KATEGORI : SOSIOLINGUISTIK LANJUT

KESANTUNAN BERBAHASA

13 November 2022 08:57:41 Dibaca : 17081

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Kesantunan berbahasa berkaitan erat dengan penggunaan bahasa yang diujarkan masyarakat penutur bahasa. Setiap individu dalam masyarakat yang melakukan interaksi bahasa, baik sebagai penutur maupun mitra tutur hendaknya memahami dan mematuhi kaidah kesantunan berbahasa demi keharmonisan diantaranya dalam upaya menghindari onflik dan gesekan bahasa. Kesantunan berbahasa dilatarbelakangi oleh adanya konteks yang berkaitan dengan tempat, waktu, situasi, dan latar belakang penutur baik itu budaya, sosial, pekerjaan dan sebagainya.

Berdasarkan pengalaman pribadi penulis mengunjungi berbagai daerah dengan latar belakang budaya berbeda, terkadang aplikasi kesantunan berbahasa yang diwujudkan dalam ujarannya itu berbeda-beda. Namun secara umum watak orang Indonesia dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kesantunan dalam berbahasa.

Beragam tempat dan situasi lisan (misalkan di sekolah, terminal, siaran langsung televisi, seminar, dan sebagainya), ataukah bentuknya secara tulisan (pada media sosial, karya sastra, jurnal, pesan teks, dan sebagainya) harus mematuhi prinsip kesantunan berbahasa. Telah banyak tentunya penelitian yang terkait kesantunan berbahasa yang mencoba mengelaborasi pemahaman akan pentingnya kesantunan berbahasa diterapkan dalam berbagai onteks kehidupan. Berdasarkan asumsi tersebut maka penulis menyajikan makalah ini.

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:

Bagaimanakah hakikat kesantunan berbahasa?Bagaimanakah prinsip kesantunan berbahasa?Bagaimanakah ciri-ciri kesantunan berbahasa?Bagaimanakah faktor-faktor yang mempengaruhi kesantunan berbahasa?Bagaimanakah studi kasus kesantunan berbahasa?1.3  Tujuan Penulisan

Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:

Untuk memahami hakikat kesantunan berbahasaUntuk memahami prinsip kesantunan berbahasaUntuk memahami ciri-ciri kesantunan berbahasaUntuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kesantunan berbahasaUntuk memahami studi kasus kesantunan berbahasa 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 KESANTUNAN BERBAHASA

2.1.1 Hakikat Kesantunan Berbahasa

Setiap individu dalam sebuah masyarakat mesti menjunjung tinggi kesantunan berbahasa. Dikarenakan kesantunan berbahasa mencerminkan keluhuran budaya masyarakat tersebut. Pramujiono et al. (2020) menjelaskan bahwa kesantunan tidak hanya berkaitan dengan aspek personal, tetapi juga berkaitan dengan nilai-nilai sosial budaya yang disepakati oleh suatu masyarakat sehingga terbentuk suatu masyarakat yang beradab/(masyarakat madani).

Penggunaan bahasa tidak hanya sebatas memperhatikan ragam yang  baik dan benar, akan tetapi juga mematuhi ketepatan penyampaian makna dan maksud tujuan yang ingin disampaikan kepada mitra tutur secara santun. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, santun merujuk pada definisi: (1) halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar dan tenang; sopan, (2) penuh rasa belas kasihan; suka menolong.

Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Kesantunan berbahasa tecermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannnya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Tujuan utama kesantunan berbahasa adalah memperlancar komunikasi (Mislikhah, 2020).

Kesantunan berbahasa merupakan tatacara berprilaku yang disepakati oleh suatu masyarakat sebagai aturan perilaku sosial. Kesantunan tidak hanya dapat dilihat dari sisi penutur saja, tetapi juga harus memperhatikan kesan lawan tutur yang mendengarkan hal yang disampaikan penutur (Agustini, 2017). Kridalaksana (2008:11) mendefinisikan kesantunan berbahasa adalah hal memperlihatkan kesadaran akan martabat orang lain dalam berbahasa, baik saat menggunakan bahasa lisan maupun bahasa tulis. Menurut Chaer (2010:11) menjelaskan bahwa sebuah tuturan disebut santun kalau ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan itu memberi pilihan tindakan kepada lawan tutur, dan lawan tutur itu menjadi senang. Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa.

Leech (1993) dalam Wahidah dan Wijaya (2017) mengungkapkan bahwa Kesantunan Berbahasa mengacu pada: (1) cost-benefit scale (skala ini mengacu pada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur. Semakin merugikan dampak tuturan itu bagi penutur, tuturan itu dianggap semakin santun. Begitu pula sebaliknya), (2) optionality scale (skala ini mengacu pada banyak sedikitnya alternatif pilihan yang disampaikan penutur), (3) indirectness scale (skala ini mengacu pada langsung atau tidaknya suatu maksud dikemukakan. Tuturan dianggap sopan bila disampaikan tidak secara langsung), (4) authority scale (skala ini mengacu pada hubungan status sosial antara penutur dan petutur), dan (5) social distance scale (skala ini mengacu pada hubungan sosial antara penutur dan penutur yang terlibat dalam pertuturan.

Berdasarkan pemaparan oleh para ahli di atas, kesantunan berbahasa adalah pengungkapan pikiran dan perasaan dengan halus, baik dan sopan dalam interaksi komunikasi verbal. Kesantunan berbahasa mencerminkan budi halus dan pekerti luhur seseorang dengan tidak menyakiti perasaan dan memberikan pilihan kepada orang lain.

2.1.2 Prinsip Kesantunan Berbahasa

Lakoff (1973) dalam Chaer (2010:46) menyatakan "kesantunan dikembangkan oleh masyarakat guna mengurangi friksi dalam interaksi pribadi". Menurutnya, ada tiga buah kaidah yang harus dipatuhi untuk menerapkan kesantunan, yaitu formalitas (formality), ketidaktegasan (hesitancy), dan kesamaan atau kesekawanan (equality atau cameraderie).

1.    Formalitas berarti jangan terdengar memaksa atau angkuh.

2.    Ketidaktegasan berarti berarti berbuatlah sedemikian rupa sehingga mitra tutur dapat menentukan pilihan.

3.    Kesamaan atau kesekawanan berarti bertindaklah seolah-olah Anda dan mitra tutur menjadi sama.

Gunawan (2017) menjelaskan prinsip kesantunan berbahasa menurut teori Brown dan Levinson itu bermakna sebuah sikap kepedulian kepada wajah atau muka, baik milik penutur, maupun milik mitra tutur. Wajah dalam hal ini bukan berarti rupa fisik, akan tetapi public image, atau harga diri. Dalam kebudayaan Bugis, konsep wajah atau muka itu dikenal dengan istilah siri’ na pesse yang berarti menjaga harga diri, dan kehormatan. Siri’ berarti harga diri dan pesse berarti solidaritas. Dengan demikian, santun berarti kemampuan untuk selalu menjaga harga diri, perasaan, dan kehormatan baik diri sendiri maupun orang lain. Dalam pandangan Brown dan Levinson, konsep kesantunan ini berkaitan erat dengan persoalan bagaimana cara seseorang dapat menghindari sebuah konflik. Dalam teorinya, kesantunan juga berkaitan dengan konsep rasionalitas dan muka. Rasionalitas merupakan penalaran atau logika sarana-tujuan, sementara muka bermakna citra diri yang terdiri atas dua keinginan yang berlawanan, yaitu muka negatif dan muka positif. Muka negatif adalah keinginan agar tindakantindakan seseorang tidak dihalangi oleh orang lain, sementara muka positif adalah keinginan agar seseorang disenangi oleh orang lain. Kesantunan berbahasa merupakan cara untuk memelihara dan menyelamatkan muka. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa sebagian besar tindak tutur selalu mengancam muka penutur dan mitra tutur dan kesantunan berbahasa merupakan upaya untuk memperbaiki ancaman muka tersebut.

Brown dan Levinson (1987: 92) memostulatkan empat dasar strategi bertutur untuk menjaga muka atau harga diri, yaitu

1)   melakukan tindak tutur secara langsung/apa adanya tanpa basa-basi (bald on record),

2)   melakukan tindak tutur dengan menggunakan strategi kesantunan positif,

3)   melakukan tindak tutur dengan menggunakan strategi kesantunan negatif,

4)   melakukan tindak tutur secara tersamar/tidak langsung.

Berkaitan dengan strategi kesantunan negatif, Brown dan Levinson (1987) membagi kesantunan negatif menjadi sepuluh substrategi yang meliputi:

1)        ungkapan secara tidak langsung,

2)        menggunakan pagar,

3)        bersikap pesimis dengan cara bersikap hati-hati,

4)        meminimalkan pembebanan terhadap lawan tutur,

5)        menyatakan rasa hormat,

6)        menggunakan permohonan maaf,

7)        jangan menyebutkan penutur dan lawan tutur,

8)        menyatakan FTA (face trheatening act) sebagai suatu kaidah sosial yang umum berlaku,

9)        nominalisasikan pernyataan, dan

10)    menyatakan secara jelas bahwa penutur telah memberikan kebaikan (hutang) atau tidak kepada lawan tutur.

