ANALISIS WACANA KRITIS

28 November 2023 19:56:10 Dibaca : 71 Kategori : STUDI WACANA BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

A.  SEMIOTIKA DALAM ANALISIS WACANA KRITIS

Semiotika adalah ilmu tentang tanda. Untuk membaca dan memaknai tanda diperlukan adanya “bahasa”. Makna terbentuk melalui sistem perbedaan yang terstruktur dalam bahasa. Makna diproduksi melalui proses seleksi dan kombinasi tanda-tanda di sekitar dua poros, yaitu: poros sintagmatis (linear, misalnya kalimat) dan poros paradigmatis (arena tanda, misalnya sinonim), yang ditata dalam sistem penandaan. Tanda ini terdiri dari penanda (media) dan petanda (makna) (Saussure, 1960). Tujuan analisis semiotika adalah untuk menemukan makna tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi dibalik sebuah tanda (teks, iklan, berita). Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari berbagai konstruksi sosial dimana pengguna tanda (Wibowo, 2013). Semiotika mempelajari apa saja yang dapat dianggap sebagai tanda dan menolak tanda yang bersifat absolut. Tanda sebagai sesuatu yang merepresentasikan atau menggambarkan sesuatu yang lain berdasarkan pemikiran seseorang. Tanda ini terdiri dari dua materi dasar, yaitu ekspresi (seperti kata, suara, dan simbol) dan konten/isi (seperti makna dan arti) (Hjemslev, 1961).

Semiotika merupakan metode penelitian dengan pendekatan tekstual dan studi tentang tanda. Untuk memaknai tanda diperlukan bahasa dan kode-kode kultural agar dapat dibentuk dan dikomunikasikan. Tanda akan membentuk makna yang mengacu satu sama lain, yang merupakan hasil konvensi sosial yang terorganisasi melalui relasi antar-tanda. Sebagai contoh berita di televisi dari analisis semiotika menjadi representasi makna yang telah dikonstruksi, bukan cermin realitas (Barker, 2000). Ekspresi sangat tergantung pada perspektif atau cara berpikir seorang pengamat. Sedangkan konten bersifat objektif, sehingga yang dapat menyatukan antara ekspresi dan konten adalah konteks. Hubungan antara ekspresi dan konten bersifat mental, tergantung dari siapa yang menginterpretasikan tanda tersebut (Manning & Swan, 1997). Metode semiotika menjadi dasar asumsi dan konsep yang memungkinkan kita untuk menganalisis sistem simbolik dengan cara sistematis. Sistem simbolik ini direpresentasikan melalui bahasa verbal, kode, dan simbol. Dalam kehidupan sosial, struktur kelompok, kepercayaan atau agama, praktik-praktik budaya, dan makna relasi sosial beranalogi dengan struktur bahasa (Denzin & Lincoln, 1997).

Semiotika dalam analisis wacana kritis menjadi sebuah kajian kritis yang melingkupi aspek tanda dan lambang dalam situasi wacana sosial yang berkembang di masyarakat. Objeknya berupa teks wacana. Adapun media analisisnya menggunakan bahasa, kode, gambar, suara, dan simbol komunikasi lainnya. Hasil analisis semiotika dalam analisis wacana kritis berupa makna yang dipersepsikan berdasarkan teks dan konteksnya.

Secara garis besar dapat dinyatakan bahwa terdapat dua pendekatan dalam analisis wacana kritis (Matsuki, 1996, pp. 351-352). Pertama, pendekatan sosiolinguistik yang menitikberatkan persoalan-persoalan bahasa secara makro, seperti persoalan formasi tekstual dari wacana, atau bentuk-bentuk serta fungsi-funsi dari lambang-lambang bahasa yang digunakan dalam teks. Pendekatan ini seringkali di kritik sebagai terkesan kurang mementingkan proses-proses makrohistoris dari teks bersangkutan.

Kedua, pendekatan sosiokultural yang melihat wacana sebagai praktik sosial. Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada praktik sosial kehidupan manusia, dan menempatkan wacana sebagai tindakan manusia yang senantiasa berkaitan dengan proses-proses simbolik, seperti kekuasaan dan ideologi. Pendekatan ini lebih menempatkan lambang-lambang dalam konteks situasional maupun historis secara lebih luas sehingga lebih dekat dengan semiotika. Michael Foucault seorang poststrukturalis Perancis mengingatkan  dalam hubungan ini bahwa pengguliran wacana dibatasi dan bahkan ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan-kekuatan pranata sosial yang kompleks yang ada di masyarakat, dan bukan semata merupakan persoalan bahasa (Matsuki, 1996, p. 351).

