ARSIP BULANAN : October 2013

Rekayasa Sosial Demi Mencegah Terorisme?

13 October 2013 21:20:11 Dibaca : 1284

Rekayasa Sosial Demi Mencegah Terorisme?

Sidney Jones, peneliti senior International Crisis Group Working to Prevent Conflict Worldwide menolak anggapan umum bahwa kekerasan dan terorisme dalam bentuk bom bunuh diri disebabkan oleh rendahnya pendidikan atau kemiskinan para pelakunya (Kompas.com, 21 April 2011). Meskipun bukanlah hal baru dalam kajian mengenai terorisme, asumsi atau hipotesa semacam ini menarik karena bisa menjelaskan aksi bom bunuh diri yang terjadi di Cirebon beberapa waktu lalu, di mana tingkat pendidikan dan ekonomi pelakunya tidak bisa dikatakan rendah. Demikian pula justifikasi atas perekrutan beberapa mahasiswa di Malang (Jawa Timur), bukan untuk menjadi calon teroris, tetapi menjadi anggota kelompok radikal yang menginginkan pendirian NKRI bukan atas dasar Pancasila.

Bagaimana pun juga, sinyalemen semacam ini harus ditanggapi positif, misalnya dengan memicu penelitian ilmu sosial secara ekstensif dan mendalam soal motivasi orang dan/atau kelompok tertentu yang menghalalkan cara terror dan kekerasan demi mencapai tujuan politiknya. Sayangnya, penelitian semacam ini belum banyak dilakukan di Indonesia, persis ketika kita terlalu sibuk mengurus hal-hal lain seputar korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, atau skandal seks anggota DPR. Bagi saya, penelitian sosial mengenai pandangan ideologis atau epistemologi sosial yang melatarbelakangi lahirnya kelompok radikal atau terorisme seharusnya lebih giat dilaksanakan karena …. Alasan pragmatis.

Pertama, pada tataran rekayasa sosial demi kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat pluralis, dta mengenai keadaan real masyarakat mutlak diperlukan. Misalnya, mengapa kelompok masyarakat tertentu begitu mudah direkrut menjadi anggota kelompok radikal? Jika bukan karena alasan ekonomi atau alasan rendahnya pendidikan, apa alasan utamanya? Apakah valid mengatakan bahwa aksi kekerasan massa bermotifkan ajaran agama merupakan bagian dari solidaritas semesta dari kelompok agama tertentu dalam rangka membela kepentingan saudara-saudaranya di belahan dunia tertentu yang “menderita” kekerasan dan ketidakadilan karena dominasi negara-negara Barat?

Kedua, penelitian sosial semacam ini sangat penting tidak hanya dalam merumuskan kebijakan-kebijakan publik, tetapi juga dalam rekayasa dan desain kurikulum pendidikan nasional. Tentu hal ini masih bisa diperdebatkan, misalnya apakah etis menyertakan ideologi dan kepentingan bangsa dalam desain kurikulum pendidikan nasional? Untuk ilmu-ilmu eksak, jawabannya bisa saja “tidak”, tetapi tidak untuk ilmu sosial. Justru muatan kepentingan bangsa berdasarkan ideologi Pancasila selaku penjamin pluralitas kehidupan berbangsa dan bernegara sangat dibutuhkan sangat dibutuhkan.

Kadang atas nama kebebasan dan demokrasi, kita melupakan kepentingan bangsa. Mungkin menarik juga melakukan penelitian sosial untuk mengevaluasi buku-buku teks ilmu sosial dan agama yang digunakan di sekolah-sekolah dasar dan menengah di seluruh Indonesia. Saya tidak mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus disusupi muatan kepentingan bangsa (pluralitas, Pancasila, persatuan dan kesatuan, dan sebagainya). Tetapi kalau kita tidak cukup jeli dan waspada terhadap cara berpikir dan argumentasi yang sifatnya eksklusif, yang cenderung mengkategorikan masyarakat berdasarkan “kelompok kita” dan “kelompok mereka”, “orang seagama” dan “berbeda agama”, atau “the we” dan “the they”, maka kita sebetulnya sedang menggali kubur kehancuran negara kita sendiri.