Berbeda dengan strategi kesantunan negatif, Brown dan Levinson (1987) menjabarkan kesantunan positif menjadi 15 substrategi, yaitu:

1)        memperhatikan kesukaan, keinginan, dan kebutuhan pendengar,

2)        membesar-besarkan perhatian, persetujuan, dan simpati kepada pendengar,

3)        mengintensifkan perhatian pendengar dengan pendramatisiran peristiwa atau fakta,

4)        menggunakan penanda identitas kelompok (bentuk sapaan, dialek, jargon, atau slang),

5)        mencari persetujuan dengan topik yang umum atau mengulang sebagian atau seluruh ujaran,

6)        menghindari ketidaksetujuan dengan pura-pura setuju, persetujuan yang semu (psedoagreement), menipu untuk kebaikan (white-lies), pemagaran opini (hedging opinions),

7)        menggunakan basa basi (small talk) dan presuposisi,

8)        menggunakan lelucon,

9)        menyatakan paham akan keinginan pendengar,

10)    memberikan tawaran atau janji,

11)    menunjukkan keoptimisan,

12)    melibatkan penutur dan pendengar dalam aktivitas,

13)    memberikan pertanyaan atau meminta alasan,

14)    menyatakan hubungan secara timbal balik (resiprokal), dan

15)     memberikan hadiah (barang, simpati, perhatian, kerja sama) kepada pendengar.

Terkait prinsip kesantunan berbahasa, Leech (1983) mendefinisikan kesantunan sebagai "strategi untuk menghindari konflik" yang "dapat diukur berdasarkan derajat upaya yang dilakukan untuk menghindari situasi konflik". Enam maksim kesantunan (politeness maxims) yang diajukan oleh Leech adalah sebagai berikut:

1)   Maksim kebijaksanaan (tact): minimalkan kerugian bagi orang lain; maksimalkan keuntungan bagi orang lain. Contoh: Bila tidak berkeberatan, sudilah datang ke rumah saya.

Rahardi (2005: 60) mengungkapkan gagasan dasar dalam maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Wijana (1996: 56) menambahkan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diuturakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.

Contoh:

Tuan rumah        : “Silahkan makan saja dulu, Nak! Tadi kami semua sudah mendahului.”

Tamu                  : “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”

Penjelasan :

Dituturkan oleh seorang Ibu kepada seorang anak muda yang sedang bertamu di rumah Ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus berada di rumah Ibu tersebut sampai malam karena hujan sangat deras dan tidak segera reda (Rahardi, 2005:60). Dalam tuturan diatas, tampak dengan jelas bahwa apa yang dituturkan si tuan rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang tamu. Lazimnya, tuturan semacam itu ditemukan dalam keluarga pada masyarakat tutur desa. Orang desa biasanya sangat menghargai tamu, baik tamu yang datangnya secara kebetulan maupun tamu yang sudah direncanakan terlebih dahulu kedatangannya (Rahardi, 2005: 60-61).

2)   Maksim kedermawanan (generosity): minimalkan keuntungan bagi diri sendiri; maksimalkan kerugian bagi diri sendiri. Contoh: Bapak silakan beristirahat. Biar saya yang mencuci piring kotor ini.

Menurut Leech (1993: 209) maksud dari maksim kedermawanan ini adalah buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin, buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. Rahardi (2005: 61) mengatakan bahwa dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Chaer (2010: 60) menggunakan istilah maksim penerimaan untuk maksim kedermawanan Leech.

Contoh:

Anak kos A: “Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak kok, yang kotor.”

Anak kos B: “Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga, kok!”

Penjelasan:

Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antar a sebuah rumah kos di kota Yogyakarta. Anak yang satu berhubungan demikian erat dengan anak yang satunya. Dalam tutursn yang disampaikan si A di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menabahkan beban bagi dirinya sendiri. Orang yang tidak suka membantu orang lain, apalagi tidak pernah bekerjasama dengan orang lain, akan dapat dikatakan tidak sopan dan biasanya tidak akan mendapatkan banyak teman di dalam pergaulan keseharian hidupnya (Rahardi, 2005:62).

3)   Maksim pujian (approbation/penghargaan): minimalkan cacian kepada orang lain; maksimalkan pujian kepada orang lain. Contoh: Sepatumu bagus sekali. Beli di mana?

Menurut Wijana (1996:57) maksim penghargaan ini diutarakan dengan kalimat ekspresif dan kalimat asertif. Dalam maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. Rahardi (2005:63) menambahkan, dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Dalam maksim ini Chaer menggunakan istilah lain, yakni maksim kemurahan.

Contoh:

Dosen A            : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah  perdana untuk kelas Bussines English.”

Dosen B : “Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari sini.”

Penjelasan:

Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi (Rahardi, 2005:63). Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai pujian atau penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu, dosen B berperilaku santun (Rahardi, 2005:63)

4)   Maksim kerendahanhatian (modesty)/kesederhanaan: minimalkan pujian kepada diri sendiri; maksimalkan cacian kepada diri sendiri. Contoh: Duh, saya bodoh sekali. Saya tidak dapat mengikuti kecepatan dosen tadi saat menerangkan. Boleh saya pinjam catatanmu?

Rahardi (2005:63) mengatakan bahwa di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, kesederhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang. Wijana (1996:58) mengatakan maksim kerendahan hati ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Bila maksim kemurahan atau penghargaan berpusat pada orang lain, maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.

Contoh:

Sekretaris A       : “Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya!”

Sekretaris B       : “Ya, Mbak. Tapi saya jelek, lho.”

Penjelasan:

Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang masih junior pada saat mereka bersama-sama bekerja di ruang kerja mereka (Rahardi, 2005: 64). Dari tuturan sekretaris B di atas, dapat terlihat bahwa ia bersikap rendah hati dan mengurangi pujian untuk dirinya sendiri. Dengan demikian, tuturan tersebut terasa santun.

5)   Maksim kesetujuan (agreement): minimalkan ketidaksetujuan dengan orang lain; maksimalkan kesetujuan dengan orang lain. Contoh: Betul, saya setuju. Namun, ....

Menurut Rahardi (2005: 64) dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun. Wijana (1996: 59) menggunakan istilah maksim kecocokan dalam maksim pemufakatan ini. Maksim kecocokan ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka.

Contoh:

Noni       : “Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!”

Yuyun    : “Boleh. Saya tunggu di Bambu Resto.”

Penjelasan:

Dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya yang juga mahasiswa pada saat mereka sedang berada disebuah ruangan kelas (Rahardi, 2005: 65). Tuturan di atas terasa santun, karena Yuyun mampu membina kecocokan dengan Noni. Dengan memaksimalkan kecocokan di antara mereka tuturan akan menjadi santun.

6)   Maksim simpati (sympathy): minimalkan antipati kepada orang lain; maksimalkan simpati kepada orang lain. Contoh: Saya turut berdukacita atas musibah yang menimpa Anda.

Dalam maksim ini diharapkan agar peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Orang yang bersikap antipati terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat (Rahardi, 2005: 65). Menurut Wijana (1996: 60), jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan, atau musibah, penutur layak turut berduka, atau mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.

Contoh:

Ani         : “Tut, nenekku meninggal.”

Tuti        : “Innalillahiwainailaihi rojiun. Ikut berduka cita.”

Penjelasan:

Dituturkan oleh seorang karyawan kepada karyawan lain yang sudah berhubungan erat pada saat mereka berada di ruang kerja mereka (Rahardi, 2005: 66). Dari tuturan tersebut, terlihat Tuti menunjukkan rasa simpatinya kepada Ani. Orang yang mampu memaksimalkan rasa simpatinya kepada orang lain akan dianggap orang yang santun.

Dengan menerapkan prinsip kesantunan, orang tidak lagi menggunakan ungkapan-ungkapan yang merendahkan orang lain sehingga komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif. Selain menggunakan prinsip kesantunan tersebut, kesantunan berbahasa juga dapat dilakukan dengan menggunakan eufemisme (ungkapan penghalus) dan pilihan kata honorifik (ungkapan hormat untuk menyapa orang lain). Eufemisme merupakan ungkapan halus untuk menggantikan acuan yang dirasa menghina atau merendahkan martabat orang lain. Di mana kamar kecilnya? Kata kamar kecil digunakan untuk menggantikan kata tempat buang air karena penyebutan tersebut di rasa kurang sopan. Dalam komunikasi politik, eufemisme diperlukan untuk menghindari ketidakterimaan dari sasaran komunikasi. Contoh kata pemekaran wilayah yang arti sebenarnya pemecahan wilayah. Kata pemecahan wilayah tidak dipilih karena dimungkinkan maknanya mengganggu fungsi negara kesatuan.

Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan, sebutan kata diri Engkau, Anda, Saudara, Bapak/Ibu mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika kita pakai untuk menyapa orang. Keempat kalimat berikut menunjukkan tingkat kesantunan ketika seorang pemuda menanyakan seorang pria yang lebih tua.

(1) Engkau mau ke mana?

(2) Saudara mau ke mana?

(3) Anda mau ke mana?

(4) Bapak mau ke mana?

Dalam konteks ini, kalimat ke-1 dan ke-2 tidak atau kurang santun diucapkan oleh orang yang lebih muda, tetapi kalimat ke-4 yang sepatutnya diucapkan jika penuturnya ingin memperlihatkan kesantunan. Kalimat ke-3 lazim diucapkan kalau penuturnya kurang akrab dengan orang yang disapanya, walaupun lebih patut penggunaan kalimat ke-4.

 

2.1.3 Ciri-Ciri Kesantunan Berbahasa

Berdasarkan keenam maksim kesantunan yang dikemukakan Leech, Chaer (2010: 56-57) memberikan ciri kesantunan sebuah tuturan sebagai berikut :

1)   Semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginannya untuk bersikap santun kepada lawan tuturnya.

2)   Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung, lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.

3)   Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih santun dibandingkan dengan kalimat perintah (imperatif).

