KATEGORI : KEMAHIRAN BERBAHASA

Tulisan ini berisi uraian argumentatif penulis berdasarkan pemahaman materi perkuliahan kemahiran berbahasa dan sajian interpretatif terhadap sebuah masalah kemahiran menyimak dan membaca lewat pendekatan fenomenologi.

Pada sebuah pekuliahan tatap muka Kemahiran Berbahasa oleh Profesor Nani Tuloli, beliau mengungkapkan bahwa orang yang mengangguk-anggukkan kepala bukan berarti orang yang benar-benar paham terhadap ujaran pembahasan tentang topik tertentu yang didengarnya. Pernyataan tersebut memang tepat adanya, tak lepas dari konsep dasar penguasaan keterampilan reseptif yang mengutamakan keberterimaan informasi lisan dan tulis tidak sekadar kabar masuk di telinga kiri keluar di telinga kanan, dan tidak sekadar terucap di bibir semata, atau mengangguk-aggukkan kepala. Keterampilan reseptif dapat diketahui efektifitas penyerapannya jika dilakukan konfirmasi penggalian informasi jika dikaitkan dengan keterampilan produktif berbicara dan menulis.

Keterampilan reseptif dalam berbahasa artinya proses yang berlangsung pada diri pendengar yang menerima kode-kode bahasa yang bermakna dan berguna yang disampaikan oleh pembicara melalui alat-alat artikulasi dan diterima melalui alat-alat pendengar. Aspek keterampilan reseptif ini meliputi menyimak dan membaca. Jika dilihat dari polanya, kompetensi menyimak dan membaca merupakan kompetensi menerima buah pikir atau hasil karya orang lain. Dengan kata lain, seorang penyimak atau pembaca akan menikmati atau mengapresiasi produk-produk bahasa baik secara visual maupun auditif. Untuk itulah penguasaan kedua kompetensi ini dikategorikan sebagai keterampilan reseptif.

Menyimak adalah salah satu keterampilan reseptif dalam berbahasa. Banyak sekali pengguna bahasa yang beranggapan bahwa menyimak sama dengan mendengar dan mendengarkan, padahal arti ketiga hal tersebut berbeda sekalipun maknanya bertalian erat. Mendengar diartikan sebagai menangkap bunyi (suara) dengan telinga. Mendengarkan berarti menangkap suatu suara melalui telinga dengan sungguhsungguh. Sedangkan menyimak berarti mendengarkan dengan baik dan saksama apa yang diucapkan (atau dibacakan) bahkan yang diperlihatkan orang lain untuk dipahami maksud atau tujuannya. Proses menyimak merupakan proses yang cukup kompleks karena merupakan serangkaian proses penerimaan sekaligus penyimpanan informasi yang disampaikan secara lisan baik menggunakan media audio atau audiovisual atau bahkan secara tanpa media. Proses menyimak merupakan proses yang tidak saja melibatkan aspek fisik tetapi juga aspek mental.

Membaca merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang berperan penting bagi kehidupan seseorang sebagai sarana komunikasi serta informasi dalam rangka pengembangan pengetahuan. Membaca merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang bersifat resepif. Dikatakan reseptif karena membaca merupakan suatu kegiatan berbahasa yang bertujuan memperoleh atau memahami informasi dari bahan bacaan. Oleh karenanya membaca memiliki peran penting dalam pengembangan pengetahuan karena sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui membaca (Iskandarwassid dan Sunendar, 2015: 245). Membaca merupakan proses kognitif yang berupaya untuk menemukan informasi yang terkandung dalam tulisan. Membaca bukan sekadar melihat kumpulan huruf yang berupa kata, kelompok kata, kalimat, paragraf, dan wacana, tetapi membaca merupakan kegiatan memahami dan menginterpretasikan lambang-lambang tertulis yang bermakna sehingga pesan penulis dapat dipahami oleh pembaca (Dalman, 2013:5).

Menyimak maupun membaca merupakan kegiatan berbahasa yang bersifat reseptif. Perbedaannya hanya pada objek yang menjadi fokus perhatian awal yang menjadi stimulus. Pada mendengarkan fokus perhatian (stimulus) berupa suara (bunyi-bunyi), sedangkan pada membaca adalah lambang tulisan. Kemudian, baik penyimak maupun pembaca melakukan aktivitas pengidentifikasian terhadap unsur-unsur bahasa yang berupa suara (dalam mendengarkan) maupun berupa tulisan (dalam membaca), yang selanjutnya diikuti dengan proses pengkodean guna memperoleh pesan yang berupa konsep, ide atau informasi sebagaimana yang dimaksudkan oleh si penyampainya.

