KATEGORI : MODEL PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

MODEL PEMBELAJARAN BLENDED LEARNING

28 November 2023 20:43:52 Dibaca : 449

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan situasi wabah pandemi Covid-19 menjadi dua pemicu utama model pembelajaran blended learning menjadi semakin ramai diterapkan dalam kegiatan pembelajaran. Tanpa menafikan diagnosa  perkembangan siswa dan tujuan pembelajaran, maka sudah seharusnya seorang guru mendesain model pembelajaran yang efisien dan efektif dengan memanfaatkan keberagaman sumber dan media pembelajaran, variasi metode pembelajaran, dan paradigma strategi dan pendekatan pembelajaran yang berupaya senantiasa mengutamakan pembelajaran berpusat pada siswa. Blended learning hadir untuk menjawab hal tersebut.

Blended learning sebagai sebuah model pembelajaran dipandang tidak sekadar mengkombinasikan pembelajaran moda daring dan luring, tetapi lebih jauh daripada pengertian itu bahwa blended learning mengkonvergensi keberagaman metpde, strategi, pendekatan, sumber belajar dan media pembelajaran demi terciptanya kondisi pembelajaran yang bermakna untuk ketercapaian kualitas pembelajaran.

Guru harus memahami blended learning berdasarkan filosofi hakikatnya, mengetahui keberagaman jenisnya, memahami langkah prosedural pelaksanaannya, serta mengurai kelebihan dan kekurangannya untuk keefektifan blended learning dalam rangka penerapannya dalam pembelajaran, khususnya pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Atas asumsi tersebut, penulis menyajikan makalah ini.

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:

Bagaimanakah hakikat model pembelajaran blended learning?Bagaimanakah karakteristik model pembelajaran blended learning?Bagaimanakah jenis-jenis model pembelajaran blended learning?Bagaimanakah langkah-langkah model pembelajaran blended learning?Bagaimanakah kelebihan dan kekurangan model pembelajaran blended learning?Bagaimanakah penerapan model pembelajaran blended learning dalam pembelajaran bahasa Indonesia?1.3  Tujuan Penulisan

Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:

Untuk memahami hakikat model pembelajaran blended learningUntuk memahami karakteristik model pembelajaran blended learningUntuk memahami jenis-jenis model pembelajaran blended learningUntuk memahami langkah-langkah model pembelajaran blended learningUntuk memahami kelebihan dan kekurangan model pembelajaran blended learningUntuk memahami penerapan model pembelajaran blended learning dalam pembelajaran bahasa Indonesia. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 MODEL PEMBELAJARAN BLENDED LEARNING DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

2.1.1 Hakikat Model Pembelajaran Blended Learning

Beragam pendefenisian yang dipaparkan para ahli terhadap model pembelajaran blended learning. Hal itu dikarenakan blended learning memliki varian bentuk dan pengaplikasian yang beragam dalam pembelajaran. Blended learning juga biasa diistilahkan sebagai hybrid learning. Lin (2009) menyatakan bahwa hybrid adalah penggabungan pembelajaran online dan tatap muka. Menurut artikel yang dimuat di ppmschool.ac.id pada 30 Agustus 2022, blended learning adalah sebuah metode pembelajaran yang menggabungkan antara pembelajaran langsung (synchronous) dengan pembelajaran tidak langsung atau mandiri yang bisa dilakukan kapan pun (asynchronous). 

Blended learning berasal dari kata blended dan learning. blend artinya campuran dan learning artinya belajar. Blended learning menggabungkan pembelajaran tatap muka (face to face) di kelas dan pembelajaran daring (online) untuk meningkatkan pembelajaran mandiri secara aktif oleh siswa dan mengurangi jumlah waktu tatap muka (face to face) di kelas (Nasution et al, 2019:40).

Menurut Ghirardini (2011) dalam Dewi, et al. (2019:15) menyatakan bahwa pada konsep blended learning, pembelajaran yang secara konvensional biasa dilakukan di dalam ruangan kelas dikombinasikan dengan pembelajaran yang dilakukan secara online baik yang dilaksanakan secara independen maupun  secara kolaborasi, dengan menggunakan sarana prasarana teknologi informasi dan komunikasi. Blended learning menggabungkan media pembelajaran yang berbeda (teknologi, aktivitas) untuk menciptakan program pembelajaran yang optimal untuk siswa tertentu. Kata “blended” memiliki arti pembelajaran konvensional (tatap muka di kelas) didukung oleh format pembelajaran elektronik.

Driscoll (2002) menyatakan bahwa Blended learning merupakan kombinasi karakteristik pembelajaran tradisional dan pembelajaran elektronik atau E-Learning. Menurut Bersin (2004) Blended learning dapat disimpulkan sebagai kombinasi karakteristik pembelajaran tradisional dan lingkungan pembelajaran elektronik atau blended learning. Menggabungkan aspek blended learning (format elektronik) seperti pembelajaran berbasis web, streaming video, komunikasi audio synchronous dan asynchronous dengan pembelajaran tradisional “tatap muka”. Senada dengan Graham (2005) mendefinisikan model blended learning sebagai kegiatan pembelajaran yang menggabungkan kegiatan belajar tatap muka dengan kegiatan belajar online dari aspek teori belajar, pendekatan, serta model pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Rusman (2013) memberikan pengertian Blended learning dikatakan kombinasi atau penggabungan dari berbagai aspek antara lain pembelajaran berbasis web, video streaming, audio, dan komunikasi dengan sistem pembelajaran yang tradisional dan termasuk juga metode, teori belajar, dan dimensi pedagogik (Nasution et.al., 2019:31-33).

Kardipah dan Wibawa (2022) secara gamblang mengulas pendefenisian blended learning oleh beberapa ahli. Horn dan Staker (2015) menyatakan blended learning merupakan program pendidikan formal dimana siswa belajar secara online dan secara tatap muka langsung di dalam kelas. Pada pembelajaran secara online, mahasiswa memiliki kontrol terhadap waktu, tempat, dan/atau kecepatan mereka sendiri. Definisi senada diberikan Garrison dan Vaughan (2008) yang menyatakan blended learning sebagai sebuah pendekatan yang mengintegrasikan kekuatan dari pertemuan tatap-muka dan pembelajaran secara online untuk mencapai tujuan pembelajaran. Hal yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh MacDonald (2008) kemudian menggambarkan blended learning sebagai pengapdopsian prinsip-prinsip dari strategi-strategis dan media untuk mendukung tujuan pembelajaran dan meningkatkan respon terhadap kebutuhan siswa. Sedangkan Klocke dan Hedegard (2015) menyatakan bahwa blended learning merupakan perubahan paradigma yang dimaksudkan untuk memberdayakan mahasiswa dan mengembangkan proyek-proyek kreatif berdasarkan pengetahuan dari disiplin ilmu terkait, metode, dan cara berfikir disiplin ilmu tersebut serta nilai-nilai di dalamnya. Blended learning, menurut Thorne (2003), mengintegrasikan kemajuan inovatif dan teknologi yang ditawarkan oleh pembelajaran online dengan interaksi dan partisipasi yang ditawarkan dalam pembelajaran tradisional.

Dari beragam pendefinisian dari para ahli tersebut, penulis menyimpulkan bahwa model pembelajaran blended learning adalah model pembelajaran yang mengkombinasikan  berbagai metode, pendekatan, dan media pembelajaran melalui moda daring dan luring dalam satu rangkaian kegiatan pembelajaran.

 

2.1.2 Karakteristik Model Pembelajaran Blended Learning

Bothell dari The University of Washington, mendefinisikan pembelajaran blended sebagai pembelajaran yang 25% - 50% dari waktu tatap muka di dalam kelas digantikan dengan pembelajaran online atau penugasan di luar kelas (out-of-class work). Hal ini berbeda dengan Sloan Consortium yang menyatakan pembelajaran blended terjadi saat 30% - 70% pembelajaran dilakukan secara online. Namun, Yamagata-Lynch dari University of Tennesse mengatakan bahwa tidak ada kesepakatan mengenai persentase dari pembelajaran online sehingga suatu pembelajaran bisa dinyatakan sebagai pembelajaran blended dan setiap institusi memiliki definisi sendiri mengenai pembelajaran online, pendidikan jarak jauh dan pembelajaran blended (Kardipah dan Wibawa, 2022).

