LABEL : PSIKOLINGUISTIK

GANGGUAN BERBICARA

28 November 2023 20:25:07 Dibaca : 397

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan atau menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Sebagai perluasan ini berbicara merupakan suatu sistem tanda-tanda yang dapat didengar (audible) dan yang kelihatan (visible) yang memanfaatkan otot dan jaringan otot tubuh manusia demi maksud dan tujuan gagasan-gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan. Berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatka faktor-faktor fisik, psikologis, neurologis, semantik, dan linguistik sedemikian ekstensif, secara luas sehingga dapat dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi kontrol manusia (Tarigan, 2008:16).

Bahasa sebagai instrumen komunikasi berperan dalam menyampaikan pesan dari penutur kepada pendengar. Kompetensi berbicara yang berada pada tataran mental kemudian diartikulasikan melalui organ bicara. Proses artikulasi bahasa melibatkan sistem yang sangat kompleks dan melibatkan berbagai organ pada tubuh manusia. Gangguan atau kerusakan pada organ bicara dapat menyebabkan terganggunya komunikasi normal. Pada makalah ini akan dipaparkan lebih jauh tentang gangguan berbicara yang disebabkan oleh gangguan mekanisme berbicara, gangguan akibat multifaktorial, dan gangguan psikogenik.

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:

Bagaimanakah gangguan berbicara?Bagaimanakah gangguan mekanisme berbicara?Bagaimanakah gangguan akibat multifaktorial?Bagaimanakah gangguan psikogenik?1.3  Tujuan Penulisan

Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:

Untuk memahami gangguan berbicaraUntuk memahami gangguan mekanisme berbicaraUntuk memahami gangguan akibat multifaktorialUntuk memahami gangguan psikogenik 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 GANGGUAN BERBICARA

Berbicara adalah bentuk tindak tutur yang berupa bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap disertai dengan gerak-gerik tubuh dan ekspesi raut muka (Setyonegoro, 2013). Gangguan bicara terdiri dari masalah artikulasi, suara, kelancaran bicara (gagap), afasia (kesulitan dalam menggunakan kata-kata, biasanya akibat cedera otak) serta keterlambatan dalam bicara. Keterlambatan bicara dapat disebabkan oleh berbagai faktor termasuk faktor lingkungan atau hilangnya pendengaran (Masitoh, 2019).

Gangguan berbicara merupakan suatu gangguan yang dapat mempengaruhi cara seseorang untuk mengeluarkan suara dan membentuk kata-kata. Gangguan suara tertentu juga dapat dianggap sebagai gangguan bicara. Salah satu gangguan bicara yang paling sering terjadi yaitu gagap. Gangguan bicara lainnya termasuk apraksia dan disartria. Apraxia adalah gangguan bicara yang disebabkan oleh kerusakan pada bagian otak dimana seseorang tidak dapat mengikuti perintah sederhana, sementara disartria merupakan gangguan bicara di mana terjadi kelemahan pada otot-otot mulut, wajah, atau sistem pernapasan sehingga mulut sulit digerakkan.

Beberapa orang dengan gangguan bicara sebenarnya sadar dengan apa yang ingin mereka katakan tetapi orang tersebut tidak mampu mengungkapkan apa yang ada di pikiran. Kondisi ini dapat menyebabkan masalah rasa percaya diri seseorang dan dapat menyebabkan depresi. Gangguan bicara dapat dialami oleh orang dewasa maupun anak-anak dan merupakan suatu penyakit keturunan dan kondisi ini dapat berkembang seiring waktu, tetapi pengobatan yang dilakukan sejak dini dapat memperbaiki kondisi tersebut.

Gangguan bicara dapat mempengaruhi beberapa bagian tubuh seperti pita suara, otot, saraf, dan struktur lain di dalam tenggorokan. Gangguan bicara disebabkan oleh beberapa hal di bawah ini, termasuk:

1.         Genetik

2.         Kelainan bentuk saat kehamilan

3.         Kerusakan pita suara

4.         Kerusakan otak

5.         Kelemahan otot

6.         Kelemahan pernapasan

7.         Stroke

8.         Polip atau nodul pada pita suara

9.         Kelumpuhan pita suara

10.     Paska kecelakaan yang menyebabkan kerusakan otak

Seseorang yang memiliki masalah medis atau masalah perkembangan tertentu mungkin juga memiliki kelainan bicara. Kondisi yang dapat menyebabkan gangguan bicara antara lain:

1.         Autisme

2.         Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)

3.         Stroke

4.         Kanker mulut

5.         Kanker laring

6.         Penyakit Huntington

7.         Demensia

8.         Lou Gehrig (Amyotrophic Lateral Sclerosis / ALS)

Gejala gangguan bicara biasanya muncul dan bergantung pada apa yang menjadi penyebabnya. Gejala seseorang yang mengalami gangguan bicara, antara lain:

1.         Pengucapan yang berulang dan paling sering terlihat pada orang yang gagap

2.         Terdapat penambahan suara dan kata-kata yang berlebih

3.         Perkataan atau pengucapan yang terlalu panjang

4.         Melakukan gerakan tersentak-sentak saat berbicara biasanya melibatkan kepala

5.         Mata berkedip beberapa kali saat berbicara

6.         Terlihat frustasi saat mencoba untuk berkomunikasi

7.         Sering ada jeda saat berbicara

8.         Pengucapan yang berubah-ubah saat berbicara

9.         Berbicara dengan suara yang serak atau parau

Ada banyak pemeriksaan yang tersedia untuk mendiagnosis gangguan bicara, di antaranya:

1.         Tes skrining Artikulasi Denver

Pemeriksaan skrining artikulasi Denver merupakan sistem pemeriksaan yang umum digunakan untuk mendiagnosis gangguan artikulasi atau gangguan bicara. Tes ini dilakukan dengan cara mengevaluasi kejernihan pengucapan pada anak-anak antara usia 2-7 tahun. Tes yang dilakukan selama 5 menit ini menggunakan berbagai macam latihan untuk menilai bicara anak.

2.         Language Milestones Scale 2

Tes ini dibuat oleh dokter spesialis perkembangan saraf anak oleh James Coplan, tes Language milestones scale 2 dilakukan untuk menentukan perkembangan bahasa anak. Tes ini dapat dengan cepat mengidentifikasi keterlambatan bicara atau gangguan bahasa pada anak-anak.

3.         Tes Kosakata dengan Gambar Peabody

Tes ini dilakukan dengan cara mengukur kosakata dan kemampuan seseorang untuk berbicara. Seseorang akan mendengarkan berbagai kata dan memilih gambar yang menggambarkan kata-kata tersebut.Seseorang yang memiliki cacat intelektual dan seseorang yang buta tidak dapat menggunakan tes ini. Tes kosakata gambar Peabody telah direvisi berkali-kali sejak versi pertamanya tahun 1959.

Gangguan bicara ringan mungkin tidak memerlukan pengobatan yang khusus karena tetapi perlu memaksimalkan kemampuan bicaranya. pada beberapa orang, gangguan bicara dapat membaik dengan terapi wicara. Pengobatan gangguan bicara bervariasi dan tergantung pada jenis gangguannya dan penyebabn yang mendasarinya. Dalam terapi wicara, terapis profesional akan memberikan latihan yang berfungsi untuk memperkuat otot-otot di wajah dan tenggorokan.

Selain itu, diberikan pengajaran untuk mengendalikan pernapasan saat berbicara. Latihan penguatan otot dan pernapasan dapat membantu memperbaiki gangguan bicara dan berlatih untuk berbicara lebih fasih dan lancar. Beberapa orang dengan gangguan bicara biasanya merasa gugup, malu, atau depresi sehingga dengan terapi bicara dapat membantu Anda mengatasi situasi ini. Seorang terapis akan mengajarkan cara untuk mengatasi kondisi serta cara meningkatkan kepercayaan diri. Jika mengalami depresi parah, penggunaan obat antidepresan dapat membantu mengatasi masalah tersebut.

Komplikasi yang terjadi akibat gangguan bicara tidak diobati dapat menyebabkan seseorang mengalami rasa cemas yang berlebihan. Seiring waktu, rasa cemas ini dapat memicu gangguan atau fobia dalam berbicara di depan umum.

Pengobatan dini dalam mengatasi masalah kecemasan dapat membantu mencegah berkembangnya gangguan kecemasan atau fobia. Pilihan pengobatan seperti terapi bicara dan obat anti kecemasan umumnya dapat membantu meringankan gejala ataupun kondisi pasien. Gangguan bicara yang cepat ditangani dapat membantu mencegah gangguan bicara berkembang ke kondisi yang lebih buruk seperti terjadinya depresi, termasuk dengan prospek kecacatan yang mungkin terjadi, tetapi hal tersebut akan tetap bergantung pada tingkat keparahan gangguan bicara yang dialami.

 

2.1.1 Gangguan Mekanisme Berbicara

Mekanisme berbicara adalah suatu proses produksi ucapan (perkataan) oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan peru-paru. Maka gangguan berbicara berdasarkan meknismenya ini dapat dirinci menjadi gangguan berbicara akibat kelainan pada paru-paru (pulmonal), pada pita suara (laringan), pada lidah (lingual), dan pada rongga mulut dan kerongkongan (resonantal).

1.    Gangguan Akibat Faktor Pulmonal

Gangguan berbicara ini dialami oleh para penderita penyakit paru-paru. Para penderita penyakit paru-paru ini kekuatan bernafasnya sangat kurang, sehingga cara berbicaranya diwarnai oleh nada yang monoton, volume suara kecil sekali, dan terputus-putus, meskipun dari segi semantik dan sintaksis tidak ada masalah.

2.    Gangguan Akibat Faktor Laringan

Gangguan pda pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang sama sekali. Gangguan berbicara akibat faktor laringan ini ditandai oleh suara yang serak atau hilang, tanpa kelainan semantik dan sintaksisnyaa. Artinya, dilihat dari segi semantik dan sintaksis ucapannya bisa diterima.

3.    Gangguan Akibat Faktor Lingual

Lidah yang sariawan atau terluka akan terasa pedih kalau digerakkan. Untuk mencegah timbulnya rasa pedih ini ketika berbicara maka gerak aktivitas lidah itu dikurangi secara semaunya. Dalam keadaan seperti ini maka pengucapan sejumlah fonem menjadi tidak sempurna, sehingga misalnya, kalimat “sudah barang tentu dia akan menyangkal” mungkin akan diucapkan menjadi “hu ah ba-ang ke-ku ia a-an me- angkay”. Pada orang yang terkena stroke dan badannya lumpuh sebelah, maka lidahnya pun lumpuh sebelah. Oleh karena itu, cara berbicaranya juga akan terganggu, yaitu menjadi pelo atau cadel. Istilah medisnya disatria (yang berarti terganggunya artikulasi).

4.    Gangguan Akibat Faktor Resonansi

Gangguan akibat faktor resonansi ini menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau. Pada orang sumbing, misalnya. Suaranya menjadi tersengau (bindeng) karena rongga mulut dan rongga hidun yang digunakan untuk berkomunikasi melalui defek di langit-langit keras (palatum), sehingga resonansi yang seharusnya menjadi terganggu. Hal ini terjadi juga pada ornag yang mengalami kelumpuhan pada langit-langit lunak (velum). Rongga langit-langit ini tidak memberikan resonansi yang seharusnya, sehingga suaranya  menjadi tersengau. Penderita penyakit miastenia gravis (gangguan yang menyebabkan otot menjadi lemah dan cepat lelah) sering dikenali secara langsung karena kesengauan ini.