Apabila ditinjau dari sudut pemerolehan atau belajar bahasa, aktivitas membaca dapat membantu seseorang memperoleh kosakata yang berguna bagi pengembangan kemampuan mendengarkan pada tahap berikutnya. Jadi, pengenalan terhadap kosakata baru pada aktivitas membaca akan dapat meningkatkan kemampuan mendengarkan pada tahap berikutnya melalui proses pengenalan kembali terhadap kosakata tersebut. Sehubungan dengan proses pembelajaran bahasa, Tarigan (1994:4-5) menyatakan bahwa mendengarkan pun merupakan faktor penting dalam belajar membaca secara efektif. Petunjuk-petunjuk mengenai strategi  membaca sering disampaikan guru di kelas dengan menggunakan bahasa lisan. Untuk itu, kemampuan peserta didik dalam mendengarkan dengan pemahaman sangat penting. Dari uraian di atas, kita dapat mengajukan hipotesis bahwa terdapat korelasi yang tinggi antara kemampuan mendengarkan dan membaca pada kelas-kelas yang relatif tinggi. Apabila terdapat peningkatan pada kemampuan yang satu maka akan diikuti dengan peningkatan pada kemampuan yang lain (Tarigan, 1994:5).

Tujuan meenyimak yakni: a. Menyimak untuk belajar dimana orang tersebut bertujan agar ia dapat memperoleh pengetahuan dari bahan ujaran sang pembicara. b. Menyimak untuk menikmati dimana orang yang menyimak dengan penekanan pada penikmatan terhadap sesuatu dari materi yang diujarkan atau diperdengarkan atau dipagelarkan (teruatama sekali dalam bidang seni) c. Menyimak untuk mengevaluasi dimana orang menyimak dengan maksud agar ia dapat menilai apaapa yang dia simak (baik-buruk, indah-jelek, tepatngawur, logis-tidak logis, dan lain-lain) d. Menyimak untuk mengapresiasi dimana orang yang menyimak dapat menikmati seta menghargai apa-apa yang disimaknya itu (misalnya: pembacaan berita, puisi, musik dan lagu, dialog, diskusi panel, dan pendebatan) e. Menyimak untuk mengkomunikasikan ide-ide dimana orang yang menyimak bermaksud agar ia dapat menkomunikasikan ide-ide, gagasan-gagasan, maupun perasaan-perasaannya kepada orang lain dengan lancar dan tepat. f. Menyimak untuk membedakan bunyi-bunyi dimana orang yang menyimak bermaksud agar dia dapat membedakan bunyi-bunyi dengan tepat; mana bunyi yang membedaskan arti (distingtif), mana bunyi yang tidak membedakan arti; biasanya ini terlihat pada seseorang yang sedang belajar bahasa asing yang asik mendengarkan ujaran pembicara asli (native speaker) g. Menyimak untuk memecahkan masalah dimana orang yang menyimak bermaksud agar dia dapat memecahkan masalah secara kreatif dan analisis, sebab dari sang pembicara dia mungkin memperoleh banyak masukan berharga. h. Menyimak untuk meyakinkan dimana orang yang menyimak untuk meyakinkan dirinya terhadap suatu masalah atau pendapat yang selama ini dia ragukan.

Membaca sebagai sebuah keterampilan reseptif secara umum bertujuan untuk memperoleh informasi atau pesan melalui bahasa tulis. Pada dasarnya tujuan membaca ditentukan dan dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain informasi yang diperlukan oleh pembaca dan jenis bacaan yang dipilih. Nurhadi (2016:3-4) mengemukakan berbagai tujuan membaca yang disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pembaca. Berdasar tujuan pembaca, selanjutnya dikemukakan berbagai tujuan membaca sebagai berikut. 1) Memahami secara detail dan menyeluruh isi bacaan. 2) Menangkap ide pokok/gagasan utama buku secara cepat. 3) Mendapatkan informasi tentang sesuatu. 4) Mengenai makna kata. 5) Ingin mengetahui peristiwa penting yang terjadi di seluruh dunia. 6) Ingin mengetahui peristiwa penting yang terjadi di masyarakat sekitar. Tujuan membaca juga dikemukakan oleh Anderson melalui Dalman (2013:11) sebagai berikut. 1) Membaca untuk memperoleh fakta dan rincian. 2) Membaca untuk memperolehh ide-ide utama. 3) Membaca untuk mengetahui urutan/susunan struktur karangan. 4) Membaca untuk menyimpulkan. 5) Membaca untuk mengelompokkan. 6) Membaca untuk menilai/mengevaluasi. 7) Membaca untuk memperbandingkan

Menyimak dan membaca sebagai keterampilan reseptif dapat bermanfaat bagi peserta didik untuk merangsang proses sensorik sel-sel otak sehingga dapat meningkatkan proses kognisi dan mental peserta didik. Kedua kegiatan tersebut juga dapat mengembangkan kreatifitas, daya cipta, penalaran dan proses berpikir kritis peserta didik. Hal tersebut juga berimbas positif terhadap kuantitas dan kualitas perbendaharaan kosakata peserta didik.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang penulis lakukan kepada guru dan peserta didik di SMP Negeri 2 Wanggarasi, Kabupaten Pohuwato ditemukan sejumlah fakta yang diuraikan sebagai berikut:

Menurut informasi dari guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah tersebut, sejumlah faktor penghambat kegiatan menyimak dan membaca peserta didik disebabkan oleh rendahnya minat dan motivasi peserta didik untuk mengembangkan kemampuan menyimak dan membacanya, pengaruh buruk media sosial dan permainan berbasis game online lebih menarik minat peserta didik. Sedangkan informasi dari peserta didik bahwasanya mereka tidak antusias karena disebabkan konten materi lisan yang dijadikan bahan menyimak oleh guru tidak menarik, serta media menyimak yang monoton melalui peragaan guru ataupun lewat audio biasa. Sedangkan teks buku bacaan yang dijadikan konten bacaan oleh guru juga hanya terbatas di buku teks wajib. Berdasarkan observasi lapangan yang dilakukan penulis, ditemukan fakta bahwa minimnya jumlah buku bacaan penunjang di perpustakaan untuk kegiatan membaca siswa.

Dari berbagai kenyataan tersebut, penulis mengajukan solusi terkait efektifitas pemahaman peserta didik dalam kegiatan menyimak dan membaca sebagai keterampilan reseptif, yakni sebagai berikut:

1.        Guru perlu merevitalisasi tujuan pembelajaran dan langkah-langkah pembelajaran terkait penguatan keterampilan reseptif peserta didik;

2.        Konten buku bacaan yang perlu ditambah di perpustakaan, baik berupa fiksi dan non fiksi sesuai tingkatan belajar dan karakteristik peserta didik;

3.        Konten menyimak bervariasi dapat berupa pidato, lagu, berita, puisi, dongeng dan sebagainya.

4.        Guru harus mengemas penayangan bahan menyimak dengan alat bantu media berbasis digital(seperti tiktok, youtube, noice, radio, dan sebagainya) untuk menarik minat dan antusiasme peserta didik;

5.        Guru dapat mengundang tokoh atau orang yang berprofesi pada bidang tertentu secara daring untuk dihadirkan secara interaktif sebagai bahan menyimak peserta didik;

6.        Guru mesti memberlakukan kegiatan pembiasaan rutin menyimak dan membaca misalnya pada setiap 15 menit awal setiap hari di awal pagi sebelum aktivitas pembelajaran dimulai di kelas;

7.        Guru seharusnya membuka ruang diskusi dan masukan dari peserta didik untuk menerima masukan terkait bahan dan media menyimak dan membaca yang diminati peserta didik;

8.        Guru harus merancang dan melakukan evaluasi kegiatan menyimak dan membaca peserta didik dalam bentuk jurnal perkembangan;

9.        Guru harus mengatur pembelajaran keterampilan reseptif tersebut tidak hanya di kelas, namun dapat juga dilaksanakan di perpustakaan, taman sekolah, di bawah pohon yang rindang, kunjungan ke tempat wisata dan sebagainya.

10.    Guru dapat memberikan apresiasi atas usaha pengembangan keterampilan menyimak dan membaca peserta didik melalui atensi pujian umum maupun hadah berupa buku bacaan.

KETERAMPILAN BERSASTRA

28 November 2023 19:28:23 Dibaca : 60

1.    Menciptakan Karya Sastra

Menurut Hasanah dan Siswanto (2013) menyatakan bahwa menciptakan karya sastra diawali oleh proses berpikir kreatif dan kreativitas. Proses berpikir kreatif ditandai dengan kemampuan memunculkan ide atau gagasan baru yang tidak lazim, kontroversial dan aneh, tetapi ide tersebut dapat diwujudkan atau direalisasikan. Proses berpikir kreatif dipengaruhi oleh faktor lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan kebiasaan. Untuk membentuk kompetensi berpikir kreatif, seseorang harus memiliki kepekaan terhadap lingkungan dan perubahannya, memiliki minat untuk mencermati dan menganalisis lingkungan dan perubahan tersebut serta memiliki hasrat untuk untuk pemecahan masalah. (pp. 1-2).

Aktivitas berpikir kreatif yang intens dan terus menerus dapat menciptakan kreativitas pada diri seseorang. Untuk bisa kreatif, seseorang perlu memiliki kreativitas. Kreativitas berarti daya cipta atau kemampuan mencipta. Kreativitas dalam bidang bahasa mengacu pada kemampuan memproduksi dan memahami kalimat-kalimat yang belum pernah didengar dari sumber-sumber bahasa. Kreativitas berbahasa lebih sering terjadi pada unsur kata daripada kalimat, terutama dalam penemuan makna kata dan kreasi kata atau leksikon. Kreativitas dalam dunia seni mengacu pada orisinalitas ide atau penemuan bentuk yang dihubungkan dnegan deviation (penyimpangan dari aturan) dan foregrounding (pengedepanan, pengaktualan, pementingan, atau penekanan) yang biasanya terhubung dengan penciptaan puisi dan prosa fiksi (Hasanah & Siswanto, 2013, p. 2).

