Cinta yang Membuat Gila (Cerpen)
Dayi duduk termenung di sudut kampus ung, pandangannya kosong menatap ke luar jendela. Sudah berhari-hari dia terjebak dalam kesunyian yang pekat, tak bisa menerima kenyataan bahwa Salsa telah benar-benar pergi dari hidupnya. Mereka putus dan kali ini, bukan hanya sekedar adu mulut biasa yang akan diselesaikan dengan permintaan maaf.
"Sudah cukup, Dayi. Aku lelah," suara Salsa terngiang di telinganya, dingin dan tajam. "Kamu selalu bilang mencintaiku, tapi setiap kali aku terluka, kamu selalu menutup mata. Aku nggak bisa lagi bertahan."
Itu adalah kata-kata terakhir yang didengarnya dari Salsa. Perilakunya yang sering melukai hati Salsa dengan cemburu buta, kata-kata kasar, dan egoisme yang tak terkendali telah memutuskan hubungan mereka. Salsa, yang selama ini sabar, akhirnya menyerah.
Dayi merasa hancur, tapi yang lebih mengerikan adalah perasaan bersalah yang menyesakkan. Setiap hari setelah mereka berpisah, dia merasa kehilangan arah. Semua hal terasa tidak berarti tanpa Salsa di sisinya. Dia menjadi terobsesi dengan kenangan-kenangan mereka, berulang kali memutar ulang momen-momen indah yang pernah mereka alami bersama. Namun, semakin ia tenggelam dalam kenangan itu, semakin gila perasaannya. Dia tidak tahu bagaimana harus melanjutkan hidup.
Suatu hari, seorang teman menyarankan Dayi untuk menemui seorang konselor bernama Oskar. Awalnya, Dayi ragu. Dia tidak percaya ada orang yang bisa memahami kesakitannya. Tapi, semakin lama dia merasakan kekosongan itu, semakin dia menyadari bahwa dia membutuhkan bantuan.Pertemuan pertama dengan Oskar terjadi di sebuah ruang kecil yang tenang. Oskar, seorang pria berusia pertengahan 30-an dengan sikap tenang dan ramah, mengajaknya berbicara tentang segalanya tentang Salsa, tentang penyesalan, dan tentang rasa sakit yang menghantuinya.
"Apa yang paling mengganggumu, Dayi?" tanya Oskar dengan lembut.
"Salsa," jawab Dayi dengan cepat. "Dia pergi. Aku nggak bisa hidup tanpa dia. Aku merasa... gila tanpa dia."
Oskar mengangguk pelan. "Apa menurutmu kehilangan Salsa membuatmu seperti ini, atau ada hal lain yang terjadi di dalam dirimu?"
Pertanyaan itu membuat Dayi terdiam. Dia berpikir keras. Selama ini, dia selalu menyalahkan kehilangan Salsa sebagai akar dari kegilaannya. Tapi, Oskar mengarahkan pandangannya ke dalam dirinya sendiri—ke arah yang selama ini tidak pernah dia perhatikan.
"Saya tidak tahu," akhirnya Dayi mengaku. "Mungkin... mungkin saya memang terlalu egois. Saya terlalu sibuk dengan diri saya sendiri, sehingga tidak pernah melihat apa yang Salsa rasakan."
Dari sesi ke sesi, Dayi mulai menyadari betapa sering dia melukai hati Salsa, bahkan tanpa dia sadari. Cemburu butanya, ketidakmampuannya untuk mendengarkan, dan ketidakpeduliannya terhadap perasaan Salsa adalah penyebab utama dari kehancuran hubungan mereka. Konseling bersama Oskar membuka matanya pada kenyataan pahit bahwa masalahnya tidak hanya terletak pada perpisahan itu, tetapi pada dirinya sendiri.
"Menyadari kesalahan adalah langkah pertama untuk berubah," kata Oskar pada salah satu sesi terakhir mereka. "Kamu masih punya waktu untuk memperbaiki diri, Dayi. Bukan untuk Salsa, tapi untuk dirimu sendiri."