Zamzani, et al. (2012) merumuskan beberapa ciri tuturan yang baik berdasarkan prinsip kesantunan Leech, yakni sebagai berikut:

1)   Tuturan yang menguntungkan orang lain

2)   Tuturan yang meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri

3)   Tuturan yang menghormati orang lain

4)   Tuturan yang merendahkan hati sendiri

5)   Tuturan yang memaksimalkan kecocokan tuturan dengan orang lain

6)   Tuturan yang memaksimalkan rasa simpati pada orang lain

Pranowo (2009) dalam Agustini (2017) menguraikan ciri kesantunan berbahasa bisa nampak pada indikator kesantunan berbahasa. Sebuah indikator diperlukan untuk dapat menjadi tolak ukur pencapaian suatu hal yang akan dinilai. Indikator kesantunan adalah penanda yang dapat dijadikan penentu apakah pemakaian bahasa Indonesia si penutur itu santun ataukah tidak.

1.    Indikator Kesantunan Menurut Dell Hymes (1978)

a.    Setting and Scene (waktu dan tempat berlangsungnya komunikasi).

b.    Participants (pihak pihak yang terlibat dalam pertuturan).

c.    Ends (maksud dan tujuan pertuturan).

d.   Act Sequence (bentuk dan isi ujaran).

e.    Key (cara penyampaian).

f.     Instrumentalities (jalur bahasa yang digunakan).

g.    Norms (norma atau aturan berinteraksi).

h.    Genres (ragam bahasa yang digunakan).

2.    Indikator Kesantunan Menurut Grice (2000)

a.    Ketika berbicara harus mampu menjaga martabat mitra tutur agar tidak merasa dipermalukan.

b.    Ketika berkomunikasi tidak boleh mengatakan hal-hal yang kurang baik mengenai diri mitra tutur atau orang atau barang yang ada kaitannya dengan mitra tutur.

c.    Tidak boleh mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur.

d.   Tidak boleh menyatakan ketidaksetujuan dengan mitra tutur sehingga mitra tutur merasa jatuh harga dirinya.

e.    Tidak boleh memuji diri sendiri atau membanggakan nasib baik atau kelebihan diri sendiri.

3.    Indikator Kesantunan Menurut Leech (1983)

a.    Tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur (maksim kebijaksanaan “tact maxim”).

b.    Tuturan lebih baik menimbulkan kerugian pada penutur (maksim kedermawanan “generosity maxim”).

c.    Tuturan dapat  memberikan pujian kepada mitra tutur (maksim pujian “praise maxim”).

d.   Tuturan tidak memuji diri sendiri (maksim kerandahan hati).

e.    Tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur (maksim kesetujuan “agreement maxim”).

f.     Tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh mitra tutur (maksim simpati “sympathy maxim”).

g.    Tuturan dapat mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang pada mitra tutur (maksim pertimbangan “consideration maxim”).

Menurut Agustini (2017) terdapat dua bentuk kesantunan yaitu bentuk kesantunan linguistis dan bentuk kesantunan pragmatis. Bentuk kesantunan linguistis terdiri dari intonasi, diksi, dan struktur kalimat sedangkan bentuk kesantunan pragmatis yaitu cara atau gaya bahasa.

 

2.1.4 Faktor Penyebab Ketidaksantunan Berbahasa

Ketidaksantunan bisa terjadi ketika penutur tidak mampu mengendalikan apa yang mereka bicarakan sehingga bahasa yang digunakan menjadi tidak santun. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Pranowo (dalam Chaer, 2010) yang menjelaskan beberapa faktor pemakaian bahasa yang tidak santun di antaranya yaitu: 1) menyampaikan kritik secara langsung dengan berkata kasar; 2) emosi pada diri penutur; 3) protektif terhadap pendapat penutur; 4) penutur sengaja memojokkan mitra tutur; 5) menuduh atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur. Faktor yang mempengaruhi kesantunan dalam bertutur dibedakan menjadi dua (Pranowo, 2009) yaitu: 1) faktor kebahasaan seperti, intonasi, nada, pilihan kata 2) faktor nonkebahasaan seperti, pranata sosial budaya masyarakat, sikap penutur, topik yang dibicarakan.

Faktor yang mempengaruhi ketidaksuntan berbahasa yakni:(1) Faktor  dorongan  rasa  emosi  penutur.  (2) Faktor  sengaja  memojokkan  mitra  tutur. (3)    Faktor    mengkritik    secara    langsung dengan   kata-kata   yang   kasar.(4)   Faktor kebiasaan  siswa.  (5)  Faktor  kedudukan  di kelas  dan  (6)Faktor  latar  belakang  sosial penutur (Sugiarti, 2017).

Mislikhah (2020) menjelaskan faktor yang menyebabkan pemakaian bahasa menjadi tidak santun adalah sebagai berikut.

1.    Penutur menyampaikan kritik secara langsung dengan kata atau frasa kasar.

Komunikasi menjadi tidak santun jika penutur ketika bertutur menyampaikan kritik secara langsung kepada mitra tutur. Sebagai contoh, ungkapan-ungkapan yang sering kita dengar dari demo mahasiswa yang mengkritik pimpinan dengan mengunakan istilah-istilah kasar. Komunikasi dengan cara seperti itu dinilai tidak santun karena dapat menyinggung perasaan mitra tutur yang menjadi sasaran kritik.

2.    Penutur didorong rasa emosi ketika bertutur

Ketika bertutur, penutur didorong rasa emosi yang berlebihan sehingga terkesan marah kepada mitra tutur

3.    Penutur protektif terhadap pendapatnya

Ketika bertutur, seorang penutur kadang-kadang protektif terhadap pendapatnya. Hal demikian dimaksudkan agar tuturan mitra tutur tidak dipercaya oleh pihak lain.

4.    Penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur

Ketika bertutur, penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur. Perhatikan contoh di bawah ini. Mereka sudah buta mata hati nuraninya. Apa mereka tidak sadar kalau BBM naik, harga barang-barang lainnya bakal membubung. Akibatnya, rakyat semakin tercekik. Tuturan di atas terkesan sangat keras dan intinya memojokkan mitra tutur. Tuturan dengan kata-kata keras dan kasar seperti itu menunjukkan bahwa penutur berbicara dengan nada marah, rasa jengkel, dan memojokkan mitra tutur.

5.    Penutur menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur

Tuturan menjadi tidak santun jika penutur terkesan menyampaikan kecurigaan terhadap mitra tutur. Hal ini dapat dilihat pada data tuturan di bawah ini. …kawasan hutan lindung dan konservasi biasanya dialihfungsikan menjadi areal perkebunan, pertambangan, atau hanya diambil kayunya lalu ditelantarkan. Tuturan di atas berisi tuduhan penutur kepada mitra tutur atas dasar kecurigaan penutur terhadap yang dilakukan oleh mitra tutur, seperti “hanya diambil kayunya lalu ditelantarkan”, Tuturan demikian menjadi tidak santun karena isi tuturan tidak didukung dengan bukti yang kuat, tetapi hanya atas dasar kecurigaan. Atas dasar identifikasi di atas, ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidaksantunan pemakaian Bahasa Indonesia. Pertama, ada orang yang memang tidak tahu kaidah kesantunan yang harus dipakai ketika berbicara. Jika faktor ini yang menjadi penyebabnya, terapi yang harus dilakukan adalah memperkenalkan kaidah kesantunan dan mengajarkan pemakaian kaidah tersebut dalam berkomunikasi. Hal ini biasanya terjadi pada anak kecil yang memang belum cukup pengetahuannya mengenai kesantunan berbahasa Indonesia. Kedua, ada orang yang sulit meninggalkan kebiasaan lama dalam budaya bahasa pertama sehingga masih terbawa dalam kebiasaan baru (berbahasa Indonesia). Jika faktor ini yang menjadi penyebabnya, terapi yang harus dilakukan adalah secara perlahan-lahan meninggalkan kebiasaan lama dan menyesuaikan dengan kebiasaan baru.

2.1.5 Studi Kasus Kesantunan Berbahasa

Berikut penulis sajikan studi kasus yang khusus meneliti tentang kesantunan berbahasa, sebagai berikut:

1.    Penelitian oleh Mey Jayanti dan Subyantoro(Universitas Negeri Semarang), berjudul “Pelanggaran Prinsip Kesantunan Berbahasa pada Teks di Media Sosial” pada tahun 2019 yang dimuat di Jurnal Sastra Indonesia, Volume 8 Nomor 2, halaman 119-128:

Adapun salah satu hasil temuan terkait kesantunan berbahasa dalam penelitian tersebut yakni:

Tindak pengancaman muka negatif berupa ungkapan peringatan

Konteks : Dituturkan oleh Tifatul Sembiring pada tanggal 30 Januari 2018 di twitter

Tuturan  : Assalamulaikum, panggung politik kerap bersikap munafik, beda antara ucapan dan perbuatan. Kata-kata yang manis belum tentu benar tak selalu enak di dengar. Drama politik tak kan pernah mengubah masyarakat.

Data tersebut merupakan penggalan tuturan dari teks media sosial twitter. Tuturan tersebut melanggar prinsip kesantunan tindak mengancam muka negatif dengan mengungkapkan peringatan terhadap lawan tutur. Tuturan yang melanggar terdapat dalam tuturan ”kata-kata yang manis belum tentu benar tak selalu enak di dengar. Drama politik tak kan pernah mengubah masyarakat”. Tuturan tersebut menunjukkan bahwa kata-kata yang manis ataupun drama politik untuk masyarakat belum tentu dapat mengubah pikiran masayarakat, yaitu terbukti pada tuturan “drama politik tak kan pernah mengubah masyarakat”. Tifatul mengungkapkan tuturan tersebut agar lawan tutur dalam berpolitik tidak harus mengandalkan perkataan dari beberapa golongan (partai) yang bertentangan.