 

2.1.2 Gangguan Akibat Multifaktorial

Akibat gangguan multifaktorial atau berbagai faktor bisa menyebabkan terjadinya berbagai gangguan berbagai gangguan berbicara. Antara lain adalah berikut ini :

1.    Berbicara Serampangan

Berbicara serampangan atau semberono adalah berbicara dengan cepat sekali, dengan artikulasi yang rusak, ditambah dengan “menelan” sejumlah suku kata, sehingga apa yang diucapkan sukar dipahami. Dalam kehidupan sehari-hari kasus ini memang jarang dijumpai; tetapi didalam praktek kedokteran sering ditemui. Umpamanya kalimat “kmarin pagi saya sudah beberapa kali kesini” diucapkan dengan cepat menjadi “kemary sdada berali ksni”. Berbicara serampangan ini karena kerusakan di serebelum atau bisa juga terjadi sehabis terkena kelumpuhan ringan sebelah badan.

2.    Berbicara Propulsif

Gangguan berbicara propulsif biasanya terdapat pada para penderita penyakit parkinson (kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku dan lemah). para penderita penyakit ini biasanya  bermasalah dalam melakukan gerakan-gerakan. Mereka sukar sekali untuk memulai suatu gerakan. Namun, bila sudah bergerak maka ia dapat terus menerus tanpa henti. Gerak yang laju terus itu disebut propulsi. Pada waktu berbicara ciri khas ini akan tampak pula. Artikulasi sangat terganggu karena elastisitas otot lidah, otot wajah, dan pita suara, sebagian besar lenyap. Dalam pada itu volume suaranya kecil, iramanya datar (monoton). Suaranya mula-mula tersendat-sendat, kemudian terus menerus, dan akhirnya tersendat-semdat kembali. Oleh karena itu,  cara berbicara seperti ini disebut propulsif.

3.    Berbicara Mutis (Mutisme)

Penderita gangguan mutisme ini tidak berbicara sama sekali. Sebagian besar dari mereka mungkin masih dapat dianggap membisu, yakni memang sengaja tidak mau bicara. Mutisme ini sebenarnya bukan hanya tidak dapat berkomunikasi secara verbal saja tetapi juga tidak dapat berkomunikasi secara visual maupun isyarat, seperti dengan gerak-gerik, dan sebagainya. Dunia ilmiah sebenarnya belum dapat menjelaskan dengan tepat apa ,mutisme itu. Oleh karena itu, tak heran kalau kita dapatkan berbagai teori dan anggapan dari berbagai pihak tentang mutisme itu. Oleh karena itu pula, setiap orang yang tidak dapat berkomunikasi verbal dinyatakan sebagai mutistik. Dengan begitu seseorang yang membisu sebagai tindakan protes nonverbal dapat dianggap menderita mutisme histerik, padahal sebenarnya merupakan sindrom konversi histerik. Perwujudan histeria lain adalah mutisme elektif karena membisunya itu ditujukan kepada orang-orang tertantu saja, misalnya kepada gurunya atau pacarnya. Dewasa ini apa yang dulu dikenal sebagai mutisme akinetik lebih dikenal sebagai locked-in syndrome. Dalam hal ini, si penderita masih hidup karena jantung, paru-paru, ginjal, hati, dan hampir organ masih berfungsi. Hanya gerakan voluntar, pikiran, minat, keinginan dan semua fungsi luhur lainnya sudah tidak bekerja sama sekali. Mutisme lain diketahui penyebabnya. Hanya baru diperkirakan mutisme ini mungkin suatu keadaan jiwa yang terganggu sejak dilahirkan (Sidharta, 1982). Multisme tidak bisa disamakan dengan orang bisu, apalagi denga bisu tuli. Dalam hal kebisuan ini sebenarnya perlu dibedakan adanya tiga macam penderita. Pertama, orang yang bisu karena kerusakan atau kelainan alat artikulasi, sehingga dia tidak bisa memproduksi ujaran bahasa; tetapi alat dengarnya normal sehingga dia dapat  mendengar suara bahasa orang lain. Kedua, orang yang bisu karena kerusakan kelainan alat artikulasi dan alat pendengarnya, sehingga dia tidak bisa memproduksi ujaran bahasa dan juga tidak mendengar ujaran bahasa orang lain. Ketiga, oramg bisu yang sebenarnya alat artikulasinya normal tidak ada kelainan; tetapi alat pendengarannya rusak atau ada kelainnan. Orang golongan ketiga ini menjadi bisu karena dia tidak pernah mendengar ujaran bahasa orang lain, sehingga dia tidak bisa menirukan ujaran bahasa itu.

Pasien golangan pertama, yang alat artikulasinya rusak atau mengalami kelainnan, sedangkan alat dengarnya normal, kalau fungsi hemisfer otak yang dominannya normal, masih akan dapat berkomunikasi. Hanya tentunya, jika diajak bertutur dia akan memjawab atau bertanya dalam bahasa isyarat, atau dalam bahasa tulis (jika dia sudah belajar menulis)

Pasien golongan kedua yang bisu tuli karena alat artikulasi dan alat pendengarannya rusak, kalau fungsi hemisfer otak yang dominannya normal, masih akan dapat berkomunikasi dengan bahasa isyarat atau dengan bahasa “membaca bibir”. Untuk dapat berkomunikasi itu tentunya mereka memerlukan pendidikan dan pelatihan khusus yang memakan banyak waktu.

Pasien golongan ketiga yang menjadi bisu karena kerusakan atau kelainan alat dengarnya, kalau fungsi hemisfer otak yang dominannya  normal, masih  bisa dilatih untuk memproduksi ujaran bahasa secara tidak sempurna karena dia tidak bisa mendengar ujaran bahasa itu. Pelatihan dilakukan dengan cara dia disuruh memperhatikannya,memegang dan merasakan “gerak mulut” pelatih bicaranya. Ia pun tentu memerlukan waktu yang cukup lama.

Ketiga golongan pasien kasus kebisuan tidak berkaitan dengan fungsi otak. Hanya barang kali perkembangan fungsi otak itu yang terganggu.

 

2.1.3 Gangguan Psikogenik

Selain karena karena faktor gangguan mekanisme berbicara sebagaimana dijelaskan diatas, ada juga gangguan berbicara disebabkan segi mental atau psikogenik. Gangguan ini bersifat lebih ‘ringan’ karena itu lebih tepat disebut sebagai variasi cara berbicara yang normal sebagai ungkapan dari gangguan mental. Modalitas mental ini terungkap dari nada, intonasi, intensitas suara, lafal, dan diksi atau pilihan kata. Ujaran yang berirama lancar atau tersendat-sendat dapat juga mencerminkan sikap mental si pembicara. Gangguan psikogenik ini antara lain sebagai berikut:

1.    Berbicara Manja

Disebut berbicara manja karena ada kesan keinginan untuk dimanja sebagaimana anak kecil yang membuat perubahan pada cara bicaranya. Fonem (s) dilafalkan (c) sehingga kalimat “sakit sekali susah sembuhnya” menjadi “cakit cekali cucah cembuhnya”. Gejala seperti ini dapat diamati pada orang tua pikun atau jompo (biasanya wanita).

2.    Berbicara Kemayu

Menurut Sidharta (dalam Chaer, 2009) istilah kemayu mengacu pada perangai kewanitaan yang berlebihan yang dalam hal ini ditunjukkan oleh seorang pria. Berbicara kemayu dicirikan oleh gerak bibir dan lidah yang menarik perhatian dan lafal yang dilakukan secara menonjol atau ekstra lemah gemulai dan memanjang. Meskipun berbicara jenis ini tidak langsung termasuk gangguan berbahasa, tetapi dapat dipandang sebagai sindrom fonologik yang mengungkapkan gangguan identitas kelamin.

3.    Berbicara Gagap

Gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat-sendat, mendadak berhenti, lalu mengulang-ulang suku kata pertama, kata-kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat diselesaikan. Seperti orang yang ingin mengatakan,”awas ada pohon tumbang”, tetapi ia mengucapkannya secara terputus dan berulang-ulang sehingga menjadi seperti berikut,”a’….a..aw…awwaass…..a..aa..add..a…pp…po.hhon….ttu..tum…mbang”. Apa yang menyebabkan terjadinya gagap ini masih belum diketahui secara pasti, tetapi hal-hal berikut dianggap mempunyai peranan penting penyebab terjadinya gagap:

a.    Faktor stres dalam kehidupan berkeluarga

b.    Pendidikan anak yang dilakukan secara keras dan ketat, dengan membentak-bentak; serta tidak

c.    mengizinkan anak berargumentasi dan membantah.

d.   Adanya kerusakan pada belahan otak (hemisfer) yang dominan.

e.    Faktor neurotik famial.

Jika hal ini terjadi pada anak-anak para orang tua sebaiknya tidak menganggap lucu atas keadaan ini karena akan membuat anak tersebut merasa malu bahkan akan memperparah gagapnya. Berikut ini beberapa hal yang harus dilakukan jika menghadapi seorang anak yang gagap:

a.    Bersikap sabar dan tenang

b.    Menyarankan anak untuk bicara dengan tenang dan perlahan

c.    Jangan menirukannya

d.   Berbicaralah dengan tenang dan perlahan-lahan dan jelas sehingga anak tersebut mempunyai banyak kesempatan untuk menirukan percakapan tersebut.

e.    Berikan anak tersebut kesempatan untuk berbicara dan jangan memotong pembicaraannnya.

f.       Berilah penghargaan kepadanya jika ia dapat berbicara dengan baik.

4.    Berbicara latah

Latah adalah respon reflektif berupa perkataan atau perbuatan yang tidak terkendali yang terjadi ketika seseorang merasa kaget. Latah bukanlah penyakit mental, tapi lebih merupakan kebiasaan yang tertanam di pikiran bawah sadar. Setiap orang latah punya respon yang berbeda-beda dalam bereaksi terhadap stimulus yang mengagetkan, diantarnya:

a)        Mengulangi perkataan orang lain

b)        Meniru gerakan orang lain

c)        Mengucapkan kata-kata tertentu berulang-ulang (biasanya kata-kata jorok)

d)       Melaksanakan perintah secara spontan pada saat terkejut, misalnya; ketika penderita dikejutkan dengan seruan perintah seperti ”jongkok” atau “loncat”,dia akan melakukan perintah itu seketika.

Latah sering disamakan dengan ekolalla, yaitu perbuatan membeo, atau menirukan apa yang dikatakan orang lain; tetapi sebenarnya latah adalah suatu sindrom yang terdiri atas curah verbal repetitif yang bersifat jorok (koprolalla) dan gangguan lokomotorik yang dapat dipancing. Koprolalla pada latah ini berorientasi pada alat kelamin laki-laki. Yang sering dihinggapi penyakit latah ini adalah orang perempuan berumur 40 tahun ke atas. Awal mula timbulnya latah ini, menurut mereka yang terserang latah, adalah ketika bermimpi melihat banyak sekali penis lelaki yang sebesar dan sepanjang belut. Latah ini punya korelasi dengan kepribadian histeris. Kelatahan ini merupakan ”excuse” atau alasan untuk dapat berbicara dan bertingkahlaku porno, yang pada hakikatnya berimplikasi invitasi seksual (lihat juga W.F.Maramis, 1998: 416-418) Latah memang bukan gangguan psikologis yang serius dan malah banyak orang menganggapnya sebagai hiburan atau sesuatu yang lucu. Namun jika seseorang ingin tampil berwibawa atau jika ia tidak ingin lagi menjadi bahan godaan / tertawaan orang lain, maka ia harus menghilangkan kebiasaan latahnya.