Saya teringat beberapa hari lalu bersama seorang rekan mahasiswa asal Indonesia, beragama Islam dan kawan dekat saya, makan siang di restoran mahasiswa bersama seorang rekan peneliti (berprofesi sebagai Medical Doctor) dari Mesir. Semula dia mengira saya seorang Muslim, mungkin karena berpikir bahwa mayoritas orang Indonesia adalah Muslim, karena itu saya adalah seorang Muslim. Dalam obrolan kami tersebut, dia membangun serangkaian argumentasi yang menurut saya cukup menyudutkan inti ajaran Kekristenan, misalnya anggapannya bahwa keyakinannya seputar keesaan Allah dan konsep tri tunggal (trinity) dalam kekristenan sebagai hal yang non-sense dan sulit dibuktikan. Ketika dia berbicara agak tendesius dan intoleran, temanku mungkin merasa tidak nyaman, dan mengatakan kepada rekan dari Mesir itu kalau aku seorang Katolik.

Saya bisa melihat kekagetan rekan dari Mesir itu. Tetapi yang menarik setelah itu adalah dia menanyakan apakah kami bisa “berdebat” mengenai agama, dan ketika saya mengatakan tidak apa-apa, dia lalu “menyerang” habis-habisan pemahamanku saya mengenai trinitas, bagaimana saya bisa menjelaskan paham Allah yang Esa dalam kerangka trinitas. Tentu saya tidak bisa menjelaskan secara menyakinkan, karena pemahaman saya pun bukanlah yang terbaik. Tetapi, kalau pun pemahaman saya mengenai trinitas adalah yang terbaik, apakah saya sanggup memuaskan dia?

Di sinilah saya melihat sesuatu sikap yang persis berbeda dengan rekan saya dari Indonesia yang adalah seorang Islam. Dalam dialog antaragama, menurut saya, yang harus terjadi bukanlah “perdebatan” mengenai siapa yang paling benar, tetapi sebuah sharing iman dan pengalaman rohani serta berbagi kepedulian dan komitmen sosial untuk memajukan kehidupan sosial. Alasannya, perdebatan di tingkat inti ajaran, kredo, dan teologis, tidak akan pernah mencapai kesepakatan persis ketika agama-agama mengklaim diri sebagai yang paling benar dan otentik.

Contoh ini saya kemukakan untuk membantu menjelaskan pentingnya memiliki pemahaman yang holistik mengenai kelompok sosial dan agama yang berbeda dengan kita. Saya teringat penelitian UIN Syarifhidayatullah belum lama ini yang mengatakan bahwa guru-guru agama di Indonesia adalah kelompok yang paling tidak toleran. Taruhlah jika kebanyakan guru agama di Indonesia demikian keadaannya, dan mereka mengajarkan murid-muridnya untuk bersikap radikal terhadap agamanya tanpa bersikap toleran terhadap agama lain, bayangkan apa efek sosialnya. Tentu saya tidak mengatakan bahwa muatan pendidikan agama harus dikontrol negara. Lagi-lagi, kalau pun dikontrol negara, tidak ada jaminan bahwa kita tidak akan mengajarkan intoleransi kepada para siswa dan orang-orang di sekitar kita.

Sekali lagi, ini semua hanyalah contoh. Yang ingin saya katakan adalah bahwa kita perlu membaca separah apakah keadaan sosial masyarakat Indonesia? Apakah kita cukup toleran, menerima kehadiran orang lain yang berbeda secara suku dan agama sebagai bagian dari realitas sosial, atau menerimanya dengan sikap kebencian, rasa muak, dan keinginan untuk meniadakan mereka. Bagi saya, penelitian sosial bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sekaligus membantu kita merekayasa kehidupan sosial kita menjadi lebih baik lagi.