2.    Penelitian oleh Dita Armeilia, Resmi, dan Berlian R. Turnip (Universitas Simalungun Pematangsiantar) berjudul “Kesantunan Berbahasa dalam Novel ‘Selena’ karya Tere Liye” pada tahun 2021 yang dimuat di Journal on Teacher Education, Volume 2 Nomor 2, halaman 184-194:

Adapun salah satu hasil temuannya terkait kesantunan berbahasa yaitu:

Maksim Kebijaksanaan

Maksim ini menggariskan bahwa setiap peserta tuturan harus meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain.

Data 1 : Aku ingat sekali kejadian malam itu, dengan senyum tipis Ibu berkata padaku, “Selena jadilah anak yang kuat. Kamu akan sendirian menghadapi kehidupan. Ibu akan pergi, Nak, seperti ayahmu. Maafkan Ibu yang tidak bisa membesarkanmu dengan baik”. Aku kembali mengangguk pelan. Aku tidak memangis. Sejak kecil aku tidak pernah menangis. Bahkan saat lahir pun aku tidak menangis. Kejadian langkah yang membuatku kadang dipanggil “Anak yang tidak pernah menangis” (hlm. 3)

Dari kutipan di atas menggambarkan Ibu meminta maaf kepada Selena. Tindakan tersebut agar menimimalkan kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan orang lain.

3.    Penelitian oleh Sri Yulianti Lahabu, Dakia Djou, dan Muslimin (Universitas Negeri Gorontalo) berjudul “Kesantunan Berbahasa di SMA Negeri 1 Dulupi Kabupaten Boalemo dan Implementasinya dalam Pembelajaran” pada tahun 2021 yang dimuat di Jurnal Reduplikasi: Jurnal Penelitian Pendidikan Bahasa Indonesia, Volume 1 Nomor 1, halaman 31-39:

Adapun hasil temuan penelitiannya dapat disajikan sebagai berikut:

Bentuk kesantunan berbahasa terbagi dalam dua bentuk yakni bentuk kesantunan linguistis dan bentuk kesantunan pragmatis. Bentuk kesantunan linguistis antar siswa di SMA Negeri I Dulupi Kabupaten Boalemo dalam ragam resmi dan ragam pergaulan meliputi pilihan kata (diksi) yang tepat, intonasi, dan struktur kalimat yang menunjukkan kesantunan berbahasa. Bentuk kesantunan pragmatis dalam ragam resmi ditandai dengan penggunaan majas perumpamaan sedangkan dalam ragam pergaulan ditandai dengan penggunaan majas metonimia. Kesantunan berbahasa di SMA Negeri 1 Dulupi Kabupaten Boalemo berdasarkan prinsip kesantuan Leech ditemukan beberapa maksim, yaitu: (1) maksim kebijaksanaan, (2) maksim kedermawanan, (3) maksim kesederhanaan, (4) maksim kesepakatan, dan (5) maksim kesimpatian. Sementara Pelanggaran maksim menurut prinsip kesantunan berbahasa menurut Leech yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, dan maksim kesederhanaan.

a.    Bentuk kesantunan berbahasa antar siswa di lingkungan sekolah

Salah satu faktor penentu bentuk kesantunan yaitu penggunaan pilihan kata (diksi) yang tepat sesuai dengan peristiwa tutur dan lawan tutur. Interaksi dengan siswa dalam ragam resmi menggunakan pilihan kata (diksi) yang sesuai dengan situasi pertuturan. Sementara dalam ragam pergaulan, terdapat dua pilihan kata yang digunakan yakni kata “jangan” dan “belum”. Kata “jangan” digunakan sebagai larangan. Dalam konteks tuturan di atas, kata “jangan” bukan sekedar larangan tetapi juga memunculkan daya bahasa. Kata “jangan” juga dipersepsi bukan sekedar dari maknanya tetapi melalui daya bahasanya. Kata “jangan” dipersepsi sebagai “larangan sambil menyuruh introspeksi diri”.

b.    Bentuk Kesantunan Berbahasa Siswa dalam Berinteraksi dengan Guru

Penggunaan pilihan kata (diksi) “beliau”, “maaf”, “dananya”, “perkenalkan” memiliki kadar yang lebih santun jika dibandingkan dengan kata “dia”, “uangnya”, dan “beritahukan”. Meskipun dalam kata-kata tersebut sering digunakan akan tetapi dalam konteks tuturan tertentu kata-kata tersebut masih dirasa belum mencerminkan kesantunan. Penggunaan kata “beliau” memberikan kesan bahwa penutur sangat menghormati orang yang sedang dibicarakannya

c.    Faktor-faktor yang mempengaruhi kesantunan berbahasa di SMA Negeri 1 Dulupi Kabupaten Boalemo

Kesantunan berbahasa di SMA Negeri I Dulupi Kabupaten Boalemo didukung oleh beberapa faktor, yaitu faktor bahasa daerah Gorontalo, lingkungan sekolah, dan juga lingkungan keluarga atau tempat tinggal. Implementasi kesantunan berbahasa di SMA Negeri I Dulupi Kabupaten Boalemo dapat dilaksanakan dalam proses pembelajaran maupun dalam situasi informal di luar jam pelajaran.

4.    Penelitian oleh Diansyah Ramadhan, Ngudining Rahayu, dan Bambang Djunaidi (Universitas Bengkulu) berjudul “Kesantunan Berbahasa dalam Diskusi pada Acara Indonesia Lawyers Club di TV One” pada tahun 2020 yang dimuat di Wacana: Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengajaran, Volume 18 Nomor 2, halaman 132-142:

Adapun hasil temuannya sebagai berikut:

Pematuhan Maksim Kesimpatian

Di   dalam   maksim   kesimpatian,   diharapkan   agar   para   peserta   tutur   dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggapsebagai tindakan tindak santun.

Konteks Penutur: M. Efendi Gazali (MEG),narasumber

Mitra tutur: Andi Arif

Hari/tanggal: Selasa, 05 Maret 2019,

Pukul 20.00 WIB

Tempat: Studio Tv One

Situasi: Formal

Topik: Andi Arif Terjerat Narkoba; Pukulan Bagi Kubu 02

MEG: “Kembali ke judul ini pukulan bagisiapa  maka  dengan  agak  cepat  tentunyakita  harus  melihat  basis  pendekatn  yang  kita pakai apa? Yang pasti kalau secara sederhana mengatakan sesudah ini Bang Andi Arif, salam juga ya bagi Bang Andi Arif mudah-mudahan sebagai dalam tanda petik korban ya cepatlah bisa terhabilitasi dan kembali seperti aktivitas sedia kala”.

Tuturan data di atas, MEG sebagai penutur, Andi Arif sebagai mitra tutur. Penggunaan kata tuturan “Salam juga ya bagi Bang Andi Arif mudah-mudahan  sebagai  dalam  tanda  petik korban ya cepatlah bisa terhabilitasi dan kembali seperti aktivis sedia kala” merupakan wujud pematuhanmaksim kesimpatian. Tuturan MEG mengandung pematuhan maksim kesimpatian maknanya adalah memberikan dukungan kepada mitra tutur. Tuturan MEG di atas mematuhi maksim  kesimpatian  karena  penutur  MEG  menunjukan  sikap  simpati  atas  kejadian  yang menipa  Andi  Arif.  Tuturan  ini  memperlihatkan  sikap  simpati,  memberikan  dukungan,  dan ketabahan kepada Andi Arif yang menjadi korban narkoba. Sikap penutur MEG menandakan bahwa penutur MEG mematuhi maksim kesimpatian

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Kesimpulan

Kesantunan berbahasa adalah pengungkapan pikiran dan perasaan dengan halus, baik dan sopan dalam interaksi komunikasi verbal. Kesantunan berbahasa mencerminkan budi halus dan pekerti luhur seseorang dengan tidak menyakiti perasaan dan memberikan pilihan kepada orang lain. Prinsip kesantunan berbahasa menurut teori Brown dan Levinson itu bermakna sebuah sikap kepedulian kepada wajah atau muka, baik milik penutur, maupun milik mitra tutur. Wajah dalam hal ini bukan berarti rupa fisik, akan tetapi public image, atau harga diri. Leech mengajukan enam maksim kesantunan yaitu maksim kebijaksanaan (tact), maksim kedermawanan (generosity), maksim pujian (approbation), maksim kerendahanhatian (modesty), maksim kesetujuan (agreement), maksim simpati (sympathy).

Ciri kesantunan berbahasa menurut Chaer yaitu (1) semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginannya untuk bersikap santun kepada lawan tuturnya, (2) tuturan yang diutarakan secara tidak langsung, lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung, (3) memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih santun dibandingkan dengan kalimat perintah (imperatif). Faktor pemakaian bahasa yang tidak santun di antaranya yaitu: 1) menyampaikan kritik secara langsung dengan berkata kasar; 2) emosi pada diri penutur; 3) protektif terhadap pendapat penutur; 4) penutur sengaja memojokkan mitra tutur; 5) menuduh atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur. Faktor yang mempengaruhi kesantunan dalam bertutur dibedakan menjadi dua yaitu: 1) faktor kebahasaan seperti, intonasi, nada, pilihan kata 2) faktor nonkebahasaan seperti, pranata sosial budaya masyarakat, sikap penutur, topik yang dibicarakan.