Ada dua syarat yang harus dipenuhi agar kebiasaan latah bisa dihilangkan dengan cepat dan hasilnya permanen, yaitu:

a.    harus sungguh-sungguh ingin berubah dan serius ingin menghilangkan kebiasaan latah Anda.

b.    harus setuju untuk menganggap latah sebagai kebiasaan yang kurang baik dan merugikan diri sendiri.

Kebiasaan latah akan sulit dihilangkan atau bisa saja kambuh sewaktu-waktu apabila penderita menganggap menjadi latah itu lucu, menguntungkan dan menyenangkan.

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Kesimpulan

Gangguan bicara merupakan suatu gangguan yang dapat mempengaruhi cara seseorang untuk mengeluarkan suara dan membentuk kata-kata. Gangguan bicara terdiri dari masalah artikulasi, suara, kelancaran bicara (gagap), afasia (kesulitan dalam menggunakan kata-kata, biasanya akibat cedera otak) serta keterlambatan dalam bicara. Keterlambatan bicara dapat disebabkan oleh berbagai faktor termasuk faktor lingkungan atau hilangnya pendengaran.

Mekanisme berbicara adalah suatu proses produksi ucapan (perkataan) oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan peru-paru. Akibat gangguan multifaktorial atau berbagai faktor bisa menyebabkan terjadinya berbagai gangguan berbagai gangguan berbicara. Selain karena karena faktor gangguan mekanisme berbicara  dan gangguan multifaktorial, ada juga gangguan berbicara disebabkan segi mental atau psikogenik. Gangguan ini bersifat lebih ‘ringan’ karena itu lebih tepat disebut sebagai variasi cara berbicara yang normal sebagai ungkapan dari gangguan mental.

3.2  Saran

Makalah ini telah membahas mengenai gangguan berbicara. Penulis sangat berharapan masukan dan saran yang berarti demi diskursus wacana yang lebih kompleks terkait materi. Penulis berharap semakin bervariasi dalam pengkajian tentang gangguan berbicara dalam tataran psikolinguistik serta menjadi pemicu dalam produktifitas penelitian terkait.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Chaer, Abdul. (2009). Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Masitoh, M. (2019). Gangguan Bahasa dalam Perkembangan Bicara Anak. Edukasi Lingua Sastra, 17(1), 40-54.

Setyonegoro, A. (2013). Hakikat, alasan, dan tujuan berbicara (dasar pembangun kemampuan berbicara mahasiswa). Pena: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, 2(2).

Tarigan, Henry Guntur. (2008). Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Penerbit Angkasa.

 

Sumber referensi:

https://www.honestdocs.id/gangguan-bicara , (Diakses 21 Nopember 2022 pukul 09.00)

 

TEORI BELAJAR KOGNITIF

03 November 2022 06:58:42 Dibaca : 6947

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Secara bahasa kognitif berasal dari bahasa latin ”Cogitare” artinya berfikir. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kognitif berarti segala sesuatu yang berhubungan atau melibatkan kognisi, atau berdasarkan pengetahuan faktual yang empiris. Dalam pekembangan selanjutnya, istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi, baik psikologi perkembangan maupun psikologi pendidikan. Dalam psikologi, kognitif mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental manusia yang berhubungan dengan masalah pengertian, pemahaman, perhatian, menyangka, mempertimbangkan, pengolahan informasi,pemecahan masalah, kesengajaan, membayangkan, memperkirakan, berpikir, keyakinan dan sebaganya.

Bagi  penganut aliran  ini,  belajar  tidak  sekedar  melibatkan  hubungan  antar  stimulus dan respons. Namun lebih dari itu, belajar melibatkan proses berpikir yang  sangat  kompleks.  Belajar melibatkan prinsip-prinsip  dasar  psikologi,  yaitu  belajar aktif,  belajar  lewat  interaksi  sosial  dan  lewat  pengalaman  sendiri.   Teori belajar kognitif muncul dilatarbelakangi oleh ada  beberapa  ahli  yang  belum  merasa  puas  terhadap penemuan-penemuan  para  ahli  sebelumnya  mengenai  belajar,  sebagaimana dikemukakan oleh teori Behavior, yang menekankan pada  hubungan  stimulus-responsreinforcement. Munculnya teori kognitif merupakan wujud nyata dari kritik terhadap teori Behavior yang dianggap terlalu naïf, sederhana, tidak masuk akal dan sulit dipertanggungjawabkan secara psikologis.

Menurut paham kognitif,  tingkah  laku  seseorang  tidak  hanya  dikontrol oleh reward  (ganjaran)  dan  reinforcement  (penguatan).  Tingkah laku  seseorang  senantiasa  didasarkan  pada  kognisi,  yaitu tindakan  untuk mengenal  atau  memikirkan  situasi  di mana  tingkahlaku  itu terjadi.  Dalam  situasi  belajar,  seseorang  terlibat  langsung  dalam situasi  itu  dan  memperoleh  pemahaman atau insight  untuk  pemecahan  masalah.  Paham kognitifis  berpandangan  bahwa, tingkahlaku  seseorang  sangat tergantung  pada pemahaman atau insight  terhadap  hubungan-hubungan yang ada di dalam suatu situasi.

Pada makalah ini akan diurai sejumlah teori kognitif mulai dari Tolman hingga Chomsky.

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:

Bagaimanakah teori belajar kognitif?Bagaimanakah teori teori behaviorisme purposif dari Tolman?Bagaimanakah teori medan gestalt dari Wertheimer?Bagaimanakah teori medan dari Lewin?Bagaimanakah teori perkembangan kognitif dari Piaget?Bagaimanakah teori genetik kognitif dari Chomsky? 

1.3  Tujuan Penulisan

Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:

Untuk memahami teori belajar kognitif

Untuk memahami teori behaviorisme purposif dari Tolman

Untuk memahami medan gestalt dari Wertheimer

Untuk memahami medan dari Lewin

Untuk memahami perkembangan kognitif dari Piaget

Untuk memahami genetik kognitif dari Chomsky 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 TEORI BELAJAR KOGNITIF

Monita (2019) memaparkan bahwa kognitivisme terkait kognisi (knowing) yaitu kegiatan untuk mengetahui sesuatu yang mencakup perolehan, pengorganisasian dan pemakaian pengetahuan. Artinya, kognisi fokus pada memori, atensi, persepsi, bahasa, rasio, pemecahan masalah dan kreatifitas (Elliott,et.al.,1996:238) serta peran struktur mental atau pengorganisasiannya dalam proses mengetahui sesuatu (Lefrancois,1988:55). Tekanan utama pendekatan psikologi kognitif terletak pada bagaimana informasi diproses dan disimpan; ini tentu berbeda dengan pendekatan psikologi behavioristik yang fokus pada tingkah laku dalam kontek lingkungan dan kosekuensinya. Dengan demikian, psikologi kognitif, menurut Phye&Andre, adalah studi tentang struktur kognisi dan komponennya dalam memproses informasi (Elliott,et.al.,1996:238). Konsep kognitif pembelajaran, menurut Shuell, telah berpengaruh besar pada pembelajaran berupa pemberian kesadaran yang tinggi pada pendidik betapa pentingnya pengaruh pengetahuan awal (entry behavior) siswa dan strategi penguatan memori mereka terhadap pembelajaran mereka saat ini (Elliott et.al.,1996:241).

Dalam perspektif psikologi kognitif, belajar pada dasarnya adalah peristiwa mental, bukan behavioral (jasmaniah) meskipun hal-hal bersifat bihavioral tampak nyata dalam setiap siswa belajar. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, misalnya tentu menggunakan perangkat jasmaniah, untuk menggucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi perilaku mengucapkan dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata respon atas stimulus yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya (Pahliwandari, 2016).

Teori kognitif adalah suatu proses atau usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, keterampilan,  nilai dan sikap yang bersifat relatif dan berbekas. Misalnya, seseorang mengamati sesuatu ketika dalam perjalanan. Dalam pengamatan tersebut terjadi aktifitas mental. Kemudian ia menceritakan pengalaman tersebut kepada temannya. Ketika dia menceritakan pengalamannya selama dalam perjalanan, dia tidak dapat menghadirkan objek-objek yang pernah dilihatnya selama dalam perjalanan itu, dia hanya dapat menggambarkan semua objek itu dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Maka dengan demikian, telah terjadi proses belajar, dan terjadi perubahan terutama terhadap pengetahuan dan pemahaman. Jika pengetahuan dan pemahaman tersebut mengakibatkan perubahan sikap, maka telah terjadi perubahan sikap, dan seterusnya.

Fungsi kognitif membuat seseorang bisa dengan mudah bergaul satu sama lain. Adapun fungsi kognitif sebagai berikut:

1.    Perhatian merupakan penyeleksi rangsangan yang nantinya menjadi fokus perhatian dan bisa diabaikan secara bersamaan. Rangsangan yang dimaksud bisa berupa bau, suara, maupun gambar.

2.    Memori atau Daya Ingat berkaitan dengan tingkat kefokusan seseorang. Semakin fokus, semakin baik memori atau daya ingat. Hal ini menunjukkan bagaimana suatu informasi akan ditransfer dan disimpan di dalam otak.

3.    Fungsi eksekutif merupakan fungsi yang mengarahkan manusia untuk menjadi perencana dan melaksanakan sesuatu yang telah ia rencanakan. Nah, dari sinilah seseorang terlihat bagaimana cara menyelesaikan setiap permasalahan.

4.    Kemampuan bahasa berkaitan dengan bagaimana seseorang mampu menyusun kata-kata saat berkomunikasi dengan orang lain. Setiap orang memiliki kemampuan bahasa yang berbeda-beda, bergantung dari fungsi kognitifnya.

5.    Merasakan dan mengenali, kehadiran fungsi kognitif membuat seseorang bisa merasakan dan mengenali segala sesuatu di sekitarnya. Misalnya membedakan antara jeruk dan lemon, semangka dan melon, dan seterusnya.

Teori belajar kognitif adalah teori belajar yang mementingkan proses belajar daripada hasilnya. Teori ini menyatakan bahwa pada proses belajar, seseorang tidak hanya cenderung pada hubungan antara stimulus dan respon, melainkan juga bagaimana perilaku seseorang dalam mencapai tujuan belajarnya

Prinsip teori belajar kognitif dalam pembelajaran adalah sebagai berikut.

1.    Proses belajar lebih penting daripada hasil.

2.    Persepsi dan pemahaman dalam mencapai tujuan belajar menunjukkan tingkah laku seorang individu.

3.    Materi belajar dipisahkan menjadi komponen kecil, lalu dipelajari secara terpisah.

4.    Keaktifan peserta didik saat pembelajaran merupakan suatu keharusan.

5.    Pada kegiatan belajar, dibutuhkan proses berpikir yang kompleks.

Pendekatan kognitif merupakan suatu istilah yang menyatakan bahwa melalui tingkah lakulah seorang individu akan mengalami proses mental yang nantinya bisa meningkatkan kemampuan menilai, membandingkan, atau menanggapi stimulus sebelum terjadinya reaksi. Pendekatan ini memberikan penekanan terhadap isi pikiran manusia agar manusia tersebut mendapatkan pengalaman, pemahaman, standar moral, dan sebagainya.