Pengaruh Kehamilan Dini Terhadap Ibu dan Bayi

13 October 2013 21:19:14 Dibaca : 1981

Pengaruh Kehamilan Dini Terhadap Ibu dan Bayi

Abstrak

Anak adalah anugerarah terindah dari Tuhan yang tidak dapat ditolak oleh setiap manusia. Seorang wanita, sebagai calon ibu, diberikan rahim oleh Tuhan untuk sabar menunggu datangnya hadiah itu masuk menjadi benih yang tumbuh dalam tubuhnya. Untuk itu, wanita harus merawat rahim dan vaginanya dengan baik.

Vagina merupakan alat reproduksi dan seksual wanita yang harus dirawat dengan baik. Dari vagina inilah, sebuah kehidupan akan muncul. Tidak sekadar untuk menjadi tempat penyalur hasrat seksual, tetapi vagina merupakan organ paling penting untuk dijaga. Melakukan hubungan seksual dengan sembarangan ataupun berhubungan intim sejak dini sangat berbahaya bagi kesehatan vagina. Akan berpengaruh pula terhadap kesehatan rahim. Begitu pula dengan rahim.

Rahim yang masih sangat muda akan berbahaya jika dibuahi. Sayangnya, di beberapa tempat di dunia ini, banyak sekali kasus pernikahan dini yang menyebabkan adanya ibu-ibu muda. Dampak kehamilan ibu muda sangat berbahaya bagi nyawa sang ibu dan perkembangan sang janin.

Misalnya, dalam kehidupan masyarakat di Afrika. Rata-rata, usia pernikahan mereka kisaran usia 10 hingga 19. Begitupun kehidupan di beberapa daerah kecil Indonesia. Pernikahan dini menjadi hal lazim, seorang wanita belasan tahun dituntut memberikan keturunan pada keluarganya.

Tidak hanya orang-orang pedesaan dan pedalaman, kehamilan muda dapat dialami para remaja ibukota. Bahkan, di negara maju seperti Amerika. Kehamilan itu biasanya disebabkan oleh pergaulan bebas sehingga mereka mengalami kehamilan pranikah.

Usia matang rahim seseorang untuk diisi janin adalah 18 tahun. Panggul tubuhnya sudah terbentuk dan organ reproduksinya telah berkembang secara sempurna. Perkembangan organ reproduksi yang telah sempurna membuat rahim siap dibuahi.

Berikut ini dampak yang terjadi pada kehamilan usia dini.

Dampak Berbahaya untuk Ibu

Mengalami perdarahan. Perdarahan ketika melahirkan disebabkan oleh otot rahim yang terlalu lemah ketika proses involusi, adanya selaput ketuban stosel (bekuan darah yang tertinggal dalam rahim), proses pembekuan darah yang lambat, dan adanya sobekan pada jalan lahir.Kemungkinan keguguran atau abortus. Keguguran biasanya disebabkan oleh faktor-faktor alamiah dan abortus yang disengaja.Persalinan lama dan sulit karena adanya komplikasi yang dialami ibu dan janin. Komplikasi ini biasanya disebabkan kelainan letak janin ataupun kelainan panggul sehingga sang ibu kehilangan kekuatan ketika mengejan.Adanya infeksi rahim serta perdarahan hebat akan berakibat pada kematian sang ibu.

Dampak Berbahaya untuk Bayi

Lahir secara prematur. Bayi akan lahir ketika usia kadungan kurang dari 37 minggu (259 hari). Hal ini terjadi karena pada masa pertumbuhan dalam rahim, zat yang diperlukan janin berkurang.Bayi akan lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram. Hal ini diakibatkan kurangnya gizi saat hamil karena usia sang ibu kurang dari 20 tahun. Dapat juga diakibatkan penyakit menahun yang diderita ibu hamil.Bayi akan mengalami cacat bawaan yang disebabkan adanya kelainan pertumbuhan struktur organ janin pada masa pertumbuhannya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kelainan genetik dan kromosom, infeksi, virus rubela, serta faktor gizi dan kelainan hormon.Bayi akan mengalami kematian pada usia 7 hari. Hal ini disebabkan bobot bayi kurang dari 2.500 gram akibat masa kehamilan 37 minggu (259 hari). Peristiwa ini disebut kelahiran kongenital dan dapat disertai asfiksia.