 

 

3.2  Saran

Pada makalah ini kita telah diberikan pemahaman mengenai kesantunan berbahasa. Sangat besar harapan penyusun agar nantinya makalah ini dapat membantu pembaca untuk lebih memahami baik konsep maupun penerapan sosiolinguistik itu sendiri di masayarakat. Selain itu, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca agar pada penulisan makalah selanjutnya  hal itu dapat diperbaiki. Tak luput penyusun menitipkan masukan sebagai berikut:

3.2.1        Bagi linguis, dosen, peneliti

a.       Memperkaya multi penafsiran kajian kesantunan berbahasa

b.      Memproduksi teori pengembangan kesantunan berbahasa

c.       Mendokumentasikan penelitian bidang sosiolinguistik secara kontinuitas

3.2.2        Bagi guru dan mahasiswa bahasa

a.       Mendalami kajian sosiolinguistik dengan sumber beragam dan terbaru

b.      Melakukan penelitian kajian sosiolinguistik di masyarakat

c.       Berkolaborasi dengan dosen dan peneliti dalam berkarya

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Agustini, R. (2017). Bentuk Kesantunan Berbahasa Indonesia (Studi Deskriptif Terhadap Penggunaan Bahasa Indonesia oleh Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Galuh Ciamis). Literasi: Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia serta Pembelajarannya, 1(1), 9-17.

Armeilia, D., Resmi, R., & Turnip, B. R. (2021). Kesantunan Berbahasa dalam Novel “Selena” Karya Tere Liye. Journal on Teacher Education, 2(2), 184-194.

Brown, P. dan Levinson, S.C. 1987. Politeness Some Universals in Language Usage. New York: Cambridge University Press.

Chaer, A. (2010), Kesantunan Berbahasa, Jakarta: Rineka Cipta.

Gunawan, F. (2017). Representasi kesantunan Brown dan Levinson dalam wacana akademik. Kandai, 10(1), 16-27.

Jayanti, M., & Subyantoro, S. (2019). Pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa pada teks di media sosial. Jurnal Sastra Indonesia, 8(2), 119-128.

Kridalaksana, H. (2008), Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Lahabu, S. Y., Djou, D., & Muslimin, M. (2021). Kesantunan Berbahasa di SMA Negeri 1 Dulupi Kabupaten Bolaemo dan Implementasinya dalam Pembelajaran. Reduplikasi: Jurnal Penelitian Pendidikan Bahasa Indonesia, 1(1), 31-39.

Leech, G.N. (1983), Principles of Pragmatics, New York: Longman

Mislikhah, S. (2020). Kesantunan Berbahasa. Ar-Raniry, International Journal of Islamic Studies, 1(2), 285-296.

Pramujiono, A., et al. (2020). Kesantunan Berbahasa, Pendidikan Karater, Dan Pembelajaran Yang Humanis.Magetan: Indocamp.

Rahardi, R. K. (2005). Pragmatik: kesantunan imperatif bahasa Indonesia. Erlangga.

Ramadhan, D., Rahayu, N., & Djunaidi, B. (2020). Kesantunan Berbahasa dalam Diskusi pada Acara Indonesia Lawyers Club di TV One. Wacana: Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra dan Pengajaran, 18(2), 132-142.

Sugiarti, M., Rahayu, N., & Wulandari, C. (2017). Analisis ketidaksantunan berbahasa di smp negeri 18 kota bengkulu. Jurnal Ilmiah KORPUS, 1(2), 150-156.

Wahidah, Y., & Wijaya, H. (2017). Anaslisis Kesantunan Berbahasa Menurut Leech pada Tuturan Berbahasa Arab Guru Pondok Pesantren Ibnul Qoyyim Putra Yogyakarta Tahun Ajaran 2016/2017 (Kajian Prgmatik). Jurnal Al Bayan: Jurnal Jurusan Pendidikan Bahasa Arab, 9(1), 1-16.

Wijana, I. D. P. (1996). Dasar-dasar pragmatik. Andi Offset.

Zamzani, Z., Musfiroh, T., Maslakhah, S., Listiyorini, A., & Rahayu, Y. E. (2012). Pengembangan Alat Ukur Kesantunan Bahasa Indonesia Dalam Interaksi Sosial Formal Bersemuka. Jurnal Penelitian Humaniora, 17(2).

 

Sumber rujukan:

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/

KONTAK BAHASA

04 October 2022 16:54:58 Dibaca : 929

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai masyarakat multibahasa. Aktivitas kegiatan peri kehidupan mengharuskan masyarakat yang berpindah di satu tempat ke tempat yang lain. Dikarenakan perbedaan penggunaan bahasa penutur angota masyarakat yang satu dengan angota masyarakat lainnya di dalam interaksi komunikasi, melahirkan peristiwa kontak bahasa. Berbagai faktor yang menyebabkan peristiwa kontak bahasa tersebut perlu diuraikan lebih mendalam untuk memahami dinamika kontak bahasa tersebut sebagai bagian dari kajian sosiolinguistik.

Kontak bahasa menghasilkan berbagai dampak proses interaksi bahasa masyarakat penutur yang satu dengan masyarakat penutur lainnya. Sudah banyak pula penelitian yang mengkaji tentang kontak bahasa, salah satunya yang berjudul “Penggunaan Bahasa Transmigran Jawa di Kabupaten Gorontalo” yang diterbitkan Jurnal Humaniora. Di dalam penelitian tersebut, Malabar(2012) menyebutkan:

“Variasi pilihan bahasa transmigran Jawa di Kabupaten Gorontalo memiliki tiga jenis variasi, yaitu variasi tunggal bahasa, alih kode, dan campur kode. Variasi tunggal bahasa dalam interaksi pada setiap ranah meliputi bahasa Jawa  dan bahasa Indonesia. Variasi tunggal bahasa  ini digunakan untuk menghindari timbulnya kesalahan pada penggunaan bahasa Jawa yang memiliki tingkatan dalam bertutur. Variasi alih kode yang dilakukan adalah peralihan dari kode bahasa Indonesia ke kode bahasa Jawa, peralihan kode bahasa Jawa ke kode bahasa   Indonesia, peralihan kode bahasa Jawa ke kode bahasa Melayu dialek Manado, dan peralihan  kode bahasa Jawa ke kode bahasa Gorontalo. Alih kode Bahasa Indonesia ke Bahasa Jawa  merupakan percakapan dengan alih kode dengan dasar BI, alih kode dapat muncul dengan  pilihan kode BJ. Campur kode yang dilakukan berwujud kata, frasa dan klausa. Kode-kode yang  terlibat dalam peristiwa campur kode tersebut    berasal dari bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Gorontalo, dan bahasa Melayu dialek  Manado”.

 

                        “

Lebih khusus penulis sebagai seorang guru ingin mengurai kontak bahasa di dalam pengajaran bahasa. Atas berbagai teorema tersebut, penulis menyajikan makalah yang mengangkat judul “Kontak Bahasa”.

 

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:

Apakah itu kontak bahasa?Faktor apa saja yang mempengaruhi kontak bahasa?Bagaimanakah akibat kontak bahasa?Bagaimanakah kontak bahasa dalam pengajaran bahasa?Bagaimanakah contoh analisis kontak bahasa berdasarkan studi kasus? 

1.3  Tujuan Penulisan

Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:

Untuk mengetahui tentang kontak bahasaUntuk memahami faktor yang mempengaruhi kontak bahasaUntuk memahami akibat kontak bahasaUntuk mengetahui kontak bahasa dalam pengajaran bahasaUntuk memahami contoh analisis kontak bahasa berdasarkan studi kasus 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Aisyah, Siti. (2022). Alih Kode Pada Podcast Puella Id. Jurnal Penelitian, Pendidikan, dan Pembelajaran, 17(10).

Bhatia, Tej K. (2013). The Handbook of Bilingualism and Multilingualism (Second Edition). West Sussex: Blackwell Publishing.

Budhiono, Hery R. (2014). Diglosia di Daerah Perbatasan. Jurnal Widyaparwa, 42(1), 13-22.

Chaer, Abdul. (2007). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. (2010). Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Holmes, Janet. (2012). An Introduction to Sociolinguistics: Fourth Edition. London dan New York: Routledge.

Hymes, D. (1964). On the Comunicative Competence. England : Harmondsworth, Middlesex.

Kurniati dan Budi Utama. (2015). Konvergensi Bahasa Melayu Bangka: Kajian Dialektologi Tuturan Mahasiswa Bangka di Bandung. Sirok Bastra, 3(1). 23-35.

Mackey, William Francis. (1972). The Description of Bilingualism, Readings in the Sociology of Language. Paris: Mouton.

Malabar, Sayama. (2012). Penggunaan Bahasa Transmigran Jawa di Kabupaten Gorontalo. Jurnal Humaniora, 24(3). 279-291.

Matras, Yaron. (2009). Language Contact. Cambridge : Cambridge University Press.

Mu’in, Fatchul. (2019). Sociolinguistics: a Language Study in Sosiocultural Perspectives. Banjarmasin: FKIP ULM.

Myers-Scotton, C. (2006). Multiple Voice: An Introduction to Bilingualism. Australia: Blackwell Publishing.

Normasunah, N. (2020). Analilis Penggunaan Bilingualisme dan Diglosia pada Tindak Tutur Sehari-hari Siswa SMPN 3 Kelumpang Tengah Kabupaten Kotabaru. Cendekia: Jurnal Ilmiah Pendidikan.8(1). DOI: 10.33659/cip.v8i1.151

Sahril. (2018). Pergeseran Bahasa Daerah pada Anak-Anak di Kuala Tanjung Sumatera Utara. Ranah: Jurnal Kajian Bahasa, 7(2), 210—228. doi: https://doi.org/10.26499/rnh.v7i2.571

Solehudin. (2009). Handout Sosiolinguistik. Bandung: UPI Bandung.

Solihah, Rizki Amalia. (2018). Kontak Bahasa: Kedwibahasaan, Alih Kode, Campur Kode, Interferensi, dan Integrasi. Makalah. Dalam: The 3rd Annual International Conference on Islamic Education, 24-25 Februari.