Teori belajar kognitif muncul dilatarbelakangi oleh ada  beberapa  ahli  yang  belum  merasa  puas  terhadap penemuan-penemuan  para  ahli  sebelumnya  mengenai  belajar,  sebagaimana dikemukakan oleh teori Behavior, yang menekankan pada  hubungan  stimulus-responsreinforcement. Munculnya teori kognitif merupakan wujud nyata dari kritik terhadap teori Behavior yang dianggap terlalu naïf, sederhana, tidak masuk akal dan sulit dipertanggungjawabkan secara psikologis.

2.1.1 Teori Behaviorisme Purposif dari Tolman

Tolman lahir di Newton, Massachusetts, dan meraih gelar B.S. di Massachusetts Institute of Technology di bidang elektrokimia pada 1911. Gelar M.A. (1912) dan Ph.D (1915) di Hardvard University untuk bidang psikologi disinilah ia belajar tentang behavioris. Pada akhir dari tahun pertama dia tinggal di Harvard, Tolman sempat pergi ke Jerman dan menghabiskan beberapa waktu dengan para ahli Gestalt yaitu terjadi pada tahun 1913 (Farnham-Diggory, 1994). Selanjutnya, dia mengajar di Northwestern University dari 1915 sampai 1918. Selain itu ia menghabiskan sebagian besar kehidupan profesinya untuk mengajar di Universitas California di Berkeley. Karya utamanya, Purposive Behaviour in Animals and Man, terbit pada tahun 1932. (Hill, 2014).

Teori belajar Tolman dapat dikatakan sebagai campuran antara Teori Gestalt dan Behaviorisme. Sepuluh tahun kemudian, setelah lulus dari Harvard Tolman pergi ke Jerman dan bekerja dengan Koffka. Keberadaan teori Gestalt terhadap proses berteorinya mempunyai pengaruh yang sangat signifikan. Sikapnya yang senang terhadap teori Gestalt tidaklah menghalangi perhatiannya terhadap behaviorisme. Ketidaksepakatannya dengan behaviorisme adalah pada soal unit perilaku yang mesti diteliti. Pemikirannya bertentangan dengan para behavioris seperti Pavlov, Guthrie, Hull, Watson, dan Skinner yang menyatakan bahwa unit perilaku bisa dipelajari sebagai unsur-unsur yang terpisah.

Tolman memandang dengan menjadikan elemen-elemen kecil, sesungguhnya behavioris telah membuang artinya secara utuh. Akan tetapi dia juga yakin bahwa hal seperti itu mungkin juga untuk dijadikan sebagai objek ketika belajar tentang molar behavior secara sistematis. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa Tolman seorang behavioris secara metodologi dan teoris kognitif dalam hal metafisik. Dengan kata lain, ia belajar behavior untuk menentukan proses kognitif (Hergenhahn dan Olson, 2009).

Teori murni Tolman disebut sebagai perilaku purposive (purposive behavior) atau perilaku yang ditujukan untuk mengarah pada suatu tujuan. Aspek ini membuat teori Tolman (purposive behavior dan Gestalt (molarmolekular) memiliki kesamaan yakni mengarah pada tujuan tertentu. Oleh karena itu, ia berusaha menjelaskan perilaku yang diarahkan untuk mendapatkan tujuan atau dengan kata lain mengkaji perilaku dalam kaitannya dengan tujuan yang hendak dicapai melalui perilaku itu. Behaviorisme purposive sering dianggap teori behavioristik maupun teori kognitif. Tolman dalam percobaannya menggunakan metode pengembangan behavioristik tapi dia meneliti atau menempatkan penelitiannya pada posisi kognitif (Safitri, 2019).

Teori behaviorisme purposif yang diperkenalkan oleh Tolman mengajarakan bahwa sesuatu rangsangan tertentu menimbulkan respons tertentu, maka akan kita lihat rangsangan itu dalam perspektif yang baru. Umpamanya, pada waktu SD atau SMP kita diajarkan untuk selalu berlaku sopan dan menghormati guru, sebagai akibatnya apabila kita berhadapan dengan dosen atau guru besar di perguruan tinggi (berupa rangsangan), maka kita juga akan berlaku sopan, hormat, atau diam mendengarkan kuliahnya (berupa respon). Namun, dosen atau guru besar itu mungkin akan marah jika kita bersikap demikian, karena masih dianggapnya sebagai kanak-kanak, bukan mahasiswa. Kita dituntut untuk lebih terbuka, lebih banyak bicara, dan tidak terlalu bersifat formal. Di sini kita melihat keadaan dalam perspektif yang baru, dan sebagai akibatmya kognisi kita akan membuat respon yang baru pula.

Tolman mengatakan bahwa tingkah laku manusia secara keseluruhan disebut tingkah laku molar. Tingkah laku molar ini terdiri dari tingkah laku-tingkah laku yang lebih kecil yang disebut molekular (Sarwono, 2020). Karakteristik utama molar behavior (perilaku molar) adalah perilaku itu purposive (memiliki tujuan); yakni ia selalu diarahkan untuk tujuan tertentu. Dalam hal ini, teori Tolman disebut sebagai purposive behaviorism (behaviorisme purposif) sebab ia berusaha menjelaskan perilaku yang diarahkan untuk mendapatkan tujuan (Hergenhahn dan Olson, 2009) atau dengan kata lain mengkaji perilaku dalam kaitannya dengan tujuan yang hendak dicapai melalui perilaku itu (Hill, 2014). Sorotan bahwa Tolman dianggap sebagai setengah behavioris atau setengah kognitif itu adalah karena sebutan dari orang lain dan itu bukan sebutan dari Tolman sendiri. Selain itu juga teori behaviorisme purposive Tolman ini merupakan teori kognitif akan tetapi kadang juga dianggap sebagai teori behavioristik, hal itu dikarenakan Tolman dalam percobaannya menggunakan metode pengembangan behavioristik tapi dia meneliti atau menempatkan penelitiannya pada posisi kognitif.

Berikut konsep utama belajar menurut Tolman:

Definisi Belajar menurut TolmanMenurut Tolman, belajar adalah mengenal tentang situasi. Organisme belajar tentang sesuatu yang ada di sekitarnya, jika ia berbalik ke kiri, ia akan menemukan sesuatu. Jika ia berbalik ke kanan, ia temukan juga sesuatu yang lain. Hal ini terjadi secara berangsur-angsur, sehingga ia dapat membuat kesimpulan sendiri. Dengan demikian, menurut Tolman, belajar itu akan sia-sia jika hanya dihafal. Sehingga dapat dikatakan bahwa belajar adalah merupakan pengorganisasian perbuatan (tingkah laku) untuk meraih maksud (Ganda, 2004)

Konfirmation versus ReinforcementTeori Belajar Edward C. Tolman – Sebagaimana Guthrie, konsep penguatan (reinforcement) adalah tidak penting bagi Tolman sebagai variabel pembelajaran. Akan tetapi, Tolman menyebutkan hal tersebut sebagai konfirmasi, di mana behavioris menyebutnya reinforcement. Selama perkembangan sebuah peta kognitif, harapan atau dugaan-dugaan dimanfaatkan oleh sebuah organisme. Dugaan adalah sebuah firasat tentang sesuatu dan fungsinya. Di mana awal sebuah dugaan bersifat sementara yang disebut hipotesis, yang berasal baik dari pengalaman maupun bukan. Hipotesis yang telah dikonfirmasikan akan dipakai. Sedangkan hipotesis yang salah akan dibuang. Yang harus diperhatikan adalah proses penerimaan maupun penolakan hipotesis merupakan sebuah proses kognitif bukan termasuk tindakan behavior (Passer dan Smith, 2004). Bisa dikatakan bahwa konfirmasi itu semacam berhipotesis, sebab dalam konfirmasi itu ada harapan menemukan apa menuju apa dengan menggunakan prinsip dasar bahwa sebenarnya tingkah laku itu memiliki tujuan.

Vicarious Trial and ErrorTolman memperhatikan karakteristik tikus dalam kebingungan (jalan simpag siur). Sehingga ia bisa memanfaatkannya sebagai pendukung untuk menafsirkan teori belajarnya. Seekor tikus sering berhenti pada suatu titik tertentu dan memandang sekelilingnya seolah-olah berpikir tentang berbagai alternatif yang ada. Kegiatan seperti ini (berhenti dan memandang sekelilingnya) yang disebut Tolman sebagai Vicarious Trial and Error, sehingga organisme itu bisa membuat kesimpulan sendiri dari berbagai kegiatan yang telah dilakukannya.

Learning Versus PerformanceHull membedakan antara learning dan performance. Pada akhir teorinya, Hull menyatakan bahwa banyaknya jumlah percobaan (trial) yang diperbuat merupakan satu-satunya variabel belajar. Sedangkan variabel-variabel lainnya, yang ada dalam sistemnya merupakan variable perantara (performance). Sehingga performance dapat dimaksudkan sebagai perwujudan belajar ke dalam prilaku. Hal seperti ini penting bagi Hull, dan lebih penting lagi bagi Tolman. Menurut Tolman, kita mengetahui banyak hal tentang lingkungan di sekitar kita, akan tetapi, kita hanya akan melaksanakan informasi atau pengetahuan itu ketika kita harus melakukannya. Dalam status kebutuhan (need), organisme memanfaatkan apa yang telah dipelajarinya hingga sampai pada real testing yang bisa mengurangi kebutuhan itu. Misalnya, ada dua kran air dalam rumah kita, dalam jangka waktu yang lama, kita tidak pernah memperhatikan atau meminumnya hingga suatu saat terasa sangat haus. Secara spontan kita akan meminum salah satu dari keduanya. Dari sini, kita akan mengetahui bagaimana menemukan air minum itu tanpa harus menunggu hingga terasa haus.

Latent LearningMenurut Wade dan Tavris (2007) mengatakan bahwa latent learning (pembelajaran laten) adalah pembelajaran yang tidak langsung dalam kinerja seseorang. Dengan kata lain, pembelajaran laten merupakan suatu jenis pembelajaran dimana hasil pembelajaran tersebut tidak langsung terlihat; hal ini terjadi tanpa suatu penguatan yang nyata. Konsep tentang latent learning sangat penting bagi Tolman, dan dia merasa sukses dalam mendemonstrasikan eksistensinya. Eksperimen terkenal yang dilakukan oleh Tolman dan Honzik (1930) melibatkan tiga kelompok tikus, yang mencoba belajar untuk memecahkan suatu kebingungan (jaringan jalan yang simpang siur). Kelompok pertama, tidak pernah mendapatkan atau menemui makanan saat melintasi jalan yang simpang siur itu. Kelompok kedua, selalu diberi makanan di ujung labirin. Sedang kelompok ketiga, tidaklah diperkuat sampai hari ke-11 mengadakan percobaan. Kelompok terakhir inilah yang menarik bagi Tolman. Teorinya tentang latent learning meramalkan bahwa kelompok ini akan belajar di simpang siur jalan itu, sama halnya dengan kelompok yang secara teratur diperkuat. Dan ketika penguatan (reinforcement) diperkenalkan pada hari ke-11, kelompok ini akan melakukan seperti halnya kelompok yang secara terus menerus diperkuat (reinforced).