Dayi pulang dari sesi itu dengan perasaan yang lebih ringan. Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, dia merasa ada harapan. Tidak lagi terobsesi dengan mengembalikan Salsa, tapi lebih kepada memperbaiki dirinya sendiri. Dia tahu, jika dia ingin sembuh dan menjadi pribadi yang lebih baik, dia harus memaafkan dirinya sendiri dan menerima kesalahannya. Beberapa bulan kemudian, Dayi duduk di tempat yang sama di kafe itu. Namun kali ini, tidak ada pandangan kosong di matanya. Dia telah berdamai dengan dirinya sendiri. Salsa memang telah pergi, dan mungkin tidak akan kembali. Tapi, dia bersyukur atas pelajaran yang telah dipelajarinya. Oskar telah membantunya menemukan ketenangan di tengah kekacauan batin yang dulu melingkupinya.
Cinta memang bisa membuat gila, tapi jika dipahami dengan benar, ia juga bisa menjadi jalan menuju kesembuhan. Hari itu, Dayi tersenyum kecil. Tidak ada lagi penyesalan, hanya harapan untuk hari esok yang lebih baik
Cinta yang Membuat Gila (Puisi)
Cinta datang tanpa suara,Mengetuk pintu hati dengan ragu,Pelan-pelan merayap masuk,Mengisi ruang yang pernah kosong.
Seperti badai yang tak terduga,Ia menghantam jiwa dengan riuh,Membuat logika luruh seketika,Membiarkan waras tersapu jauh.
Dalam setiap tatapan, ada hasrat,Dalam setiap sentuhan, ada luka.Cinta, oh cinta, begitu dalam,Namun membawa jiwa pada jurang gelap.
Kau buatku tersenyum dan menangis,Di ujung tawa, ada pilu tersembunyi,Di setiap langkah, aku kehilangan arah,Kau yang indah, namun penuh misteri.
Gila aku, dalam bayangmu,Menyusun harapan yang tak tentu,Tapi di tengah kegilaan ini,Hanya kaulah yang kupilih, hingga mati.
Antara Cinta & Beban Moral Cerpen Fiksi
Di sebuah kota kecil yang tenang, hiduplah seorang pemuda bernama Raka. Ia adalah sosok yang ramah, baik hati, dan penuh tanggung jawab. Pekerjaannya sebagai seorang guru membuatnya dihormati di masyarakat. Namun, di balik senyum ramahnya, Raka menyimpan beban moral yang terus menghantuinya setiap hari. Raka mencintai seorang perempuan bernama Nisa. Mereka telah bersahabat sejak kecil. Nisa adalah pribadi yang hangat, lembut, dan selalu tahu bagaimana membuat orang di sekitarnya merasa nyaman. Hubungan mereka tak hanya sekadar pertemanan, melainkan tumbuh menjadi rasa cinta yang mendalam. Namun, ada satu hal yang membuat Raka selalu ragu untuk menyatakan perasaannya. Nisa adalah tunangan sahabat Raka sendiri, Andi.
Andi adalah sahabat terdekat Raka sejak SMA. Mereka sudah melalui banyak hal bersama, saling mendukung di saat suka dan duka. Ketika Andi memperkenalkan Nisa sebagai tunangannya beberapa tahun lalu, Raka berusaha menerima kenyataan tersebut. Awalnya, Raka berpikir bahwa perasaannya hanya sebatas kekaguman biasa. Namun, semakin hari, rasa cinta itu tumbuh semakin kuat hingga tak terbendung lagi. Setiap kali Raka melihat Andi dan Nisa bersama, hatinya berperang. Di satu sisi, ia mencintai Nisa dengan tulus. Tapi di sisi lain, persahabatan dan rasa hormatnya kepada Andi tak bisa diabaikan. Raka tak ingin merusak kebahagiaan sahabatnya, namun ia juga merasa tak mampu membohongi perasaannya sendiri. Suatu hari, di tengah malam yang sunyi, Raka menerima pesan dari Nisa. Ia mengajak Raka bertemu di taman kota, tempat biasa mereka bertemu saat masih remaja. Di sana, di bawah pohon besar yang rindang, Nisa duduk sendiri, tampak gelisah.
