics is the study of characteristics of languange varieties, the characteristics of their functions, and the characteristics of their speakers as these three constantly interact, change, ang change one another within a speech comunity (J.A. Fishman, 1972).

4.    Sociolinguistics is developing subfield of linguistics which takes speech variation as it’s focus, viewing variation or it social content. Sociolinguistics is concerned with the corelation between such social factor and linguistics variation (Hickerson, 1980).

 

2.1.2 Objek Kajian Sosiolinguistik

Chaer dan Agustina (2010: 3) menjelaskan bahwa dalam sosiolinguistik bahasa tidak dilihat sebagai bahasa sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melaikan dilihat sebagai sarana interaksi sosial di dalam masyarakat. Soemarsono (2012: 8) menjelaskan bahwa sosiolinguistik melihat bahasa sebagai suatu sistem yang berkaitan dengan masyarakat, bahasa dilihat sebagai sistem yang tidak terlepas dari ciri-ciri penutur dan dari nilai-nilai sosiobudaya yang dipatuhi oleh penutur itu. Lebih lanjut, konferensi sosiolinguistik pertama yang berlangsung di University of California, LA, tahun 1964, telah merumuskan adanya tujuh dimensi dalam penelitian sosiolinguistik. Ketujuh dimensi tersebut yaitu (1) identitas sosial penutur, (2) identitas sosial pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan tenpat peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis penelitian sosiolingusitk (Dittmar, 1976).

 

2.1.2 Relevansi Sosiolinguistik dengan Cabang Ilmu Lain

Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mengkaji linguistik yang dihubungkan dengan faktor sosiologi. Dengan demikian, sosiolinguistik tidak meninggalkan linguistik. Apa yang dikaji dalam linguistik dijadikan dasar bagi sosiolinguistik untuk menunjukkan perbedaan penggunaan bahasa yang dikaitkan dengan faktor sosial. Apa yang dikaji dalam linguistik, meliputi apa yang ditelaah De Saussure, kaum Bloomfieldien (Bloomfield, Charles Fries, dan Hocket) serta kaum Neo Bloomfieldien dengan deep structure dan surface structurenya, dipandang oleh sosiolinguis sebagai bentuk bahasa dasar yang ketika dikaitkan dengan pemakai dan pemakaian bahasa akan mengalami perubahan dan perbedaan.

Kajian mengenai fonologi, morfologi, struktur kalimat, dan semantik leksikal dalam linguistik dipakai oleh sosiolinguistik untuk mengungkap struktur bahasa yang digunakan oleh tiap-tiap kelompok tutur sesuai dengan konteksnya. Karenanya, tidaklah mungkin seorang sosiolinguis dapat mengkaji bahasa dengan tanpa dilandasi pengetahuan mengenai linguistik murni itu. Sosiolinguistik mengkaji wujud bahasa yang beragam karena dipengaruhi oleh faktor di luar bahasa (sosial), yang dengan demikian makna sebuah tuturan juga  ditentukan oleh faktor di luar bahasa. Untuk dapat mengungkap wujud dan makna  bahasa sangat diperlukan pengetahuan tentang linguistik murni (struktur bahasa), supaya kajian yang di lakukan dengan dasar sosiolinguistik tidak meninggalkan objek bahasa itu sendiri (Sumarsono dan Partana, 2004: 7-9).

Sosiolinguistik membantu sosiologi dalam mengklasifikasi strata sosial. Sumarsono dan Partana (2004: 5-7) mengemukkan persamaan sosiolinguistik dengan sosiologi sebagai berikut.

1.  Sosiolinguistik memerlukan data atau subjek lebih dari satu orang individu.

2.  Menggunakan metode kuantitaif dengan teknik sampling random atau acak

3.  Menggunakan metode wawancara, rekaman, dan pengumpulan dokumen

4.  Pengolahan data menggunakan metode deskriptif.

5.  Keduanya memiliki hubungan simbiosis mutualisme (timbal balik) sebagai berikut:

a. Data sosiolinguistik yang memberikan ciri-ciri kehidupan sosial, menjadi barometer untuk sosiologi.

b. Aspek sikap berbahasa mempengaruhi budaya material dan spiritual suatu masyarakat.

c. Bahasa yang diteliti secara sosiolinguistik adalah alat utama dari perkembanagan penegetahuan mengenai sosiologi.