Thomason, Sarah Gray. (2001). Language Contact: an Introduction. Edinburgh : Edinburgh University Press. Ltd.

Weinrich, Uriel. (1970). Language in Contact: Finding and Problems. Paris: The Hague.

 

 

UNTUK MEMBACA LENGKAP MAKALAH SILAHKAN KLIK TAUTAN BERIKUT:https://docs.google.com/document/d/1MIWtosZqM9FWHFYBj_MGCOufgYfcTRqs/edit?usp=sharing&ouid=113875016540080144011&rtpof=true&sd=true

UNTUK MEMBACA BAHAN PRESENTASI MAKALAH KLIK TAUTAN BERIKUT:https://docs.google.com/presentation/d/125uuktTBW0JQ_FYC5-9w9NsUqmUPwG-U/edit?usp=sharing&ouid=113875016540080144011&rtpof=true&sd=true

 

KONSEP DASAR SOSIOLINGUISTIK DAN MASYARAKAT BAHASA

30 September 2022 13:59:56 Dibaca : 6146

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Kemunculan sosiolinguistik sebagai sebuah disiplin ilmu tak lepas dari perkembangan sosial masyarakat yang menumbuhkembangkan bahasa sebagai identitas sosial kemasyarakatannya. Sosiolinguistik adalah ilmu antardisiplin. Secara istilah, sosiolinguistik berakar dari rumpun sosiologi dan linguistik.

Pengistilahan itu merujuk pada aspek sosial dan aspek bahasa yang berfusi dikarenakan bahasa dan strukturnya berkembang dalam pranata masyarakat. Hubungan mesra antara masyarakat dan linguistik dalam tataran sosiolinguistik memiliki kompleksitasnya tersendiri. Hal ini menunjukkan betapa berperannya sosiolinguistik.

Sosiolinguistik memaparkan tentang cara penggunaan bahasa dalam aspek sosial tertentu. Pemahaman sosiolinguistik dapat menunjang interaksi dan komunikasi dalam masyarakat. Hubungan antara bahasa dan masyarakat maupun berbagai fungsi bahasa dalam masyarakat dikenal sebagai masyarakat bahasa dalam kajian sosiolinguistik. Malabar (2015:12) menegaskan bahwa masyarakat bahasa yang dimaksudkan di sini tidak hanya berdasarkan pada perkembangan bahasa, tetapi berdasarkan pada sejarah, budaya, dan politik.

Hadirnya sosiolinguistik memperkaya pedoman dalam berkomunikasi dengan menampilkan bahasa, ragam bahasa, atau gaya bahasa yang sesuai digunakan dalam masyarakat penutur bahasa tertentu. Dengan demikian, kehadiran sosiolinguistik meredam pelbagai persoalan bahasa dalam masyarakat penutur.

Atas rasionalitas seluk-beluk sosiolinguistik tersebut, maka penulis menyegarkan pemahaman pengetahuan melalui penyajian makalah yang mengangkat judul “Konsep Dasar Sosiolinguistik dan Masyarakat Bahasa”.

 

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:

Bagaimanakah hakikat sosiolinguistik?Apa saja objek kajian sosiolinguistik?

Bagaimana relevansi sosiolinguistik dengan cabang ilmu lain

Apa manfaat sosiolinguistik?

Bagaimanakah relevansi bahasa dan masyarakat?

Bagaimanakah pengertian masyarakat bahasa? 

1.3  Tujuan Penulisan

Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:

Untuk mengetahui tentang hakikat sosiolinguistik

Untuk memahami tentang objek kajian sosiolinguistik

Untuk mengetahui relevansi sosiolinguistik dengan cabang ilmu lain

Untuk mengetahui manfaat sosiolinguistik

Untuk memahami relevansi bahasa dan masyarakat

Untuk mengetahui pengertian masyarakat bahasa 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 KONSEP DASAR SOSIOLINGUISTIK

2.1.1 Hakikat Sosiolinguistik

Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik. Chaer dan Agustina (2010: 2) menjelaskan bahwa untuk memahami sosiolingusitik perlu dipahami terlebih dahulu sosiologi dan linguistik itu. Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari manusia di dalam masyarakat, menyangkut di dalamnya mengenai proses interaksi sosial manusia di dalam masyarakat. Sementara itu, linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajarai bahasa. Linguistik mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik merupakan bidang ilmu antardisiplin yang mempelajarai bahasa dalam kaitan penggunaan bahasa tersebut di dalam masyarakat.

Terkait dengan definisi sosiolinguistik, Soemarsono (2012: 1) mendefinisikan sosiolinguistik merupakan kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan. Beberapa pakar (melalui Chaer dan Agustina (2010: 3) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai berikut.

1.    Sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan pelbagai variasi bahasa, serta hubungannya di antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat (Kridalaksana, 1978).

2.    Pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan disebut sosiolinguistik (Nababan, 1984).

3.    Sociolinguistics is the study of characteristics of languange varieties, the characteristics of their functions, and the characteristics of their speakers as these three constantly interact, change, ang change one another within a speech comunity (J.A. Fishman, 1972).

4.    Sociolinguistics is developing subfield of linguistics which takes speech variation as it’s focus, viewing variation or it social content. Sociolinguistics is concerned with the corelation between such social factor and linguistics variation (Hickerson, 1980).

 

2.1.2 Objek Kajian Sosiolinguistik

Chaer dan Agustina (2010: 3) menjelaskan bahwa dalam sosiolinguistik bahasa tidak dilihat sebagai bahasa sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melaikan dilihat sebagai sarana interaksi sosial di dalam masyarakat. Soemarsono (2012: 8) menjelaskan bahwa sosiolinguistik melihat bahasa sebagai suatu sistem yang berkaitan dengan masyarakat, bahasa dilihat sebagai sistem yang tidak terlepas dari ciri-ciri penutur dan dari nilai-nilai sosiobudaya yang dipatuhi oleh penutur itu. Lebih lanjut, konferensi sosiolinguistik pertama yang berlangsung di University of California, LA, tahun 1964, telah merumuskan adanya tujuh dimensi dalam penelitian sosiolinguistik. Ketujuh dimensi tersebut yaitu (1) identitas sosial penutur, (2) identitas sosial pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan tenpat peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis penelitian sosiolingusitk (Dittmar, 1976).

 

2.1.2 Relevansi Sosiolinguistik dengan Cabang Ilmu Lain

Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mengkaji linguistik yang dihubungkan dengan faktor sosiologi. Dengan demikian, sosiolinguistik tidak meninggalkan linguistik. Apa yang dikaji dalam linguistik dijadikan dasar bagi sosiolinguistik untuk menunjukkan perbedaan penggunaan bahasa yang dikaitkan dengan faktor sosial. Apa yang dikaji dalam linguistik, meliputi apa yang ditelaah De Saussure, kaum Bloomfieldien (Bloomfield, Charles Fries, dan Hocket) serta kaum Neo Bloomfieldien dengan deep structure dan surface structurenya, dipandang oleh sosiolinguis sebagai bentuk bahasa dasar yang ketika dikaitkan dengan pemakai dan pemakaian bahasa akan mengalami perubahan dan perbedaan.

Kajian mengenai fonologi, morfologi, struktur kalimat, dan semantik leksikal dalam linguistik dipakai oleh sosiolinguistik untuk mengungkap struktur bahasa yang digunakan oleh tiap-tiap kelompok tutur sesuai dengan konteksnya. Karenanya, tidaklah mungkin seorang sosiolinguis dapat mengkaji bahasa dengan tanpa dilandasi pengetahuan mengenai linguistik murni itu. Sosiolinguistik mengkaji wujud bahasa yang beragam karena dipengaruhi oleh faktor di luar bahasa (sosial), yang dengan demikian makna sebuah tuturan juga  ditentukan oleh faktor di luar bahasa. Untuk dapat mengungkap wujud dan makna  bahasa sangat diperlukan pengetahuan tentang linguistik murni (struktur bahasa), supaya kajian yang di lakukan dengan dasar sosiolinguistik tidak meninggalkan objek bahasa itu sendiri (Sumarsono dan Partana, 2004: 7-9).

Sosiolinguistik membantu sosiologi dalam mengklasifikasi strata sosial. Sumarsono dan Partana (2004: 5-7) mengemukkan persamaan sosiolinguistik dengan sosiologi sebagai berikut.

1.  Sosiolinguistik memerlukan data atau subjek lebih dari satu orang individu.

2.  Menggunakan metode kuantitaif dengan teknik sampling random atau acak

3.  Menggunakan metode wawancara, rekaman, dan pengumpulan dokumen

4.  Pengolahan data menggunakan metode deskriptif.

5.  Keduanya memiliki hubungan simbiosis mutualisme (timbal balik) sebagai berikut:

a. Data sosiolinguistik yang memberikan ciri-ciri kehidupan sosial, menjadi barometer untuk sosiologi.

b. Aspek sikap berbahasa mempengaruhi budaya material dan spiritual suatu masyarakat.

c. Bahasa yang diteliti secara sosiolinguistik adalah alat utama dari perkembanagan penegetahuan mengenai sosiologi.

Antropologi merupakan kajian mengenai masyarakat, seperti asal usul budaya, adat istiadat, dan kepercayaan. Antropologi memandang bahwa budaya yang dimiliki masyarakat memiliki kaitan dengan bahasa. Jika kita menengok linguistik bandingan historis yang di dalamnya mengkaji asal usul bahasa menyebutkan bahwa suatu daerah yang mempunyai persamaan bahasa pasti memiliki kesamaan budaya atau terletak dalam daerah yang tidak saling berjauhan. Misalnya antara Indonesia dengan Malaysia yang mempunyai bahasa yang sama, yakni bahasa melayu austronesia.