Untuk itu, perlu ada penanganan serius bagi permasalahan kehamilan dini ini. Kehamilan merupakan sebuah permasalahan sosial yang berdampak pada kesehatan. Bahkan, kematian.

Sumber :

http://hqsa.blogspot.com/2012/07/contoh-karya-tulis-ilmiah-kesehatan.html

http://www.anneahira.com

Kesalahan Orang Tua Dalam Mendidik Anak Remaja

13 October 2013 21:18:04 Dibaca : 1996

Kesalahan Orang Tua Dalam Mendidik Anak Remaja

Masa remaja adalah masa perkembangan psikologis anak untuk menjadi seorang anak yang mulai tumbuh dewasa atau biasa dikenal dengan masa peralihan dari masa keanak-anak menjadi orang dewasa. Dimasa ini anak remaja biasanya sukanya meniru gaya atau stile orang yang dikaguminya sehingga dalam hal ini sangat dibutuhkan bimbingan dari orang tua agar anak remajanya tidak salah gaya yang dapat membuat rusak untuk masa depannya. Tapi kebanyak orang tua tidak mengetahui dalam mendidik anak remaja mereka tidak tau bakat apa yang dimiliki anaknya sehingga bakat anaknya itu terkandas karena kesalahan dari orang tua. Olehnya itu berikut beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak remaja mereka:

Salah persepsi

Seringkali orang tua menanamkan persepsi yang salah tentang diri sendiri juga persepsi tentang keberhargaan diri dalam diri anak anaknya baik secara sadar attau tidak sadar hal ini mempengaruhi pertumbuhan psikologis anak. Ketika orang tua mengajarkan persepsi yang salah kepada diri anak, sebenarnya saat itulah orang tua sedang menanam ranjau ranjau psikologis yang sewaktu waktu dapat meledak.

Persepsi salah yang seperti apakah yang sering dan tanpa disadari dilakukan orang tua kepada anak anaknya..? Contoh kecil saja, banyak orang tua yang memaksakan anaknya harus baik dalam segala hal. Adalah menjadi kebanggaan dan keberhargaan diri bagi orang tua jika anak anaknya memiliki prestasi diatas rata rata teman teman lainnya. Orang tua sering menganggap buruk terhadap anak laki-laki yang mengekspresikan emosi negative, orang tua juga sering meminta anaknya untuk tidak melakukan kesalahan bahkan menurut orang tua meminta pertolongan adalah salah dan memalukan. Ibarat bom waktu, seorang anak bukan saja membutuhkan perhatian, pujian, dan teguran. Keseimbangan akan hal itu akan membuat sang anak merasa dicintai dan dikasihi. Namun sayang karena kesibukan perkerjaan dan rutinitas banyak orang tua membiarkan anak anaknya tumbuh dengan sendirinya sehingga ketika masalah timbul barulah sang orang tua sibuk mencoba menjadi orangtua yang baik atau bijaksanana.

Kesibukan orang tua kadang membuat mereka tak ada waktu lagi untuk anak anaknya, tak ada waktu lagi menemani belajar, bahkan tak ada waktu lagi bersenda gurau. Bahkan kadang lupa memberi apresiasi kepada anaknya yang berprestasi, baru ketika anak berbuat salah maka orang tua sibuk memberikan perhatian dan sok bijak.

Tidak Konsisten

Adalah perangkap masalah umum ketika orang tua tidak lagi konsisten dalam mengasuh anak. Para orang tua memiliki berbgai macam alasan untuk membenarkan ketidak konsistenan terhadap anak anaknya. Apapun alasannya, ketidak konsintenan dapat memperbesar variasi prolem terhadap perilaku anak anaknya. Lalu muncul pertanyaan pertanyaan pada diri saya “manakah yang lebih baik anak anak tumbuh di dalam keluarga otoriter atau permisif…? Sebenarnya yang terpenting adalah adanya aturan yang bisa di prediksi dan konsisten.

