Indikator Ganteng Menurut Pak Jumadi: Punya Cewek di Jurusan Bimbingan dan Konseling
Dalam kehidupan kampus, istilah "ganteng" sering kali tidak hanya merujuk pada penampilan fisik. Kegantengan bisa dinilai dari gaya berbicara, kecerdasan, kepercayaan diri, bahkan status sosial. Namun, sebuah pernyataan menarik keluar dari mulut Pak Jumadi, seorang figur yang dikenal di kalangan mahasiswa: “Indikator ganteng itu kalau kamu punya cewek di jurusan Bimbingan dan Konseling.” Pernyataan ini tentu mengundang senyum, tawa, dan juga tanda tanya.
Fenomena ini mencerminkan betapa standar kegantengan bisa sangat kontekstual dan bahkan unik. Di balik kesan candaan, tersimpan sebuah konstruksi sosial yang layak dikaji. Mengapa memiliki pasangan di jurusan tertentu bisa dianggap sebagai penanda kegantengan? Apakah ini mencerminkan relasi kuasa, status sosial, atau sekadar stereotip yang berkembang di lingkungan kampus?
Secara sosiologis, pernyataan semacam ini menggambarkan bagaimana simbol-simbol sosial dibentuk dan diwariskan. Dalam hal ini, jurusan Bimbingan dan Konseling (BK) tampak memiliki daya tarik tersendiri. Bisa jadi karena citra mahasiswa jurusan BK yang dikenal ramah, empatik, dan komunikatif sehingga memiliki pasangan dari jurusan ini dianggap sebagai “prestasi sosial” tersendiri. Namun, makna di balik pernyataan tersebut bisa beragam tergantung dari sudut pandang mahasiswa. Beberapa mungkin menanggapinya sebagai candaan yang mempererat hubungan dosen-mahasiswa. Sementara yang lain bisa saja mengkritisinya karena mengandung stereotip gender atau membangun ekspektasi sosial yang kurang relevan.
Untuk itu, penting dilakukan refleksi terhadap bagaimana mahasiswa memaknai indikator ganteng seperti ini, dan sejauh mana pengaruhnya terhadap interaksi sosial di kampus. Apakah hal ini memperkuat rasa percaya diri seseorang? Atau justru menimbulkan tekanan sosial bagi mereka yang belum memenuhi “standar ganteng” versi Pak Jumadi?. Dari sudut pandang akademik, pernyataan ini membuka ruang kajian tentang bagaimana konstruksi sosial terbentuk dalam lingkungan pendidikan tinggi. Konsep ganteng yang sebelumnya mungkin hanya dikaitkan dengan wajah rupawan atau tubuh ideal, kini turut melibatkan aspek sosial seperti status relasi dengan mahasiswa dari jurusan tertentu.
Secara teoritis, tulisan ini dapat memperkaya diskusi mengenai citra diri (self-image) dan dinamika sosial antar mahasiswa. Sedangkan secara praktis, refleksi dari fenomena ini dapat menjadi pengingat agar interaksi di lingkungan kampus tetap sehat, egaliter, dan tidak terjebak dalam stereotip yang bisa menyempitkan makna relasi antarindividu. Pada akhirnya, ganteng bukan soal punya pacar di jurusan mana, melainkan soal bagaimana seseorang membawa diri dengan baik, menghargai orang lain, dan mampu membangun relasi sosial yang positif. Dan mungkin, bagi Pak Jumadi, punya cewek di jurusan BK adalah metafora dari keberhasilan seseorang dalam membangun relasi yang berkualitas atau bisa jadi, sekadar candaan khas ruang dosen yang penuh kehangatan.
Kau Fokus dengan Karirmu, Aku dan Tulisanku
Di sudut waktu yang pernah kita duduki bersama, aku masih duduk dengan secangkir kopi dan semoangkok bakso yang kini hanya menemaniku sendiri. Kau pergi, bukan karena lupa, tapi karena ada yang harus kau kejar karirmu, ambisimu, dan masa depan yang tak bisa menunggu.
Aku mengerti, sungguh. Dunia ini kejam pada orang-orang yang hanya berharap tanpa bergerak. Maka kau bergerak. Langkahmu cepat, matamu tajam menatap puncak yang ingin kau daki. Dan aku? Aku memilih diam, menetap, menuliskan kisah-kisah yang kau tinggalkan. Tulisan-tulisanku mungkin tak sehebat pencapaianmu. Tak ada gelar di belakang namaku, tak ada gedung bertingkat yang bisa kubanggakan. Tapi aku punya halaman-halaman penuh kata yang menyimpan jejakmu jejak kita. Karena setiap larik yang kutulis adalah percakapan denganmu yang tak pernah selesai.