 

B.  MEMAHAMI TEORI ANALISIS WACANA KRITIS

Analisis wacana kritis tidak hanya sekadar analisis teks semata, tetapi juga analisis bentukbentuk sistematis dari hubungan antar elemen-elemen pada proses sosial. Analisis wacana kritis bukanlah aktivitas yang hanya berupa pemberian komentar pada wacana, analisis wacana kritis juga melibatkan analisis sistematis dari teks (tidak hanya deskriptif tetapi juga naratif) (Ratnaningsih, 2019, p. 19).

Analisis wacana kritis didefinisikan sebagai upaya untuk menjelaskan suatu teks pada fenemona sosial untuk mengetahui kepentingan yang termuat didalamnya. Wacana sebagai bentuk praktis sosial dapat dianalisis dengan analisis wacana kritis untuk mengetahui hubungan antara wacana dan perkembangan sosial budaya dalam domain sosial yang berbeda dalam dimensi linguistik (Eriyanto, 2008, p. 7).

Menurut Van Djik (2001), analisis wacana kritis yang menitikberatkan kekuatan dan ketidaksetaraan yang dibuat pada fenomena sosial. Oleh sebab itu, analisis wacana kritis digunakan untuk menganalisis wacana terhadap ilmu lain yang terdapat pada ranah politik, ras, gender, hegemoni, budaya, kelas sosial. Ranah kajian tersebut berpusat pada prinsip analisis wacana kritis yakni: tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi (Syamsuddin, 2016, p. 17)

Eriyanto (2008) membagi karakteristik wacana kritis menjadi lima karakteristik. Kelima karakteristik tersebut adalah tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi. Tindakan berarti bahwa wacana diproduksi sebagai tindakan yang memiliki tujuan-tujuan tertentu: membujuk, mengritik, menolak, atau mengajak, dan wacana diproduksi atas kesadaran pemroduksi wacana. Konteks berarti bahwa wacana diproduksi dengan dipengaruhi konteks: untuk siapa wacana itu diproduksi, lingkungan apa saja yang memengaruhi wacana, dan dimana wacana itu diproduksi. Historis berarti bahwa produksi wacana tidak akan terlepas dari rentang waktu diproduksinya wacana. Faktor historis dapat memengaruhi konten wacana yang diproduksi. Pada karakteristik kekuasaan, wacana dipandang sebagai alat dari kekuasaan: untuk memperluas cakupan kekuasaan, menyudutkan kekuatan lawan, dan alat untuk mengimplementsaikan kebijakan penguasa sedangkan karakteristik ideologi berkaitan dengan keyakinan atau paham-paham, yang biasanya muncul dari kaum minoritas. Wacana digunakan sebagai alat untuk mempropagandakan suatu keyakinan atau paham tertentu dan membuat kaum minoritas diterima oleh khalayak ramai (Ratnaningsih, 2019, pp. 19-20).

Analisis wacana kritis adalah upaya atau kegiatan untuk memahami wacana lebih mendalam, tidak hanya memandang wacana sebagai teks semata. Dalam analisis wacana kritis, wacana dipandang sebagai praktik sosial, yang pemroduksiannya memiliki tujuan atau maksud tertentu. Analisis wacana kritis setidak-tidaknya memandang wacana sebagai objek berdimensi yang terdiri atas tiga unsur: teks, kognisi sosial dan konteks (Ratnaningsih, 2019, p. 21).

 

C.  PENDEKATAN ANALISIS WACANA KRITIS

Dalam analisis wacana kritis, wacana tidak dipahami sebagai objek studi bahasa semata. Objek studi dalam analisis wacana kritis selain teks juga pada konteks bahasa. Tujuan utama analisis wacana kritis adalah membuka kesamaran dalam wacana yang tidak seimbang antarpartisipan wacana (Masitoh, 2020, p. 71).