Reinfocement ExpectancyMenurut Tolman, ketika kita belajar, kita menganalisa “situasi”. Term understanding selalu ada hubungannya dengan Tolman sebagaimana para behavioris. Dalam situasi problem-solving, kita belajar untuk memperoleh cara yang paling paktis. Kita belajar untuk mengharapkan terjadinya persitiwa tertentu, mengikuti peristiwa yang lain. Seekor binatang mengharapkan jika ia pergi ke suatu tempat tertentu, maka ia akan menemukan reinforcer tertentu. Manurut pada ahli teori S-R, bahwa merubah reinforcer dalam teori belajar tidak akan mengganggu prilaku sepanjang kuantitas reinforcement tidak dirubah secara drastis. Sedangkan menurut Tolman, ia memprediksikan, jika reinforcer dirubah, prilaku akan terganggu, karena reinforcement expectancy merupakan bagian dari apa yang diharapkan

Dalam artikel “There is more than one kind of learning,” Tolman (1949) mengusulkan enam jenis belajar. Ringkasnya adalah sebagai berikut:

CathexesCathexis (jamak) Cathexes adalah tendensi belajar untuk mengasosiasikan objek tertentu dengan keadaan dorongan tertentu. Misalnya, ada makanan tertentu untuk memuaskan dorongan lapar dari seseorang yang tinggal disuatu Negara. Orang yang tinggal di daerah dimana biasanya makan ikan itu sudah menjadi kebiayasaan cenderung akan mencari ikan untuk menghilangkan laparnya. Orang-orang ini mungkin tidak menyukai daging sapi atau spageti karena, menurut mereka, makanan itu tidak diasosiasikan dengan pemuasan dorongan rasa lapar.

Keyakinan ekuivalensiKetika “sub tujuan” memiliki efek yang sama dengan tujuan itu sendiri, maka sub tujuan itu dikatakan merupakan keyakinan ekuivalensi.

Ekspektasi medanField expectancies (ekspektasi medan) berkembang dengan cara yang serupa dengan perkembangan peta kognitif. Organisme belajar bahwa sesuatu akan menimbulkan sesuatu yang lain. Setelah melihat isyarat tertentu, misalnya, ia akan berharap isyarat lain akan muncul. Pengetahuan umum tentang lingkungan ini digunakan untuk menjelaskan belajar laten, belajar ruang, dan penggunaan jalan pintas.

Mode medan-kognisiField-cognition mode (mode medan kognisi), yakni strategi,suatu cara, untuk menangani situasi pemecahan problem. Ini adalah tendensi untuk mengatur bidang perseptual dalam konfigurasi tertentu. Tolman menduga bahwa tendensi ini adalah bawaan namun dapat dimodifikasi oleh pengalaman. Dalam kenyataannya, sebagian besar hal penting mengenai strategi yang berhasil dalam memecahkan problem adalah strategi itu akan di uji cobakan lagi dalam situasi yang sama di masa mendatang. Jadi, mode medan kognisi yang efektif, atau strategi pmecahan masalah yang efektif, di transfer ke problem terkait.

Diskriminasi doronganDrive discrimination (diskriminasi dorongan) berarti bahwa organisme dapat menentukan keadaan dorongan mereka sendiri dan karenanya dapat merespon dengan benar.

Pola motorTolman menunjukkan bahwa teorinya, terutama dengan asosiasi ide dan tidak terlalu berhubungan dengan cara ide-ide itu menjadi diasosiasikandengan perilaku. Belajar motor pattern (pola motor) adalah usaha untuk memecahkan kesulitan ini, Tolman menerima pendapat Gutrhie tentang bagaimana respon diasosiasikan menjadi stimuli. Sepert tampak dalam perkataannya berikut ini: “saya mencoba menerima dan sepakat dengan Guthrie bahwa kondisi dimana pola motor di dapatkan mungkin adalah kondisi dimana gerakan tertentu membuat hewan menjauhi stimuli yang hadir saat gerakanitu dimulai

Kelebihan teori Tolman yaitu jika kita memandang kemampuan Tolman memasukkan aspek-aspek terbaik behaviorisme ke dalam teori kognitif, luasnya variabel yang ia gunakan, kita bisa menyimpulkan bahwa Tolman adalah teoritisi pembelajaran terbesar. Jika melihat pembahasan belajar laten oleh Tolman dan, eksperimen jalur teka-teki melingkar oleh Tolman yang menunjukkan bahwa tikus dapat belajar relasi spasial dan respon sederhana, telah diidentifikasikan sebagai perintis studi tentang kognisi komparatif dewasa ini. Penelitian Tolman tentang belajar spasial (ruang) dan peta kognitif masih menjadi pedoman riset terhadap belajar ruang pada manusia non manusia.

Diantara hal-hal yang menjadi kekurangan dalam Teori belajar Tolman adalah teorinya tidak mudah diteliti secara empiris, teorinya banyak menggunakan variabel individual, bebas dan intervening yang sulit untuk dijelaskan semuanya. Menurut Hill (2014) menjelaskan bahwa Tolman mendiskusikan jenis hukum yang dibutuhkan psikologi, namun ia tidak pernah mengembangkan hukum-hukum ini. Ia melakukan eksperimen-eksperimen untuk menunjukkan bahwa rumusan-rumusan kognitif itu lebih baik. namun eksperimenya mengenai rumusan kognitif ini tidak cukup teliti sehingga tidak bisa digunakan untuk memprediksi. Ia menyediakan kerangka kognitif untuk menginterprestasi pembelajaran, namun ia tidak memberikan hokum-hukum pembelajaran mendetail seperti pada Skinner atau teori yang teliti seperti pada Hull, atau prinsip umum pembelajaran seperti pada Gutrhie.

Seperi  yang diungkapkan  oleh  Tolman  bahwa apabila  suatu  rangsangan  tertentu menimbulkan  respon  tertentu,  maka akan kita lihat rangsangan itu dalam perspektif   yang  baru.  Tolman menekankan  apabila  kita  ingin memahami prilaku/karakter seseorang   maka   kita   harus mengetahui  tujuan orang  tersebut. Untuk  mengetahui  tujuan  seseorang makan  harus  paham  akan  bahasa yang   digunakan,   Bukti   yang mendukung  dalam  teori  ini  adalah seorang  anak  yang  ingin  selalu berlaku sopan dan menghargai guru, maka bahasa yang ia gunakan akan sopan  dan  baik  ketika  berhadapan dengan guru. bahasa   yang   notabenenya sebagai  alat komunikasi mempunyai dampak yang besar terhadap perilaku manusia.  Hal  tersebutlah  yang meyakini   setiap   tuturan   yang diucapkan   manusia   mempunyai karakter  tersendiri. Apabila  kaum akademisi  dan  masyarakat  peka terhadap hal ini tentu saja kesusahan dalam   menanamkan   nilai-nilai pendidikan  karakter  di  lingkungan formal  dapat  teratasi (Alawiyah, 2017).

 

2.1.2 Teori Medan Gestalt dari Wertheimer

Max Wertheimer (1880-1943) dianggap sebagai pendiri psikologi Gestalt setelah dia menemukan penemuan yang dinamakan dengan phi phenomenon. Pada tahun 1923, Wertheimer mengemukakan hukum-hukum Gestalt dalam bukunya yang berjudul “Investigation of Gestalt Theory”. Hukum-hukum itu antara lain: a) Law of Proximity (Hukum Kedekatan), yaitu unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu, b) Law of Closure (Hukum Ketertutupan), yaitu orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap, c) Law of Equivalence (Hukum Kesamaan), yaitu sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki (Rohmansyah, 2017).

Dalam    perjalanan    liburan    di    awal karirnya  sambil  naik  kereta  api,  Wertheimer melihat  sinar  berkedip-kedip  (hidup  dan  mati) dengan  jarak  tertentu,  sinar  itu  memberi  kesan sebagai  satu  sinar  yang  bergerak  datang  dan pergi  tidak  putus-putus.  Dari  kejadian  tersebut Wertheimer memperoleh gagasan untuk sebuah eksperimen  yang  paling  penting  darinya.  Dia mulai mengerjakan teka-teki yang menjadi titik awal    memunculkan    serangkaian    khayalan-khayalan    gerakannya, jika    mata    melihat perangsang  dengan  cara  tertentu,makaakan memberikan ilusi gerakan. Wertheimer menyebut    gejala    ini    dengan    istilah Phi Phenomenon (Lefrancois, 1995).

Teori belajar menurut psikologi gestalt ini sering pula disebut field theory atau insight full learning. Melihat kepada nama teori ini dan kepada aliran psikologi yang mendasarinya, yakni psikologi gestalt, jelaslah kiranya bahwa pendapat teori ini berbeda dengan pendapat-pendapat teori behavioristik. Menurut para ahli psikologi gestalt, manusia bukan hanya sekedar makhluk reaksi yang hanya berbuat atau bereaksi jika ada perangsang yang mempengaruhinya. Manusia itu adalah individu yang merupakan kebulatan jasmani dan rohani. Sebagai induvidu, manusia bereaksi atau lebih tepat berinteraksi dengan dunia luar dengan kepribadiannya dan dengan caranya yang unik pula. Tidak ada dua orang yang mempunyai pengalaman yang benar-benar sama atau identik terhadap objek atau realita yang sama (Purwanto, 2007).

Kata gestalt berasal dari bahasa Jerman yang secara harfiah berarti “keseluruhan”, dalam kaitannya dengan teori psikologi di sini berarti bahwa di dalam pengamatan, pikiran tidaklah membentuk pengamatan keseluruhan dari bagain-bagain kecil benda yang diamati itu, melainkan bagian-bagian kecilnya. Psikologi gestalt ini sebenarnya merupakan salah satu bagian yang penting dari kelompok yang lebih besar yakni kelompok psikologi kognitif. Kalau kelompok teori psikologi hubungan stimulus[1]respons (S – R) mengkaji unit-unit kecil perilaku atau unit-unit kecil pembelajaran, maka kelompok psikologi kognitif mengkaji keseluruhan perilaku atau keseluruhan pembelajaran sebagai satu keseluruhan dalam peringkat yang lebih abstrak. Perbedaan lain, kalau teori hubungan Stimulus – Respons selalu mengkaji unit-unit perilaku atau pembelajaran yang dapat diamati secara langsung dan dapat diukur yaitu rangsangan (stimulus) dan gerak balas (respons) yang dapat diukur, maka teori kognitif mempunyai kecenderungan untuk menggunakan intuisi untuk menerangkan hakikat pembelajaran dan membicarakan proses-proses tersembunyi yang terjadi pada waktu belajar, yaitu proses-proses mental yang tidak dapat diamati. Jadi dapat disimpulkan bahwa, teori hubungan Stimulus – Respons mengkaji data-data seperti perilaku, kelakukan perilaku, penguatan dan pengukuhan, perilaku yang ada tetapi tidak tampak jelas, peristiwa pengukuhan, rangsangan pengukuhan, dan sebagainya. Sedangkan teori kognitif membicarakan persepsi-persepsi, pengertian-pengertian dalam (di dalam otak) dan proses-proses mental lainnya yang tidak dapat diulang, tidak dapat diukut, dan tidak dapat diobservasi secara langsung.

