BAHASA SEBAGAI SEMIOTIKA SOSIAL DALAM TERAPAN ANALISIS WACANA KRITIS
Dalam wacana linguistik, bahasa diberi pengertian sebagai sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi, yang dipakai sebagai alat komunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pemikiran. Sedangkan dalam pengertian metaforis, istilah bahasa mengacu pada berbagai cara komunikasi atau berkontak (isyarat atau simbol lainnya). Adapun semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dengan kata lain, semiotika mempelajari relasi diantara komponen-komponen tanda, serta relasi antara komponen-komponen terseebut dengan masyarakat penggunanya (Hasbullah, 2020, p. 122).
Semiotik sosial pertama kali dikembangkan oleh M.A.K Halliday. Dengan dasar pemikiran strukturalis yang dipengaruhi pemikiran post-strukturalis, Halliday berpendapat bahwa grammar dalam bahasa bukan merupakan sebuah kode, yang tidak semata-mata membangun kalimat yang benar. Tetapi merupakan sebuah peristiwa yang menghasilkan makna. ‘Tanda’ merupakan konsep fundamental dalam semiotik, namun tidak memandang ‘tanda’ sebagai sesuatu yang tetap. Untuk itu, Van Leeuwen menggunakan istilah “sumber semiotik” untuk mengantikan kata “tanda”. ‘Sumber semiotik’, kata yang dianggap lebih tepat mengantikan kata ‘tanda’ dalam semiotik sosial, merupakan sebuah tindakan atau artefak yang digunakan dan tercipta dalam peristiwa komunikasi. Mulai dari yang diciptakan secara physiological, dengan otot (menghasilkan ekspresi wajah, atau gestur), atau teknologi (pensil, kertas, atau komputer). Sumber semiotik tidak terbatas pada perkataan, tulisan, atau gambar, namun hampir semua hal yang memiliki makna secara sosial dan kultural (Praditya, 2019).
Akar dari pandangan Halliday ialah bahasa sebagai semiotika sosial. Formulasi “bahasa sebagai semiotik sosial” berarti menafsirkan bahasa dalam konteks sosiokultural tempat kebudayaan itu ditafsirkan dalam termonologis semiotis sebagai sebuah “sistem informasi.” Dalam level yang amat konkret, bahasa itu tidak berisi kalimat-kalimat, tetapi bahasa itu berisi “teks” atau “wacana”, yakni pertukaran makna (exchange of meaning) dalam konteks interpersonal. Mengkaji bahasa hakikatnya mengkaji teks atau wacana. Hal ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa mengodekan (encode) representasi dunia yang dikonstruksikan secara sosial (Santoso, 2008, p. 2). Dengan demikian, ilmu bahasa merupakan jenis dari semiotik. Ilmu bahasa adalah satu segi kajian tentang tanda. Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang secara bersama-sama membentuk budaya manusia (Halliday & Hasan, 1992, p. 3).
Halliday menginginkan tafsiran yang lebih khusus tentang kata ‘sosial’, untuk menunjukkan perhatian terutama pada hubungan antara bahasa dengan struktur sosial, dengan memandang struktur sosial sebagai satu segi dari sistem sosial. Sedangkan struktur sosial dapat dilihat melalui hubungan sosial manusia dalam kehidupan sehari-hari ketika berkomunikasi dan bertukar makna, maka kata-kata yang dipertukarkan dalam konteks tersebut mendapatkan maknanya dari kegiatan-kegiatan yang mengandung kata-kata yang merupakan kegiatan sosial dengan perantara dan tujuan sosial (Halliday & Hasan, 1992, pp. 4-5). Semiotika sosial lebih cenderung melihat bahasa sebagai sistem tanda atau simbol yang sedang mengekspresikan nilai dan norma kultural dan sosial suatu masyarakat tertentu di dalam suatu proses sosial kebahasaan (Santoso R. , 2006, p. 6). Halliday menyatakan bahwa kajian bahasa sebagai semiotika sosial mencakup subkajian tentang teks, konteks situasi, register, kode, sistem linguistik, dan struktur sosial (Zainuddin, 2021, p. 73).