Menurut Sharpen (tanpa tahun), karakteristik model blended learning adalah: (1) Ketetapan sumber sumplemen untuk program melalui institusional pendukung selama garis tradisional sebagian  besar melalui institusional pendukung lingkungan belajar virtual; (2) Transformatif tingkat praktik pembelajaran didukung oleh rancangan pembelajaran sampai mendalam; (3) Pendangan menyeluruh tentang teknologi untuk mendukung pembelajaran. Berdasarkan penjelasan diatas, karakteristik blended learning elearning adalah  sumber suplemen, dengan pendekatan tradisional juga mendukung lingkungan belajar virtual melalui sebuah lembaga. Adapun menurut Das & Das (2015) menyebutkan bahwa karakteristik blended learning terdiri dari tiga komponen, yaitu: (1) Personalized learning merupakan perancangan kebutuhan peserta didik yang disesuaikan dengan preferensi belajar dan keanekaragaman sehingga, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar secara mandiri; (2) Customized based learning merupakan pembelajaran yang dirancang mengaju pada pengalaman sebelumnya untuk meningkatkan minat dan motivasi belajar peserta didik; (3) Competency based learning merupakan pembelajaran yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan dan pengetahuan peserta didik yang diukur sesuai dengan tujuan pembelajaran. Adapun karakteristik pembelajaran blended learning secara spesifik adalah: (1) Kegiatan belajar mengajar terpisah dengan kegiatan pembelajaran; (2) Selama proses belajar mengajar peserta didik terpisah oleh guru baik secara tempat, jarak geografis, dan waktu atau kombinasi dari ketiganya; (3) Komunikasi dalam kegiatan belajar mengajar dibantu dengan media pembelajaran, baik media cetak maupun media elektronik (Idzni, 2022:10-11).

Menurut artikel yang dimuat di sekolahmuridmerdeka.id pada 25 Nopember 2021, karakteristik model pembelajaran blended learning sebagai berikut:

1.    Pembelajaran menggabungkan berbagai cara penyampaian atau pengajaran

Karakteristik yang pertama adalah menggabungkan berbagai macam model pembelajaran konvensional dengan belajar secara online. Metode ini bukan hal yang baru namun menjadi pelengkap metode belajar atau e-learning. Di metode satu ini fokus utamanya adalah pelajar diharapkan dapat mandiri untuk bisa bertanggung jawab dan menyelesaikan pembelajarannya.

2.    Kombinasi pengajaran langsung

Karakteristik selanjutnya adalah mengkombinasikan pengajaran secara langsung dan belajar mandiri melalui online. Pembelajaran ini juga berbasis komputer artinya adalah pembelajaran menggunakan pendekatan teknologi pembelajaran dengan kombinasi sumber-sumber belajar tatap muka dengan pengajar. Media yang digunakan untuk metode pembelajaran ini media komputer, telepon seluler, konferensi video dan lain sebagainya.

3.    Perpaduan cara mengajar dan gaya pembelajaran efektif

Dengan blended learning ini peserta didik akan semakin termotivasi untuk bisa melakukan kegiatan belajar secara mandiri. Peserta didik juga mudah bertanya di dalam forum diskusi dengan guru maupun dengan peserta didik yang lainnya.

4.    Guru dan orang tua memiliki peran yang sama

Karakteristik yang terakhir adalah guru dan orang tua siswa memiliki peran yang sama. Blended learning ini menjadi pilihan terbaik untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam belajar. Selain itu daya tarik untuk berinteraksi di dalam lingkungan belajar yang beragam juga meningkat. Metode satu ini akan memberikan fasilitas belajar yang sensitif terutama terhadap berbagai perbedaan karakter psikologis.

Dalam artikel yang dimuat di wikibook.org, dalam blended learning terdapat enam unsur yang harus ada, yaitu: (1) tatap muka (2) belajar mandiri, (3) aplikasi, (4) tutorial, (5) kerjasama, dan (6) evaluasi.

1.    Tatap Muka

Pembelajaran tatap muka sudah dilakukan sebelum ditemukannya teknologi cetak, audio visual, dan komputer, pengajar sebagai sumber belajar utama.

2.    Belajar Mandiri

Dalam pembelajaran berbasis Blended Learning, akan banyak sumber belajar yang harus diakses oleh peserta didik, karena sumbersumber tersebut tidak hanya terbatas pada sumber belajar yang dimiliki pengajar atau perpustakaan lembaga pendidikannya saja, melainkan sumber-sumber belajar yang ada di perpustakaan seluruh dunia.

3.    Aplikasi

Aplikasi dalam pembelajaran berbasis blended learning dapat dilakukan melalui pembelajaran berbasis masalah, pelajar akan secara aktif mendefinisikan masalah, mencari berbagai alternatif pemecahan, dan melacak konsep, prinsip, dan prosedur yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah tersebut.

4.    Tutorial

Pada tutorial, peserta didik yang aktif untuk menyampaikan masalah yang dihadapi, seorang pengajar akan berperan sebagai tutor yang membimbing. Meskipun aplikasi teknologi dapat meningkatkan keterlibatan pelajar dalam belajar, peran pengajar masih diperlukan sebagai tutor.

5.    Kerjasama

Keterampilan kolaborasi harus menjadi bagian penting dalam pembelajaran berbasis Blended Learning. Hal ini tentu berbeda dengan pembelajaran tatap muka konvensional yang semua peserta didik belajar di dalam kelas yang sama di bawah kontrol pengajar. Sedangkan dalam pembelajaran berbasis blended, maka peserta didik bekerja secara mandiri dan berkolaborasi

6.    Evaluasi

Evaluasi pembelajaran berbasis blended learning tentunya akan sangat berbeda dibanding dengan evaluasi pembelajaran tatap muka. Evaluasi harus didasarkan pada proses dan hasil yang dapat dilakukan melalui penilaian evaluasi kinerja belajar pelajar berdasarkan portofolio. Demikian pula penilaian perlu melibatkan bukan hanya otoritas pengajar, namun perlu ada penilaian diri oleh pelajar, maupun penilai pelajar lain.

 

 

 

2.1.3        Jenis-Jenis Model Pembelajaran Blended Learning

Jenis-jenis model pembelajaran blended learning menurut artikel yang dimuat di elearning.unair.ac.id pada 5 Maret 2020, sebagai berikut:

1.    Face-to-Face Driver

Model ini adalah metode blended learning dimana implementasi instruksi daring diberikan secara case by case, dengan kata lain dalam model ini, metode pembelajaran pada umumnya sangat mirip dengan pembelajaran tradisional, dengan opsi untuk memberikan pelajar yang berkemampuan atau berkeperluan khusus instruksi online agar aktifitas pembelajaran dapat berjalan secara efektif.

2.    Rotation

Dalam bentuk blended learning ini, pelajar mengikuti jadwal untuk berotasi diantara mengikuti pelajaran daring atau bertemu dengan pengajar. Terutama dalam pendidikan dasar, model ini sering digunakan untuk memberi pelajar dengan kelemahan di subjek tertentu perhatian lebih dan merotasikan pelajar yang tidak bermasalah dengan suatu subjek ke pembelajaran daring.

3.    Flex

Model ini sering digunakan untuk pelajar non-tradisional atau dalam resiko, dimana kegiatan pembelajaran terutama terjadi dengan cara daring, sementara pengajar berada siap siaga sebagai fasilitator jika diperlukan.