Jasa terbesar teori gestalt ini adalah dalam bidang persepsi yang oleh teori hubungan Stimulus – Respons tidak dapat dijelaskan. Pada   tahun   1910,   ketika   berusia   30 tahun,   Max   memperlihatkan   ketertarikannya untuk   meneliti   tentang   persepsi   setelah   ia melihat sebuah alat yang disebut "stroboscope" (benda  berbentuk  kotak  yang  diberi  alat  untuk melihat   ke   dalam   kotak   tersebut)   di   toko mainan anak-anak. Setelah melakukan beberapa  penelitian  dengan  alat  tersebut,  dia mengembangkan  teori  tentang  persepsi  yang sering disebut dengan teori Gestalt. Eksperimen Wertheimer mengenai Scheinbewegung   (gerak   semu)   memberikan kesimpulan,  bahwa  pengamatan  mengandung hal   yang   melebihi   jumlah   unsur-unsurnya. Inilah  gejala  gestalt.  Penelitian  dalam  bidang optic   ini   kemudian   juga   dipandang   berlaku (kesimpulan serta prinsip-prinsipnya) di bidang lain, seperti misalnya di bidang belajar (Hidayati, 2011). Persepsi merupakan satu kesadaran yang bulat yang diperleh oleh akal (mind) melalui proses pancaindra bila suatu rangsangan tertentu berhadapan dengan pancaindra. Hal ini dapat terjadi karena peranan latar belakang rangsangan dan kemampuan membuat organisasi. Menurut teori gestalt ni setiap keseluruhan gestalt lahir sebagai satu bentuk yang menggambarkan satu latar belakang dan persepsi membuat satu organisasi yang segera dari keduanya. Misalnya, dalam persepsi pendengaran kita mendengar sebuah lagu yang menggambarkan satu karya seni, maka dalam persepsi penglihatan kita melihat matahari terbenam dengan latar belakang langit yang agak samar-samar. Berdasarkan hal itu, maka teori gestalt memperkenalkan lima buah hukum organisasi, yaitu:

a.    Hukum Pragnanz

Hukum ini menyatakan bahwa organisasi psikologi cenderung bergerak ke arah keadaan pragnanz, yaitu ke arah gestalt yang sempurna. Satu gestalt yang sempurna selalu berbentuk sederhana, teratur, kukuh atau stabil, dan merupakan satu organisasi struktur yang maksimal dari peristiwa-peristiwa atau benda[1]benda. Hukum ini merupakan satu prinsip keseimbangan yang mengatakan bahwa setiap pengalaman cenderung menyempurnakan dirinya dalam keadaan sebaik mungkin, yaitu gestalt yang sempurna. Hal-hal yang tidak teratur akan dibuang untuk mencapai keteraturan. Contohnya dalam kegiatan terbatas, bercakap dengan anak-anak atau dengan teman kita sering mendengar kalimat[1]kalimat yang tidak sempurna, tidak lengkap, atau terputus-putus, namun kita selalu cenderung untuk menjadikan gestalt yang sempurna, serta membuang unsur-unsur yang merusak gestalt itu. Begitu juga dalam pemerolehan bahasa pertama, kalimat anak-anak banyak yang tidak gramatikal dan tidak lengkap, tetapi persepsinya selalu membentuk gestalt sempurna dari data-data linguistik itu untuk menuranikan tata bahasanya.

b.   Hukum Kesamaan

Hukum kesamaan atau persamaan dalam persepsi situasi rangsangan penuh menyatakan bahwa benda-benda yang sama (bentuk atau warna) cenderung membentuk atau berkelompok sebagai satu keseluruhan. Umpamanya dalam persepsi sekumpulan lingkaran yang ukurannya bermacam-macam, akan dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok menurut ukurannya. Lingkaran kecil dalam satu kelompok, lingkaran sedang dalam satu kelompok, dan lingkaran besar juga dalam satu kelompok. Oleh karena itu, dalam pembelajaran bahasa, kata-kata atau suku-suku kata yang tidak mempunya persamaan. Adanya persamaan pada data linguistik ini memudahkan proses pembelajaran bahasa, baik dalam belajar bahasa pertama maupun bahasa kedua. Jadi, bisa dikatakan hukum persamaan ini mempunyai implikasi yang sangat penting dalam pembelajaran bahasa.

c.    Hukum Proksimiti atau Kedekatan

Hukum ini menyatakan bahwa persepsi cenderung menggabungkan benda-benda, peristiwa-peristiwa, dan hal-hal yang berdekatan satu sama lain dalam satu ruang atau waktu. Umpamanya, sejumlah garis sejajar yang jaraknya berbeda-beda, maka semua garis berjarak pendek akan digabungkan oleh persepsi ke dalam satu unit, sedangkan garis-garis yang jaraknya panjang akan digabungkan ke dalam unit lain. Demikian juga peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa-masa atau waktu-waktu yang berdekatan akan digabungkan oleh persepsi, sehingga mempunyai hubungan yang lebih erat. Implikasi hukum ini dalam pembelajaran bahasa adalah kata-kata atau frasa-frasa dan ungkapan-ungkapan yang bersamaan maknanya (jadi mengikuti hukum persamaan) hendaklah muncul bersama-sama dalam masa-masa yang teratur menuruti hukum proksimiti atau kedekatan agar lebih mudah dipelajari dan diingat. Jika bahan-bahan ini sering muncul bersama-sama pada waktu-waktu yang teratur dan tidak terlalu jauh jaraknya, maka pembelajaran akan lebih mudah, lebih lancar, dan lebih cepat. d. Hukum Penutupan Hukum ini mengatakan bahwa bidang-bidang yang tertutup (maksudnya selesai dan wujud), lebih stabil dan lebih mudah untuk membentuk gambar dalam persepsi dibandingkan dengan bidang-bidang terbuka (belum selesai dan belum berwujud). Jadi, menurut hukum penutupan ini, ada satu kecenderungan nurani pada persepsi untuk mencapai satu bentuk yang berwujud dan bermakna yang pasti dari apa saja yang kita amati. Hal ini sejalan dengan hukum pragnanz, yakni pengalaman cenderung melengkapkan dirinya agar menjadi sebaik mungkin. Menurut hukum ini, kita selalu melihat sesuatu sebagai satu keseluruhan dan bukan bagian-bagian terpisah yang tidak bermakna.

d.   Hukum Kelanjutan Baik

Hukum ini juga merupakan satu hal dari hukum pragnanz, dan hampir serupa dengan hukum penutupa. Hukum ini diperkenalkan dan dikembangkan oleh Weitheimer. Hukum ini mengatakan bahwa persepsi kita cenderung melengkapkan bagian-bagian yang hilang dari peristiwa-peristiwa atau benda[1]benda yang kita amati. Jadi, persepsi cenderung bekerja sebagai garis lurus yang kelihatan berkelanjutan sebagai garis lurus, satu bagian dari lingkaran sebagai satu lingkaran, dan seterusnya. Jadi, hukum ini mengatakan bahwa kita cenderung mengingat kejadian-kejadian atau benda-benda sebagai telahs selesai, teratur, sebagai gestalt (keseluruhan) yang baik.

Rahyubi (2012: 77) dalam Pahliwandari (2016) menyatakan bahwa Kaum Gestaltis berpendapat bahwa pengalaman itu berstuktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan. Menurut pandangan Gestaltis, semua kegiatan belajar menggunakan pemahaman terhadap hubungan-hubungan, terutama hubungan antara bagian dan keseluruhan. Intinya, tingkat kejelasan dan keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan kemampuan belajar seseorang dari pada dengan hukuman dan ganjaran. Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain adalah sebagai berikut:

(1)   Pengalaman tilikan (insight), bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.

(2)   Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning), kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran;

(3)   Perilaku bertujuan (pusposive behavior), bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan tujuan yang ingin dicapai;

(4)   Prinsip ruang hidup (life space), bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana seseorang berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik; dan

(5)   Transfer dalam belajar, yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.

Abdurahman (2015) menyebutkan kelebihan teori gestalt sebagai berikut:

1.      Menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.

2.      Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh siswa. Selain itu, latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.

3.      Siswa dapat aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru berfungsi sebagai mediator, fasilitator dan teman yang membuat situasi menjadi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan dari peserta didik.

4.      Siswa dengan mudah dapat mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri.

5.      Siswa dapat dengan mudah berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif.

6.      Siswa mempunyai kesempatan untuk mencoba gagasan baru.

Adapun kekurangan teori Gestalt menurut Abdurrahman (2015) adalah selain jasa dan sumbangannya yang sangat berharga bagi belajar di sekolah dengan insight, namun terdapat juga celah-celah kelemahan dan kekurangannya. Seperti halnya teori belajar koneksionisme, terhadap teori gestaltpun dapat diajukan pertanyaan, bolehkah belajar dengan insight itu dianggap sebagai prototipe belajar? Dari satu segi, teori ini nampak menunjukkan beberapa kejadian belajar yang umum, sehingga lebih mudah menganalisisnya. Misalnya, kalau anak dibimbing untuk ”melihat ’ hubungan, seperti tambah dan kali, antara berat dan ”daya tarik” gaya berat, maka sering ia mampu memperlihatkan pemahaman. Sedangkan dari segi yang lain, memang sulit menemukan pemahaman dalam mempelajari hal-hal yang sangat beragam. Misalnya: anak tidak dapat mempelajari nama tanam-tanaman atau binatang-binatang dengan insight. Dia tidak dapat membaca dengan insight, demikian pula dia tidak tidak dapat berbicara dengan bahasa asing. Siswa Biologi tidak dapat mempelajari struktur dan fungsi hewan dengan pemahaman. Tegasnya, pemahaman itu tidak dapat menjadi prototipe untuk sejumlah belajar yang biasa dilakukan manusia. Barangkali, pemahaman barulah terjadi kalau kita belajar dengan ”pemecahan masalah”, walaupun dalam kenyataannya, tidak semua hal merupakan masalah, boleh jadi hanya merupakan fakta atau prinsip.

 

2.1.3 Teori Medan dari Lewin

Menurut Lewin bahwa masing-masing individu berada dalam medan kekuatan yang bersifat psikologis. Medan dimana individu bereaksi disebut life space. Life space mencakup perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya; orang-orang yang dijumpainya, objek material yang ia hadapi, serta fungsi kejiwaan yang ia miliki. Jadi menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan yaitu struktur medan kognisi dan kebutuhan motivasi internal individu (Anidar, 2017).