Komunikasi tertutup

Komunikasi adalah hal atau faktor terpenting dalam mengasuh dan mendidik anak anaknya. Jika anak anak berpikir bahwa mereka dapat berbicara dengan orang tua mereka tentang perasaan dan hidup mereka, Jika ketika mereka berhasil atau gagal bisa dan mampu menyampaikan secara terbuka kepada orang tuanya, dengan begitu mereka akan merasa dimiliki dan diperhatikan. Sehinga anak anak akan merasa bermakna bagi diri juga orang tuanya.

Problem solver

Banyak anak dan remaja sekarang menjadi anggota generasi bingung, kalau mau ditelusuri ke latar belakang pengasuhan mereka, biasanya ditemui bahwa orang tua mereka kebanyakan berfungsi sebagai problem solver bagi anak anaknya. Akibatnya anak anak mereka mengalami over-provided dan hidupnya menjadi pasif. Lalu apa alasan orang tua menjadi problem solver..? Alasan klasiknya adalah orang tua ingin membahagiakan anak anaknya, orang tua tak ingin anaknya mengalami masalah dalam hidupnya.

Tidak ada keteladanan

Seringkali orang tua menggunakan teknik dalam membangun dan mendidik anak anak dengan cara memerintah, meminta anak anaknya melakukan apa yang di katakan, padahal hal yang tak kalah pentingnya keteladanan memberikan pengaruh yang sangat kuat dan positif. Anak anak perlu diberi contoh, dan bukan dengan diperintah. Contoh kecil, banyak orang tua berharap anak anaknya cerdas, lalu para orang tua memerintahkan anaknya untuk belajar apapun dan bagaimanapun caranya. Mungkin dengan memberi contoh dan mengajaknya belajar akan beda, karena penerimaan anakpun akan merasa dirinya diperhatiakan orang tuanya.

Pilih waktu untuk bermain dengan anak anak

Sebagai orang dewasa kadang para orang tua lupa bagaimana menjadi seorang anak kecil. Banyak orang tua terjebak dalam kesibukan sehari hari untuk mencari nafkah dan membayar cicilan rumah, tapi banyak orang tua lupa bahwa anak anak juga butuh bermain. Anak anak butuh berfantasi dan mengembangkan kreatifitasnya. Jangan sibukkan anak anak dengan berbagai macam les sepanjang minggu. Niatnya baik tapi belum tentu caranya benar, kadang les yang tidak disukai anak tidak menyelesaikan persoalan justru menambah persoalan bagi si anak.

duniaremaja.net http://www.duniaremaja.net/kesalahan-orang-tua-dalam-mendidik-anak-remaja-mereka-1001.html

Kikis Habis Tawuran Antar Pelajar

13 October 2013 21:17:13 Dibaca : 1136

Kikis Habis Tawuran Antar Pelajar

Sebuah bentuk kegiatan masa yang anarkis, brutal dan jauh dari nilai dan norma yang dibelajarkan pendahulu kita memang marak ditayangkan oleh media apa saja yang berkepentingan dengan gejala sosial tersebut. Namun keprihatinan terus saja menyeruak di sanubari Rakyat Indonesia, khususnya para pendidik serta pemerhati pendidikan, bila yang melakukan anarkis ini adalah peserta didik kita yang masih duduk di bangku sekolah.

Lantas apa jadinya bila tindakan anarkis ini hingga sekarang masih sering kita jumpai di mana-mana. Bagaimana jadinya pula bahwa tabiat tak terpuji ini terus berlanjut hingga mereka duduk di bangku kuliah nantinya. Yang jelas mau tidak mau kita harus memulai langkah yang konkrit untuk mengatasi masalah ini, sebelum masalah tawuran antara pelajar menjadi semacam bola salju yang tambah besar dan menggilinding tanpa arah.