Beberapa pendekatan dalam analisis wacana kritis, adalah sebagai berikut:

1.    Analisisis Wacana Kritis Norman Fairclough (Dialectical-Relational Approach/ DRA)

Pendekatan analisis wacana kritis yang dibuat Norman Fairclough adalah bahwa kegiatan berwacana sebagai praktik sosial. Hal ini menyebabkan ada hubungan yang berkaitan antara praktik sosial dan proses membentuk wacana. Untuk itu, harus dilakukan penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi terbentuknya wacana. Fairclough (1989) menjelaskan ada hubungan dialektikal antara praktik sosial dan proses terbentuknya wacana, yaitu wacana mempengaruhi tatanan sosial dan tatanan sosial mempengaruhi wacana. Oleh karena itu, wacana dapat membentuk dan dibentuk oleh masyarakat. Selain itu, wacana juga dapat membentuk dan mengubah pengetahuan, hubungan sosial, dan identitas sosial. Selanjutnya, wacana dibentuk oleh kekuasaan yang berhubungan dengan ideologi. Dengan demikian, pendekatan analisis wacana kritis yang dibuat oleh Fairclough disebut dengan Pendekatan Relasional Dialektikal (Dialectical-Relational Approach/DRA) atau biasa juga disebut dengan pendekatan perubahan sosial (Masitoh, 2020, p. 71).

2.    Analisisis Wacana Kritis Theo Van Leeuwen (Social Actors Approach/SAA)

Theo van Leeuwen memperkenalkan pendekatan analisis wacana kritis ini untuk menjelaskan bagaimana sebuah kelompok dimunculkan atau disembunyikan. Pendekatan analisis wacana kritis yang dibuat Van Leeuwen menjelaskan bagaimana orang-orang tertentu dan aktor sosial (social actors) dimunculkan dalam wacana. Bagaimana suatu kelompok yang mendominanasi lebih memegang kendali dan kelompok yang posisinya rendah digambarkan sebagai orang yang tidak baik. Misalnya, kelompok yang dimarjinalkan, seperti: pengangguran, PSK, buruh, dan perempuan dianggap kelompok yang tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan, mereka juga digambarkan sebagai orang yang tidak berpendidikan, penyakit masyarakat, pengacau, dan selalu berbuat jahat. Citra buruk yang tergambar dalam media kepada kelompok marjinal ini dianggap sebagai kelompok yang tidak baik dan kelompok yang mendominasi menjadi pihak yang terlihat ‘dirugikan’ (Masitoh, 2020, pp. 71-72).

Berkaitan dengan hal di atas Van Leeuwen berfokus kepada dua hal, yaitu proses eksklusi dan proses inklusi. Proses eksklusi adalah proses yang menjelaskan bahwa dalam wacana adakah kelompok atau aktor yang tidak ditampilkan dalam pemberitaan, yaitu dengan cara tidak ditampilkan atau menyamarkan dalang utama sehingga pihak yang dirugikanlah yang menjadi pusat perhatian berita. Proses penghilangan dalang utama ini dapat mengubah pikiran masyarakat akan suatu kejadian dan melegalkan posisi pemahaman tertentu. Proses inklusi, yaitu proses memasukkan seseorang atau kelompok tertentu ke dalam wacana, kebalikan dari proses eksklusi. Proses eksklusi dan inklusi merupakan strategi wacana. Proses eksklusi dan inklusi adalah cara menampilkan aktor sosial di dalam wacana dengan memanfaatkan permainan kata atau diksi, kalimat, gaya bahasa, dan cara bercerita tertentu untuk menampilkan aktor sosial yang diinginkan ke dalam sebuah wacana (Masitoh, 2020, p. 72).

3.    Analisisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk (Socio-cognitive Approach/SCA)

Pendekatan analisis wacana kritis yang dikemukan oleh Van Dijk ini dikenal dengan sebutan ”pendekatan kognitif sosial”. Pendekatan analisis wacana kritis ini bukan hanya didasarkan pada analisis teks, melainkan juga harus dilihat bagaimana teks tersebut dapat diproduksi, sehingga diperoleh suatu pengetahuan mengapa dapat diperoleh teks seperti itu. Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial dan ketiga dimensi wacana tersebut digabungkan menjadi suatu kesatuan untuk analisis. Dalam dimensi teks, yang dianalisis adalah struktur teks dan strategi wacana digunakan untuk memperjelas tema yang dibuat. Dimensi kognisi sosial menganalisis proses memperoleh teks berita yang melibatkan kognisi individu dari orang lain. Dimensi konteks sosial menganalisis kerangka wacana yang berkembang di khalayak ramai akan suatu berita (Masitoh, 2020, p. 72).