Karya sastra tercipta dari proses kreatif pengarang yang beranjak dari permasalahan-permasalahan sosial masyarakat. Berkualitas atau tidaknya karya sastra sangat ditentukan oleh daya kreativitas pengarang. Pengarang yang menciptakan karya sastra berdasarkan fenomena-fenomena sosial, budaya, politik, dan sebagainya yang terjadi di masyarakat berarti ia telah melakukan proses mimetik (peniruan/tindakan imitatif). Tanpa melakukan proses mimetik, karya sastra yang diciptakan tidak akan memiliki ruh, atau hanya sebuah karya kosong, khayalan belaka (Suarta & Dwipayana, 2014, p. 13).

Sebelum mencipta satra pengarang melakukan beberapa kegiatan penting untuk memunculkan imajinasi (Siswanto, 2008, p. 28), yakni:

1.    Menelusuri/menjelajah  dunia berjalan ke sana ke mari, sebab dunia ini sebagai sumber yang kaya untuk mengembang imajinasi.

2.    Membaca majalah, karya sastra dan puisi para pengarang lain yang tersohor, buku pengetahuan.

3.    Mendengarkan dan menyimak berbagai uraian, pidato, dongeng lisan, peristiwa tentang kemanusiaan, diskusi dan perdebatan.

4.    Memperoleh pengalaman yang bermanfaat baik yang dialami sendiri atau yang dialami orang lain.

Pada dasarnya, proses kreatif yang dilalui sastrawan selalu dikaitkan dengan kegiatan menulis kreatif. Menulis kreatif dapat diartikan sebagai kegiatan mengekspresikan atau menuangkan ide-ide baru dalam wujud tulisan. Dalam dunia sastra, kegiatan menulis kreatif dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni menulis karya/cipta sastra dan menulis karya apresiatif-kritik sastra (Hasanah & Siswanto, 2013, p. 5).

Dalam mengarang, sastrawan didorong oleh motif tertentu. Dorongan tertentu ini bisa dalam memilih ide/tema, bahan karangan, bangunan unsur intrinsik karya (Hasanah & Siswanto, 2013, p. 7). Ali Akbar Navis menulis novel ‘Kemarau’ untuk membela diri bahwa ia bukanlah komunis seperti yang pernah dicurigai kepadanya. Ajip Rosidi didorong alasan ekonomi karena merasa bahwa keterlibatannya dalam kesenian dan sastra memberi jalan hidup dan lapangan pekerjaan. Terkadang dalam berkarya, sastrawa meniru tingkah laku sesamanya. Trisnoyuwono meniru-niru Riyono Pratikno dalam mengambil kerangka cerita. Diantara sastrawan ada yang didorong alasan untuk berbakti, Chairil Anwar misalnya beberapa karya puisinya ditujukan untuk orang-orang tertentu. Taufik Ismail merupakan sastrawan yang berkarya didorong rasa Ketuhanan. Budi Darma mengaku berkarya karena takdir. Bakat, kemamuan, kesempatan dan hambatan menulis hanyalah rangkaian pernyataan takdir. Ia merasa ada sesuatu dalam dirinya yang terobsesi menanyakan berbagai hal, sehingga memaksanya untuk menulis. Utuy T. Sontani menulis puisi karena ingin mendapat pujian dari gadis yang dikaguminya. Hampir semua sastrawan berkarya karena dorongan rasa keindahan, meskipun kadarnya berbeda-beda (Hasanah & Siswanto, 2013, pp. 7-13).

2.    Kompetensi Mencipta Karya Sastra

Beberapa bekal menurut pengakuan sastrawan harus dimilikinya. Bekal itu terdiri atas (1) imajinasi, (2) kepekaan, (3) otak, insting, dan persepsi, (4) kejujuran dalam menulis, (5) intuisi, bakat, dan kerja keras, (6) intelektualitas dan hidup baik, (7) keajegan dan kecintaan terhadap karya sastra (Hasanah & Siswanto, 2013, p. 14).

Imajinasi adalah daya bayang, daya fantasi, tetapi bukan lamunan. Ia tetap berpangkal dari kenyataan-kenyataan dan pengalaman-pengalaman. Imajinasi tidaklah sama dengan realitas yang sesungguhnya (realitas obyektif) (Muzakki, 2007, p. 28). Kekuatan imajinasi identik dengan kepekaan seorang sastrawan. Kepekaan adalah kemampuan menembus apa yang tidak terlihat, tidak terasa, dan tidak terpikirkan. Kepekaan adalah kemamuan untuk melakukan sesuatu yang tidak terjangkau oleh orang lain (Hasanah & Siswanto, 2013, p. 15).