Dengan pertimbangan bahwa mereka yang terlibat tawuran, adalah para peserta didik yang masih berusia remaja, maka langkah persuasif dan komprhensif perlu diprioritaskan. Karena penanganan yang gegabah, tentunya akan merusak masa depan mereka sebagai anak bangsa. Padahal mereka masih harus duduk di bangku sekolah untuk menerima input, yang tentunya akan membentuk aspek afektif mereka yang utuh. Bukankah penanganan dengan cara yang gegabah justru akan melahirkan bentukan-bentukan pelaku kriminal yang baru.

Dengan demikian mendudukan para ahli dari berbagai disipilin ilmu pada satu meja untuk mengkonsep tindakan yang taktis, optimal, efisien dan terpadu adalah cara yang bijaksana. Dengan cara demikian maka kita mampu memilah mana remaja yang melakukan tawuran lantaran solidaritas semu, pencarian jati diri atau memang memiliki potensi crime behaviour yang kuat.

Namun karena kebanyakan mereka hanya berlatar- belakang solidaritas semu dan upaya pencarian jati diri, maka tentunya tindakan yang paling berhasil guna adalah bimbingan kolektif antara pihak orang-tua, lembaga sekolah dan aparat yang berwajib. Penanganan yang sejuk ini terbukti memang manjur, karena setelah dilakukan upaya semacam itu, mereka yang beringas di jalan-jalan dalam waktu yang relatif singkat kembali untuk belajar di kelas masing-masing.

Namun bagaimana penanganan bagi mereka yang telah kelewat batas, dalam artian menangani peserta didik yang dengan ringan tangan melakukan tindakan pidana penganiayaan berat pada saat malakukan tawuran. Dalam hal ini sangsi dengan hukum pidana barulah bisa diterapkan. Itupun hendaknya diterapkan dengan tidak mengabaikan usia mereka yang masih harus menerima input-input dari proses pembelajaran yang layak, sesuai dengan umur psikologis mereka.

Lantas bagaimana upaya ini harus dilakukan, apakah mereka yang menyandang status narapidana harus kembali ke kalas berkumpul dengan teman-teman mereka lagi. Tentunya tindakan ini, adalah tindakan yang kurang bijaksana. Karena justru pelaku ini dengan dominasinya yang kuat, akan menjadi virus yang berbahaya bagi teman lainnya. Apalagi usia mereka yang masih muda, adalah usia tang sedang memasuki fase gampang terpengaruh masukan dari luar.

Khusus untuk penangananan pelaku tindakan kriminal tersebut di atas, adalah dengan menampung mereka pada satuan pendidikan atau sekolah rehabilitasi khusus, yang dikelola bersama antara Diknas, Depag , Kepolisian atau lintas institusi lainnya. Sekolah rehabilitasi ini tentunya mengkonsepkan model pembelajaran yang penuh inovatif, menarik tapi tidak kalah berbobotnya dengan sekolah umumnya. Dalam hal ini, para paedogogis yang memang mumpuni di bidangnya disarankan untuk aktif terlibat di dalamnya.

Penanganan kedisiplinan yang ketat tapi mendidik, juga perlu diterapkan pada peserta didik yang sedang merehabilitasi sikap mentalnya yang sudah menyimpang. Sehingga setelah mereka kembali ke jenjang bangku sekolah yang lebih tinggi mereka akan membentuk dirinya sendiri menjadi profile pelajar bahkan mahasiswa yang berpendirian anti tawuran. Semoga saja sekelumit gagasan ini bisa didengar oleh semua pihak yang berkepentingan dengan penyiapan generasi mendatang yang handal, inovatif sekaligus berwawasan modern.

Adakah Pemimpin yang Jujur?

13 October 2013 21:15:59 Dibaca : 849

Adakah Pemimpin yang Jujur?

