LABEL : CIPTA

KETERAMPILAN BERSASTRA

28 November 2023 19:28:23 Dibaca : 104

1.    Menciptakan Karya Sastra

Menurut Hasanah dan Siswanto (2013) menyatakan bahwa menciptakan karya sastra diawali oleh proses berpikir kreatif dan kreativitas. Proses berpikir kreatif ditandai dengan kemampuan memunculkan ide atau gagasan baru yang tidak lazim, kontroversial dan aneh, tetapi ide tersebut dapat diwujudkan atau direalisasikan. Proses berpikir kreatif dipengaruhi oleh faktor lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan kebiasaan. Untuk membentuk kompetensi berpikir kreatif, seseorang harus memiliki kepekaan terhadap lingkungan dan perubahannya, memiliki minat untuk mencermati dan menganalisis lingkungan dan perubahan tersebut serta memiliki hasrat untuk untuk pemecahan masalah. (pp. 1-2).

Aktivitas berpikir kreatif yang intens dan terus menerus dapat menciptakan kreativitas pada diri seseorang. Untuk bisa kreatif, seseorang perlu memiliki kreativitas. Kreativitas berarti daya cipta atau kemampuan mencipta. Kreativitas dalam bidang bahasa mengacu pada kemampuan memproduksi dan memahami kalimat-kalimat yang belum pernah didengar dari sumber-sumber bahasa. Kreativitas berbahasa lebih sering terjadi pada unsur kata daripada kalimat, terutama dalam penemuan makna kata dan kreasi kata atau leksikon. Kreativitas dalam dunia seni mengacu pada orisinalitas ide atau penemuan bentuk yang dihubungkan dnegan deviation (penyimpangan dari aturan) dan foregrounding (pengedepanan, pengaktualan, pementingan, atau penekanan) yang biasanya terhubung dengan penciptaan puisi dan prosa fiksi (Hasanah & Siswanto, 2013, p. 2).

Karya sastra tercipta dari proses kreatif pengarang yang beranjak dari permasalahan-permasalahan sosial masyarakat. Berkualitas atau tidaknya karya sastra sangat ditentukan oleh daya kreativitas pengarang. Pengarang yang menciptakan karya sastra berdasarkan fenomena-fenomena sosial, budaya, politik, dan sebagainya yang terjadi di masyarakat berarti ia telah melakukan proses mimetik (peniruan/tindakan imitatif). Tanpa melakukan proses mimetik, karya sastra yang diciptakan tidak akan memiliki ruh, atau hanya sebuah karya kosong, khayalan belaka (Suarta & Dwipayana, 2014, p. 13).

Sebelum mencipta satra pengarang melakukan beberapa kegiatan penting untuk memunculkan imajinasi (Siswanto, 2008, p. 28), yakni:

1.    Menelusuri/menjelajah  dunia berjalan ke sana ke mari, sebab dunia ini sebagai sumber yang kaya untuk mengembang imajinasi.

2.    Membaca majalah, karya sastra dan puisi para pengarang lain yang tersohor, buku pengetahuan.

3.    Mendengarkan dan menyimak berbagai uraian, pidato, dongeng lisan, peristiwa tentang kemanusiaan, diskusi dan perdebatan.

4.    Memperoleh pengalaman yang bermanfaat baik yang dialami sendiri atau yang dialami orang lain.

Pada dasarnya, proses kreatif yang dilalui sastrawan selalu dikaitkan dengan kegiatan menulis kreatif. Menulis kreatif dapat diartikan sebagai kegiatan mengekspresikan atau menuangkan ide-ide baru dalam wujud tulisan. Dalam dunia sastra, kegiatan menulis kreatif dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni menulis karya/cipta sastra dan menulis karya apresiatif-kritik sastra (Hasanah & Siswanto, 2013, p. 5).