"Raka, aku butuh bicara," suara Nisa terdengar pelan namun tegas.
Raka duduk di sampingnya, berusaha menenangkan hatinya yang berdebar tak karuan.
"Apa yang terjadi, Nis?" tanya Raka, meski sebenarnya ia bisa merasakan ada sesuatu yang berat di hati Nisa.
Nisa menatap lurus ke depan, menghela napas panjang sebelum berkata, "Aku tahu kamu mencintaiku."
Kalimat itu membuat jantung Raka seakan berhenti berdetak. "Aku..." Raka terbata, tak tahu harus berkata apa.
Nisa melanjutkan, "Aku juga mencintaimu, Raka. Tapi aku juga mencintai Andi. Dan aku tak tahu harus bagaimana."
Mendengar pengakuan Nisa, beban moral yang selama ini Raka rasakan semakin berat. Ia merasa seolah berada di persimpangan jalan, di mana setiap pilihan yang diambil akan melukai seseorang. Raka terdiam cukup lama, berusaha mencerna situasi yang ada.
"Aku tak pernah ingin menyakitimu, Nisa, apalagi menyakiti Andi," kata Raka dengan suara berat. "Tapi kita tak bisa melanjutkan ini."
Nisa menunduk, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku tahu, tapi... aku juga tak ingin kehilangan kamu."
Raka menatap langit malam, merasakan dinginnya angin yang menusuk kulitnya. Ia sadar, cinta terkadang bukan hanya tentang memiliki. Terkadang cinta berarti merelakan, meski rasanya begitu menyakitkan.
"Yang terbaik untuk kita sekarang adalah menjaga perasaan Andi. Dia sahabatku, dan dia juga pantas bahagia bersamamu," ujar Raka dengan tegas, meski di dalam hatinya ada bagian yang hancur.
Nisa terisak pelan, namun ia mengangguk. Ia tahu, keputusan Raka benar. Keduanya berdiam diri dalam keheningan malam, merasakan perasaan yang bercampur aduk antara cinta, kesetiaan, dan beban moral yang harus dipikul.
Malam itu, di bawah pohon besar yang telah menyaksikan persahabatan mereka bertahun-tahun, Raka dan Nisa memutuskan untuk melepaskan cinta mereka demi menjaga persahabatan dan kebahagiaan orang lain. Mereka tahu, pilihan ini mungkin akan meninggalkan luka yang dalam, tetapi mereka juga tahu bahwa hidup tak selalu tentang apa yang diinginkan hati. Dalam perjalanannya pulang, Raka merasa bebannya sedikit terangkat. Meski hatinya terluka, ia tahu bahwa ia telah melakukan yang benar. Di dunia ini, terkadang yang kita cintai tak selalu bisa kita miliki, dan itulah beban moral yang harus ia terima.
Tamat.