Kau sibuk menaklukkan dunia, aku sibuk mencatat rasanya ditinggal oleh seseorang yang kucintai namun tak bisa kumiliki seutuhnya. Mungkin beginilah jalan kita. Kau dengan statistik dan strategi, aku dengan metafora dan melankolia. Tapi jangan salah sangka. Ini bukan keluhan, bukan pula ratapan. Ini adalah bentuk cinta paling tenang: membiarkan kau pergi tanpa membenci arah yang kau tuju. Dan menulis, adalah caraku untuk terus mencintaimu dalam bentuk paling sunyi. Kelak, mungkin kau akan menemukan namaku di sebuah buku usang, atau kutipan kecil di balik halaman majalah. Dan saat itu, semoga kau tahu: di balik setiap tulisan yang kau baca, ada aku yang dulu pernah begitu mencintaimu tanpa harus menghentikanmu.
Terimakasih
Di dunia yang begitu luas ini, tidak pernah terpikir olehku bahwa aku akan menemukan seseorang yang begitu tulus mencintaiku. Cinta yang kamu berikan bukan sekadar kata-kata manis atau janji yang mudah dilupakan melainkan bukti nyata yang kurasakan setiap hari lewat perhatianmu, kesabaranmu, dan caramu tetap ada, meski aku tak selalu mudah untuk dicintai. Terima kasih telah mencintaiku saat aku belum bisa mencintai diriku sendiri. Saat pikiranku dipenuhi keraguan, kamu hadir membawa keyakinan. Saat aku merasa tidak cukup baik, kamu meyakinkanku bahwa aku layak untuk dicintai bukan karena kesempurnaan, tapi karena keberadaanku yang apa adanya.
Kamu tidak hanya mencintaiku pada hari-hari cerah, tapi juga saat hujan turun deras dalam hidupku. Kamu memelukku dalam diam, menguatkanku tanpa banyak kata. Dan itu, lebih dari cukup untuk membuatku merasa aman. Terima kasih telah sabar dengan kekuranganku, dengan sisi-sisi gelap yang bahkan aku sendiri takut menghadapinya. Terima kasih karena tidak pernah menyerah, bahkan saat aku sendiri nyaris menyerah pada semuanya.
Cinta yang kamu beri adalah anugerah yang tak pernah aku sangka akan kuterima. Bukan karena aku sempurna, tapi karena kamu memilih untuk tetap bertahan, tetap mencintai, dan tetap mempercayai bahwa kita pantas untuk saling melengkapi. Aku tahu kata "terima kasih" mungkin tidak pernah cukup untuk membalas semua yang telah kamu beri. Tapi izinkan aku mengatakannya dari hatiku yang paling dalam:
Terima kasih telah mencintaiku.
Kelas C23 Tidak Pernah Sepi
Kelas merupakan ruang sosial yang kompleks, di mana interaksi antarsiswa tidak hanya memengaruhi dinamika pembelajaran, tetapi juga membentuk pola relasi sosial yang khas. Kelas C, dalam konteks ini, menunjukkan pola interaksi yang cukup intens dan sering kali diwarnai dengan berbagai konflik interpersonal, kompetisi, serta drama sosial lainnya. Nama-nama seperti Dodi, Ikmal, Airlangga, hingga Ara dan Amalia merepresentasikan individu dengan karakteristik dan peran sosial yang beragam, yang saling memengaruhi satu sama lain dalam ruang kelas.
Fenomena "banyak drama" yang terjadi dalam kelas tidak dapat semata-mata dimaknai sebagai konflik biasa, melainkan sebagai bentuk manifestasi dari interaksi sosial yang belum sepenuhnya sehat. Seperti dijelaskan oleh Lai et al. (2019), dukungan dari teman sebaya memiliki peranan penting dalam membentuk motivasi belajar dan identitas sosial siswa. Ketika hubungan antar teman sekelas kurang suportif, muncul ketegangan yang dapat menghambat proses belajar dan perkembangan psikososial siswa. Dalam konteks kelas C, hal ini tampak dari kerapnya muncul ketegangan antarpihak yang berujung pada polarisasi kelompok dan rasa tidak nyaman dalam berinteraksi.