4.    Online Lab School

Bentuk blended learning ini melibatkan pelajar datang ke tempat tertentu untuk melakukan proses pembelajaran secara online didalam laboratorium. Dalam ruangan itu dapat terdapat seorang spesialis untuk mensupervisi pelajar.  Metode ini berguna untuk pelajar yang memerlukan fleksibilitas penjadwalan, memerlukan atau memilih untuk belajar dengan lebih cepat atau lambat, dan untuk sekolah dimana ada kekurangan ruang atau tenaga kerja guru bersertifikasi.

5.    Self-Blend

Model ini memberikan pelajar peluang untuk mendapatkan pembelajaran di luar apa yang diberikan di dalam kelas mereka. Walau pelajar-pelajar tersebut masih mendatangi lingkungan kelas tradisional, mereka juga dapat memilih untuk menambah pembelajaran mereka melewati kursus daring yang ditawarkan di luar tempat pembelajaran. Model ini cocok untuk pelajar yang ingin mendapatkan pelajaran yang lebih tinggi, atau memiliki ketertarikan dalam subjek tertentu yang tidak ditawarkan dalam kelas tradisional.

6.    Online Driver

Model ini adalah kebalikan dari Face-to-Face driver. Dalam model ini, mayoritas dari pembelajaran tidak dilakukan di dalam kelas, seringkali dari rumah pelajar melalui pembelajaran daring. Pertemuan opsional dengan pengajar ditawarkn jika dierlukan. Model ini ideal untuk pelajar dengan penyakit kronis atau difabel yang kesulitan mendatangi kelas, beserta pelajar yang memerlukan fleksibilitas tinggi dalam jadwalnya.

 

2.1.4   Langkah-Langkah Model Pembelajaran Blended Learning

Ramsay (2001) dalam Marlina (2020) menjelaskan sintaks atau langkah-langkah dari model pembelajaran Blended Learning sebagai berikut:

1.    Pencarian informasi secara online maupun offline dengan berdasarkan pada relevansi, validitas, realibilitas konten dan kejelasan akademis;

2.    Menemukan, memahami, dan mengkonfrontasikan ide atau gagasan;

3.    Menginterpretasikan informasi atau pengetahuan dari berbagai sumber yang telah dicari dari berbagai sumber;

4.    Mengkomunikasikan ide atau gagasan hasil interpretasinya menggunakan fasilitas online atau offline;

5.    Mengkontruksikan pengetahuan melalui proses asimilasi dan akomodasi dari hasil analisis, diskusi, dan penarikan kesimpulan dari informasi yang diperoleh menggunakan fasilitas online atau offline.

Dari sintaks dari model pembelajaran blended learning dapat ditentukan langkah-langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut:

1.    Pembelajaran dapat dimulai dengan tatap muka ataupun sepenuhnya online.

2.    Memberikan arahan terhadap peserta didik untuk melakukan pencarian informasi dari berbagai sumber.

3.    Peserta didik memahami dan menginterpretasikan, mengkomunikasikan dan mengkontruksikan pengetahuan serta menarik kesimpulan dari ide atau gagasan dari sumber yang telah ditemukan menggunakan fasilitas online atau offline.

 

2.1.5   Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Blended Learning

Berdasarkan perkembangan teknologi saat ini yang dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran tentunya memberikan kelebihan pada metode pembelajaran blended learning. Beberapa kelebihan blended learning adalah sebagai berikut : 1. Memperluas jangkauan pembelajaran. 2. Kemudahan implementasi. 3. Efisiensi biaya. 4. Efisiensi waktu. 5. Hasil yang optimal. 6. Memberikan daya tarik pembelajaran Namun, blended learning juga memiliki beberapa kekurangan yang dapat dialami baik dari pendidik dan peserta didik. Berikut beberapa kekurangan blended learning adalah sebagai berikut : 1. Peserta didik sulit mendapati fokus dalam pembelajaran. 2. Ketergantungan terhadap internet dan gadget. 3. Tidak mendapati pengawasan langsung oleh guru. 4. Membutuhkan sinyal yang baik. (Idzni, 2022:11).

 

2.1.6   Penerapan Model Pembelajaran Blended Learning dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia

Terkait model blended learning dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, guru dan  peserta  didik  setuju  bahwa  model blended  learning lebih  efektif  digunakan dalam  pembelajaran.  Pemahaman  peserta  didik  terhadap  materi  diakui  lebih  baik ketika blended learning daripada pembelajaran daring secara penuh (Eriyaningsih et al, 2022). Pembelajaran model blended learning dapat meningkatkan  minat belajar siswa. Hal ini dapat  dilihat  dari  aktivitas  belajar  siswa  selama pembelajaran  model blended  learning dapat meningkatkan minat dan motivasi anak dalam belajar (Kurniasari et al., 2021). Sejalan dengan hal tersebut, Abroto et al. (2021) menyimpulkan bahwa terdapat perubahan peningkatan motivasi belajardan hasil belajar peserta didik dalam penggunaan model pembelajaran blended learning.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Terjadi peningkatan persentase rata-rata aktivitas belajar siswa sebesar 14%, dari 63 pada kategori kurang aktif pada siklus I menjadi 77 atau pada kategori aktif pada siklus II, (2) Terdapat peningkatan persentase rata-rata aktivitas guru sebesar 8%, dari 84 pada kategori baik pada siklus I menjadi 92 atau pada kategori sangat baik pada siklus II, (3) Terjadi peningkatan persentase rata-rata hasil belajar siswa sebesar 21% dari 63 pada siklus I menjadi 84 pada siklus II. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model dasar blended learning pada masa pandemi covid-19 dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar mata pelajaran bahasa Indonesia pada siswa kelas VI MI Hidayatul Mubtadiin Sukorame (Maduretno, 2022)

Penulis memiliki pengalaman tersendiri dalam menerapkan model pembelajaran blended learning dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Penerapan tersebut terjewantahkan melalui pembelajaran sinkronous (pembelajaran langsung) melalui luring (tatap muka langsung di kelas) maupun daring(chat dan konferensi video)yang secara terstruktur menyajikan bentuk metode presentasi, demonstrasi, dan tutorial dalam rangka peran guru sebagai fasilitator dikombinasikan dengan diskusi, pemecahan  masalah, dan kerjasama/kooperatif dalam orientasi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dalam kondisi khusus seperti saat masa pandemi Covid-19, pembelajaran sinkronous diarahkan dalam bentuk konsep belajar dari rumah(mendatangi kelompok belajar siswa secara terbatas). Pembelajaran sinkronous (pembelajaran langsung/tatap muka secara luring dan daring) tersebut dikombinasikan pula dengan pembelajaran asinkronous (pembelajaran tidak langsung) secara kolaboratif antara guru dan siswa dalam bentuk diskusi di grup media sosial/aplikasi, chat melalui jalur pribadi maupun secara mandiri dalam bentuk pengerjaan tugas secara online, memberikan referensi bahan bacaan terkait, dan siswa mempelajari sajian materi pembelajaran dalam berbagai format(video, gambar, audio, dan teks).

Diperlukan  semacam  panduan  (framework)  yang  dapat  menjadikan  acuan dalam  memilih  dan  menentukan  blended  learning  yang  tepat  sesuai  kondisi  dan  tujuan  yang  ingindicapai (Chaeruman, 2013). Secara konkrit, langkah-langkah penerapan model pembelajaran blended learning dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dibagi ke dalam tiga tahapan yakni:

1.    Tahap Perencanaan

Pada tahapan ini, guru menyiapkan bahan ajar presentasi serta mengunggah presentasi bahan ajar di grup Google Clasroom  yang telah mengatur kelas siswa.tak luput guru juga mengunggah lembar kegiatan peserta didik di grup tersebut maupun link terkait ke aplikasi lain(misalnya Canva, Moodle, Quizizz) yang akan digunakan siswa dalam mengerjakan tugas/asesmen. Sebagai tambahan juga guru wajib menginformasikan informasi umum(alokasi waktu, instruksi kegiatan, dan tujuan yang ingin dicapai) terkait materi pembelajaran tersebut.