Dalam mengarang, sastrawan didorong oleh motif tertentu. Dorongan tertentu ini bisa dalam memilih ide/tema, bahan karangan, bangunan unsur intrinsik karya (Hasanah & Siswanto, 2013, p. 7). Ali Akbar Navis menulis novel ‘Kemarau’ untuk membela diri bahwa ia bukanlah komunis seperti yang pernah dicurigai kepadanya. Ajip Rosidi didorong alasan ekonomi karena merasa bahwa keterlibatannya dalam kesenian dan sastra memberi jalan hidup dan lapangan pekerjaan. Terkadang dalam berkarya, sastrawa meniru tingkah laku sesamanya. Trisnoyuwono meniru-niru Riyono Pratikno dalam mengambil kerangka cerita. Diantara sastrawan ada yang didorong alasan untuk berbakti, Chairil Anwar misalnya beberapa karya puisinya ditujukan untuk orang-orang tertentu. Taufik Ismail merupakan sastrawan yang berkarya didorong rasa Ketuhanan. Budi Darma mengaku berkarya karena takdir. Bakat, kemamuan, kesempatan dan hambatan menulis hanyalah rangkaian pernyataan takdir. Ia merasa ada sesuatu dalam dirinya yang terobsesi menanyakan berbagai hal, sehingga memaksanya untuk menulis. Utuy T. Sontani menulis puisi karena ingin mendapat pujian dari gadis yang dikaguminya. Hampir semua sastrawan berkarya karena dorongan rasa keindahan, meskipun kadarnya berbeda-beda (Hasanah & Siswanto, 2013, pp. 7-13).

2.    Kompetensi Mencipta Karya Sastra

Beberapa bekal menurut pengakuan sastrawan harus dimilikinya. Bekal itu terdiri atas (1) imajinasi, (2) kepekaan, (3) otak, insting, dan persepsi, (4) kejujuran dalam menulis, (5) intuisi, bakat, dan kerja keras, (6) intelektualitas dan hidup baik, (7) keajegan dan kecintaan terhadap karya sastra (Hasanah & Siswanto, 2013, p. 14).

Imajinasi adalah daya bayang, daya fantasi, tetapi bukan lamunan. Ia tetap berpangkal dari kenyataan-kenyataan dan pengalaman-pengalaman. Imajinasi tidaklah sama dengan realitas yang sesungguhnya (realitas obyektif) (Muzakki, 2007, p. 28). Kekuatan imajinasi identik dengan kepekaan seorang sastrawan. Kepekaan adalah kemampuan menembus apa yang tidak terlihat, tidak terasa, dan tidak terpikirkan. Kepekaan adalah kemamuan untuk melakukan sesuatu yang tidak terjangkau oleh orang lain (Hasanah & Siswanto, 2013, p. 15).

Sebagai pengarang harus mempunyai otak, disamping insting dan persepsi kepengarangan. Dengan insting dan persepsi ini pengarang tidak hanya melihat bayang-bayang hidup yang tercermin dalam tindakan manusia, akan tetapi hakikat hidup itu sendiri (Hasanah & Siswanto, 2013, p. 20). Kejujuran dalam menulis karya sastra untuk menunjukkan orisinalitas ide serta keikhlasan pengarang dalam berkarya.

Kompetensi yang harus dimiliki pengarang dalam mencipta karya sastra adalah bahasa. Sastrawan sering menggunakan bahasa secara khusus bahkan menyimpang dari gramatika.  Sastrawan bisa juga dianggap sebagai teladan dalam penggunaan bahasa secara baik dan optimal, dengan menggunakan gaya yang menarik (Teeuw, 1984, p. 70). Beberapa ciri bahasa sastrawan yakni:

1.      Bahasa persuasif yang bertujuan untuk mengajar, memberi kenikmatan, dan menggerakkan.

2.      Bahasa licentia poetarum, yaitu keleluasaan menggunakan bahasa, yang dicirikan oleh mengikuti kaidah bahasa yang sudah ada, menggunakan potensi bahasa secara inovatif, menyimpang dari konvensi yang sudah ada dan mengharuskan interpratasi khusus (Tuloli, 2000, p. 6)

3.      Bahasa yang mempunyai fungsi puitik(keindahan), emotif (perasaan pengarang), konatif (menggugah pembaca), dan patik (komunikasi pengarang dan penikmat).

4.      Bahasa yang disulap/disimpangkan atau diasingkan (deotomatisasi), sehingga bahasa dalam sastra berbeda dengan bahasa sehari-hari (Luxemburg, 1986).

Kompetensi yang juga harus dimiliki seseorang untuk mencipta karya yakni kapasitas penggunaan gaya bahasa. Gaya merupakan cara penggunaan bahasa oleh pengarang/sastrawan untuk mengungkapkan ide atau gagasan dan perasaannya dalam teks karya sastra (Luxemburg, 1989, p. 59)

 

3.    Kemahiran Membaca Sastra

Membaca sastra merupakan kegiatan membaca yang berhubungan dengan seni atau keindahan. Dalam membaca sastra, pembaca dituntut untuk mengaktifkan daya imajinasi dan kreativitasnya agar dapat menghayati dan memahami isi bacaan. Setelah membaca sebuah karya sastra pembaca akan memeroleh pengetahuan dan pengalaman melalui karya sastra yang dibacanya (Rahmayantis, 2016, p. 47). Untuk dapat menikmati, menghayati, dan menghargai unsur-unsur keindahan yang terdapat dalam teks sastra, pembaca terlebih dahulu harus memahami isi dan konteks penuturan dalam teks sastra (Rahmayantis, 2016, p. 48). Medium membaca sastra adalah bahasa, sehingga pembaca sastra harus memahami bahasa dan kaidah-kaidah bahasa yang digunakan dalam teks sastra (Priyatni, 2010, p. 25).