Ekawati (2019) menjelaskan bahwa Kurt Lewin mengembangkan suatu teori belajar Cognitive-Field dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan pisikologi sosial. Menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif'. Lewin berpendapat bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan bail: yang berasal dari individu seperti tujuan, kebutuhan tekanan kejiwaan maupun yang berasal dari luar individu seperti tantangan dan permasalahan. Seorang psikolog, Kurt Lewin (1935, 1936) mengkaji perilaku sosial melalui pendekatan konsep "medan" atau "field" atau "ruang kehidupan" —life space. Kurt Lewin merumuskan perilaku sebagai B = f (P, E), dimana B,P, dan E berturut-turut adalah behavior (perilaku), the person (individu), dan the environment (lingkungan). Untuk memahami konsep ini perlu dipahami bahwa secara tradisional para psikolog memfokuskan pada keyakinan bahwa karakter individual (insting dan kebiasaan). bebas - lepas dari pengaruh situasi dimana individu melakukan aktivitas. Namun Lewin kurang sepaham dengan keyakinan tersebut. Menurutnya penjelasan tentang perilaku yang tidak memperhitungkan faktor situasi tidaklah lengkap. Dia merasa bahwa semua peristiwa psikologis apakah itu berupa tindakan, pikiran, impian, harapan, atau apapun, kesemuanya itu merupakan fungsi dari "ruang kehidupan" individu, dan lingkungan dipandang sebagaisebuah konstelasi yang saling tergantung satu sama lainnya. Artinya "ruang kehidupan" juga merupakan determinan bagi tindakan, impian, harapan, pikiran seseorang. Lewin memaknai "ruang kehidupan'' sebagai seluruh peristiwa (masa Iampau, sekarang, masa datang) yang berpengaruh pada perilaku dalam situasi tertentu. Bagi Lewin, pemahaman atas perilaku seseorang senantiasa harus dikaitkan dengan konteks —lingkungan dimana perilaku tertentu ditampilkan. Intinya, teori medan berupaya menguraikan bagaimana situasi yang ada (field) di sekeliling individu bepengaruh pada perilakunya. Sesungguhnya teori medan mirip dengan konsep "gestalt" dalam psikologi yang memandang bahwa eksistensi bagian-bagian atau unsur-unsur tidak bisa terlepas satu sama lainnya. Misalnya, kalau kita melihat bangunan, kita tidak melihat batu bata, semen, kusen, kaca, secara satu persatu. Demikian pula kalau kita mempelajari perilaku individu, kita tidak bisa melihat individu itu sendiri, lepas dari konteks di mana individu tersebut berada. Contohnya seorang anak berperilaku agresif karena dia berada di lingkungan yang agresif (berisi orang-orang yang agresif pula). Ciri-ciri utama dari teori medan Lewin adalah : (1) tingkah laku adalah suatu fungsi dari medan yang ada pada waktu tingkah laku itu terjadi ; (2) analisis mulai dengan situasi sebagai keseluruhan dari mana bagian-bagian komponennya dipisahkan : dan (3) orang yang kongkrit dalam situasi yang kongkrit dapat digambarkan secara matematis. Medan didefinisikan sebagai "keseluruhan fakta-fakta yang bereksistensi yang dipandang, sebagai saling tergantung."

Teori medan (field theory) diperkenalkan oleh Kurt Lewin setelah dia meninggalkan teori medan gestalt dan lalu mengembangkan teorinya sendiri. Lewin mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap peyelidikan mengenai motivasi perilaku manusia yang menurut padangannya merupakan tenaga atau kekuatan yang berhubungan erat dengan sistem ketegangan psikologi. Proses mengembangkan teori ini, Lewin menggunakan konsep ilmu fisika yang disebut medan dinamik (dymanic field) seperti medan magnet, yakni semua partikel berinteraksi satu sama lain, dan setiap partikel dipengatuhi oleh kekuatan yang ditentukan oleh medan magnetik itu pada suatu waktu tertentu. Tampaknya, pengaruh behaviorisme terasa juga di dalam perkembangan teori ini meskipun hanya sedikit. Lewin telah mengembangkan satu konsep penting dalam teorinya yang hampir sama dengan teori medan gestalt, yakni konsep “ruang penghidupan” di mana setiap perilaku berlangsung. Menurut Lewin ruang penghidupan seseorang terdiri atas:

a.    Diri sendiri, keperluan utama sendiri, keperluan diri pada satu saat tertentu, maksud dan rencana sendiri.

b.    Lingkungan perilaku orang itu, lingkungan fisik, lingkungan sosial, lingkungan konsepsi sebagai yang ditanggapinya dalam hubungannya dengan keperluan[1]keperluan dan maksud-maksudnya.

Keadaan setiap bagian dari ruang penghidupan ini, misalnya diri sendiri, bergantung pada keadaan dan antarhubungan di antara setiap bagian lain dengan diri sendiri pada waktu tertentu itu. Setiap pengamat memandang penghidupan ini secara objektif dan tidak secara subjektif. Oleh karena itu, pendekaran ini tampak dipengaruhi oleh behaviorisme. Meskipun demikan, teori Lewin ini dimasukkan dalam kelompok teori kognitif karena peranan diri sendiri (organism) di dalam ruang penghidupan itu sangat besar, terutama dalam menentukan reaksi (respons) atas organisme individu. Di ruang penghidupan ini terdapat tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh individu itu sesuai dengan keperluan-keperluan individu tersebut. Tujuan-tujuan yang ingin dicapai inilah yang membangkitkan kekuatan penarik atau kekuatan positif dan kekuatan penolak atau kekuatan negatif yang menimbulkan sistem-sitem ketegangan yang akan menentukan arah pergerakan individu itu di dalam ruang penghidupannya.

Menurut Lewin, sistem-sistem ketegagan inilah yang menjadi dasar perilaku, sehingga dalam menentukan sifat-sifat ketegangan ini organisme itu sendiri memegang peranan yang sangat penting. Umpamanya, seseorang setelah mengamati ruang penghidupannya berdasarkan keperluan-keperluannya telah merasa tertarik pada sesuatu tujuan tertentu yang berkaitan dengan keperluannya itu, tetapi dalam usahanya untuk mencapai tujuan itu muncul suatu halangan yang menghambat tercapainya tujuan itu, maka halangan ini akan membangkitkan bebagai ketegangan yang bisa menimbulkan berbagai pengaruh atau akibat sesuai dengan keadaan ruang penghidupan individu itu. Akibat dari ketegangan ini mungkin seseorang itu akan mecari jalan lain untuk mencapai tujuannya, atau mencari tujuan lain yang lebih menarik, atau juga dia akan meninggalkan tujuannya itu untuk sementara waktu atau untuk selamanya. Adanya tiga buah konsep penting dalam teori Lewin, yaitu tujuan, pengamatan atau persepsi, dan motivasi untuk mencapai tujuan itu. Ke dalam teori ruang penghidupan ini dimasukkan juga ganjaran dan hukuman. Ganjaran ini memiliki konotasi kognitif sebab Lewin percaya bahwa setiap orang dapat menilai ganjaran dan hukuman itu berkesan atau tidak.

Mustapid (2021) menjelaskan bahwa teori belajar menurut Kurt Lewin adalah teori medan yang dipelajari sebagai sekumpulan konsep dengan dimana seseorang dapat menggambarkan kenyataan psikologis. Konsep konsep ini harus cukup luas untuk dapat diterapkan dalam semua bentuk tingkah laku, dan sekaligus juga cukup spesifik untuk menggambarkan orang tertentu dalam suatu situasi. konkret. Lewin juga menggolongkan teori medan sebagai “suatu metode untuk menganalisis hubungan hubungan kausal dan untuk membangun konstruk-konstruk ilmiah.”

 

 

2.1.4 Teori Perkembangan Kognitif dari Piaget

 

Pada tahun 1969, Sinclair de Zwart menyatakan bahwa sebenarnya Piaget belum pernah memperkenalkan secara eksplisit suatu teori pemerolehan (akuisisi) dan pembelajaran bahsa. Teori pembelajaran yang digariskannya dilakukan berdasarkan teori perkembangan kognitif atau perkembangan intelek yang dikembangkannya. Oleh karena itu, Simanjuntak (1987) memasukkan teori Piaget ini ke dalam kelompok teori kognitif. Upaya memperkenalkan teori perkembangan kognitif, Piaget terlebih dahulu menjelaskan apa yang dimaksud dengan kecerdasan. Menurut Piaget kecerdasan adalah satu bentuk keseimbangan atau penyeimbangan kea rah mana semua fungsi kognitif bergerak. Penyeimbangan ini tidak berlaku secara tepat dan otomatis seperti yang dirumuskan oleh teori Gestalt, melainkan merupakan suatu “imbuhan” untuk satu gangguan luar. Jika terdapat satu gangguan luar, maka individu akan melakukan satu kegiatan untuk mengimbuhkan gangguan ini. Imbuhan ini merupakan satu usaha untuk membatalkan satu transformasi, yaitu gangguan dengan cara membangkitkan satu transformasi berbalik. Jadi, imbuhan yang mencampuri penyeimbangan ini merupakan satu ide pembalikan yang penting dan pembalikan inilah yang menggambarkan dengan tepat operasi-operasi kecerdasan.

Jean Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme, sedangkan teori pengetahuannya dikenal dengan teori adaptasi kognitif. Sama halnya dengan setiap organisme harus bcradaptasi secara fisik dengan lingkungan untuk dapat bertahan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Manusia bcrhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapinya secara kognitif (mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkan skema pikiran lebih umum, atau perlu perubahan. menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut. Kaitannya dengan perkembangan kognitif, Jean Piaget mengemukakan tahap-tahap yang harus dilalui seorang anak dalam mencapai tingkatan perkembangan proses berpikir formal (Ekawati, 2019).

Teori ini tidak hanya diterima secara luas dalam bidang psikologi tetapi juga sangat besar pengaruhnya di bidang pendidikan. Tahapan tersebut adalah :

(1)   Tahap Sensori Motor/Deria Motor (0-2 tahun)

Anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui perubahan fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indera). Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari objek yang asalnya terlihat kemudian menghilang dari pandangannnya, atau perpindahan terlihat. Contoh : Anak mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan.

(2)   Tahap Pra Operasi (2- 6 tahun)

Pada tahap ini adalah tahap pengorganisasian operasi kongkrit. lstilah operasi yang digunakan disini adalah berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek. menata benda-benda menurut Lyman tertentu dan membilang. Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pengalaman konkrit dari pada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat objek-objek yang kelihatan berbeda, maka ia mengatakan berbeda pula. Contoh : Jika ada lima kelereng yang sama besar di atas meja, lalu kelereng itu diubah letaknya menjadi agak berjauhan maka anak pada tahap ini akan mengatakan letak kelereng yang jauh lebih banyak.

(3)   Tahap Operasi Konkrit (6- 12 tahun)

Anak-anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada di sekolah dasar. Ditahap ini anak: telah memahami operasi logis dengan bantuan benda- benda kongkrit. Kemampuan ini tenwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasikan dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang bcrbeda secara objektif dan berfikir ireversibel. Contoh : seorang anal: diberi 20 bola kayu, 15 buah diantaranya berwarna merah. Apabila ditanyakan manakah yang lebih banyak bola kayu atau bola benvarna merah? Anak pada tahap pra operasional menjawab bawa bola merah lebih banyak, sedangkan anak pada operasi kongkrit menjawab bola kayu lebih banyak dari pada bola rnerah.

(4)   Tahap Operasi Formal (12 tahun ke atas)

Tahap ini rnerupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitas. Anak pada tahap ini sudah mampu mengadakan penalaran dengan menggunakan hal-hal abstrak. Penalaran yang terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu menggunakan simbol-simbo atau ide.

Piaget berpendapat bahwa pemerolehan bahsa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan kognitif secara keseluruhan dan khususnya sebagai bagian dari kerangka fungsi simbolik. Bagi Piaget, bahasa merupakan hasil dari perkembangan intelek secara keseluruhan dan sebagai lanjutan pola-pola perilaku yang sederhana. Perkembangan kosa kata yang sangat pesat dialami anak-anak ketika berumur antara satu setengah sampai dua tahun, dijelaskan oleh Piaget sebagai hasil dari peralihan intelek kepada representasi akal (mental).

Teori kognitif Piaget telah memberikan dampak besar pada teori dan praktik pendidikan. Dan telah mengilhami dunia pendidikan untuk merancang lingkungan, kurikulum, materi, dan pengajaran yang sesuai dengan perkembangan berpikir anak-anak (Ninawati, 2012). Teori perkembangan kognitif Piaget berimplikasi dalam dalam pembelajaran, sebagai berikut:

1.    Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.

2.    Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.

3.    Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.

4.    Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.

5.    Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.

