Cinta yang Membuat Gila (Cerpen)

29 September 2024 03:10:14 Dibaca : 14

Dayi duduk termenung di sudut kampus ung, pandangannya kosong menatap ke luar jendela. Sudah berhari-hari dia terjebak dalam kesunyian yang pekat, tak bisa menerima kenyataan bahwa Salsa telah benar-benar pergi dari hidupnya. Mereka putus dan kali ini, bukan hanya sekedar adu mulut biasa yang akan diselesaikan dengan permintaan maaf.

"Sudah cukup, Dayi. Aku lelah," suara Salsa terngiang di telinganya, dingin dan tajam. "Kamu selalu bilang mencintaiku, tapi setiap kali aku terluka, kamu selalu menutup mata. Aku nggak bisa lagi bertahan."

Itu adalah kata-kata terakhir yang didengarnya dari Salsa. Perilakunya yang sering melukai hati Salsa dengan cemburu buta, kata-kata kasar, dan egoisme yang tak terkendali telah memutuskan hubungan mereka. Salsa, yang selama ini sabar, akhirnya menyerah.

Dayi merasa hancur, tapi yang lebih mengerikan adalah perasaan bersalah yang menyesakkan. Setiap hari setelah mereka berpisah, dia merasa kehilangan arah. Semua hal terasa tidak berarti tanpa Salsa di sisinya. Dia menjadi terobsesi dengan kenangan-kenangan mereka, berulang kali memutar ulang momen-momen indah yang pernah mereka alami bersama. Namun, semakin ia tenggelam dalam kenangan itu, semakin gila perasaannya. Dia tidak tahu bagaimana harus melanjutkan hidup.

Suatu hari, seorang teman menyarankan Dayi untuk menemui seorang konselor bernama Oskar. Awalnya, Dayi ragu. Dia tidak percaya ada orang yang bisa memahami kesakitannya. Tapi, semakin lama dia merasakan kekosongan itu, semakin dia menyadari bahwa dia membutuhkan bantuan.Pertemuan pertama dengan Oskar terjadi di sebuah ruang kecil yang tenang. Oskar, seorang pria berusia pertengahan 30-an dengan sikap tenang dan ramah, mengajaknya berbicara tentang segalanya tentang Salsa, tentang penyesalan, dan tentang rasa sakit yang menghantuinya.

"Apa yang paling mengganggumu, Dayi?" tanya Oskar dengan lembut.

"Salsa," jawab Dayi dengan cepat. "Dia pergi. Aku nggak bisa hidup tanpa dia. Aku merasa... gila tanpa dia."

Oskar mengangguk pelan. "Apa menurutmu kehilangan Salsa membuatmu seperti ini, atau ada hal lain yang terjadi di dalam dirimu?"

Pertanyaan itu membuat Dayi terdiam. Dia berpikir keras. Selama ini, dia selalu menyalahkan kehilangan Salsa sebagai akar dari kegilaannya. Tapi, Oskar mengarahkan pandangannya ke dalam dirinya sendiri—ke arah yang selama ini tidak pernah dia perhatikan.

"Saya tidak tahu," akhirnya Dayi mengaku. "Mungkin... mungkin saya memang terlalu egois. Saya terlalu sibuk dengan diri saya sendiri, sehingga tidak pernah melihat apa yang Salsa rasakan."

Dari sesi ke sesi, Dayi mulai menyadari betapa sering dia melukai hati Salsa, bahkan tanpa dia sadari. Cemburu butanya, ketidakmampuannya untuk mendengarkan, dan ketidakpeduliannya terhadap perasaan Salsa adalah penyebab utama dari kehancuran hubungan mereka. Konseling bersama Oskar membuka matanya pada kenyataan pahit bahwa masalahnya tidak hanya terletak pada perpisahan itu, tetapi pada dirinya sendiri.

"Menyadari kesalahan adalah langkah pertama untuk berubah," kata Oskar pada salah satu sesi terakhir mereka. "Kamu masih punya waktu untuk memperbaiki diri, Dayi. Bukan untuk Salsa, tapi untuk dirimu sendiri."

Dayi pulang dari sesi itu dengan perasaan yang lebih ringan. Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, dia merasa ada harapan. Tidak lagi terobsesi dengan mengembalikan Salsa, tapi lebih kepada memperbaiki dirinya sendiri. Dia tahu, jika dia ingin sembuh dan menjadi pribadi yang lebih baik, dia harus memaafkan dirinya sendiri dan menerima kesalahannya. Beberapa bulan kemudian, Dayi duduk di tempat yang sama di kafe itu. Namun kali ini, tidak ada pandangan kosong di matanya. Dia telah berdamai dengan dirinya sendiri. Salsa memang telah pergi, dan mungkin tidak akan kembali. Tapi, dia bersyukur atas pelajaran yang telah dipelajarinya. Oskar telah membantunya menemukan ketenangan di tengah kekacauan batin yang dulu melingkupinya.

Cinta memang bisa membuat gila, tapi jika dipahami dengan benar, ia juga bisa menjadi jalan menuju kesembuhan. Hari itu, Dayi tersenyum kecil. Tidak ada lagi penyesalan, hanya harapan untuk hari esok yang lebih baik