2.    Tahap Pelaksanaan

Tahap pelaksanaan merupakan inti kegiatan pembelajaran yang menerapkan model blended learning. Pada tahapan ini, terjadi pembelajaran sinkronous(pembelajaran langsung) guru melakukan tatap muka secara langsung di kelas seperti biasanya dengan memanfaatkan teknologi informasi sebagai media pembelajaran. Siswa diarahkan mengakses baham materi pembelajaran secara lengkap di Google Clasroom yang telah diunggah guru. Selanjutnya pembelajaran diarahkan berorientasi kepada siswa dalam bentuk diskusi dan pemecahan masalah secara kooperatif. Guru juga mengarahkan siswa memanfaatkan sumber belajar lain melalui internet misalnya Rumah Belajar Kemdikbud sebagai referensi tambahan dan pelengkap terkait materi, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya maupun mempresentasikan hasil temuannya. Pada tahapan ini pula, siswa diarahkan mengerjakan asesmen/tugas pada aplikasi multimedia interaktif yang telah dibagikan tatutannya oleh guru di Google Clasroom secara terintegrasi. Tahap pelaksanaan ini, guru melakukan umpan balik dan refleksi  secara sinkronous di kelas maupun asinkronous melalui chat di grup Whats App kelas. Tak lupa siswa diharapkan meningkatkan elaborasi pemahamannya dengan mengakses berbagai sumber referensi dalam bentuk video, audio, dan teks.

3.    Tahap evaluasi

Tahap ini merupakan tahap akhir dalam model pembelajaran blended learning. Tahap evaluasi bisa langsung terukur secara langsung setelah siswa mengerjakan asesmen melalui aplikasi karena beberapa aplikasi yang digunakan memudahkan guru dengan adanya sajian statistika hasil tugas siswa secara real time. Tahap evaluas dimaksudkan pula sebagai pemberian umpan balik dan refleksi pembelajaran yang bisa dilakukan guru secara langsung di kelas melalui ceramah, pengamatan langsung, tes lisan dan tertulis, asesmen berbasi aplikasi, serta pengisian kuesioner oleh siswa melalui Google Form.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Kesimpulan

Model pembelajaran blended learning adalah model pembelajaran yang mengkombinasikan  berbagai metode, pendekatan, dan media pembelajaran melalui moda daring dan luring dalam satu rangkaian kegiatan pembelajaran. Karakteristik model pembelajaran blended learning sebagai berikut: 1) Pembelajaran menggabungkan berbagai cara penyampaian atau pengajaran; 2) Kombinasi pengajaran langsung; 3) Perpaduan cara mengajar dan gaya pembelajaran efektif; 4) Guru dan orang tua memiliki peran yang sama Langkah-langkah dari model pembelajaran blended learning sebagai berikut: 1) Pencarian informasi secara online maupun offline dengan berdasarkan pada relevansi, validitas, realibilitas konten dan kejelasan akademis; 2) Menemukan, memahami, dan mengkonfrontasikan ide atau gagasan; 3) Menginterpretasikan informasi atau pengetahuan dari berbagai sumber yang telah dicari dari berbagai sumber; 4) Mengkomunikasikan ide atau gagasan hasil interpretasinya menggunakan fasilitas online atau offline; 5) Mengkontruksikan pengetahuan melalui proses asimilasi dan akomodasi dari hasil analisis, diskusi, dan penarikan kesimpulan dari informasi yang diperoleh menggunakan fasilitas online atau offline.

Beberapa kelebihan blended learning adalah sebagai berikut : 1. Memperluas jangkauan pembelajaran. 2. Kemudahan implementasi. 3. Efisiensi biaya. 4. Efisiensi waktu. 5. Hasil yang optimal. 6. Memberikan daya tarik pembelajaran Namun, blended learning juga memiliki beberapa kekurangan yang dapat dialami baik dari pendidik dan peserta didik. Berikut beberapa kekurangan blended learning adalah sebagai berikut : 1. Peserta didik sulit mendapati fokus dalam pembelajaran. 2. Ketergantungan terhadap internet dan gadget. 3. Tidak mendapati pengawasan langsung oleh guru. 4. Membutuhkan sinyal yang baik

3.2  Saran

Pada makalah ini kita telah diberikan pemahaman mengenai model pembelajaran blended learning dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Sangat besar harapan penyusun agar nantinya makalah ini dapat membantu pembaca untuk lebih memahami baik konsep maupun penerapan model blended learning dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Selain itu, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca agar pada penulisan makalah selanjutnya  hal itu dapat diperbaiki. Tak luput penyusun menitipkan masukan agar memperkaya pengajian dan penelitian model pembelajaran neurosains dalam pembelajaran Bahasa Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abroto, A., Maemonah, M., & Ayu, N. P. (2021). Pengaruh Metode Blended Learning Dalam Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar. Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan, 3(5), 1993-2000.

Chaeruman, U. A. (2013). Merancang Model Blended Learning Designing Blended Learning Model. Jurnal Teknodik, 053-063.

Dewi, Kadek Cahya et.al. (2019). Blended Learning: Konsep  dan Implementasi pada Pendidikan Tinggi Vokasi. Denpasar: Swasta Nulus.

Eriyaningsih, F., Hariyadi, H., & Nuryatin, A. (2022). Penggunaan Model Blended Learning dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di Era Normal Baru. Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 5(1), 153-162.

Idzni, N. (2022). Pengaruh Model Pembelajaran Blended Learning Terhadap Hasil Belajar Matematika Sekolah Dasar (Penelitian Kuasi Eksperimen di Kelas III SDN 033 Asmi Bandung pada Mata Pelajaran Matematika Analisis Diagram Gambar Tahun Ajaran 2021/2022) (Doctoral dissertation, FKIP UNPAS).

Kardipah, S., & Wibawa, B. (2022). Motivasi dan Interaksi Pada Pembelajaran Blended Learning. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 8(17), 669-679.

Kurniasari, W., Murtono, M., & Setiawan, D. (2021). Meningkatkan Minat Belajar Siswa Menggunakan Model Blended Learning Berbasis Pada Google Classroom. Jurnal Educatio FKIP UNMA, 7(1), 141-148.

Lin, Q. (2009). “Student Views of Hybrid Learning: A One-Year Exploratory Study. Journal of Computing in Teacher Education, 25(2).

Maduretno, W. A. P. (2022). Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Menggunakan Blended Learning Basic Remote Model Pada Siswa Kelas VI MI Hidayatul Mubtadiin Sukorame. Jurnal Ilmiah Nizamia, 4(1).

Marlina, E. (2020). Pengembangan Model Pembelajaran Blended Learning Berbantuan Aplikasi Sevima Edlink. Jurnal Padegogik, 3(2), 104-110. https://doi.org/10.35974/jpd.v3i2.2339

Nasution, Nurlian et al. (2019). Buku Model Blended Learning. Pekanbaru: Unilak Press.

 

 

Sumber Referensi:

https://www.elearning.unair.ac.id/article-detail.php?page=12/  diakses tanggal 8 Nopember 2022 pukul 20.06

https://ppmschool.ac.id/blended-learning-adalah/ , diakses 8 Nopember 2022

https://sekolahmuridmerdeka.id/blog/index.php/metode-blended-learning/, diakses tanggal 8 Nopember 2022 pukul 20.15

http://id.wikibooks.org/wiki/Pembelajaran_Berbasis_Blended_Learning/ , diakses tanggal 8 Nopember 2022 pukul 20.30

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Perkembangan pembelajaran pada deawa ini menuntut pengaplikasian model pembelajaran yang tepat demi ketercapaian tujuan pembelajaran. Pembelajaran Bahasa Indonesia yang menitikberatkan aspek kemampuan menyimak, membaca dan memirsa, berbicara dan mempresentasikan dan menulis perlu memanfaatkan model yang tepat.

            Model pembelajaran neurosains dianggap sebagai salah satu model yang efektif digunakan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia karena perancangan aktivitas belajar yang memaksimalkan peran sentral kerja otak dalam menemukenali pengaktualan otak kiri dan otak kanan secara maksimal demi potensi pengembangan kecerdasan intelegensi, emosional dan spiritual.