Pendekatan analisis wacana kritis menurut Van Dijk, kerangka wacana terdiri atas tiga struktur yang membentuk satu kesatuan. Tiga struktur tersebut adalah struktur makro, super struktur, dan struktur mikro. Struktur makro merujuk pada semua makna yang ada pada tema atau topik dalam wacana. Super struktur merujuk pada skematika wacana yang lazim digunakan, yang dimulai dari pendahuluan, isi pokok, dan diakhiri dengan penutup/simpulan. Selanjutnya struktur mikro merujuk pada makna setempat, yaitu wacana dapat digali dari aspek semantik, sintaksis, stilistika, dan retorika setempat. Dari penjelasan di atas Van Dijk menyimpulkan bahwa kerangka wacana harus mempertimbangkan aspek makna universal yang dapat diperlihatkan melalui analisis struktur makro dan super struktur yang posisinya jauh di atas analisis kata dan kalimat, tetapi analisis struktur mikro tetap diperhitungkan. Dengan menganalisis keseluruhan komponen kerangka wacana, dapat dijelaskan kognisi sosial pembuat wacana. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa cara memandang seseorang terhadap suatu yang ditulisnya dalam wacana akan menentukan ciri khas dan kerangka wacana yang dituliskan (Masitoh, 2020, p. 73).

4.    Analisisis Wacana Kritis Ruth Wodak (Discourse-Historica Approaches/DHA)

Pendekatan analisis wacana kritis yang dikemukakan oleh Wodak, yaitu untuk melakukan analisis pada sebuah wacana adalah dengan cara melihat faktor historis dalam suatu wacana. Pendekatan analisis wacana kritis yang dikembangkan itu disebut pendekatan historis wacana karena dalam menganalisis wacana harus menyertakan konteks histori untuk menjelaskan suatu kelompok atau komunitas tertentu (Masitoh, 2020, p. 73)

Pendekatan analisis wacana kritis yang dikemukakan Wodak dapat dilakukan tiga cara: (1) menentukan topik utama dari sebuah wacana yang spesifik; (2) melakukan telaah strategi-strategi diskursif (termasuk strategi argumentasi); dan (3) menganalisis makna-makna yang nyata dalam kebahasaan, juga makna-makna kebahasaan dalam bentuk lain. Beberapa elemen dan strategi diskursif yang harus mendapatkan perhatian menurut Wodak dalam menganalisis wacana kritis adalah sebagai berikut.

a.    Bagaimana pembuatan nama orang dan mengacu kepada siapa?

b.    Bagaimana sifat, watak, kualitas, dan bentuk penggambaran kepada mereka?

c.    Argumentasi seperti apakah orang atau sekelompok orang yang digambarkan secara eksklusi dan inklusi?

d.   Dari pandangan manakah pelabelan, penggambaran, dan argumentasi disampaikan?

e.    Pengungkapan apakah disampaikan dengan jelas, diintensifkan, atau malah dikurangi?

Dari pertanyaan-pertanyaan di atas, Wodak memilih 5 tipe strategi diskursif, yang kesemuanya menghadirkan citra diri sendiri yang positif dan untuk orang lain yang negatif (Masitoh, 2020, pp. 73-74).

5.    Analisis Wacana Kritis Sara Mills (Feminist Stylistics Approach/FSA)

Pendekatan analisis wacana kritis Sara Mills memfokuskan seperti apa perempuan dimunculkan dalam wacana. Selama ini perempuan selalu disingkirkan dan berada dalam keadaan yang tidak baik dan para perempuan itu tidak diberikan kesempatan untuk membela diri. Pendekatan wacana kritis ini sering disebut sebagai pendekatan analisis wacana perspektif feminis/feminist stylistics. Menurut Sara Mills, pendekatan perspektif feminis ini memiliki tujuan untuk menjelaskan apa yang ada dalam stilistika konvensional akan menjadi lebih jelas dalam menganalisis wacana. Hal ini akan memaksimalkan fungsi stilistika dalam analisis wacana bahwa apakah bahasa itu hanya sekedar ada atau memang harus ada dan dimunculkan.