Sebagai pengarang harus mempunyai otak, disamping insting dan persepsi kepengarangan. Dengan insting dan persepsi ini pengarang tidak hanya melihat bayang-bayang hidup yang tercermin dalam tindakan manusia, akan tetapi hakikat hidup itu sendiri (Hasanah & Siswanto, 2013, p. 20). Kejujuran dalam menulis karya sastra untuk menunjukkan orisinalitas ide serta keikhlasan pengarang dalam berkarya.

Kompetensi yang harus dimiliki pengarang dalam mencipta karya sastra adalah bahasa. Sastrawan sering menggunakan bahasa secara khusus bahkan menyimpang dari gramatika.  Sastrawan bisa juga dianggap sebagai teladan dalam penggunaan bahasa secara baik dan optimal, dengan menggunakan gaya yang menarik (Teeuw, 1984, p. 70). Beberapa ciri bahasa sastrawan yakni:

1.      Bahasa persuasif yang bertujuan untuk mengajar, memberi kenikmatan, dan menggerakkan.

2.      Bahasa licentia poetarum, yaitu keleluasaan menggunakan bahasa, yang dicirikan oleh mengikuti kaidah bahasa yang sudah ada, menggunakan potensi bahasa secara inovatif, menyimpang dari konvensi yang sudah ada dan mengharuskan interpratasi khusus (Tuloli, 2000, p. 6)

3.      Bahasa yang mempunyai fungsi puitik(keindahan), emotif (perasaan pengarang), konatif (menggugah pembaca), dan patik (komunikasi pengarang dan penikmat).

4.      Bahasa yang disulap/disimpangkan atau diasingkan (deotomatisasi), sehingga bahasa dalam sastra berbeda dengan bahasa sehari-hari (Luxemburg, 1986).

Kompetensi yang juga harus dimiliki seseorang untuk mencipta karya yakni kapasitas penggunaan gaya bahasa. Gaya merupakan cara penggunaan bahasa oleh pengarang/sastrawan untuk mengungkapkan ide atau gagasan dan perasaannya dalam teks karya sastra (Luxemburg, 1989, p. 59)

 

3.    Kemahiran Membaca Sastra

Membaca sastra merupakan kegiatan membaca yang berhubungan dengan seni atau keindahan. Dalam membaca sastra, pembaca dituntut untuk mengaktifkan daya imajinasi dan kreativitasnya agar dapat menghayati dan memahami isi bacaan. Setelah membaca sebuah karya sastra pembaca akan memeroleh pengetahuan dan pengalaman melalui karya sastra yang dibacanya (Rahmayantis, 2016, p. 47). Untuk dapat menikmati, menghayati, dan menghargai unsur-unsur keindahan yang terdapat dalam teks sastra, pembaca terlebih dahulu harus memahami isi dan konteks penuturan dalam teks sastra (Rahmayantis, 2016, p. 48). Medium membaca sastra adalah bahasa, sehingga pembaca sastra harus memahami bahasa dan kaidah-kaidah bahasa yang digunakan dalam teks sastra (Priyatni, 2010, p. 25).

Membaca sastra dapat dilakukan dengan langkah dari membaca komprehensif, membaca teknis, dan membaca ekspresif (Rahmayantis, 2016, p. 48). Membaca komprehensif merupakan seperangkat keterampilan pemerolehan pengetahuan dari suatu teks, membaca komprehensif ini melibatkan pemikiran, jadi dalam membaca komprehensif ini pemahaman membaca sangat diperlukan. Membaca komprehensif bergantung pada gabungan pengetahuan bahasa, gaya kognitif, dan pengalaman membaca (Zuchdi, 2008, pp. 22-26). Membaca komprehensif diawali dengan memahami segmen-segmen terkecil (huruf, suku kata, kata) dalam teks bacaan dan kemudian dibangun agar mencakup unit-unit yang lebih besar yaitu klausa, kalimat, dan paragraf (Gazali, 2010, p. 208). Membaca teknis sering disebut oral reading "membaca lisan" maupun reading aloud "membaca nyaring". Disebut demikian karena membaca teknis adalah membaca yang dilaksanakan secara bersuara sesuai denganaksentuasi, intonasi, dan irama yang benar selaras dengan gagasan serta suasana penuturan dalam teks yang dibaca (Aminuddin, 1987, pp. 19-20). Membaca ekspresif adalah kegiatan membaca yang dilatarbelakangi tujuan menikmati serta menghargai unsur-unsur keindahan yang terpapar dalam teks sastra. Sementara untuk mampu menikmati dan menghayati, terlebih dahulu pembaca harus mampu memahami isi serta suasana penuturan dalam teks yang dibacanya. Membaca ekspresif tersebut dapat terwujud melalui kegiatan membaca dalam hati maupun dalam bentuk membaca secara lisan (Aminuddin, 1987, p. 21).