Seorang guru mesti menyajikan model pembelajaran neurosains ini demi keterukuran kada kualitas pembelajaran yang menuntut perkembangan dan kemajuan aspek kognitif, psikomototrik dan afektif siswa. Atas dasar asumsi tersebut maka penulis menyajikan makalah ini.

 

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:

Bagaimanakah definisi neurosains?Bagaimanakah mekanisme kerja otak terkait kecakapan belajar?Bagaimanakah mekanisme mengingat suatu informasi ?Bagaimanakah model pembelajaran neurosains dalam pembelajaran bahasa Indonesia?Bagaimanakah kelebihan dan kekurangan neurosains?1.3  Tujuan Penulisan

Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:

Untuk memahami definisi neurosains?Untuk memahami mekanisme kerja otak terkait kecakapan belajar?Untuk memahami mekanisme mengingat suatu informasi ?Untuk memahami model pembelajaran neurosains dalam pembelajaran bahasa Indonesia?Untuk memahami kelebihan dan kekurangan neurosains? 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 MODEL PEMBELAJARAN NEUROSAINS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

2.1.1 Definisi Neurosains

Neurosains adalah ilmu yang mempelajari tentang sel saraf atau neuron (Dadana, 2013). Tujuan utama dari ilmu ini adalah mempelajari dasar-dasar biologis dari setiap perilaku. Artinya, tugas utama dari neurosains adalah menjelaskan perilaku manusia dari sudut pandang aktivitas yang terjadi di dalam otaknya (Wijaya, 2018). Neurosains adalah suatu bidang penelitian saintifik tentang sistem saraf, utamanya otak. Neurosains merupakan penelitian tentang otak dan pikiran. Studi tentang otak menjadi landasan dalam pemahaman tentang bagaimana kita merasa dan berinteraksi dengan dunia luar dan khususnya apa yang dialami manusia dan bagaimana manusia mempengaruhi yang lain (Schneider, 2011).

Dalam pembelajaran model neurosains sangat berperan dalam mengembangkan kemampuan otak untuk melakukan beberapa tindakan atau upaya untuk meningkatkan kemampuan mengingat, kesadaran dan kepekaan.  Menurut  Konsep neuorosains yang dijelaskan oleh Harun merupakan suatu bidang kajian mengenai sistem saraf yang terdapat di dalam otak manusia yang berhubungan dengan kesadaran dan kepekaan otak dari segi biologi, persepsi, ingatan, dan kaitannya dengan pembelajaran (Resti, 2013). Selanjutnya menurut Wathon (2016) tujuan utama dari ilmu ini adalah mempelajari dasar-dasar biologis dari setiap perilaku. Artinya, tugas utama dari neurosains adalah menjelaskan perilaku manusia dari sudut pandang aktivitas yang terjadi di dalam otaknya.

 

 

 

2.1.2 Mekanisme Kerja Otak Terkait Kecakapan Belajar

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Profesor Marian Diamond dalam Rakhmat (2005) dapat diketahui bahwa medulla mampu mengatur detak jantung dan proses respirasi. Panjang medulla hanya beberapa inci, dan sama panjang yang dimiliki oleh otak simpanse, namun kapasitas medulla pada manusia berkembang tiga kali lipat daripada simpanse. Serebelum (otak kecil) berada di sebelah medulla.

Rakhmat (2005) mengungkapkan bahwa serebelum ini bertanggung jawab dalam proses koordinasi dan keseimbangan serta kemampuan dalam proses belajar dan berbicara. Otak mengalami evolusi yang salah satunya dapat dicontohkan dengan peristiwa melipatnya korteks dan bagian otak yang terakhir berevolusi ialah lobus frontal. Lobus frontal inilah yang memberikan peranan penting dalam pembentukan kepribadian anda, perencanaan masa depan, serta penataan ide-ide.

Rakhmat (2005) mengungkapkan bahwa bagian otak yang memegang peranan lainnya ialah area pengendali ucapan (motor speech area), korteks visual, area yang menggerakkan lengan, tungkai, jari-jari, bagian yang mengendalikan perasaan, rasa sakit, temperatur, sentuhan, tekanan, pendengaran, serta adanya sistem limbik. Pada sistem ini dapat diketahui adanya bagian otak yang berkaitan dengan ketakutan, kemarahan, emosi, seksualitas, cinta, gairah. Kelenjar pituitari yang memproduksi hormon. Kemampuan otak untuk menunjukkan dan menghentikan rasa sakit. Cara otak dalam mengirim pesan-pesan dalam dirinya di seluruh tubuh, pesan yang secara terus-menerus mengubah impuls-impuls listrik menjadi aliran-aliran kimiawi.

Profesor Marian Diamond dalam Rakhmat (2005) mengungkapkan bahwa betapa dinamisnya otak manusia, otak mampu berubah pada usia berapa pun, sejak lahir sampai akhir kehidupan. Otak dapat berubah secara positif jika dihadapkan pada lingkungan yang diberi rangsangan, dan otak akan dapat menjadi negatif jika tidak diberi rangsangan. Pernyataan Profesor Marian Diamond ini menumbangkan mitos-mitos yang selama berabad-abad dipercayai para ilmuwan dan orang awam sekaligus. Mitos yang pertama ialah otak sepenuhnya ditentukan secara genetis, karena keturunan. Mitos kedua mengatakan bahwa otak kita mengerut dalam perjalan waktu, karena ketuaan.

Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi dan banyaknya penemuan-penemuan baru dalam teknologi otak maka para ilmuwan mulai meragukan mitos-mitos yang dahulu mereka percayai. Beberapa penemuan terkait dengan teknologi otak diantaranya ialah computerized tomography, scanner yang menggunakan sinar X untuk memperoleh gambar bagian struktur otak secara terperinci, positron emission tomography (PET), magnetic resonance imaging (MRI),dan penemuan neurotransmitter yang merupakan zat kimia yang menjalankan beberapa fungsi otak.

 

2.1.3 Mekanisme Mengingat Informasi

Wade (2008) mengungkapkan bahwa memori bukanlah duplikat murni dari suatu pengalaman. Informasi sensorik seperti gambar atau kata-kata kemudian dirangkum dan disandikan sesegera mungkin setelah kita mendeteksi hal-hal tersebut. Agar kita dapat mengingat suatu informasi dengan baik, kita harus melakukan proses penyandian dengan tepat. Pada beberapa jenis informasi tertentu, proses penyandian yang akurat berjalan otomatis, tanpa memerlukan usaha.

Wade (2008) mengungkapkan bahwa pengulangan merupakan salah satu teknik penting agar kita mampu menyimpan informasi memori jangka pendek dan mengingat kembali informasi yang telah disimpan dalam memori jangka panjang, dengan cara mempelajari kembali atau mempraktekkan material yang sedang kita pelajari. Peterson dalam Wade (2008) mengungkapkan bahwa apabila seseorang dicegah dari melakukan pengulangan, informasi pada memori jangka pendek akan menghilang dengan cepat. Memori jangka pendek menyimpan berbagai jenis informasi, termasuk di dalamnya informasi visual dan pemahaman abstrak.

Wade (2008) mengungkapkan bahwa terdapat berbagai strategi pengulangan yang lebih efektif dibandingkan strategi lainnya, satu strategi yang lazim digunakan adalah maintenance rehearsal (pengulangan pemeliharaan) yakni metode pengulangan yang melibatkan penghafalan harafiah secara berulang-ulang, pengulangan ini berguna untuk menyimpan suatu informasi di memori jangka pendek, dan tidak akan menjamin informasi tersebut pasti akan dipindahkan ke memori jangka panjang.