Sara Mills mengembangkan pendekatan ini untuk mengamati seperti apa tampilan pelaku dalam wacana. Maksudnya, siapa yang akan menjadi subjek penceritaan dan siapa yang akan menjadi objek penceritaan. Dengan demikian, akan didapat seperti apa bangunan wacana dan makna yang bagaimana yang ada dalam wacana secara detailnya. Sara Mills juga mengamati seperti apa pembaca dan penulis diperlakukan dan bagaimana pembaca mengidentifikasi dan menempatkan dirinya dalam wacana. Hal ini akan menempatkan pembaca pada salah satu posisi dan mempengaruhi bagaimana wacana tersebut diwujudkan. Gaya penceritaan dan posisiposisi yang ditempatkan dan ditampilkan dalam wacana ini membuat satu pihak dilegalkan dan pihak lain tidak dilegalkan.

Selanjutnya Sara Mills membagi ke dalam tiga tingkatan untuk menganalisis wacana kritis, ketiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut. (a) Tingkatan kata, yang meliput seksisme dalam bahasa dan seksisme maknanya. (b) Tingkata frasa/kalimat, meliputi: penamaan, pelecehan pada wanita, belas kasihan, pengkerdilan, dan penghalusan. (c) Tingkatan wacana, meliputi: karakter, peran, fragmentasi, vokalisasi, skemata (Masitoh, 2020, p. 74).

 

D.  SIMPULAN

Analisis wacana kritis adalah studi linguistik yang membahas wacana bukan dari unsur kebahasaan, melainkan mengaitkannya dengan konteks. Dasar teoretis analisis wacana didasarkan pada beberapa perkembangan sejarah dalam filsafat pengetahuan dan teori sosial. Oleh karena itu, faktor histori, sosial, dan ideologi adalah sumber utama dalam kerangka kerja analisis wacana kritis. Adapun tujuan utama analisis wacana kritis adalah membuka kesamaran yang ada dalam wacana.

Untuk menganalisis wacana kritis, ada beberapa pendekatan yang disampaikan para ahli. Pertama, pendekatan analisis wacana kritis Norman Fairclough menjelaskan bahwa kegiatan berwacana sebagai praktik sosial yang menyebabkan ada hubungan dialektikal antara praktik sosial dan proses terbentuknya wacana. Kedua, pendekatan analisis wacana kritis yang dibuat Van Leeuwen menjelaskan bagaimana orang-orang tertentu dan aktor sosial (social actors) dimunculkan dalam wacana. Ketiga, pendekatan analisis wacana kritis yang dikemukan oleh Van Dijk, yaitu pendekatan kognitif sosial yang bukan hanya didasarkan pada analisis bahasa wacana, melainkan juga harus dilihat bagaimana wacana tersebut diproduksi dan mengapa dapat diperoleh wacana seperti itu. Keempat, pendekatan analisis wacana kritis yang disampaikan Wodak adalah pendekatan wacana historis yang menjelaskan bahwa untuk melakukan analisis pada sebuah wacana dengan cara melihat faktor historis dalam suatu wacana itu. Kelima, pendekatan analisis wacana kritis Sara Mills adalah perspektif feminis/feminist stylistics yang memfokuskan seperti apa perempuan dimunculkan dalam wacana.

 

DAFTAR PUSTAKA

Barker, C. (2000). Cultural Studies: Theory and Practice. London: Sage Publication.

Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (1997). Handbook of Qualitative Research. USA: Sage Publication.

Eriyanto. (2008). Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: Lkis.

Hjemslev, L. (1961). Prolegomena to a Theory of Language (ed.rev). Masidon: University of Wisconsin Press.

Manning, P. K., & Swan, B. C. (1997). Analisis Naratif, Analisis Konten, dan Analisis Semiotika. Dalam Handbook of Qualitative Research, editor: Denzin, N.K. & Lincoln, Y.S. USA: Sage Publication.

Masitoh. (2020). Pendekatan dalam Analisis Wacana Kritis. Edukasi Lingua Sastra, 18(1) , 66-76.

Matsuki, K. (1996). Metaphors of anger in Japanese. In Taylor, J. and R. MacLaury (eds.), Language and the cognitive construal of the world. Berlin: Gruyter.

Ratnaningsih, D. (2019). Analisis Wacana Kritis Sebuah Teori dan Implementasi. Lampung: Universitas Muhammadiyah Kotabumi.

Saussure, F. D. (1960). Course in General Linguistics. London: Peter Owen.

Syamsuddin, R. (2016). Analisis Wacana. Makassar: CV. Samudra Alif Mim.

Wibowo, I. S. (2013). Semiotika Komunikasi-Aplikasi Praktis bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.