Sebelum seseorang melaksanakan kegiatan membaca cerita fiksi atau story telling, pembaca selain harus memahami isi teks serta suasana penuturan yang ada di dalamnya juga harus memahami masalah (1) pelafalan, (2) penentuan kualitas bunyi: tinggi-rendah, keras-lunak, (3) tempo, dan (4) irama. Selain itu, karena membaca secara lisan itu juga melibatkan aspek tubuh, pembaca juga harus mampu menata gerak mimik atau facial expression, gerak bagian-bagian tubuh atau gesture, maupun penataan posisi tubuh atau posture. Selain itu, unsur kontak mata sebagai salah satu upaya menciptakan hubungan batin dengan pendengarnya juga harus diperhatikan (Rahmayantis, 2016, p. 48).

 

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. (1987). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Gazali, A. S. (2010). Pembelajaran Keterampilan Berbahasa dengan Pendekatan Komunikatif Interaktif. Bandung: Refika Aditama.

Hasanah, M., & Siswanto, W. (2013). Proses Kreatif Sastrawan Indonesia. Malang: Cakrawala Indonesia.

Luxemburg, J. V. (1986). Pengantar Ilmu Sastra. (D. Hartoko, Trans.) Jakarta: Gramedia.

Luxemburg, J. V. (1989). Tentang Sastra. (A. Ikram, Trans.) Jakarta: Intermasa.

Muzakki, A. (2007). Karya Sastra: Mimesis, Realitas Atau Mitos? LINGUA: Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra, 2(1) , 26-44.

Priyatni, E. (2010). Membaca Sastra dengan Ancangan Literai Kritis. Jakarta: Bumi Aksara.

Rahmayantis, M. D. (2016). Pengembangan Bahan Ajar Membaca Indah Puisi untuk Siswa SMP Kelas VII. KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 2(1) , 47-56.

Siswanto, W. (2008). Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grasindo.

Suarta, I. M., & Dwipayana, I. K. (2014). Teori Sastra. Jakarta: Rajawali Pers.

Teeuw, A. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tuloli, N. (2000). Kajian Sastra. Gorontalo: BMT Nurul Jannah.

Zuchdi, D. (2008). Strategi Meningkatkan Kemampuan Membaca. Yogyakarta: UNY Press.

 

KEMAHIRAN BERBICARA

28 November 2023 19:26:41 Dibaca : 38

1.1  Pengertian Berbicara

Berbicara adalah salah satu kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui media bahasa. Berbicara adalah bentuk tindak tutur yang berupa bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap disertai dengan gerak-gerik tubuh dan ekspesi raut muka. Berbagai definisi telah dikemukakan untuk memberikan makna tentang berbicara. Sesuai fungsinya, berbicara adalah media yang digunakan manusia untuk berkomunikasi (Setyonegoro, 2013, hal. 68).

Tujuan utama berbicara adalah untuk menginformasikan gagasan-gagasan pembicara kepada pendengar. Akan tetapi, tujuan berbicara sebetulnya tidak hanya sebatas memberikan informasi kepada orang lain. Menentukan tujuan berbicara berarti kegiatan berbicara harus ditempatkan sebagai sarana penyampaian sesuatu kepada orang lain sesuai dengan tujuan yang diharapkan pembicara. Berbicara sebagai salah satu bentuk komunikasi dapat digunakan dalam berbagai tujuan. Dalam hal ini, Mulyana mengelompokkan tujuan berbicara ke dalam empat tujuan, yaitu tujuan sosial, ekspresif, ritual dan instrumental (Mulyana, 2001, hal. 5-30).

 

1.2  Unsur-unsur Keterampilan Berbicara

Dalam berbicara tentunya diperlukan berbagai unsur agar kegiatan tersebut dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan berbicara. Dalam berbicara terdapat beberapa unsur pokok. Ada lima unsur pokok dalam berbicara yaitu komunikator, pesan, komunikan, media, afek atau pengaruh. Pertama, komunikator adalah sekelompok orang yang menyampaikan pikiran, gaagsan, perasaan pada orang lain. Kedua, pesan adalah lambang yang bermakna yang membawakan pikiran atau perasaan komunikator. Ketiga, komunikan adalah seseorang atau sejumlah orang yang menjadi sasran komunikator ketika ia menyampaikan pesannya. Keempat, media adalah sarana untuk menyalurkan pesan-pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Kelima, efek adalah respon atau reaksi dari komunikan ketika menerima pesan dari komunikator (Almasitoh & Uningowati, 2014).