Wade (2008) mengungkapkan bahwa apabila akan mengingat suatu informasi yang telah lama, strategi pengulangan yang lebih baik adalah elaboration rehearsal (pengulangan elaboratif). Elaborasi melibatkan pengasosiasian informasi-informasi baru dengan materi yang telah terlebih dahulu tersimpan atau dengan fakta-fakta baru lainnya. Metode ini juga dapat melibatkan proses analisis berupa fisik, sensorik, atau kategori semantik dari sebuah objek. 

Craik dan Lockhart dalam Wade (2008) mengungkapkan bahwa Deep processing (pemrosesan mendalam) adalah strategi untuk memperpanjang ingatan yang kita miliki mengenai sesuatu, strategi ini terkait dengan pemrosesan makna. Apabila kita hanya memproses elemen fisik atau indrawi dari suatu stimulus, pemrosesan yang terjadi akan dangkal, terlepas dari apakah kita melakukan elaborasi atau tidak. Shallow processing (pemrosesan mendangkal) terkadang memiliki kegunaan khusus.

Wade (2008) mengungkapkan bahwa saat kta sedang berusaha menghafal sebuah puisi, misalnya kita seharusnya memperhatikan (dan melakukan penyandian secara elaboratif) pengucapan kata dan pola ritme puisi tersebut; tidak semata-mata memperhatikan makna puisi tersebut. Meski demikian, seringkali deep processing lebih efektif. Inilah alasan yang menyebabkan saat kita berusaha mengingat sesuatu yang tidak bermakna atau tidak penting, biasanya ingatan tersebut hilang dengan cepat. 

Wade (2008) mengungkapkan bahwa hormon-hormon yang dilepaskan oileh kelenjar adrenal selama stres dan selama periode rangsangan emosi yaitu mencakup epinephrine (adrenalin) dan beberapa jenis steroid yang akan meningkatkan kemmapuan memori kita. Adanya ketertarikan (arousal) terhadap stimulus memberikan petunjuk pada otak bahwa suatu peristiwa atau potongan informasi merupakan hal yang penting, yang harus disandikan dan disimpan sehingga dapat digunakan kembali pada masa depan. Namun arousal yang ekstrim bukanlah merupakan sesuatu yang baik.

Hormon yang diproduksi dalam kelenjar adrenal dapat mempengaruhi proses penyimpanan informasi yang terdapat di otak karena epinephrine mampu meningkatkan kadar glukosa dalam darah. Gold dalam Wade (2008) mengungkapkan bahwa, walaupun epinephrine tidak memasuki bagian otak secara langsung, glukosa akan memasuki bagian otak. Saat memasuki bagian otak, glukosa meningkatkan kemampuan memori, baik secara langsung atau tidak langsung, yakni dengan mempengaruhi efek neurotransmiter. Dalam berbagai kasus, glukosa sepertinya berlaku sebagai bahan bakar untuk otak kita, di saat area-area otak berada dalam keadaan aktif, area-area tersebut akan mengkonsumsi glukosa lebih banyak.

Berdasarkan penelitian Saputro (2017) menjelaskan bahwa pendekatan neurosains melalui keterampilan mengingat berpengaruh terhadap hasil belajar. Dimaksudkan dalam keteremapilan mengingat berdasarkan penelitian tersebut adalah pemberian pembelajaran yang terus dilakukan berulang agar para mahasiswa didalam pembelajarannya dapat mengasosiasikan materi membuat suasana belajar lebih aktif dan kerja otak dapat berjalan secara maksimal sehingga ketika mendapatkan evaluasi, mahasiswa dapat mengerjakan dengan baik. Selanjutnya berdasarkan hasil kajian Hanafi berkaitan dengan kemampuan spiritual yang dipengaruhi oleh otak (2016), yakni : a. Pertama, cortex prefrontal. Bagian ini dalam kajian neurosains diangggap sebagai penghubung utama antara emosi dan kognisi manusia, melalui cortex ini emosi dan kognisi manusia dikelola. Artinya bahwa cortex prefrontal yaitu pembentuk kepribadian manusia yang berkaitan dengan motivasi, sosial, moralitas, rasionalitas dan kesadaran manusia. Kedua, area asosiasi. Area asosiasi bisa disebut juga dengan serebrum atau otak besar. Komponen ini berfungsi sebagai fungsi kognitif, emosi, dan pencarian makna hidup, artinya pada area asosiasi inilah tempat kesadaran di proses. Berhubungan dengan spiritualiatas, kemudian area ini lebih spesifik lagi membagi kepada area asosiasi visual, asosiasi atensi, asosiasi orientasi, serta asosiasi konseptual verbal. Ketiga, operator neurospiritual ialah lymbic system. Sistem limbik ini dibangun oleh sejumlah struktur, yaitu hypotalamus, amygdala, dan hippocampus.

Dari pendapat tersebut dapat diambil simpulan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model neurosains adalah pembelajaran yang mengutamakan kemampuan antar neuron atau saraf yang saling terhubung berpusat pada otak sebagai koordinasi berpikir kognitif dan afektif. Simpulan pendapat tersebut menjelaskan bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia menekankan kepada kemampuan untuk melakukan pengkoordinasian antara kemampuan kognitif, psikomotorik digabung kedalam kemampuan afektif berupa spritual yang saling berkoordinasi sehingga menghasilkan kemampuan yang diharapkan.

 

2.1.4        Model Pembelajaran Neurosains dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia

            Setiap anak dilahirkan dengan bakat(potensi kemampuan) yang berbeda-beda dan terwujud dengan interaksi yang dinamis antara keunikan individu dan pengaruh lingkungan. Berbagai kemampuan yang teraktualisasikan beranjak dari fungsi otak. Berfungsinya otak adalah interaksi dari cetak biru (blue print) genetis danpengaruh lingkungan. (Husamah, 2018)

Pembelajaran Bahasa Indonesia memiliki karakteristiknya tersendiri. Menurut Harsiati, dkk(2017:3) menyebutkan bahwa Kurikulum 2013 mata pelajaran Bahasa Indonesia secara umum bertujuan agar siswa mampu mendengarkan, membaca, memirsa, berbicara, dan menulis. Kompetensi dasar dikembangkan berdasarkan tiga hal yang saling berhubungan dan saling mendukung mengembangkan pengetahuan siswa, memahami, dan memiliki kompetensi mendengarkan, membaca, memirsa, berbicara, dan menulis. Ketiga hal tersebut adalah bahasa (pengetahuan tentang Bahasa Indonesia); sastra (memahami, mengapresiasi, menanggapi, menganalisis, dan menciptakan karya sastra; literasi (memperluas kompetensi berbahasa Indonesia dalam berbagai tujuan khususnya yang berkaitan dengan membaca dan menulis). Lebih lanjut Harsiati, dkk(2017:4) menuliskan bahwa Pembelajaran Bahasa Indonesia dikembangkan berdasarkan pendekatan komunikatif, pendekatan berbasis teks, pendekatan CLIL (content language integrated learning), pendekatan pendidikan karakter, dan pendekatan literasi. Pengembangan kurikulum (Bahasa Indonesia) tidak dapat dipisahkan dari perkembangan teori belajar (dan pengajaran) bahasa. Pengembangan kurikulum 2013 didasarkan pada perkembangan teori belajar bahasa terkini. Fondasi teoretik Kurikulum 2013 adalah pengembangan pendekatan komunikatif, pendekatan genre-based, dan CLIL (content language integrated learning). Pada perkembangannya saat ini di era Kurikulum Merdeka, pembelajaran bahasa Indonesia dikembangkan tujuannya berdasarkan fase tingkatan  pembelajaran. Khusus fase D untuk jenjang SMP memiliki tujuan yang termaktub dalam capaian pembelajaran yang dirumuskan Kemdikbud seperti berikut:

“peserta didik memiliki kemampuan berbahasa untuk berkomunikasi dan bernalar sesuai dengan tujuan, konteks sosial, dan akademis. Peserta didik mampu memahami, mengolah, dan menginterpretasi informasi paparan tentang topik yang beragam dan karya sastra. Peserta didik mampu berpartisipasi aktif dalam diskusi, mempresentasikan, dan menanggapi informasi nonfiksi dan fiksi yang dipaparkan; Peserta didik menulis berbagai teks untuk menyampaikan pengamatan dan pengalamannya dengan lebih terstruktur, dan menuliskan tanggapannya terhadap paparan dan bacaan menggunakan pengalaman dan pengetahuannya. Peserta didik mengembangkan kompetensi diri melalui pajanan berbagai teks untuk penguatan karakter”.