Antropologi merupakan kajian mengenai masyarakat, seperti asal usul budaya, adat istiadat, dan kepercayaan. Antropologi memandang bahwa budaya yang dimiliki masyarakat memiliki kaitan dengan bahasa. Jika kita menengok linguistik bandingan historis yang di dalamnya mengkaji asal usul bahasa menyebutkan bahwa suatu daerah yang mempunyai persamaan bahasa pasti memiliki kesamaan budaya atau terletak dalam daerah yang tidak saling berjauhan. Misalnya antara Indonesia dengan Malaysia yang mempunyai bahasa yang sama, yakni bahasa melayu austronesia.

Sosiolinguistik mengkaji ulang apa yang ditemukan oleh antropologi adanya kaitan antara budaya dan bahasa. Sehingga muncullah berbagai pandangan yang juga mempengaruhi penggunaan bahasa seperti hipotesis Saphir-Whorf. Kemudian melalui budaya yang dikaji oleh antropologi akan diketahui sistem kekerabatan yang kemudian diambil alih oleh sosiolinguistik dalam kaitannya dengan terms of addres atau kata sapaan. Selain itu, antropologi juga memberikan pengetahuan yang cukup bagaimana seorang penutur dari daerah lain berkomunikasi dengan warga yang berasal dari daerah yang berbeda. Hal tersebut merupakan kajian sosiolinguistik (Sumarsono dan Partana, 2004: 13-14).

 

2.1.3 Manfaat Sosiolinguistik

Kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis sangat banyak, sebab bahasa merupakan alat komunikasi verbal manusia. Dalam penggunaannya, sosiolinguistik memberi pengetahuan bagaimana menggunakan bahasa di dalam masyarakat. Sosiolinguistik memberikan pengetahuan tentang berbagai variasi bahasa yang ada di masyarakat. Kita sebagai manusia yang hidup di dalam masyarakat, sosiolinguistik memberikan pengetahuan tentang bagaimana kita dapat menempatkan diri dalam penggunaan bahasa kita ketika berada pada masyrakat tertentu. Sosiolinguistik juga memberikan deskripsi variasi bahasa dalam kaitannya dengan pengguna maupun kegunaannya. Selain itu, sosiolingusitik memungkinkan kita mengkaji fenomena dan gejala bahasa yang ada di dalam masyarakat melalui sosiolinguistik.

Sebagai ilmu yang mengkaji bahasa di dalam masyarakat, sosiolingusitik mampu membaur dengan bidang-bidang ilmu yang lain. Hal ini karena bahasa merupakan alat verbal manusia yang ada di berbagai bidang ilmu lain. Sebagai alat komunikasi, tentu bahasa tidak mungkin terlepas dari ilmu-ilmu lain sebagai sarana untuk mengungkapkan hasil pemikiran. Selain itu, objek kajian sosiolinguistik adalah bahasa di dalam masyarakat. Tentu hal tersebut sangat memungkinkan sosiolinguitik untuk saling terkait dengan bidang-bidang ilmu yang lain seperti politik, budaya, ekonomi, dan lain sebagainya.

 

2.2 MASYARAKAT BAHASA

2.2.1 Relevansi Bahasa dan Masyarakat

Menurut Ferdinand de Saussure (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:30-34) membedakan antara yang disebut langage, langue, dan parole. Ketiga istilah yang berasal dari bahasa Prancis itu, dalam bahasa Indonesia secara tidak cermat, lazim dipadankan dengan satu istilah, yaitu bahasa. Padahal ketiganya mempunyai pengertian yang sangat berbeda, meskipun ketiganya memang sama-sama bersangkutan dengan bahasa.

Dalam bahasa Prancis istilah langage digunakan untuk menyebutkan bahasa sebagai lambang bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama. Jadi, penggunaan langage pada istilah bahasa tersebut tidak mengacu pada bahasa tertentu melainkan mengacu pada bahasa secara umum sebagai alat komunikasi manusia.