Sebuah surat pembaca dari Martha Novitasari yang tayang secara online di media ini (SP, 3 Mei 2012) membantu kita memahami sebagian dari akar krisis politik yang mendera bangsa kita. Martha Novitasari mengungkapkan rasa takjubnya atas kejujuran seorang sopir taksi yang berusaha mengembalikan tas penumpang yang tertinggal di taksi. Padahal ada peluang untuk mengambil barang-barang berharga yang ada di dalam tas tersebut. Novitasari melihat ini sebagai contoh tindakan jujur yang absen dari perilaku politik di negeri ini.

Berperilaku jujur memang sedang menjadi barang langka sekarang. Itulah yang menjadi alasan mengapa kita sangat menghargai perilaku para politisi berhati jujur seperti Jenderal Hoegeng Iman Santoso dan Baharuddin Lopa, pendekar penegak hukum yang berani dan jujur. Dewasa ini karakter seperti ini sulit ditemukan baik di kalangan legislatif maupun eksekutif. Alih-alih menemukan pemimpin yang jujur, kita justru berhadapan dengan jajaran pemimpin yang mencitrakan diri sebagai jujur, padahal memiliki sifat kotor karena memperkaya diri. Mereka sibuk melanggengkan kekuasaan dengan berbagai cara dan mulai melupakan hakikat kekuasaan sebagai amanah untuk menyejahterakan masyarakat. Kekuasaan lebih sering dijalankan di luar arena kejujuran ketika anggaran pembangunan dimanipulasi demi kepentingan diri, tindakan korupsi dibenarkan dengan memanfaatkan kelemahan hukum, dan sebagainya.

Kejujuran Politik

Di harian ini penulis pernah mengatakan bahwa kita butuh pemimpin yang memiliki karakter. Bahwa pemimpin berkarakter adalah sosok yang tahu akan apa yang baik dan buruk secara moral serta memiliki komitmen teguh untuk mempraktikkan hal yang baik tersebut (SP, 28/1/2012). Sudut pandang penulis tersebut kini goyah berhadapan dengan kenyataan bahwa korupsi kini menyerang institusi pendidikan. Diwartakan bahwa ada kepala sekolah yang menjadi pemborong atau makelar proyek. Guru-guru pun tidak malu-malu memanipulasi dana bantuan pendidikan, merekayasa data diri demi lolos sertifikasi, dan sebagainya. Berita terakhir menyebutkan ada beberapa rektor yang diduga terkait korupsi pengadaan alat-alat laboratorium.

Bagi kita, para rektor ini termasuk sosok yang punya pengetahuan mumpuni akan yang baik dan buruk secara moral, tetapi gagal mempraktikkannya. Apa yang salah? Memang dapat dikatakan bahwa mereka tidak memiliki komitmen untuk menjalankan tindakan politik bermoral. Persoalannya, mengapa komitmen itu seakan sirna dari praktik politik kaum cendekia ini? Penulis mengajukan dua kondisi untuk melengkapi pengetahuan yang baik dan buruk serta pentingnya komitmen untuk bertindak secara moral. Pertama, kejujuran harus menjadi watak utama dalam praktik politik. Kedua, kontrol sosial dalam proses demokrasi harus dimaksimalkan demi “menghukum” politisi yang tidak berkarakter etis.

Thomas Aquinas (1225-1274) membantu kita memahami kondisi pertama (ST, 2nd part of the 2nd Part, Question 145). Agar dapat membedakan hal yang baik dan buruk secara moral, kita mengandaikan kemampuan rasio (nalar). Menurut Aquinas, ada dua kemampuan rasional manusia yang bekerja sekaligus setiap kali melakukan pertimbangan rasional, yakni rational appetite dan sensitive appetite. Keduanya sama-sama mengejar kenikmatan (appetite) tetapi berbeda dari segi isinya. Dengan kemampuan rational appetite, seseorang membedakan yang baik dan buruk secara moral dan bertindak sesuai kebaikan tersebut demi mewujudkan kebaikan pada dirinya (in itself). Kenikmatan yang dikejar adalah kebaikan pada dirinya tersebut. Thomas Aquinas berpendapat bahwa kejujuran adalah “keadaan terhormat” (an honorable state) yang dicapai seseorang dalam hidupnya, dan itulah kebaikan tertinggi yang dikejar. Itu berarti kebaikan tertinggi yang dikejar karena memiliki tujuan pada dirinya itu seharusnya adalah watak kejujuran. Hanya orang jujur yang rational appetite-nya menolong dia melakukan kebaikan demi dirinya sendiri.