Capaian pembelajaran tersebut dituangkan lebih rinci ke dalam empat aspek capaian elemen menyimak, membaca dan memirsa, berbicara dan mempresentasikan, dan menulis.  Elemen-elemen tersebut bertalian erat dengan kecakapan berpikir siswa yang tentunya sangat terbuka peluang rekonstruksi dan pengembangan model pembelajaran berbasis neurosains. Tujuan pembelajaran model neurosains itu sendiri berusaha untuk mempelajari dasar-dasar biologis dari setiap perilaku. Artinya, tugas utama dari neurosains adalah menjelaskan perilaku manusia dari sudut pandang aktivitas yang terjadi di dalam otaknya.

Menurut Wijaya (2018) implikasi perkembangan otak dalam pendidikan berhubungan dalam kegiatan pembelajaran, yakni:

1.    Optimalisasi kecerdasan pendidikan.

 Sebaiknya mengembangkan kecerdasan, bukan hafalan, yaitu melalui stimulasi otak untuk berpikir. Otak yang cerdas meningkatkan kreativitas dan daya cipta baru untuk menemukan hal yang baru yang tidak pernah terpikirkan.

2.    Keseimbangan fungsi otak kanan dan kiri. otak kanan dan otak kiri memiliki fungsi yang berbeda. Otak kanan lebih bersifat intuitif, acak, tak teratur, divergen. Otak kiri bersifat linier, teratur, dan konvergen. Pendidikan hendaknya mengembangkan kedua belahan otak itu secara seimbang. Pembelajaran yang bersifat eksploratori dan divergen, lebih dari satu kemungkinan jawaban benar akan mengembangkan kedua belahan otak tersebut.

3.    Keseimbangan Otak Triune.

Pendidikan harus mengembangkan secara seimbang fungsi otak atas, tengah dan bawah (logika, emosi, dan motorik) yang sering disebut juga head, heart, and hands. Hal itu sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu mengambangkan manusia yang cerdas, terampil, dan beakhlak mulia.

4.    Pengembangan motorik tangan

Stimulasi melalui motorik tangan perlu dilakukan sejak dini. Koordinasi tangan ini sifatnya berkebalikan, di mana tangan kiri dikendalikan otak bagian kanan. Oleh karena itu tidak selayaknya kita melarang anak menggunakan tangan kirinya karena hal itu justru sedang mengembangkan otak kanannya.

            Selanjutnya berdasarkan  hasil kajian analisis Kushartanti (2018) menyatakan:

1.    Otak Rasional dan Pembelajaran.

Otak kiri dengan cara berpikir yang linier dan sekuensial, dan otak kanan dengan kreativitasnya akan bekerjasama untuk memahami dan memecahkan permasalahan secara holistik. Sistem pendidikan yang baik harus dapat menyediakan model pembelajaran untuk optimalisasi kedua belah otak.

2.    Otak Emosional dan Pembelajaran.

Warisan genetik memberi kita serangkaian muatan emosi tertentu yang menentukan temperamen kita, namun pelajaran emosi yang kita peroleh pada saat anak-anak baik di rumah maupun di sekolah dapat membentuk sirkuit emosi dan meningkatkan kecerdasan emosional kita. Kecerdasan emosional pada dasarnya terdiri atas lima wilayah yaitu: a) mengenali emosi diri; b) mengelola emosi; c) memotivasi diri; d) mengenali emosi orang lain, dan e) membina hubungan. Pembelajaran dengan model diskusi kelompok memungkinkan peserta didik mengembangkan kelima wilayah kecerdasan emosionalnya.

3.    Otak Spiritual dan Pembelajaran.

Otak spiritual, empat terjadinya kontak dengan Tuhan, hanya akan berperan jika otak rasional dan pancaindra telah difungsikan secara optimal. Sistem pendidikan harus membuka kesempatan lebar bagi pemenuhan rasa rindu untuk menemukan nilai dan makna dari apa yang diperbuat dan dialami, sehingga orang dapat memandang kehidupan dalam konteks yang lebih bermakna. pada dasarnya otak spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai. Dapat diambil kesimpulan hasil menyatakan bahwa kemampuan otak dalam kegiatan pembelajaran dapat dilakukan dengan mengembangkan kemampuan otak kanan dan kiri secara seimbang yakni dengan melakukan kegiatan diskusi, pemberian masalah, kegiatan interaktif berupa :  gerak tubuh, membangun kreatifitas dan pemberian emosi (motivasi) pada setiap kegiatan pembelajaran.

Penelitian terkait penerapan model neurosains dalam pembelajaran Bahasa Indonesia telah banyak dilakukan dewasa ini. Seperti penelitian yang dilakukan Wikanengsih (STKIP Siliwangi Bandung) pada tahun 2017 yang dimuat di Jurnal Pendidikan Jilid 19 Nomor 2 tahun 2013, penenlitian itu mengangkat judul “Model Pembelajaran Neurolinguistic Programming Berorientasi Karakter untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Siswa”. Abstrak penelitian tersebut tergambarkan sebagai berikut:

“Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan model pem[1]belajaran neurolinguistik programming berorientasi karakter (MPNLPBK) terhadap kemampuan menulis siswa. Metode penelitian yang digunakan metode penelitian kombinasi (mixed method) jenis sequential exploratory strategy. Hasil penelitian tahap pertama (penelitian kualitatif) menghasilkan model pembelajaran hipotetik. Penelitian tahap kedua merupakan uji coba penerapan model hipotetik (penelitian kuantitatif). Hasil pengujian menunjukkan bahwa pembelajaran menulis dengan menggunakan MPNLPBK dapat meningkatkan kemampuan menulis siswa kelompok eksperimen. Selain itu, berdasarkan hasil pengamatan terhadap aspek karakter komunikatif, toleran, tanggungjawab dan kreatif siswa, terdapat perkembangan pada diri siswa untuk setiap aspek tersebut”.

Dari penelitian tersebut terbukti bahwa model pembelajaran neurosains efektif digunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia untuk mengembangkan aspek kognitif, psikomotorik dan afektif siswa. Penelitian lain yang berkaitan dengan penerapan model neurosains dalam pembelajaran yaitu penelitian yang disusun oleh Agus Setiyoko  (IAIN Salatiga) pada 2018 yang dimuat di Jurnal Inspirasi. Penelitian yang mengangkat judul “PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS NEUROSAINS DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BERPIKIR KREATIF DAN KERJASAMA” tersebut digambarkan dalam abstrak berikut:

Penelitian ini berjudul penerapan model pembelajaran berbasis neurosains dalam pembentukan karakter berpikir kreatif dan kerjasama (Studi pada SD Muhammadiyah Plus, dan MI Ma`arif Mangunsari Kota Salatiga) tahun 2017/2018. Penelitian ini bertujuan mengungkap bagaimana penerapan model pembelajaran berbasis neurosains pada SD/MI Kota Salatiga (SD Muhammadiah Plus dan MI Ma`arif Mangunsari Kota dan bagaimana pembentukan karakter berpikir kreatif dan kerjasama dalam pembelajaran berbasis neurosains pada sekolah tersebut. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian inia dalah penelitian kualitatif untuk mendiskripsikan dan menganalisis tentang fenomena, peristiwa proses pembelajaran di tiga sekolah tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran berbasis neurosains pada SD Muhammadiyah Plus Kota Salatiga ada beberapa macam antara lain: (1) Model belajar anak dengan bermain, (2) Model Pembelajaran Fun Learning, (3) Pembelajaran Quantum Teaching, (4) Pembelajaran Multiple Intelegensi, (5) Pembelajaran berbasis masalah, di MI Ma`arif Mangunsari dalam penerapan pembelajaran adalah menggunakan (1) Neuro Language Program, (2) Media musik dalam belajar, (3) Pergantian warna/suasana. Sedangkan penerapan model pembelajaran kerjasama dan berpikir kreatif pada tiga sekolah tersebut adalah melalui kegiatan ekstra kurikuler yaitu: (1) Club Bahasa, Hizbul Waton/pramuka, (2) Kepanduan untuk menumbuhkan jiwa pemberani, sedangkan, di MI Ma`arif Mangunsari Kota Salatiga dengan cara anak dilatih agar mampu membuat lirik lagu.