Istilah kedua yang digunakan oleh Ferdinand De Saussure yakni langue. langue dimaksud sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya. langue mangacu pada suatu sistem lambang bunyi tertentu yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu.

Istilah ketiga yaitu parole. parole bersifat konkret, karena parole merupakan pelaksanaan dari langue dalam bentuk ujaran dan tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat dalam berinteraksi dan berkomunikasi antara sesamanya.

Dalam studi linguistik yang menjadi kajiannya adalah langue, sebagai suatu sistem bahasa tertentu tetapi dilakukan dengan parole karena parole dapat diamati secara empiris sedangkan langue tidak bisa diamati. Dari ketiga istilah di atas, langage, langue, dan parole terlihat bahwa kata atau istilah bahasa dalam bahasa Indonesia menanggung beban konsep yang amat berat, karena istilah itu berasal dari bahasa Prancis maka dapat dipadankan dengan satu kata bahasa meski harus dalam konteks yang berbeda.

Sebagai langage bahasa itu bersifat universal, sebab dia adalah satu sistem lambang bunyi yang digunakan manusia pada umumnya, bukan manusia pada suatu tempat atau suatu masa tertentu. Tetapi sebagai langue bahasa itu, meskipun ada ciri-ciri keuniversalannya, bersifat terbatas pada satu masyarakat tertentu. Satu masyarakat tertentu ini memang agak sukar rumusannya; namun adanya ciri saling mengerti (mutual intelligible) barangkali bisa dipakai batasan adanya satu bahasa. Jadi, misalnya, penduduk yang ada di Popayato dengan yang ada di Atinggola dan di Suwawa, masih berada dalam satu masyarakat bahasa dan dalam satu bahasa, karena mereka masih dapat mengerti dengan alat verbalnya. Mereka dapat berkomunikasi atau berinteraksi secara verbal. Begitu juga penduduk yang berada di Yogyakarta dengan yang berada di Semarang dan yang berada di Surabaya, masih berada dalam satu bahasa dan satu masyarakat bahasa karena masih ada saling mengerti di antara mereka sesamanya.

Adanya saling mengerti itu disebabkan karena adanya kesamaan sistem dan subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik) di antara parole-parole yang mereka gunakan. Begitu juga dengan penduduk yang ada di Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya, mereka bisa saling mengerti tentunya karena adanya kesamaan-kesamaan sistem dan subsistem dalam parole-parole yang mereka gunakan. Tetapi antara penduduk di Popayato dengan penduduk di Yogyakarta tidak ada saling mengerti secara verbal di antara mereka sesamanya. Hal ini terjadi karena parole-parole yang digunakan di antara penduduk di kedua tempat itu tidak mempunyai kesamaan sistem maupun subsistem. Ketiadaan kesamaan sistem dan subsistem di antara kedua masyarakat bahasa ini yang menyebabkan tidak terjadinya saling mengerti, menandai adanya dua sistem langue yang berbeda. Maka dalam kasus parole yang digunakan penduduk di Popayato dan di Yogyakarta itu, kita menyebutnya ada dua buah sistem langue, yaitu bahasa Gorontalo di Popayato dan bahasa Jawa di Yogyakarta.

Dengan demikian kita menyebut dua parole dari dua masyarakat yang berbeda sebagai dua buah bahasa yang berbeda adalah karena tiadanya saling mengerti secara verbal. Penamaan ini adalah berdasarkan kriteria linguistik. Namun, dalam berbagai kasus ditemui adanya dua masyarakat bahasa yang saling mengerti, tetapi mengaku menggunakan dua bahasa yang berbeda dengan nama yang berbeda. Misalnya, penduduk Malaysia dapat saling mengerti dengan penduduk Indonesia karena secara linguistik ada persamaan sistem dan subsistem di antara kedua parole yang digunakan. Tetapi penduduk Malaysia menyatakan dirinya berbahasa Malaysia, sedangkan penduduk Indonesia menyatakan dirinya berbahasa Indonesia. Maka dalam kasus ini penamaan bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia bukanlah berdasarkan kriteria linguistik, melainkan berdasarkan kriteria politik. Bahasa yang digunakan di Malaysia adalah bahasa Malaysia dan yang digunakan di Indonesia adalah bahasa Indonesia.