Bahasa merupakan sistem semiotik. Akan tetapi berbeda dengan semiotik umum yang hanya terjadi dari ‘arti’ dan ekspresi, bahasa adalah semiotik sosial yang terjadi dari tiga unsur (yang juga disebut tiga tingkat), yakni ‘arti’, bentuk, dan eskpresi. Ketiga unsur bahasa membentuk semiotik yang terhubung dengan realisasi, yakni ‘arti’ atau semantik direalisasikan oleh bentuk atau leksikogrammar (leksis kosa kata dan grammar tata bahasa), dan selanjutnya bentuk diekspresikan oleh bunyi (fonologi) dalam bahasa lisan atau sistem tulisan (grafologi) dalam bahasa tulisan. Hubungan ketiga unsur ini dalam persepsi bahasa sebagai semiotik sosial. Berbeda dengan semiotik umum, satu ‘arti’ dalam bahasa tidak dapat langsung dikodekan dalam ekspresi. Proses perealisasian arti ke ekspresi mengikuti dua tahap, yakni pertama ‘arti’ direalisasasikan dalam susunan kata dan penyusunan kata ini disebut tata bahasa. Seterusnya, ‘arti’ yang terealisasi di dalam kata yang telah terstruktur menurut tata bahasa dieskspresikan dalam bunyi (bahasa lisan) atau dalam huruf (bahasa tulisan) (Saragih, 2018, p. 3).
Lebih lanjut diungkapkan Saragih (2018) bahwa bahasa atau teks tergantung pada konteks. Selanjutnya, konteks menentukan teks. Dengan hubungan timbal balik ini dikatakan bahwa teks menentukan dan ditentukan oleh konteks. Keadaan ini dinyatakan sebagai bahasa berkonstrual (construal) dengan konteks sosial. Dengan pengertian ini, konteks dan teks saling menentukan: pertama konteks menentukan teks dan kedua teks menentukan konteks (p. 4).
Semiotika sosial dalam analisis wacana kritis menjadi sebuah kajian kritis yang melingkupi aspek tanda dan lambang dalam situasi wacana sosial yang berkembang di masyarakat. Objeknya berupa teks wacana. Adapun media analisisnya menggunakan bahasa, kode, gambar, suara, dan simbol komunikasi lainnya. Hasil analisis semiotika sosial dalam analisis wacana kritis berupa makna yang dipersepsikan berdasarkan teks dan konteksnya.
Analisis wacana kritis (critical discourse analysis) adalah analisis bahasa dalam penggunaannya dengan menggunakan paradigma bahasa kritis. Dalam AWK, wacana tidak dipahami semata-mata sebagai kajian bahasa. AWK memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis. Hasilnya bu- kan untuk memperoleh gambaran dari aspek kebahasaan, melainkan menghubungkannya dengan konteks (Santoso A. , 2008, p. 10).
Menurut Halliday (1978), sebuah teks selain dapat direalisasikan dalam level- level sistem lingual yang lebih rendah seperti sistem leksikogramatis dan fonologis juga merupakan realisasi dari level yang lebih tinggi dari interpretasi, kesastraan, sosiologis, psikoanalitis, dan sebagainya yang dimiliki oleh teks itu. Pilihan terhadap struktur lingual tertentu, misalnya, dapat ditafsirkan kepada persoalan- persoalan yang lebih besar (p. 138).
Halliday berpandangan bahwa linguistik pada hakikatnya adalah bentuk tindakan dan secara lebih spesifik sebagai sebuah bentuk tindak politis (Hasan & Martin, 1989, p. 4). Mengkaji bahasa hakikatnya adalah mengkaji tindak berbahasa. Pandangan Halliday itu dipengaruhi oleh dua hal, yakni: (1) keterlibatan aktifnya dalam penelitian linguistik dan (2) keterlibatan aktifnya dalam gerakan politik kiri ketika menjadi mahasiswa pada awal tahun 1950-an (Santoso A. , 2008, p. 11).