 

Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran berbasis neurosains pada SD Muhammadiyah Plus Kota Salatiga ada beberapa macam antara lain : a) Model belajar anak dengan bermain, yaitu dengan permainan tepuk, anak diajak untuk tepuk di sela sela pembelajaran misalnya tepuk konsentrasi, tepuk satu, dua, tiga dan seterusnya. b) Model pembelajaran konstruktivistik (membangun belajar siswa aktif), pembelajaran yang mengarahkan pada keaktifan siswa hampir sama dengan model cara belajar siswa aktif (CBSA) dengan melibatkan siswa untuk terlibat secara aktif dalam setiap pembelajaran. c) Model Pembelajaran fun learning, pembelajaran yang menyenangkan, apapun mata pelajarannya di SD Muhammadiyah Plus selalu memiliki prinsip bahwa dalam setiap pembelajaran harus didesain sebaik mungkin untuk menciptakan lingkungan yang menyenangkan dalam pembelajaran. d) Pembelajaran quantum teaching, Penerapan pembelajaran pada SD Muhammadiyah Plus adalah seorang guru membawa peserta didik dengan apa yang mereka pelajari kedalam dunia mereka.

            Dari berbagai penerapan model neurosains dalam pembelajaran khususnya pembelajaran Bahasa Indonesia bisa ditarik sebuah benang merah kesimpulan bahwa seluruh aspek aktivitas pembelajaran bahasa Indonesia dimulai dengan memaksimalkan pengaktualan sistem saraf otak (neurosains). Model neurosains memicu proses bernalar dan berpikir siswa, komunikatif, dan interaktif. Dalam artian khusus perilaku kerja otak dalam sajian pembelajaran Bahasa Indonesia dewasa ini mengaktifkan keseimbangan otak kiri dan kanan dalam mengelaborasi kecerdasan intelegensi, emosional, dan spiritual sehingga kadar kognitif, psikomotorik dan afektif bisa berkembang dan terukur dalam pembelajaran. Hal ini tentunya sejalan dengan semangat yang dikembangkan dalam kurikulum 2013 maupun kurikulum merdeka khusus mata pelajaran bahasa Indonesia yang bermuara pada tujuan pendidikan nasional yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

2.1.5        Kelebihan dan Kekurangan Neurosains

Winarno (1994) mengungkapkan kelebihan dan kekurangan neurosains dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:

·         Memberikan suatu pemikiran baru tentang bagaimana otak manusia bekerja.

·         Memperhatikan kerja alamiah otak si pembelajar dalam proses pembelajaran.

·         Menciptakan iklim pembelajaran dimana pembelajar dihormati dan didukung.

·         Menghindari terjadinya pemforsiran terhadap kerja otak.

·         Dapat menggunakan berbagai model-model pembelajaran dalam mengaplikasikan teori ini..

Adapun kelemahan-kelemahan dari teori ini adalah sebagai berikut:

·         Tenaga kependidikan di Indonesia belum sepenuhnya mengetahui tentang teori ini (masih baru).

·         Memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk dapat memahami (mempelajari) bagaimana otak kita bekerja.

·         Memerlukan biaya yang tidak sedikit dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang baik bagi otak.

·         Memerlukan fasilitas yang memadai dalam mendukung praktek pembelajaran teori ini

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Kesimpulan

Neurosains merupakan bidang kajian mengenai kesadaran dan kepekaan otak dari segi biologi, persepsi, ingatan, dan keterkaitannya terhadap pembelajaran. Kerja otak melibatkan aktivitas neuron, dimana impuls listrik mengalir dari neuron menuju dendrit melalui akson dan berhenti pada ujung akson yang membentuk sinapsis kemudian dilanjutkan oleh neutransmiter untuk diterima oleh penerima khusus pada neuron berikutnya.

Pada dasarnya belajar adalah pembentukan hubungan-hubungan baru antara neuron, ini terjadi kompleksitas peningkatan cabang-cabang dendrite dalam otak. Oleh sebab itu belajar dalam teori neurosins sangat dipengaruhi kesiapan dalam belajar dan lingkungan belajar itu sendiri.

Mekanisme mengingat informasi diantaranya ialah melakukan penyandian dengan tepat, pengulangan, dan pemrosesan makna untuk memperpanjang ingatan. Penerapan Neurosains dalam kegiatan pembelajaran dapat dilakukan dengan penggunaan peta konsep (mind map). Pembelajaran Neurosains memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya salah satunya ialah  memberikan suatu pemikiran baru tentang bagaimana otak manusia bekerja. Salah satu kelemahannya adalah memerlukan waktu yang panjang untuk memahaminya dan pembelajaran ini masih tergolong baru.

 

3.2  Saran

Pada makalah ini kita telah diberikan pemahaman mengenai model pembelajaran neurosains dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Sangat besar harapan penyusun agar nantinya makalah ini dapat membantu pembaca untuk lebih memahami baik konsep maupun penerapan model neurosains dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Selain itu, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca agar pada penulisan makalah selanjutnya  hal itu dapat diperbaiki. Tak luput penyusun menitipkan masukan agar memperkaya pengajian dan penelitian model pembelajaran neurosains dalam pembelajaran Bahasa Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Dadana, Jendy Cliff, Taufik F. Pasiak, Sunny Wangko. (2013). Hubungan Kinerja Otak Dengan Spiritualitas Manusia Diukur Dengan Menggunakan Indonesia Spiritual Health Assessment Pada Pemimpin Agama Di Kota Tomohon. Jurnal e-Biomedik (eBM), Volume 1, Nomor 2, Juli 2013, hlm. 830-835.

Harsiati, Titik dkk. (2017). Buku Guru Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Perbukuan Kemdikbud.

Husamah. Pantiwati, Yuni. Restian, Arina. Sumarsono, Puji. 2018. Belajar dan Pembelajaran. Malang: UMM Press.

Kushartanti, BM Wara. (2018). Perkembangan Aplikasi Neurosains Dalam Pembelajaran Di TK. 11 Febuari 2018. www.staffnew.uny.ac.id.

Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Belajar Cerdas Belajar Berbasiskan Otak. Bandung: MLC

Resti, Vica Dian Aprelia. (2013). Kajian Neurosains Dalam Perkembangan Pembelajaran Biologi Abad 21. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi FKIP UNS 10 (2), 2013.

Wade, Carole dan Tavris, Carol. 2008. Psikologi. Jakarta: Erlangga

Wathon, Aminul. (2016). Neurosains Dalam Pendidikan. Jurnal Lentera: Kajian Keagamaan, Keilmuan Dan Teknologi, Volume 14, Nomor 1, Maret 2016.

 

Wijaya, Hengki. (2018). Pendidikan Neurosains Dan Implikasinya Dalam Pendidikan Masa Kini. https://researchgate.net/publiction/323114055

Winarno, E. M. 1994. Belajar Motorik. Malang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan IKIP Malang.

Referensi:

https://guru.kemdikbud.go.id/kurikulum/referensi-penerapan/capaian-pembelajaran/sd-sma/bahasa-indonesia/fase-d/ (diakses 18 Oktober 2022)

 

https://ejournal.undaris.ac.id/index.php/inspirasi/article/view/51/32 (diakses 18 Oktober 2022)