Lebih jauh, kemampuan sosial siswa juga sangat dipengaruhi oleh komposisi dan kemampuan teman sekelas. Menurut Gottfried (2015), siswa yang berada di kelas dengan teman sebaya yang memiliki kemampuan sosial tinggi cenderung mengembangkan keterampilan sosial yang lebih baik. Sebaliknya, dalam lingkungan yang kurang kondusif, seperti kelas dengan konflik interpersonal tinggi, siswa dapat mengalami hambatan dalam perkembangan kemampuan sosialnya. Hal ini menjadi salah satu indikator perlunya intervensi melalui pendekatan bimbingan dan konseling.
Selain itu, dampak emosional dari pengalaman sosial yang negatif di kelas juga dapat signifikan. Hu et al. (2024) menekankan bahwa ketika siswa mengetahui adanya teman sekelas yang mengalami tekanan emosional atau gangguan psikologis, seperti ide bunuh diri, hal tersebut memengaruhi respons emosional dan kualitas dukungan yang mereka berikan. Dalam konteks kelas C, meskipun belum ditemukan kasus ekstrem, dinamika emosi yang tidak stabil dapat berdampak pada ketidakteraturan komunikasi dan ketegangan yang berulang.
Perspektif historis juga menunjukkan bahwa dinamika hubungan antarteman sekelas memiliki dampak jangka panjang terhadap pengalaman pendidikan seseorang. Crilly (2018) menyajikan narasi historis tentang hubungan antarkelas yang menentukan arah perkembangan individu dalam lingkungan akademik. Dengan kata lain, pentingnya membangun iklim kelas yang sehat tidak hanya bersifat jangka pendek, tetapi berpengaruh pula pada pencapaian masa depan siswa.
Terakhir, penilaian yang diberikan oleh teman sekelas terhadap kemampuan akademik juga memainkan peran penting dalam menciptakan iklim belajar yang konstruktif. Gilbert (1976) menyatakan bahwa evaluasi dari teman sebaya dapat memberikan umpan balik yang lebih jujur dan relevan terhadap kinerja siswa dibandingkan hanya dari guru. Oleh karena itu, suasana kelas yang kondusif dan suportif sangat diperlukan agar setiap siswa merasa aman dan dihargai dalam proses pembelajaran.
Daftar Pustaka
Lai, A. H. Y., Chui, C. H.-K., Wong, K.-Y., & Chan, C. L. W. (2019). Academic motivations of Yi youths in China: Classmate support and ethnic identity. The Journal of Educational Research, 112(4), 550–563. doi:10.1080/00220671.2019.1602820
Gottfried, M. A. (2015). Does classmate ability influence students’ social skills? School Effectiveness and School Improvement, 26(4), 554–585. doi:10.1080/09243453.2014.988731
Hu, C. S., Zhang, H., Short, L. A., Liu, M., Huang, C., Liang, Z., … Xie, D. (2024). Learning of a Classmate’s Suicide Ideation Affects Emotions When Advising the Classmate and the Helpfulness of the Advice Provided. Archives of Suicide Research, 28(4), 1158–1171. doi:10.1080/13811118.2023.2280227
Crilly, T. (2018). What became of Paul Dirac’s classmate? BSHM Bulletin: Journal of the British Society for the History of Mathematics, 33(3), 179–188. doi:10.1080/17498430.2018.1518508
Gilbert, N. S. (1976). Classmate vs. Instructor Evaluation of Learning. Improving College and University Teaching, 24(2), 119–123. doi:10.1080/00193089.1976.9927317
Cinta yang Tak Ternilai: Sebuah Telaah Kritis
Cinta sering kali dipersepsikan sebagai sesuatu yang tak ternilai, melampaui ukuran material maupun kalkulasi ekonomi. Namun, dalam konteks sosial kontemporer, narasi mengenai cinta tak lepas dari konstruksi nilai yang dipengaruhi oleh relasi kuasa, konsumsi budaya, dan ekonomi emosi. Zangwill (2013) menegaskan bahwa cinta bersifat amoral dan arasional, dalam arti ia tidak tunduk pada norma moral konvensional atau logika rasionalitas ekonomis. Pandangan ini menekankan bahwa cinta memiliki dimensi otonom yang menjadikannya unik dan "tak ternilai" dalam kerangka eksistensial manusia.
Namun demikian, nilai cinta dalam masyarakat modern tidak sepenuhnya terlepas dari proses komodifikasi. Pelzelmayer (2018) menunjukkan bagaimana cinta dan perawatan dalam kerja domestik berbasis tinggal-secara-live-in (live-in care) sering kali dipertukarkan dalam bentuk jasa berbayar, yang secara paradoks mereduksi makna cinta sebagai tindakan altruistik menjadi relasi kerja transaksional. Komodifikasi cinta ini mencerminkan pergeseran nilai sosial, di mana afeksi menjadi bagian dari kapitalisme afektif yang lebih luas.