Kasus yang agak berbeda terjadi di daratan Cina. Suku-suku bangsa yang ada di daratan Cina itu tidak dapat berkomunikasi verbal secara lisan karena secara linguistik bahasa-bahasa mereka berbeda. Tetapi secara tertulis mereka dapat berkomunikasi dengan baik, karena sistem tulisan mereka sama, yaitu bersifat ideografis. Artinya, setiap huruf melambangkan sebuah konsep atau makna, meskipun wujud bunyinya tidak sama. Dalam kasus bahasa Inggris dewasa ini sudah tampak adannya usaha untuk memberi nama berbeda pada bahasa Inggris yang digunakan penduduk di Inggris, di Amerika, dan di Australia dengan munculnya nama British English, American English, dan Australian English.

Sudah dikemukan bahwa parole yang digunakan penduduk di Garut Selatan, di Karawang, dan di Bogor adalah berbeda, meskipun mereka saling mengerti, karena masih terdapatnya kesamaan sistem atau subsistem di antara parole di ketiga tempat tersebut. Jadi, di dalam “keberbedaan” mereka masih terdapat “kesaling-mengertian”. Dalam kasus ini, parole-parole yang digunakan di ketiga tempat itu disebut sebagai dialek-dialek dari sebuah bahasa yang sama. Irwan (2011:22) menjelaskan bahwa dialek merupakan variasi dari sebuah bahasa menurut pemakaiannya. Oleh karena itu, secara konkret lazim dikatan sebagai: bahasa Sunda dialek Garut, bahasa Sunda dialek Karawang, dan bahasa Sunda dialek Bogor. Begitu juga di Minang, ada bahasa Minang dialek Sungai Tarab, Minang dialek Lima Kaum, atau Minang dialek Padang Luar, dan lain-lain

Setiap orang secara konkret memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam berbahasa (berbicara atau menulis). Kekhasan ini dapat mengenai volume suara, pilihan kata, penataan sintaksis, dan penggunaan unsur-unsur bahasa lainnya. Itulah sebabnya, kalau kita akrab dengan seseorang, kita akan dapat mengenali orang itu hanya dengan mendengar suaranya saja (orangnnya tidak tampak), atau hanya dengan membaca tulisannya saja (namanya tidak disebutkan dalam tulisan itu). Ciri khas bahasa seseorang disebut dengan istilah idiolek. Jadi, kalau ada 1000 orang, maka akan ada 1000 idiolek.

Dari pembicaraan di atas, secara linguistik dapat disimpulkan bahwa setiap bahasa sebagai langue dapat terdiri dari sejumlah dialek, dan setiap dialek terdiri dari sejumlah idiolek. Namun perlu juga dicatat bahwa dua buah dialek yang secara linguistik adalah sebuah bahasa, karena anggota dari kedua dialek itu bisa saling mengerti; tetapi secara politis bisa disebut sebagai dua buah bahasa yang berbeda.

Stephen Ulimann (dalam Mahliana, 2011:2) menjelaskan perbedaan bahasa dan tutur itu sebagai berikut:

1.    Bahasa adalah wahana komunikasi (untuk semua orang dalam suatu masyarakat), dan tutur adalah penggunaan wahana itu oleh seseorang pada suatu kejadian tertentu. Jelasnya, bahasa adalah sandi (kode) sedangkan tutur adalah  penyandian (enkode), yaitu penggunaan sandi dengan isi makna tertentu, oleh penutur, yang kemudian didekodekan (ditafsirkan maknannya) oleh pendengar.