MABA ADALAH INCARAN ZINA
Mohamad Riadi Muslim
Masuk ke dunia perkuliahan adalah langkah penting dalam hidup seorang mahasiswa baru. Namun, fase transisi ini juga membawa berbagai tantangan, termasuk tekanan sosial yang dapat mempengaruhi perilaku mereka. Salah satu isu yang semakin mencuat adalah meningkatnya pergaulan bebas yang mengarah pada perilaku zina di kalangan mahasiswa baru. Mahasiswa baru sering kali menjadi kelompok yang rentan terhadap pengaruh buruk, termasuk pergaulan bebas yang mengarah pada perbuatan zina. Sebagai individu yang masih dalam proses adaptasi di lingkungan kampus, mereka menghadapi berbagai tantangan, termasuk tekanan sosial dari teman sebaya dan godaan untuk terlibat dalam aktivitas yang melanggar norma. Minimnya pengalaman, serta kurangnya pemahaman akan risiko dan dampak dari pergaulan bebas, membuat mahasiswa baru mudah menjadi sasaran pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Situasi ini diperburuk dengan longgarnya pengawasan di lingkungan perguruan tinggi, di mana kebebasan yang baru dirasakan sering kali disalahgunakan. Salah satu kelompok yang tak bertanggungjawab adalah Kakak tingkat yang tahu hanya memanfaatkan, lalu habis manis sepah dibuang, kakak tingkat yang sudah melirik, mencari yang rupawan, untuk dijadikan mangsa hawa nafsunya. Ini bukan hanya tentang kakak tingkat, tapi juga pengaruh teman setingkat membahayakan dan mengkhawatirkan. ratusan maba berkumpul dan berkenalan dengan latar berbeda, takutnya, latar kepolosan dan keimanan ditelan habis oleh latar kemaksiatan. Maba yang takut kepada kakak tingkat, akhirnya bersedia dijadikan pacar, bersedia menurut dan tertunduk. Sebab merasa sendiri dan terbantu selama di ranah perkuliahan, yang awalnya zina terpaksa, hingga menjadi kebutuhan.Kuliah yang digadang mendidik diri, alih-alih terdidik, malah menjadi lusuh oleh kerusakan,
Maba yang dibanggakan orang tuanya, harapan gurunya dan dielu-elukan selesai dengan baik, Malah pulang dengan iman yang berantakan, ilmu yang terbengkalai dan kehormatan yang tercabik-cabik.Kuliah adalah sarana mematangkan diri, bukan mematangkan kemaksiatan. Kuliah sarana agar terdidik bukan malah menjadikan diri semakin tak bermoral.Apapun yang kau cari di ranah kuliah akan kau dapatkan, entah ranah kebaikan, ketaatan atau ranah keburukan dan kemaksiatan. Kau akan dipertemukan dengan ruh terkuatmu, jika niatmu baik, kau akan bertemu orang-orang baik dan menjaga. Pun sebaliknya.
Kesimpulannya adalah bahwa masuk ke dunia perkuliahan merupakan langkah penting bagi mahasiswa baru, namun mereka juga menghadapi berbagai tantangan, terutama tekanan sosial yang dapat menyebabkan perilaku menyimpang, seperti pergaulan bebas dan zina. Mahasiswa baru, yang rentan dan dalam proses adaptasi, sering kali terpengaruh oleh kakak tingkat dan teman sebaya yang tidak bertanggung jawab. Minimnya pengalaman dan pemahaman tentang risiko membuat mereka mudah terjebak dalam situasi berbahaya. Dalam kondisi ini, perkuliahan yang seharusnya menjadi sarana untuk mendewasakan diri malah berpotensi merusak moral dan kehormatan mereka. Oleh karena itu, niat dan lingkungan yang baik sangat penting untuk membentuk karakter dan menjaga diri dari pengaruh negatif.
FENOMENA AYAM KAMPUS DIGORONTALO
Mohamad Riadi Muslim
Kematangan seksual remaja menyebabkan munculnya minat seksual dan keingintahuan remaja tentang seksual. Adanya dorongandorongan seksual dan rasa ketertarikan terhadap lawan jenis kelaminnya, berdampak pada perilaku remaja yang mulai diarahkan untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Dalam rangka mencari pengetahuan mengenai seks, ada remaja yang melakukannya secara terbuka bahkan mulai mencoba melakukan eksperimen dalam kehidupan seksualnya, misal berciuman atau bercumbu Sarwono,(Rimawati, 2010).
