Komparasi Profesi Konselor di Inggris
Profesi konselor di Inggris berkembang dalam kerangka sistem yang terstruktur dan terintegrasi dengan kebijakan publik, pendidikan, serta hukum. Salah satu tonggak penting dalam penguatan peran konselor di lingkungan pendidikan adalah diberlakukannya The Children Act 2004, yang menekankan pentingnya perlindungan anak dan koordinasi lintas lembaga dalam memastikan kesejahteraan peserta didik. Kebijakan ini memberikan legitimasi yang lebih kuat terhadap keberadaan layanan konseling di sekolah, khususnya dalam menangani isu-isu kesejahteraan emosional dan sosial siswa (Jenkins & Polat, 2006).
Seiring dengan itu, peran konselor di Inggris tidak terbatas pada konteks pendidikan semata, tetapi juga mencakup bidang layanan karier, kesehatan mental, dan sektor sosial lainnya. Bimrose dan Hughes (2015) menekankan bahwa keberadaan konselor di Inggris sangat bergantung pada kompetensi lintas konteks, yang diperoleh melalui pendidikan formal dan pelatihan berkelanjutan yang sesuai dengan standar nasional. Konselor diharapkan mampu beradaptasi dengan berbagai pendekatan teoritis dan praktik berbasis bukti, termasuk konseling kognitif-behavioral, pendekatan humanistik, serta psikodinamik, yang diterapkan secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan klien.
Selain aspek praktis dan pendidikan, dimensi hukum dan etika juga memainkan peran penting dalam membentuk praktik profesional konselor di Inggris. Dalam hal ini, pemahaman konselor terhadap hukum profesional, khususnya terkait privasi, kerahasiaan, dan perlindungan anak, menjadi elemen krusial yang membedakan profesi ini dari bentuk layanan non-profesional. The Counseling Profession (2025) menjelaskan bahwa konselor harus senantiasa menyeimbangkan antara kepentingan hukum dan etika dengan kebutuhan individu yang mereka layani, dalam rangka menjamin keselamatan, hak, dan martabat klien secara menyeluruh.Secara umum, baik di Inggris maupun Indonesia, profesi konselor memiliki tujuan yang sama, yakni memberikan layanan psikologis dan sosial untuk membantu individu mengatasi berbagai permasalahan pribadi, pendidikan, maupun karier. Kedua negara sama-sama mengakui pentingnya peran konselor dalam mendukung kesejahteraan psikologis dan perkembangan individu, terutama di lingkungan pendidikan. Di Indonesia, fungsi ini diakomodasi melalui kebijakan bimbingan dan konseling yang diterapkan di sekolah-sekolah, sejalan dengan pendekatan di Inggris yang juga menekankan intervensi konseling pada konteks pendidikan dasar dan menengah (Jenkins & Polat, 2006; Bimrose & Hughes, 2015).Namun, terdapat beberapa perbedaan mendasar dalam struktur kelembagaan, standar profesi, dan landasan hukum yang mendukung praktik konseling di kedua negara. Di Inggris, profesi konselor diatur secara ketat melalui lembaga profesional seperti British Association for Counselling and Psychotherapy (BACP), dengan sistem sertifikasi dan lisensi yang terstandarisasi secara nasional. Konselor diwajibkan mengikuti pelatihan formal, praktik terawasi, serta pengembangan profesional berkelanjutan untuk mempertahankan status profesional mereka (Bimrose & Hughes, 2015). Sementara itu, di Indonesia, regulasi terhadap profesi konselor diatur melalui Permendikbud dan didukung oleh organisasi seperti Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN), namun belum memiliki sistem sertifikasi nasional yang seketat Inggris, terutama dalam hal pengawasan praktik dan kode etik.
Dari sisi hukum, perbedaan juga tampak dalam perlindungan hukum bagi profesi dan klien. Di Inggris, konselor wajib memahami hukum profesional, termasuk implikasi dari The Children Act 2004 dan kewajiban hukum dalam menjaga kerahasiaan serta keselamatan klien (The Counseling Profession, 2025). Di Indonesia, meskipun terdapat rambu-rambu etik dan prinsip kerahasiaan, implementasinya masih sering bersifat internal dan belum secara eksplisit dijabarkan dalam sistem hukum positif nasional, sehingga perlindungan hukum bagi konselor dan klien belum sekomprehensif sistem di Inggris.
Selain itu, pendekatan konseling yang digunakan di kedua negara juga mencerminkan konteks budaya masing-masing. Di Inggris, pendekatan konseling bersifat eklektik dan berbasis bukti, dengan pemanfaatan teknik yang disesuaikan dengan latar belakang klien yang multikultural (Bimrose & Hughes, 2015). Sementara itu, di Indonesia, pendekatan konseling cenderung mengadopsi model-model barat namun masih mencari bentuk ideal yang selaras dengan nilai-nilai lokal dan kearifan budaya bangsa.
Dengan demikian, meskipun terdapat kesamaan dalam esensi profesi konseling sebagai layanan yang mendukung perkembangan dan kesejahteraan individu, Inggris dan Indonesia menunjukkan perbedaan signifikan dalam sistem regulasi, pelatihan profesional, serta konteks hukum dan budaya yang membingkai praktik konseling. Perbandingan ini menunjukkan pentingnya penguatan sistem legal dan profesionalisme di Indonesia agar dapat mendekati standar internasional tanpa mengabaikan identitas dan kebutuhan lokal.
Daftar Pustaka
Jenkins, P., & Polat, F. (2006). The Children Act 2004 and implications for counselling in schools in England and Wales. Pastoral Care in Education, 24(2), 7-14.
Bimrose, J., & Hughes, D. (2015). Counseling in England. In Counseling Around the World (pp. 183–191). doi:10.1002/9781119222736.ch20
The Counseling Profession. (2025). In The Counselor and the law (pp. 21–40). doi:10.1002/9781394347384.ch2