2.    Bahasa itu masih merupakan sesuatu yang potensial (berupa daya yang tersembunyi), merupakan sistem tanda yang tersimpan di dalam benak (memory) kita, yang siap diaktualisasikan (diwujudkan) dan diterjemahkan ke dalam bunyi-bunyi yang bersifat fisik dalam proses tutor. Jadi, sebenarnya bahasa itu tidak terdiri dari bunyi-bunyi dalam arti fisik, melainkan terdiri dari kesan-kesan bunyi yang tinggal di balik bunyi-bunyi nyata yang kita ujarkan atau kita dengar dari orang lain.

 

2.2.2 Pengertian Masyarakat Bahasa

Masyarakat bahasa atau masyarakat tutur secara teori termasuk ke dalam variasi atau ragam bahasa dalam konteks sosial. Ragam bahasa dalam konteks sosial  memiliki dua hal yang saling berkaitan yaitu verbal repertoire dan masyarakat tutur.

Berdasarkan penjelasan Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:34-35), dapat diambil kesimpulan bahwa verbal repertoire merupakan kemampuan komunikatif di mana kemampuan ini terbagi dua yaitu kemampuan komunikatif yang dimiliki oleh setiap penutur secara individu dan kemampuan komunikatif yang dimiliki oleh masyarakat tutur secara keseluruhan. Adapun kemampuan komunikatif setiap penutur ditentukan oleh masyarakat di mana ia merupakan anggotanya, dan kemampuan komunikatif suatu masyarakat tutur terjadi dari himpunan kemampuan komunikatif seluruh penutur dalam masyarakat menjadikan pengertian masyarakat tutur bukan sekedar kelompok orang yang mempergunakan bentuk bahasa yang sama. Akan tetapi, kelompok orang-orang yang juga mempunyai norma yang sama dalam memakai bentuk-bentuk bahasa.

Kalau suatu kelompok atau suatu masyarakat mempunyai verbal repertoir yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma norma pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat itu, maka dapat dikatakan kelompok orang itu atau masyarakat itu adalah sebuah masyarakat tutur. Jadi, masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk bentuk bahasa.

“Sebagai masyarakat bahasa, untuk sementara dapat berarti kelompok penutur yang berdasarkan pandangan hidup mereka membentuk kelompok berdasarkan bahasa yang sama” (Malabar, 2015:13).

Untuk dapat disebut satu masyarakat tutur adalah adanya peranan diantara para penuturnya, bahwa mereka merasa tutur yang sama.   Fishman dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:36), memberi batasan bahwa masyarakat tutur ialah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi tutur beserta norma-norma yang sesuai dengan pemakaiannya. Hal ini menjelaskan bahwa masyarakat tutur bersifat netral dalam arti dapat digunakan secara luas dan besar serta dapat pula digunakan dalam menyebut masyarakat kecil atau sekelompok orang yang menggunakan bahasa relatif sama dan mempunyai penilaian yang sama dengan pemakaian bahasanya.

Masyarakat tutur yang besar dan beragam memperoleh verbal repertoirnya dari pengalaman atau dari adanya interaksi verbal langsung di dalam kegiatan tertentu. Mungkin juga di peroleh secara referensial. Yang diperkuat dengan adanya integrasi simbolik, seperti integrasi dalam sebuah wadah yang disebut negara, bangsa, atau daerah. Jadi, mungkin saja suatu wadah negara, bangsa, atau daerah membentuk suatu masyarakat tutur dalam pengertian simbolik itu. Dalam hal ini tentu saja yang disebut bahasa nasional dan bahasa daerah jelas mewakili masyarakat tutur tertentu dalam hubungan dengan variasi kebahasaan.

Dilihat dari sempit dan luas verbal repertoirnya dapat dibedakan adanya dua macam masyarakat tutur yaitu (1) masyarakat tutur yang repertoir pemakaiannya lebih luas, dan menunjukkan verbal repertoir setiap penutur lebih luas pula, dan (2) masyarakat tutur yang sebagian anggotanya mempunyai pengalaman sehari hari dan aspirasi hidup yang sama dan menunjukkan pemilikan wilayah linguistik yang lebih sempit, termasuk juga perbedaan variasinya.