Transformasi dari sesuatu yang “tak ternilai” menjadi “dihargai” (priced) juga tampak dalam konteks pendidikan tinggi, seperti ditunjukkan oleh Sakhiyya dan Rata (2019). Mereka menjelaskan bahwa nilai pengetahuan, yang dulunya dianggap sebagai warisan budaya yang tak ternilai, kini diperlakukan sebagai komoditas dalam pasar global pendidikan. Fenomena serupa dapat dilihat dalam representasi cinta, yang turut mengalami proses pembendaan melalui media, kebijakan, dan konsumsi simbolik.
Dalam kajian sejarah budaya, Holloway (2020) menggambarkan bagaimana Hari Valentine di Inggris pada abad ke-17 hingga ke-19 menjadi momen penting dalam menormalisasi praktik konsumsi cinta. Surat cinta, hadiah, dan simbol-simbol kasih sayang dijadikan medium komersial yang pada akhirnya membingkai cinta dalam bentuk-bentuk yang dapat dibeli dan dijual. Hal ini menunjukkan bahwa cinta tak lagi berada di luar jangkauan pasar, tetapi justru terinternalisasi dalam praktik budaya sehari-hari.
Kritik atas hilangnya keaslian cinta juga muncul dalam representasi media. Yang (2024) menguraikan bagaimana dokumenter *Hard Love* menyoroti ketidakmampuan untuk mencintai dalam struktur relasi intim yang berubah drastis akibat tekanan sosial dan emosional. Ketika cinta kehilangan kedalaman afektifnya, ia tak lagi menjadi kekuatan yang menyelamatkan, melainkan sekadar struktur simbolik yang kosong makna. Hal ini memperkuat pandangan bahwa cinta yang tak ternilai bukanlah realitas universal, melainkan konsep yang terus dinegosiasikan melalui pengalaman sosial.
Meski begitu, masih terdapat narasi historis dan edukatif yang mempertahankan cinta sebagai sesuatu yang luhur. Stuttle (1955), dalam konteks pendidikan anak, menyebutkan bahwa nilai-nilai seperti kasih sayang dan perhatian adalah "materi tak ternilai" dalam membentuk karakter generasi muda. Di sisi lain, Gomery (1995) melalui telaah arsip sejarah film, menyatakan bahwa cinta dan perhatian orang tua terhadap pendidikan anak digambarkan sebagai “anugerah yang tak ternilai”, memperlihatkan bahwa dalam diskursus publik, cinta tetap memiliki nilai simbolik yang tinggi meskipun berada dalam lanskap sosial yang berubah.
Dengan demikian, cinta yang tak ternilai adalah sebuah konstruksi yang tidak statis. Ia bergerak antara glorifikasi emosional, komodifikasi budaya, dan resistensi etis terhadap pasar. Meskipun cinta sering digambarkan sebagai entitas yang murni dan tidak dapat diukur, kenyataannya ia terus bertransformasi sesuai dengan dinamika sosial, ekonomi, dan budaya yang mengitarinya.
Daftar Pustaka
Gomery, D. (1995). Two Documents: Your Priceless Gift And The 1946 Film Daily Yearbook. Historical Journal Of Film, Radio And Television, 15(1), 125–135. Doi:10.1080/01439689500260071
Holloway, S. (2020). Love, Custom & Consumption: Valentine’s Day In England C. 1660–1830. Cultural And Social History, 17(3), 295–314. Doi:10.1080/14780038.2019.1646075
Pelzelmayer, K. (2018). Care, Pay, Love: Commodification And The Spaces Of Live-In Care. Social & Cultural Geography, 19(7), 853–872. Doi:10.1080/14649365.2017.1315446
Sakhiyya, Z., & Rata, E. (2019). From ‘Priceless’ To ‘Priced’: The Value Of Knowledge In Higher Education. Globalisation, Societies And Education, 17(3), 285–295. Doi:10.1080/14767724.2019.1583089
Stuttle, M. A. (1955). Those Priceless Materials. Childhood Education, 31(8), 377–377. Doi:10.1080/00094056.1955.10726626
Yang, F. (2024). Inability To Love: Change Of Intimate Structure In The Documentary Hard Love. Feminist Media Studies, 24(3), 646–650. Doi:10.1080/14680777.2023.2274812
Zangwill, N. (2013). Love: Gloriously Amoral And Arational. Philosophical Explorations, 16(3), 298–314. Doi:10.1080/13869795.2013.812739