 

1.3  Situasi Berbicara

Situasi berbicara (Ghazali, 2010, hal. 251)  sebagai berikut:

a.    Pembicara dalam situasi berbicara bisa berinteraksi sebagai:  teman, orang asing, bersikap netral, simpatik, atasan atau bawahan, guru atau siswa, dll.

b.    Situasi lingkungan berbicara: di rumah sendiri atau orang lain, di kantor, di rumah sakit, di jalan, di kenderaan, di sekolah, di stasiun, dll.

c.    Jenis interaksi berbicara sesuai fungsinya:

(1)      Fungsi transaksional: pembicaraan pemberian informasi dan menerima informasi tentang fakta, kejadian, kebutuhan, opini, sikap, dan perasaan. (Polisi memberi petujuk arah tempat).

(2)       Fungsi interaksional:  pembicaraan mencakup fungsi-fungsi sosial seperti memberi salam, berpamitan, memperkenalkan diri, mengucapkan terima kasih, meminta maaf, memberi nasihat, memuji, dll. (Itu ide yang bagus sekali, Robert. Kerjakan sampai selesai!).

d.   Jenis pembicraan sesuai arah sasaran:

(1)      Sasaran satu arah: pembicara aktif sendiri dan pendengar pasif, tidak ada pertukaran peran (sebagai pembicara atau pendengar). Misalnya mengajar, berpidato, ceramah, dll.

(2)      Sasaran dua arah: pembicara bergantian dalam berbicara, ada pergantian peran sebagai pembicara dan sebagai pendengar. Misalnya dalam diskusi, percakapan santai, debat, dll.

e.    Jenis pembicaraan berdasarkan aturan:

(1)      Pembicaraan resmi: pembicaraan yang diatur oleh pimpinan atau pengacara. Misalnya dalam rapat, seminar, konferensi, sidang, dll.

(2)      Pembicaraan terbuka (tidak resmi): pembicaraan santai, pergaulan, pertemanan, keluarga, dll. Misalnya pembicaraan keluarga pada saat makan.

 

1.4  Pengajaran Keterampilan Berbicara

         Dalam uraian berikut ini, ditawarkan alternatif strategi pembelajaran yang dapat diterapkan oleh guru dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Strategi pembelajaran yang ditawarkan diharapkan mampu mengatasi kesulitan belajar siswa dan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan (Dewantara, 2016, hal. 39-48):

1. Strategi Pembelajaran KSUPP (P)

KSUPP(P) merupakan suatu sarana keterampilan yang berpusat pada siswa dengan suatu komponen menulis yang bersifat fakultatif. KSUPP(P) adalah singkatan dari Kisahkan, Siapkan, Ulangi, Pakai, Pamerkan, dan Pekerjaan rumah yang ditaruh dalam kurung karena bersifat fakultatif, bersifat pilihan. Dalam bahasa Inggris disebut PPRUE(H) sebagai singkatan dari Present, Prepare, Rehearse, Use, Exhibit, dan Homework. Berikut adalah fase-fase kegiatan pembelajaran dengan strategi KSUPP(P) yang dapat dilakukan oleh guru dalam pembelajaran menceritakan pengalaman paling mengesankan (Dewantara, 2016, hal. 41).

2. Strategi Pembelajaran Kuantum

Sebagai contoh aplikasi strategi pembelajaran kuantum adalah dalam pembelajaran menyampaikan pengumuman. Stretegi pembelajaran kuantum diterapkan melalui metode diskusi dan tanya jawab dengan teknik koreksi sesama teman. Teknik lain adalah dengan menyertakan lelucon dan pengaturan pembentukan kelompok oleh guru. Media yang dapat digunakan oleh guru dalam pembelajaran ini dapat berupa video penyampaian pengumuman. Dua buah video yang memuat penyampaian pengumuman yang baik dan yang kurang baik dapat dilakukan agar siswa menjadi lebih tertarik untuk memperhatikan materi pembelajaran. Penilaian dilakukan dengan teknik tes unjuk kerja secara individu. Metode, teknik, media, dan penilaian tersebut terangkai dalam unsurunsur kerangka perancangan pengajaran quantum teaching yang digagas oleh De Porter dan koleganya. Unsur-unsur kerangka tersebut adalah Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan yang diakronimkan menjadi TANDUR (Dewantara, 2016, hal. 42).

3. Strategi Pembelajaran Kooperatif Berbantukan Objek Langsung

Bercerita merupakan sebuah bentuk keterampilan yang perlu dimiliki oleh siswa agar mereka dapat menyampaiakan suatu kisah dengan baik dan menarik perhatian lawan tuturnya. Media yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran bercerita melalui penerapan strategi pembelajaran kooperatif berbantu objek langsung adalah video. Prosedur pembelajaran kooperatif pada prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu (1) penjelasan materi; (2) belajar dalam kelompok; (3) penilaian; dan (4) pengakuan tim (Dewantara, 2016, hal. 44).