Kedua jenis masyarakat tutur ini terdapat baik dalam masyarakat yang termasuk kecil dan tradisional maupun masyarakat besar dan modern. Masyarakat modern mempunyai kecenderungan memiliki masyarakat tutur yang lebih terbuka dan cenderung menggunakan berbagai variasi dalam bahasa yang sama. Sedangkan masyarakat tradisional bersifat lebih tertutup dan cenderung menggunakan variasi dalam beberapa bahasa yang berlainan. Penyebab kecenderungan itu adalah berbagai faktor sosial dan faktor kurtural.

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Kesimpulan

Sosiolinguistik merupakan bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitan penggunaan bahasa tersebut di dalam masyarakat. Objek kajian sosiolinguistik meliputi 7 dimensi yakni (1) identitas sosial penutur, (2) identitas sosial pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan tenpat peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis penelitian sosiolinguistik.

Sosiolinguistik berhungungan erat dengan cabang ilmu lain. Kajian mengenai fonologi, morfologi, struktur kalimat, dan semantik leksikal dalam linguistik dipakai oleh sosiolinguistik untuk mengungkap struktur bahasa yang digunakan oleh tiap-tiap kelompok tutur sesuai dengan konteksnya. Sosiolinguistik membantu sosiologi dalam mengklasifikasi strata sosial. Sosiolinguistik mengkaji ulang apa yang ditemukan oleh antropologi adanya kaitan antara budaya dan bahasa. Kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis sangat banyak, sebab bahasa merupakan alat komunikasi verbal manusia. Dalam penggunaannya, sosiolinguistik memberi pengetahuan bagaimana menggunakan bahasa di dalam masyarakat.

Dalam kajian sosiolinguistik dibahas tentang masyarakat bahasa. Masyarakat bahasa adalah kelompok penutur yang berdasarkan pandangan hidup mereka membentuk kelompok berdasarkan bahasa yang sama. Setiap bahasa sebagai langue dapat terdiri dari sejumlah dialek, dan setiap dialek terdiri dari sejumlah idiolek. Namun perlu juga dicatat bahwa dua buah dialek yang secara linguistik adalah sebuah bahasa, karena anggota dari kedua dialek itu bisa saling mengerti; tetapi secara politis bisa disebut sebagai dua buah bahasa yang berbeda.

3.2  Saran

Pada makalah ini kita telah diberikan pemahaman mengenai konsep dasar sosiolinguistik, mulai dari pengertian, hubungan sosiolinguistik dengan ilmu lain, manfaat mempelajari sosiolinguistik, serta penjelasan tentang masyarakat bahasa. Sangat besar harapan penyusun agar nantinya makalah ini dapat membantu pembaca untuk lebih memahami baik konsep maupun penerapan sosiolinguistik itu sendiri di masayarakat. Selain itu, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca agar pada penulisan makalah selanjutnya  hal itu dapat diperbaiki. Tak luput penyusun menitipkan masukan sebagai berikut:

3.2.1        Bagi linguis, dosen, peneliti

a.       Memperkaya multi penafsiran kajian sosiolinguistik

b.      Memproduksi teori pengembangan sosiolinguistik

c.       Mendokumentasikan penelitian bidang sosiolinguistik secara kontinuitas

3.2.2        Bagi guru dan mahasiswa bahasa

a.       Mendalami kajian sosiolinguistik dengan sumber beragam dan terbaru

b.      Melakukan penelitian kajian sosiolinguistik di masyarakat

c.       Berkolaborasi dengan dosen dan peneliti dalam berkarya

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Chaer, Abdul & Leonie Agustina. (2004). Sosiolinguistik. Jakarta: PT Pineka Cipta.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. (2010).  Sosiolingusitik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Irwan. (2011). Pengantar Perkuliahan Sosiolinguistik. Batusangkar: STAIN Batusangkar Press.

Mahliana. (2011). Sosiolinguistik (Bahasa dan Tutur, Verbal Refertoire). Available in http://mahliana-himai.blogspot.com, retrieved on September 16, 2022..

Malabar, Sayama. (2015). Sosiolinguistik. Gorontalo: Ideas Publishing.

Soemarsono. (2012). Sosiolingusitik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumarsono & Paina Partana. (2004). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.