Teori Piaget tidak luput dari kritikan. Beberapa pertanyaan muncul tentang estimasi terhadap kompetensi anak di level perkembangan yang berbeda-beda; tentang tahap-tahap perkembangan dan pelatihan anak untuk melakukan penalaran pada level yang lebih tinggi. Mengenai estimasi kompetensi anak, beberapa kemampuan kognitif muncul lebih awal ketimbang yang diyakini Piaget. Misalnya pada aspek objeck permanence, anak usia 2 tahun dalam beberapa konteks tertentu bersifat non-egosentris. Ketika mereka menyadari bahwa orang lain tidak melihat suatu objek, mereka meneliti apakah orang itu buta atau sedang mengarahkan perhatian pada tempat yang lain. Konservasi angka telah muncul sejak usia 3 tahun, sementara Piaget berpendapat bahwa kemampuan ini baru muncul pada usia 7 tahun. Kemampuan kognitif lain dapat muncul lebih lambat ketimbang yang dianggap Piaget. Banyak remaja masih berpikir dalam tahap opersional konkret atau baru saja akan menguasai opersional formal. Bahkan banyak orang dewasa bukan pemikir operasional formal. Piaget juga memandang bahwa tahap perkembangan kognitif sebagai struktur pemikiran yang seragam. Akan tetapi beberapa konsep operasional konkret tidak muncul secara sinkron atau serempak. Para teoritisi developmental kontemporer sepakat bahwa perkembangan kognitif anak tidak bertahap seperti yang diyakini oleh Piaget. Kritikan juga mengarah pada pandangan Piaget tentang “melatih anak untuk menalar pada level yang lebih tinggi”. Beberapa anak yang pada tahap perkembangan kognitif (seperti pra-opersional) dapat dilatih untuk menalar seperti tahap kognitif yang lebih tinggi (misalnya opersional konkret). Ini menimbulkan problem pada Piaget. Dia mengatakan bahwa pelatihan seperti itu tidak efektif dan dangkal, kecuali si anak berada dalam titik transisi kedewasaan antara tahapan tersebut.

2.1.5 Teori Genetik Kognitif dari Chomsky

Seperti halnya dengan Piaget, Chomsky juga tidak pernah memperkenalkan teori pemerolehan dan pembelajaran bahasa secara khusus. Namun, karena teori linguistik yang diperkenalkannya pada tahun 1957, 1965, dan 1968, serta artikel ulasannya mengenai buku Skinner yang berjudul “Verbal Behavior” tahun 1957 dalam Language tahun 1959 telah mengubah secara drastis perkembangan psikolingustik, maka satu teori pemerolehan dan pembelajaran bahasa telah dapat disimpulkan dari teori generatif transformasinya yang kini dikenal dengan nama teori genetik kognitif. Teori ini digolongkan ke dalam kelompok teori kognitif karena teori ini menekankan pada otak (akal dan mental) sebagai landasan dalam proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa. Teori genetik dan kognitif ini dikemukakan oleh Avram Noam Chomsky, yang merupakan seorang ahli psikolinguistik  Amerika serikat. Metode Chomsky sangat menaruh perhatian terhadap aspek akal. Ia membahas masalah-masalah bahasa dan psikologi, kemudian membingkainya menjadi satu bingkai dengan bentuk bahasa kognitif.

Teori generatif-transformatif yang diletakkan oleh Chomsky adalah teori modern paling menonjol yang mencerminkan kemampuan akal, membicarakan masalah kebahasaan dan pemerolehannya, serta hubungannya dengan akal dan pengetahuan manusia . Menurut teori ini, kapasitas genetik manusia sejak lahir juga memengaruhi kemampuannya untuk memahami bahasa di sekitar sehingga hasilnya adalah sebuah kontruksi sistem bahasa yang tertanam dalam diri (Permata, 2015).

Chaer (2011) menjelaskan bahwa Pada tahun 1959 Chomsky dengan keras menentang teori pembiasaan operan dalam bahasa yang dikemukakan Skinner. Menurut Chomsky tidaklah ada gunanya sama sekali untuk menjelaskan proses pemerolehan bahasa tanpa mengetahui dengan baik apa sebenarnya bahasa sebagai benda yang diperoleh itu. Agar dapat menerangkan hakikat proses pemerolehan bahasa, di samping memahami apa sebenarnya bahasa itu, kita tidak boleh menyampingkan pengetahuan mengenai struktur dalam organisme (manusia), yakni bagaimana cara-cara orang (organisme) memproses masukan informasi, dan bagaimana cara-cara perilaku berbahasa itu diatur. Semua cara ini ditentukan oleh struktur awal yang dibawa sejak lahir yang sangat rumit, dan proses perkembangannya diatur menurut proses pematangan genetik dan pengalaman-pengalamn yang telah lalu. Teori genetik kognitif ini didasarkan pada satu hipotesis yang disebut hipotesis nurani. Hipotesis ini mengatakan bahwa otak manusia dipersiapkan secara genetik untuk berbahasa. Oleh karena itu, otak manusia telah dilengkapi dengan struktur bahasa universal dan apa yang disebut Language Acquisition Devive (LAD).

Di dalam proses pemerolehan bahasa, LAD ini menerima ucapan-ucapan dan data-data lain yang berkaitan melalui pancaindra sebagai masukan dan membentuk rumus[1]rumus linguistik berdasarkan masukan itu yang kemudian dinuranikan sebagai keluaran. Menurut Chomsky, teori behaviorisme (S – R) sangat tidak memadai untuk menerangkan proses-proses pemerolehan bahasa sebab masukan data linguistiknya sangat sedikit untuk dapat membangkitkan rumus-rumus linguistik. Chomsky berpendapat tidak mungkin seorang kanak-kanak mampu menguasai bahasa ibunya dengan begitu mudah yaitu tanpa diajar dan begitu cepat dengan masukan yang sedikit tanpa adanya struktur universal dan LAD itu di dalam otaknya secara genetik. Di dalam proses pemerolehan bahasa, tugas anak-anak dengan alat yang dimilikinya yaitu LAD adalah menentukan bahasa masyarakat manakah masukan kalimat[1]kalimat yang didengarnya itu akan dimasukkan. Struktur awal atau skema nurani yang dimilikinya semakin diperkaya setelah “bertemu” dengan masukan dari bahasa masyrakatnya, dan anak-anak akan membentuk teori tata bahasanya berdasarkan itu. Tata bahasa itu terus-menerus disempurnakan berdasarkan masukan yang semakin banyak, dan sesuai dengan proses pematangan otaknya. Setelah mencapai umur tiga atau empat tahun, tata bahasa sudah hampir sama baikya dengan tata bahasa yang dimiliki orang dewasa. Keadaan ini merupakan hal yang luar biasa mengingat betapa rumitnya bahasa yang sedang diperolehnya.

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Kesimpulan

Teori belajar kognitif adalah teori belajar yang mementingkan proses belajar daripada hasilnya. Teori ini menyatakan bahwa pada proses belajar, seseorang tidak hanya cenderung pada hubungan antara stimulus dan respon, melainkan juga bagaimana perilaku seseorang dalam mencapai tujuan belajarnya.

Teori belajar kognitif muncul dilatarbelakangi oleh ada  beberapa  ahli  yang  belum  merasa  puas  terhadap penemuan-penemuan  para  ahli  sebelumnya  mengenai  belajar,  sebagaimana dikemukakan oleh teori Behavior, yang menekankan pada  hubungan  stimulus-responsreinforcement. Munculnya teori kognitif merupakan wujud nyata dari kritik terhadap teori Behavior yang dianggap terlalu naïf, sederhana, tidak masuk akal dan sulit dipertanggungjawabkan secara psikologis.

 

3.2  Saran

Makalah ini telah membahas mengenai hakikat teori belajar kognitif. Penulis sangat berharapan masukan dan saran yang berarti demi diskursus wacana yang lebih kompleks terkait materi. Penulis berharap semakin bervariasi dalam pengkajian tentang teori belajar kognitif serta menjadi pemicu dalam produktifitas penelitian terkait.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdurrahman, A. (2015). Teori belajar aliran psikologi Gestalt serta implikasinya dalam proses belajar dan pembelajaran. Jurnal Al-Taujih: Bingkai Bimbingan dan Konseling Islami, 1(2), 14-21.

Alawiyah, T. (2017). Pengaruh Bahasa Lingkungan Formal terhadap Pendidikan Karakter Siswa TK Al-Ma’arif Rangkui Jaya KecamatanPedamaran Kabupaten Ogan Komering Ilir. Dialektologi, 2(2), 203-209.

Anidar, J. (2017). Teori belajar menurut aliran kognitif serta implikasinya dalam pembelajaran. Jurnal Al-Taujih: Bingkai Bimbingan dan Konseling Islami, 3(2), 8-16.

Chaer, Abdul. 2011. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

Ekawati, M. (2019). Teori belajar menurut aliran psikologi kognitif serta implikasinya dalam proses belajar dan pembelajaran. E-TECH: jurnal ilmiah teknologi pendidikan, 7(2), 1-12.

Farnham-Diggory, S. (1994). Paradigms of knowledge and instruction. Review of Educational Research, 64(3), 463-477..

Ganda, Y. (2004). Petunjuk praktis cara mahasiswa belajar di perguruan tinggi. Jakarta: Grasindo.

Hergenhahn, B. R., & Olson, M. H. (2009). Theories of Learning (Teori Belajar). terjemahan Tri Wibowo BS Jakarta: Kencana.

Hidayati, T. N. (2011). Implementasi Teori belajar gestalt pada proses pembelajaran. Jurnal Falasifa, 2(1), 1-19.

Hill, Winfred F. pengarang; Khozim, M. penerjemah; Agung Prihatmoko penyunting. (2014). Theories of learning : teori-teori pembelajaran/ Winfred F. Hill ; penerjemah, M. Khozim ; penyunting, Agung Prihatmoko. Bandung: Nusa Media.

Lefrancois, G. R. (1995). Theories of human learning: kro's report. Pacific Grove, Calif.; Toronto: Brooks/Cole Publishing Company.

Mu'min, S. A. (2013). Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Al-TA'DIB: Jurnal Kajian Ilmu Kependidikan, 6(1), 89-99.

Ninawati, M. (2012). Kajian dampak bilingual terhadap perkembangan kognitif anak sekolah dasar. Jurnal Ilmiah Widya, 218706.

Pahliwandari, R. (2016). Penerapan Teori Pembelajaran Kognitif dalam Pembelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Jurnal Pendidikan Olah Raga, 5(2), 154-164.

Passer, M. W., & Smith, R. E. (2004). Psychology: The science of mind and behavior. McGraw-Hill.

Permata, B. A. (2015). Teori generatif-transformatif Noam Chomsky dan relevansinya dalam pembelajaran bahasa Arab. EMPIRISMA: Jurnal Pemikiran Dan Kebudayaan Islam, 24(2).

Purwanto, Ngalim, 2007, Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosda Karya

Rohmansyah, N. A. (2017). Implikasi Teori Gestalt Dalam Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar. Malih Peddas (Majalah Ilmiah Pendidikan Dasar), 7(2), 195.

Safitri, V. N. (2019, November). Analisis Perilaku Molar Molekular Tokoh Utama dalam Novel Karena Aku Tak ButaKarya Redy Kuswanto. In Prosiding Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia (SENASBASA), 3(2).

Sarwono, S. W. (2020). Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang.

Tolman, E. C. (1949). There is more than one kind of learning. Psychological review, 56(3), 144.

Wade, C., & Tavris, C. (2007). Psikologi Jilid I, terjemahan Benedictine Wydyasinta dan Darma Juono. Jakarta: Erlangga.