4. Strategi Pembelajaran Heuristik

Salah satu strategi yang dapat dipilih oleh guru adalah strategi pembelajaran heuristik. Misalnya dalam pembelajaran bercerita, strategi ini diterapkan melalui metode penugasan, diskusi, tanya jawab, dan demonstrasi dengan teknik storytelling berbantu media personal photograph (foto pribadi). Teknik penilaian yang dapat digunakan adalah teknik penilaian tes unjuk kerja secara individu dengan aspek yang dinilai adalah isi cerita, urutan, volume, lafal, intonasi, mimik dan gestur, serta penggunaan alat peraga (Dewantara, 2016, hal. 46).

 

1.5  Praktek Keterampilan Berbicara

Teknik pembelajaran keterampilan berbicara yang dapat dipraktikkan di sekolah (Rohmah, 2009):

1.         Berbicara terpimpin: (Frase dan kalimat, Satuan paragraf, Dialog, Pembacaan puisi

2.         Berbicara semi terpimpin (Reproduksi cerita, Cerita berantai, Menyusun kalimat dalam pembicaraan, Melaporkan isi bacaan secara lisan

3.         Berbicara bebas (Diskusi, Drama, Wawancara, Berpidato, Bermain peran

Berdasarkan tingkatatan berbicara, teknik pembelajaran untuk:

1.         tingkat pemula dapat digunakan: Ulang ucap, lihat ucap, permainan kartu kata, wawancara, permainan memori, reka cerita gambar, biografi, manajemen kelas, bermain peran, permainan telepon, dan permainan alfabet.

2.         Tingkat menengah: Dramatisasi, elaborasi, reka derita gambar, biografi, permainan memori, wawancara, permainan kartu kata, diskusi, permainan telepon, percakapan satu pihak, pidato pendek, parafrase, melanjutkan cerita, permainan alfabet.

3.         Tingkat yang paling tinggi: Dramatisasi, elaborasi, reka cerita gambar, biografi, permainan memori, diskusi, wawancara, pidato, melanjutkan cerita, talk show, parafrase, dan debat.

 

1.6  Ciri-ciri Pembicara yang Baik

Terdapat sejumlah ciri-ciri pembicara yang baik untuk dikenal, dipahami, dan dihayati, serta dapat diterapkan dalam berbicara (Rusmiati, 2002, hal. 30). Ciri-ciri tersebut meliputi hal-hal di bawah ini:

1.      Memilih topik yang tepat. Pembicara yang baik selalu dapat memilih materi atau topik pembicaraan yang menarik, aktual dan bermanfaat bagi para pendengarnya, juga selalu mempertimbangkan minat, kemampuan, dan kebutuhan pendengarnya.

2.      Menguasai materi. Pembicara yang baik selalu berusaha mempelajari, memahami, menghayati, dan menguasai materi yang akan disampaikannya.

3.      Memahami latar belakang pendengar. Sebelum pembicaraan berlangsung, pembicara yang baik berusaha mengumpulkan informasi tentang pendengarnya.

4.      Mengetahui situasi. Mengidentifikasi mengenai ruangan, waktu, peralatan penunjang berbicara, dan suasana.

5.      Tujuan jelas. Pembicara yang baik dapat merumuskan tujuan pembicaranya yang tegas, jelas, dam gambling.

6.      Kontak dengan pendengar. Pembicara berusaha memahami reaksi emosi, dan perasaan mereka, berusaha mengadakan kontak batin dengan pendengarnya, melalui pandangan mata, perhatian, anggukan, atau senyuman.

7.      Kemampuan linguistiknya tinggi. Pembicara dapat memilih dan menggunakan kata, ungkapan, dan kalimat yang tepat untuk menggambarkan jalan pikirannya, dapat menyajikan materi dalam bahasa yang efektif, sederhana, dan mudah dipahami.

8.      Menguasai pendengar. Pembicara yang baik harus pandai menarik perhatian pendengarnya, dapat mengarahkan dan menggerakkan pendengarnya ke arah pembicaraannya.

9.      Memanfaatkan alat bantu.

10.  Penampilannya meyakinkan.

11.  Berencana

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Almasitoh, U. H., & Uningowati, D. W. (2014). Peningkatan Kualitas Pembelajaran Berbicara dengan Metode Kooperatif dengan Teknik DESSI pada Siswa SMA di Klaten. Magistra, 26(90), 64-87.

Dewantara, I. P. (2016). Alternatif Strategi Pembelajaran Keterampilan Berbicara. Jurnal Santiaji Pendidikan, 6(1), 38-49.

Ghazali, S. (2010). Pembelajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: PT Refika Aditama.

Mulyana, D. (2001). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Rohmah, D. (2009, July 4). Strategi Pembelajaran Keterampilan Berbicara. Dipetik May 8, 2023, dari dewirohmah.wordpress.com: https://dewirohmah.wordpress.com/2009/07/04/strategi-pembelajaran-keterampilan-berbicara/

Rusmiati, N. (2002). Model Show Case dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara. Bandung: Alfa.

Setyonegoro, A. (2013). Hakikat, Alasan, dan Tujuan Berbicara. Pena, 3(1), 67-80.