Lawannya adalah sensitive appetite, yakni kenikmatan yang diperoleh bukan demi tujuan pada dirinya. Tindakan korupsi, misalnya, pasti didorong oleh sensitive appetite. Koruptor sebenarnya tahu bahwa tindakannya tidak bermoral (berkat rational appetite), tetapi mengabaikannya karena dia memilih kenikmatan lain karena dorongan gaya hidup, pemerkayaan diri, investasi politik, sumbangan ke partai politik, dan sebagainya.

Mengatasi ketegangan kedua nalar ini, menurut penulis, kita membutuhkan keugaharian politik (political temperance). Ini menjadi semacam opsi motivasi tindakan politik yang bermoral. Keugaharian politik sanggup memurnikan motivasi politik berhadapan dengan daya magis sensitive appetite. Berkat keugaharian politik inilah seorang politisi atau pemimpin memilih tindakan politiknya yang tidak lagi didasarkan pada keinginan untuk memperkaya diri atau melanggengkan kekuasaan (dorongan sensitive appetite), tetapi karena panggilan nurani untuk mensejahterakan masyarakat (dorongan rational appetite). Salah satu wujud keugaharian politik adalah kesederhanaan hidup. Jika diadopsi menjadi lifestyle, kesederhanaan hidup justru dapat membebaskan politisi dari sensitive appetite dan memurnikan motivasi politik untuk hanya memajukan kemakmuran masyarakat yang diwakilinya.

Kontrol Sosial

Kondisi kedua yang juga penting adalah memaksimalisasi kontrol sosial atas praktik politik yang tidak bermoral. Demokrasi yang sudah matang mensyaratkan diskursus politik yang rasional dan partisipasi politik yang setara. Jika hal yang kedua sudah cukup baik dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2004, tidak demikian dengan yang pertama. Praktik politik di negeri ini masih diwarnai oleh politik pencitraan atau politik redaksi media massa yang pro kepentingan politisi dan/atau partai politik. Ini dapat merusak watak diskursif dan rasional demokrasi, dan pada gilirannya akan menyulitkan kontrol sosial atas praktik-praktik politik yang tidak bermoral.

Proyek bersama jangka pendek menghadapi pemilu 2014 adalah mengidentifikasi politisi dan/atau partai politik yang tidak bermoral dan kemudian menghukum mereka dengan tidak lagi mendukungnya. Proyek ini hanya bisa direalisasikan jika diskursus politik dijalankan secara rasional dan imparsial. Tentu ini sebuah idealisme yang masih harus dibuktikan, terutama ketika kita berhadapan dengan tidak meratanya akses terhadap informasi atau praktik politik balas budi karena tindakan karitatif politisi atau partai tertentu dalam membantu masyarakat mengatasi kesulitan hidup. Justru di sinilah kita ditantang untuk mewujudkan diskursus demokrasi yang rasional dan imparsial tersebut.

Politik yang jujur itu baik karena mampu mengatasi motivasi tindakan politik yang tidak bermoral. Meskipun demikian, kondisi ini saja tidaklah memadai. Kehadiran kontrol sosial adalah sebuah keniscayaan demi mengendalikan perilaku politik yang tidak bermoral. Semoga ini menjadi cita-cita bersama yang bisa direalisasikan.

Catatan: Tulisan ini sudah dimuat di Harian Suara Pembarua, 16 Juni 2012, hlm. 4 (Kolom ETIKA)

http://jeremiasjena.wordpress.com/category/artikel-populer/