Sosiolinguistik mengkaji ulang apa yang ditemukan oleh antropologi adanya kaitan antara budaya dan bahasa. Sehingga muncullah berbagai pandangan yang juga mempengaruhi penggunaan bahasa seperti hipotesis Saphir-Whorf. Kemudian melalui budaya yang dikaji oleh antropologi akan diketahui sistem kekerabatan yang kemudian diambil alih oleh sosiolinguistik dalam kaitannya dengan terms of addres atau kata sapaan. Selain itu, antropologi juga memberikan pengetahuan yang cukup bagaimana seorang penutur dari daerah lain berkomunikasi dengan warga yang berasal dari daerah yang berbeda. Hal tersebut merupakan kajian sosiolinguistik (Sumarsono dan Partana, 2004: 13-14).

 

2.1.3 Manfaat Sosiolinguistik

Kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis sangat banyak, sebab bahasa merupakan alat komunikasi verbal manusia. Dalam penggunaannya, sosiolinguistik memberi pengetahuan bagaimana menggunakan bahasa di dalam masyarakat. Sosiolinguistik memberikan pengetahuan tentang berbagai variasi bahasa yang ada di masyarakat. Kita sebagai manusia yang hidup di dalam masyarakat, sosiolinguistik memberikan pengetahuan tentang bagaimana kita dapat menempatkan diri dalam penggunaan bahasa kita ketika berada pada masyrakat tertentu. Sosiolinguistik juga memberikan deskripsi variasi bahasa dalam kaitannya dengan pengguna maupun kegunaannya. Selain itu, sosiolingusitik memungkinkan kita mengkaji fenomena dan gejala bahasa yang ada di dalam masyarakat melalui sosiolinguistik.

Sebagai ilmu yang mengkaji bahasa di dalam masyarakat, sosiolingusitik mampu membaur dengan bidang-bidang ilmu yang lain. Hal ini karena bahasa merupakan alat verbal manusia yang ada di berbagai bidang ilmu lain. Sebagai alat komunikasi, tentu bahasa tidak mungkin terlepas dari ilmu-ilmu lain sebagai sarana untuk mengungkapkan hasil pemikiran. Selain itu, objek kajian sosiolinguistik adalah bahasa di dalam masyarakat. Tentu hal tersebut sangat memungkinkan sosiolinguitik untuk saling terkait dengan bidang-bidang ilmu yang lain seperti politik, budaya, ekonomi, dan lain sebagainya.

 

2.2 MASYARAKAT BAHASA

2.2.1 Relevansi Bahasa dan Masyarakat

Menurut Ferdinand de Saussure (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:30-34) membedakan antara yang disebut langage, langue, dan parole. Ketiga istilah yang berasal dari bahasa Prancis itu, dalam bahasa Indonesia secara tidak cermat, lazim dipadankan dengan satu istilah, yaitu bahasa. Padahal ketiganya mempunyai pengertian yang sangat berbeda, meskipun ketiganya memang sama-sama bersangkutan dengan bahasa.

Dalam bahasa Prancis istilah langage digunakan untuk menyebutkan bahasa sebagai lambang bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama. Jadi, penggunaan langage pada istilah bahasa tersebut tidak mengacu pada bahasa tertentu melainkan mengacu pada bahasa secara umum sebagai alat komunikasi manusia.

Istilah kedua yang digunakan oleh Ferdinand De Saussure yakni langue. langue dimaksud sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya. langue mangacu pada suatu sistem lambang bunyi tertentu yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu.

Istilah ketiga yaitu parole. parole bersifat konkret, karena parole merupakan pelaksanaan dari langue dalam bentuk ujaran dan tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat dalam berinteraksi dan berkomunikasi antara sesamanya.

Dalam studi linguistik yang menjadi kajiannya adalah langue, sebagai suatu sistem bahasa tertentu tetapi dilakukan dengan parole karena parole dapat diamati secara empiris sedangkan langue tidak bisa diamati. Dari ketiga istilah di atas, langage, langue, dan parole terlihat bahwa kata atau istilah bahasa dalam bahasa Indonesia menanggung beban konsep yang amat berat, karena istilah itu berasal dari bahasa Prancis maka dapat dipadankan dengan satu kata bahasa meski harus dalam konteks yang berbeda.

Sebagai langage bahasa itu bersifat universal, sebab dia adalah satu sistem lambang bunyi yang digunakan manusia pada umumnya, bukan manusia pada suatu tempat atau suatu masa tertentu. Tetapi sebagai langue bahasa itu, meskipun ada ciri-ciri keuniversalannya, bersifat terbatas pada satu masyarakat tertentu. Satu masyarakat tertentu ini memang agak sukar rumusannya; namun adanya ciri saling mengerti (mutual intelligible) barangkali bisa dipakai batasan adanya satu bahasa. Jadi, misalnya, penduduk yang ada di Popayato dengan yang ada di Atinggola dan di Suwawa, masih berada dalam satu masyarakat bahasa dan dalam satu bahasa, karena mereka masih dapat mengerti dengan alat verbalnya. Mereka dapat berkomunikasi atau berinteraksi secara verbal. Begitu juga penduduk yang berada di Yogyakarta dengan yang berada di Semarang dan yang berada di Surabaya, masih berada dalam satu bahasa dan satu masyarakat bahasa karena masih ada saling mengerti di antara mereka sesamanya.

Adanya saling mengerti itu disebabkan karena adanya kesamaan sistem dan subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik) di antara parole-parole yang mereka gunakan. Begitu juga dengan penduduk yang ada di Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya, mereka bisa saling mengerti tentunya karena adanya kesamaan-kesamaan sistem dan subsistem dalam parole-parole yang mereka gunakan. Tetapi antara penduduk di Popayato dengan penduduk di Yogyakarta tidak ada saling mengerti secara verbal di antara mereka sesamanya. Hal ini terjadi karena parole-parole yang digunakan di antara penduduk di kedua tempat itu tidak mempunyai kesamaan sistem maupun subsistem. Ketiadaan kesamaan sistem dan subsistem di antara kedua masyarakat bahasa ini yang menyebabkan tidak terjadinya saling mengerti, menandai adanya dua sistem langue yang berbeda. Maka dalam kasus parole yang digunakan penduduk di Popayato dan di Yogyakarta itu, kita menyebutnya ada dua buah sistem langue, yaitu bahasa Gorontalo di Popayato dan bahasa Jawa di Yogyakarta.

Dengan demikian kita menyebut dua parole dari dua masyarakat yang berbeda sebagai dua buah bahasa yang berbeda adalah karena tiadanya saling mengerti secara verbal. Penamaan ini adalah berdasarkan kriteria linguistik. Namun, dalam berbagai kasus ditemui adanya dua masyarakat bahasa yang saling mengerti, tetapi mengaku menggunakan dua bahasa yang berbeda dengan nama yang berbeda. Misalnya, penduduk Malaysia dapat saling mengerti dengan penduduk Indonesia karena secara linguistik ada persamaan sistem dan subsistem di antara kedua parole yang digunakan. Tetapi penduduk Malaysia menyatakan dirinya berbahasa Malaysia, sedangkan penduduk Indonesia menyatakan dirinya berbahasa Indonesia. Maka dalam kasus ini penamaan bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia bukanlah berdasarkan kriteria linguistik, melainkan berdasarkan kriteria politik. Bahasa yang digunakan di Malaysia adalah bahasa Malaysia dan yang digunakan di Indonesia adalah bahasa Indonesia.

Kasus yang agak berbeda terjadi di daratan Cina. Suku-suku bangsa yang ada di daratan Cina itu tidak dapat berkomunikasi verbal secara lisan karena secara linguistik bahasa-bahasa mereka berbeda. Tetapi secara tertulis mereka dapat berkomunikasi dengan baik, karena sistem tulisan mereka sama, yaitu bersifat ideografis. Artinya, setiap huruf melambangkan sebuah konsep atau makna, meskipun wujud bunyinya tidak sama. Dalam kasus bahasa Inggris dewasa ini sudah tampak adannya usaha untuk memberi nama berbeda pada bahasa Inggris yang digunakan penduduk di Inggris, di Amerika, dan di Australia dengan munculnya nama British English, American English, dan Australian English.

Sudah dikemukan bahwa parole yang digunakan penduduk di Garut Selatan, di Karawang, dan di Bogor adalah berbeda, meskipun mereka saling mengerti, karena masih terdapatnya kesamaan sistem atau subsistem di antara parole di ketiga tempat tersebut. Jadi, di dalam “keberbedaan” mereka masih terdapat “kesaling-mengertian”. Dalam kasus ini, parole-parole yang digunakan di ketiga tempat itu disebut sebagai dialek-dialek dari sebuah bahasa yang sama. Irwan (2011:22) menjelaskan bahwa dialek merupakan variasi dari sebuah bahasa menurut pemakaiannya. Oleh karena itu, secara konkret lazim dikatan sebagai: bahasa Sunda dialek Garut, bahasa Sunda dialek Karawang, dan bahasa Sunda dialek Bogor. Begitu juga di Minang, ada bahasa Minang dialek Sungai Tarab, Minang dialek Lima Kaum, atau Minang dialek Padang Luar, dan lain-lain

Setiap orang secara konkret memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam berbahasa (berbicara atau menulis). Kekhasan ini dapat mengenai volume suara, pilihan kata, penataan sintaksis, dan penggunaan unsur-unsur bahasa lainnya. Itulah sebabnya, kalau kita akrab dengan seseorang, kita akan dapat mengenali orang itu hanya dengan mendengar suaranya saja (orangnnya tidak tampak), atau hanya dengan membaca tulisannya saja (namanya tidak disebutkan dalam tulisan itu). Ciri khas bahasa seseorang disebut dengan istilah idiolek. Jadi, kalau ada 1000 orang, maka akan ada 1000 idiolek.