Dalam pandangan Halliday, teks selalu dilingkupi oleh dua konteks, yakni konteks situasi dan konteks budaya (Butt, Fahey, Spinks, & Yallop, 1995, p. 11). Hal itu berarti bahwa teks akan selalu menyatu dengan konteksnya, baik dalam pembentukannya maupun dalam proses pemahamannya. Pandangan itu selanjutnya berpengaruh terhadap cara pan- dang terhadap wacana. Dalam paradigma kritis, wacana diproduksi, dimengerti, dan ditafsirkan dalam konteks tertentu. Wacana adalah teks dalam konteks. Titik perhatian analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Bahasa selalu berada dalam konteks. Tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipan, antarteks, situasi, dan sebagainya. Dalam AWK, kajian wacana tidak dipahami semata-mata sebagai kajian bahasa. AWK memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis. Hasilnya bukan hanya untuk memperoleh gambaran dari aspek kebahasaan, melainkan menghubungkannya dengan konteks. Hal itu berarti bahwa bahasa itu dipergunakan untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan (Santoso A. , 2008, p. 12).
Bahasa sangat terkait dengan satu segi yang penting dalam pengalaman manusia, yakni segi struktur sosial. Bahasa adalah produk proses sosial (Halliday, 1978). Dengan dialektis antara makro dan mikro dalam kajiannya, analisis wacana kritis dapat mengungkap naturalisasi-naturalisasi yang terjadi serta membuat secara jelas determinasi- determinasi sosial dan pengaruh wacana bagi partisipan (Santoso A. , 2008, p. 13).
Halliday mengemukakan bahwa teks itu selalu dilingkupi konteks situasi dan konteks budaya (Butt, Fahey, Spinks, & Yallop, 1995, p. 11). Mengkaji bahasa secara fungsional pada hakikatnya mengkaji tiga aspek yang saling terkait, yakni teks, konteks situasi (context of situation), dan konteks budaya (context of culture). Dalam teks, selalu terkandung unsur tekstur dan struktur (Santoso A. , 2008, p. 13).
DAFTAR RUJUKAN
Butt, D., Fahey, R., Spinks, S., & Yallop, C. (1995). Using Functional Grammar:An Explorers Guide. Sidney: Macquary University.
Halliday, M. (1978). Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning. London: Edward Arnold.
Halliday, M., & Hasan, R. (1992). Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. (A. B. Tou, Trans.) Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hasan, R., & Martin, J. (1989). Introduction. In R. Hasan, & J. Martin, Language Development:Learning Language,Learning Culture(Meaning and Choice in Language:Studies for Michael Halliday) (pp. 1-17). New Jersey: Ablex Publishing Corporation.
Hasbullah, M. (2020). Hubungan Bahasa, Semiotika Dan Pikiran Dalam Berkomunikasi . Al-Irfan, 3(1) , 106-124.
Praditya, A. A. (2019, February 24). Semiotika Sosial. Retrieved May 2, 2023, from misekta.id: https://misekta.id/article/semiotika-sosial
Santoso, A. (2008). Jejak Halliday dalam Linguistik Kritis dan Analisis Wacana Kritis. Bahasa dan Seni, 36(1) , 1-15.
Santoso, R. (2006). Semiotika Sosial: Pandangan terhadap Bahasa. Surabaya: Pustaka Eureka dan JP Press.
Saragih, A. (2018). Bahasa sebagai Semiotik Sosial dan Pembelajaran Bahasa Inggris. Medan Makna, Jurnal Ilmu Kebahasaan dan Kesastraan, 4(1) , 1-10.
Zainuddin. (2021). Semiotik dalam Tataran Semantik. Bahas, 32(1) , 68-75.
Kategori
- ASESMEN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
- BIPA
- FILSAFAT ILMU
- ISU MUTAKHIR PENDIDIKAN
- KEMAHIRAN BERBAHASA
- METODOLOGI PENELITIAN
- MODEL PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
- PENGEMBANGAN KURIKULUM BAHASA INDONESIA
- PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
- PENULISAN ARTIKEL ILMIAH
- PROBLEMATIKA PENDIDIKAN
- PSIKOLINGUISTIK LANJUT
- SOSIOLINGUISTIK LANJUT
- STATISTIKA
- STUDI WACANA BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
- TEKNOLOGI INFORMASI
- UMUM
Blogroll
- Masih Kosong