Membaca sastra dapat dilakukan dengan langkah dari membaca komprehensif, membaca teknis, dan membaca ekspresif (Rahmayantis, 2016, p. 48). Membaca komprehensif merupakan seperangkat keterampilan pemerolehan pengetahuan dari suatu teks, membaca komprehensif ini melibatkan pemikiran, jadi dalam membaca komprehensif ini pemahaman membaca sangat diperlukan. Membaca komprehensif bergantung pada gabungan pengetahuan bahasa, gaya kognitif, dan pengalaman membaca (Zuchdi, 2008, pp. 22-26). Membaca komprehensif diawali dengan memahami segmen-segmen terkecil (huruf, suku kata, kata) dalam teks bacaan dan kemudian dibangun agar mencakup unit-unit yang lebih besar yaitu klausa, kalimat, dan paragraf (Gazali, 2010, p. 208). Membaca teknis sering disebut oral reading "membaca lisan" maupun reading aloud "membaca nyaring". Disebut demikian karena membaca teknis adalah membaca yang dilaksanakan secara bersuara sesuai denganaksentuasi, intonasi, dan irama yang benar selaras dengan gagasan serta suasana penuturan dalam teks yang dibaca (Aminuddin, 1987, pp. 19-20). Membaca ekspresif adalah kegiatan membaca yang dilatarbelakangi tujuan menikmati serta menghargai unsur-unsur keindahan yang terpapar dalam teks sastra. Sementara untuk mampu menikmati dan menghayati, terlebih dahulu pembaca harus mampu memahami isi serta suasana penuturan dalam teks yang dibacanya. Membaca ekspresif tersebut dapat terwujud melalui kegiatan membaca dalam hati maupun dalam bentuk membaca secara lisan (Aminuddin, 1987, p. 21).

Sebelum seseorang melaksanakan kegiatan membaca cerita fiksi atau story telling, pembaca selain harus memahami isi teks serta suasana penuturan yang ada di dalamnya juga harus memahami masalah (1) pelafalan, (2) penentuan kualitas bunyi: tinggi-rendah, keras-lunak, (3) tempo, dan (4) irama. Selain itu, karena membaca secara lisan itu juga melibatkan aspek tubuh, pembaca juga harus mampu menata gerak mimik atau facial expression, gerak bagian-bagian tubuh atau gesture, maupun penataan posisi tubuh atau posture. Selain itu, unsur kontak mata sebagai salah satu upaya menciptakan hubungan batin dengan pendengarnya juga harus diperhatikan (Rahmayantis, 2016, p. 48).

 

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. (1987). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Gazali, A. S. (2010). Pembelajaran Keterampilan Berbahasa dengan Pendekatan Komunikatif Interaktif. Bandung: Refika Aditama.

Hasanah, M., & Siswanto, W. (2013). Proses Kreatif Sastrawan Indonesia. Malang: Cakrawala Indonesia.

Luxemburg, J. V. (1986). Pengantar Ilmu Sastra. (D. Hartoko, Trans.) Jakarta: Gramedia.

Luxemburg, J. V. (1989). Tentang Sastra. (A. Ikram, Trans.) Jakarta: Intermasa.

Muzakki, A. (2007). Karya Sastra: Mimesis, Realitas Atau Mitos? LINGUA: Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra, 2(1) , 26-44.

Priyatni, E. (2010). Membaca Sastra dengan Ancangan Literai Kritis. Jakarta: Bumi Aksara.

Rahmayantis, M. D. (2016). Pengembangan Bahan Ajar Membaca Indah Puisi untuk Siswa SMP Kelas VII. KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 2(1) , 47-56.

Siswanto, W. (2008). Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grasindo.

Suarta, I. M., & Dwipayana, I. K. (2014). Teori Sastra. Jakarta: Rajawali Pers.

Teeuw, A. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tuloli, N. (2000). Kajian Sastra. Gorontalo: BMT Nurul Jannah.

Zuchdi, D. (2008). Strategi Meningkatkan Kemampuan Membaca. Yogyakarta: UNY Press.