Dari pembicaraan di atas, secara linguistik dapat disimpulkan bahwa setiap bahasa sebagai langue dapat terdiri dari sejumlah dialek, dan setiap dialek terdiri dari sejumlah idiolek. Namun perlu juga dicatat bahwa dua buah dialek yang secara linguistik adalah sebuah bahasa, karena anggota dari kedua dialek itu bisa saling mengerti; tetapi secara politis bisa disebut sebagai dua buah bahasa yang berbeda.

Stephen Ulimann (dalam Mahliana, 2011:2) menjelaskan perbedaan bahasa dan tutur itu sebagai berikut:

1.    Bahasa adalah wahana komunikasi (untuk semua orang dalam suatu masyarakat), dan tutur adalah penggunaan wahana itu oleh seseorang pada suatu kejadian tertentu. Jelasnya, bahasa adalah sandi (kode) sedangkan tutur adalah  penyandian (enkode), yaitu penggunaan sandi dengan isi makna tertentu, oleh penutur, yang kemudian didekodekan (ditafsirkan maknannya) oleh pendengar.

2.    Bahasa itu masih merupakan sesuatu yang potensial (berupa daya yang tersembunyi), merupakan sistem tanda yang tersimpan di dalam benak (memory) kita, yang siap diaktualisasikan (diwujudkan) dan diterjemahkan ke dalam bunyi-bunyi yang bersifat fisik dalam proses tutor. Jadi, sebenarnya bahasa itu tidak terdiri dari bunyi-bunyi dalam arti fisik, melainkan terdiri dari kesan-kesan bunyi yang tinggal di balik bunyi-bunyi nyata yang kita ujarkan atau kita dengar dari orang lain.

 

2.2.2 Pengertian Masyarakat Bahasa

Masyarakat bahasa atau masyarakat tutur secara teori termasuk ke dalam variasi atau ragam bahasa dalam konteks sosial. Ragam bahasa dalam konteks sosial  memiliki dua hal yang saling berkaitan yaitu verbal repertoire dan masyarakat tutur.

Berdasarkan penjelasan Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:34-35), dapat diambil kesimpulan bahwa verbal repertoire merupakan kemampuan komunikatif di mana kemampuan ini terbagi dua yaitu kemampuan komunikatif yang dimiliki oleh setiap penutur secara individu dan kemampuan komunikatif yang dimiliki oleh masyarakat tutur secara keseluruhan. Adapun kemampuan komunikatif setiap penutur ditentukan oleh masyarakat di mana ia merupakan anggotanya, dan kemampuan komunikatif suatu masyarakat tutur terjadi dari himpunan kemampuan komunikatif seluruh penutur dalam masyarakat menjadikan pengertian masyarakat tutur bukan sekedar kelompok orang yang mempergunakan bentuk bahasa yang sama. Akan tetapi, kelompok orang-orang yang juga mempunyai norma yang sama dalam memakai bentuk-bentuk bahasa.

Kalau suatu kelompok atau suatu masyarakat mempunyai verbal repertoir yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma norma pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat itu, maka dapat dikatakan kelompok orang itu atau masyarakat itu adalah sebuah masyarakat tutur. Jadi, masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk bentuk bahasa.

“Sebagai masyarakat bahasa, untuk sementara dapat berarti kelompok penutur yang berdasarkan pandangan hidup mereka membentuk kelompok berdasarkan bahasa yang sama” (Malabar, 2015:13).

Untuk dapat disebut satu masyarakat tutur adalah adanya peranan diantara para penuturnya, bahwa mereka merasa tutur yang sama.   Fishman dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:36), memberi batasan bahwa masyarakat tutur ialah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi tutur beserta norma-norma yang sesuai dengan pemakaiannya. Hal ini menjelaskan bahwa masyarakat tutur bersifat netral dalam arti dapat digunakan secara luas dan besar serta dapat pula digunakan dalam menyebut masyarakat kecil atau sekelompok orang yang menggunakan bahasa relatif sama dan mempunyai penilaian yang sama dengan pemakaian bahasanya.

Masyarakat tutur yang besar dan beragam memperoleh verbal repertoirnya dari pengalaman atau dari adanya interaksi verbal langsung di dalam kegiatan tertentu. Mungkin juga di peroleh secara referensial. Yang diperkuat dengan adanya integrasi simbolik, seperti integrasi dalam sebuah wadah yang disebut negara, bangsa, atau daerah. Jadi, mungkin saja suatu wadah negara, bangsa, atau daerah membentuk suatu masyarakat tutur dalam pengertian simbolik itu. Dalam hal ini tentu saja yang disebut bahasa nasional dan bahasa daerah jelas mewakili masyarakat tutur tertentu dalam hubungan dengan variasi kebahasaan.

Dilihat dari sempit dan luas verbal repertoirnya dapat dibedakan adanya dua macam masyarakat tutur yaitu (1) masyarakat tutur yang repertoir pemakaiannya lebih luas, dan menunjukkan verbal repertoir setiap penutur lebih luas pula, dan (2) masyarakat tutur yang sebagian anggotanya mempunyai pengalaman sehari hari dan aspirasi hidup yang sama dan menunjukkan pemilikan wilayah linguistik yang lebih sempit, termasuk juga perbedaan variasinya.

Kedua jenis masyarakat tutur ini terdapat baik dalam masyarakat yang termasuk kecil dan tradisional maupun masyarakat besar dan modern. Masyarakat modern mempunyai kecenderungan memiliki masyarakat tutur yang lebih terbuka dan cenderung menggunakan berbagai variasi dalam bahasa yang sama. Sedangkan masyarakat tradisional bersifat lebih tertutup dan cenderung menggunakan variasi dalam beberapa bahasa yang berlainan. Penyebab kecenderungan itu adalah berbagai faktor sosial dan faktor kurtural.

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Kesimpulan

Sosiolinguistik merupakan bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitan penggunaan bahasa tersebut di dalam masyarakat. Objek kajian sosiolinguistik meliputi 7 dimensi yakni (1) identitas sosial penutur, (2) identitas sosial pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan tenpat peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis penelitian sosiolinguistik.

Sosiolinguistik berhungungan erat dengan cabang ilmu lain. Kajian mengenai fonologi, morfologi, struktur kalimat, dan semantik leksikal dalam linguistik dipakai oleh sosiolinguistik untuk mengungkap struktur bahasa yang digunakan oleh tiap-tiap kelompok tutur sesuai dengan konteksnya. Sosiolinguistik membantu sosiologi dalam mengklasifikasi strata sosial. Sosiolinguistik mengkaji ulang apa yang ditemukan oleh antropologi adanya kaitan antara budaya dan bahasa. Kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis sangat banyak, sebab bahasa merupakan alat komunikasi verbal manusia. Dalam penggunaannya, sosiolinguistik memberi pengetahuan bagaimana menggunakan bahasa di dalam masyarakat.

Dalam kajian sosiolinguistik dibahas tentang masyarakat bahasa. Masyarakat bahasa adalah kelompok penutur yang berdasarkan pandangan hidup mereka membentuk kelompok berdasarkan bahasa yang sama. Setiap bahasa sebagai langue dapat terdiri dari sejumlah dialek, dan setiap dialek terdiri dari sejumlah idiolek. Namun perlu juga dicatat bahwa dua buah dialek yang secara linguistik adalah sebuah bahasa, karena anggota dari kedua dialek itu bisa saling mengerti; tetapi secara politis bisa disebut sebagai dua buah bahasa yang berbeda.

3.2  Saran

Pada makalah ini kita telah diberikan pemahaman mengenai konsep dasar sosiolinguistik, mulai dari pengertian, hubungan sosiolinguistik dengan ilmu lain, manfaat mempelajari sosiolinguistik, serta penjelasan tentang masyarakat bahasa. Sangat besar harapan penyusun agar nantinya makalah ini dapat membantu pembaca untuk lebih memahami baik konsep maupun penerapan sosiolinguistik itu sendiri di masayarakat. Selain itu, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca agar pada penulisan makalah selanjutnya  hal itu dapat diperbaiki. Tak luput penyusun menitipkan masukan sebagai berikut:

3.2.1        Bagi linguis, dosen, peneliti

a.       Memperkaya multi penafsiran kajian sosiolinguistik

b.      Memproduksi teori pengembangan sosiolinguistik

c.       Mendokumentasikan penelitian bidang sosiolinguistik secara kontinuitas

3.2.2        Bagi guru dan mahasiswa bahasa

a.       Mendalami kajian sosiolinguistik dengan sumber beragam dan terbaru

b.      Melakukan penelitian kajian sosiolinguistik di masyarakat

c.       Berkolaborasi dengan dosen dan peneliti dalam berkarya

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Chaer, Abdul & Leonie Agustina. (2004). Sosiolinguistik. Jakarta: PT Pineka Cipta.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. (2010).  Sosiolingusitik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Irwan. (2011). Pengantar Perkuliahan Sosiolinguistik. Batusangkar: STAIN Batusangkar Press.

Mahliana. (2011). Sosiolinguistik (Bahasa dan Tutur, Verbal Refertoire). Available in http://mahliana-himai.blogspot.com, retrieved on September 16, 2022..

Malabar, Sayama. (2015). Sosiolinguistik. Gorontalo: Ideas Publishing.

Soemarsono. (2012). Sosiolingusitik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumarsono & Paina Partana. (2004). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.