Cinta yang Tak Sampai Cerita Fiksi
Radit menatap langit sore yang mulai memerah. Sore ini, ia bertekad menyampaikan perasaannya pada Dinda, sahabat yang selama ini selalu di dekatnya. Mereka sudah bersahabat sejak SMA, dan Radit tahu, perasaan yang tumbuh dalam hatinya bukan sekadar persahabatan. Ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang selama ini ia sembunyikan.
Dinda, gadis ceria dengan senyuman yang selalu bisa menghangatkan hati siapa pun. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, belajar, bercerita, bahkan sekadar duduk di taman kota sambil menikmati senja. Namun, hari ini terasa berbeda. Ada debaran di dada Radit yang tak bisa ia tahan lagi.
"Din, bisa ngobrol sebentar?" tanya Radit dengan suara bergetar saat mereka duduk di bangku taman, di bawah pohon besar yang menjadi saksi banyak kisah mereka.
Dinda menoleh, tersenyum seperti biasa. "Ada apa, Dit? Kok serius banget?"
Radit menarik napas dalam-dalam. Ia meremas tangannya, mencoba mencari keberanian di dalam dirinya. "Aku… aku punya sesuatu yang ingin aku sampaikan ke kamu. Sudah lama aku pendam, dan aku nggak bisa lagi cuma jadi teman biasa."
Dinda sedikit terkejut, tetapi tetap diam, menunggu Radit melanjutkan.
"Aku suka sama kamu, Din. Bukan sekadar teman, tapi lebih dari itu. Aku nggak bisa lagi pura-pura kalau aku cuma sahabatmu. Aku mau jadi lebih dari itu."
Hening sejenak. Dinda menundukkan kepala, seolah mencoba merangkai kata-kata yang tepat. Radit tahu ini bukan pertanda baik, dan dadanya mulai terasa berat.
"Radit..." suara Dinda terdengar pelan, hampir berbisik. "Kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku punya. Aku sangat menghargai semua yang sudah kita lalui bersama. Tapi... aku nggak bisa membalas perasaanmu seperti itu."
Radit merasa jantungnya seperti berhenti sejenak. Dunia seakan runtuh di hadapannya. "Kenapa, Din?" tanyanya lirih. "Apa aku nggak cukup baik buat kamu?"
Dinda menggeleng pelan, lalu menatap Radit dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Bukan begitu, Dit. Kamu baik, bahkan terlalu baik. Tapi... aku nggak bisa memaksakan perasaan yang nggak ada. Aku hanya melihat kamu sebagai sahabat. Dan aku nggak mau menghancurkan persahabatan kita dengan perasaan yang nggak bisa aku balas."
Radit terdiam. Kata-kata Dinda menusuk hatinya dalam-dalam. Namun, ia tahu Dinda jujur. Ia tak bisa memaksakan sesuatu yang tak mungkin. Dengan sekuat tenaga, Radit menahan air mata yang ingin jatuh.
"Maaf, Dit," ucap Dinda dengan suara penuh penyesalan. "Aku nggak mau kehilangan kamu sebagai sahabat. Tapi aku juga nggak bisa bohong tentang perasaanku."
Radit tersenyum, meski hatinya hancur. "Nggak apa-apa, Din. Aku paham. Aku cuma mau kamu tahu perasaanku. Dan aku harap, kita masih bisa tetap jadi teman seperti dulu."
Dinda mengangguk pelan. "Tentu, kita tetap sahabat."
Sore itu, senja turun dengan warna-warna yang menyapu langit. Radit dan Dinda duduk berdua, diam dalam kesunyian, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka. Cinta Radit memang tak sampai, tapi persahabatan mereka tetap utuh. Dan meskipun hati Radit terluka, ia tahu waktu akan menyembuhkan semuanya.
Terkadang, cinta tak selalu harus memiliki. Kadang, cukup dengan melihat orang yang kita cintai bahagia, itu sudah lebih dari cukup.