Fenomena ayam kampus ini muncul sebagai salah satu dampak dari tekanan ekonomi dan gaya hidup modern, di mana beberapa mahasiswa merasa perlu mencari cara cepat untuk memenuhi kebutuhan hidup atau standar gaya hidup yang tinggi. Di Gorontalo, seperti di daerah lain di Indonesia, fenomena ini dianggap sebagai masalah sosial yang meresahkan, karena tidak hanya merusak citra mahasiswa secara umum, tetapi juga dapat memengaruhi reputasi institusi pendidikan. Selain itu, adanya ketidakpedulian masyarakat dan kurangnya pengawasan serta dukungan sosial bagi mahasiswa yang mengalami kesulitan finansial turut memperparah fenomena ini. Pada akhirnya, persoalan ayam kampus ini membutuhkan perhatian dari berbagai pihak, termasuk keluarga, institusi pendidikan, dan pemerintah, untuk mengedukasi dan memberikan solusi alternatif yang lebih positif bagi para mahasiswa yang mungkin rentan terhadap godaan tersebut. Fenomena ayam kampus di Gorontalo merupakan isu sosial yang belum memiliki data pasti terkait jumlah kasus atau mahasiswa yang terlibat. Namun, fenomena ini kerap kali menjadi sorotan di kalangan masyarakat dan media lokal. Banyak kasus yang diungkap secara tersirat melalui cerita atau laporan dari masyarakat setempat, namun minim bukti konkret dan pendataan resmi. Namun kita bisa melihat penelitian dari LPM Manunggal UNDIP yang menunjukkan bahwa fenomena ‘ayam kampus’ juga ada di Kota Semarang, dimana beberapa faktor yang menyebabkan ’ayam kampus’ menjadi alasan atau penyebab menjadi ‘ayam kampus’, disebutkan bahwa penyebab terbesar adalah ekonomi (47%), 22,6% karena gaya hidup, 21,8% karena pengaruh lingkungan pergaulan, 6% untuk kepuasan pribadi dan hanya 2,6% menyatakan untuk prestige (Rimawati, 2010).
Kesimpulannya, fenomena ayam kampus di Gorontalo merupakan gambaran dari adanya tekanan sosial dan ekonomi yang dialami sebagian mahasiswa, yang kemudian mencari solusi cepat melalui tindakan yang tidak sesuai dengan norma masyarakat. Meski sulit untuk mendapatkan data yang akurat terkait jumlah mahasiswa yang terlibat, fenomena ini sering menjadi pembicaraan di kalangan masyarakat dan dianggap merusak citra lembaga pendidikan. Perlu diakui bahwa fenomena ini tidak hanya terjadi di Gorontalo, melainkan juga di kota-kota besar lainnya di Indonesia. Kondisi ini menunjukkan adanya tantangan dalam sistem pendidikan dan lingkungan sosial yang memungkinkan mahasiswa, terutama mereka yang menghadapi tekanan finansial, untuk mengambil jalan pintas yang berpotensi merugikan diri sendiri. Upaya pencegahan fenomena ini membutuhkan pendekatan yang komprehensif. Pertama, pendidikan moral dan nilai-nilai agama harus lebih diutamakan untuk membekali mahasiswa dengan prinsip yang kuat dalam menghadapi godaan ekonomi. Kedua, peran bimbingan konseling di perguruan tinggi harus diperkuat, dengan memberikan dukungan emosional dan solusi nyata bagi mahasiswa yang menghadapi kesulitan. Ketiga, pemerintah dan institusi pendidikan perlu menawarkan bantuan finansial yang memadai untuk mahasiswa yang benar-benar membutuhkan, sehingga mereka tidak tergoda untuk terlibat dalam praktik yang tidak sesuai dengan etika dan moral. Dengan kerja sama yang solid antara keluarga, institusi pendidikan, pemerintah, serta masyarakat, diharapkan fenomena ayam kampus ini bisa diminimalisir. Pendekatan yang berbasis pada pendidikan karakter, dukungan finansial, dan bimbingan moral akan membantu menciptakan lingkungan akademik yang sehat dan mencegah mahasiswa dari perilaku yang merugikan masa depan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Rimawati, E. (2010). Fenomena Perilaku Seksual “AYAM KAMPUS” DI KOTA SEMARANG. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia