Implementasi BK di TK
1.Ketersediaan Guru BK di TK
Berdasarkan observasi di TK AL Khairaat, ketiadaan guru Bimbingan dan Konseling (BK) menyebabkan guru kelas memegang peran sentral dalam mendukung perkembangan siswa secara emosional, sosial, dan akademik. Tantangan ini mencerminkan kurangnya tenaga profesional BK di pendidikan dasar, yang menurut (Dockweiler & Kaufman, 2024), keberadaannya penting untuk kebijakan pendidikan responsif terhadap kebutuhan siswa. Kekurangan konselor adalah isu global, sehingga pelatihan bagi guru non-BK dapat menjadi solusi sementara. Guru kelas di TK AL Khairaat menggunakan pendekatan berbasis aktivitas fisik dan sosial untuk menangani siswa dengan kebutuhan khusus, seperti hiperaktivitas, sebagaimana didukung temuan (Granger et al., 2024) tentang efektivitas pujian spesifik dan aktivitas fisik dalam meningkatkan keterlibatan siswa. Namun, tanpa guru BK yang terlatih, pendekatan ini kurang sistematis. (Frawley & Dillman Taylor, 2024) menyarankan terapi bermain untuk membantu anak-anak dengan pengalaman buruk di masa kecil, yang relevan bagi siswa TK AL Khairaat dengan perilaku hiperaktif. Selain itu, (Newland et al., 2024) menekankan pentingnya konsultasi kesehatan mental untuk memahami penyebab perilaku siswa dan mencegah kesalahan penanganan.
Ketidakhadiran guru BK juga membatasi akses terhadap layanan intervensi mendalam. (Harrison & Kee, 2024) menekankan perlunya pengembangan identitas profesional konselor melalui pelatihan dan dukungan kebijakan. Di TK AL Khairaat, pelatihan dasar BK bagi guru kelas dapat menjadi langkah awal hingga tersedia guru BK terlatih. Kesimpulannya, meski guru kelas telah berupaya mendukung siswa, keterbatasan ini menunjukkan pentingnya kebijakan strategis dalam penyediaan guru BK di tingkat TK. Langkah yang diperlukan mencakup pelatihan intensif bagi guru, penerapan terapi bermain, dan pengembangan kerangka dukungan multi-tiered untuk menciptakan layanan yang lebih inklusif dan responsif.
2. Permasalahan yang Terjadi
Masalah di TK AL Khairaat melibatkan siswa hiperaktif yang sering mengganggu pembelajaran, yang dapat menjadi gejala ADHD, seperti sulit berkonsentrasi, impulsif, dan aktivitas berlebih (Peisch et al., 2024). Gejala ini memengaruhi kemampuan anak dalam interaksi sosial dan pembelajaran. Penelitian (Peisch et al., 2024) menunjukkan bahwa ADHD berkorelasi dengan fungsi eksekutif anak, seperti pengaturan perhatian dan pengendalian impuls. Faktor lingkungan, seperti pengalaman masa kecil yang merugikan (ACEs), juga berkontribusi terhadap perilaku hiperaktif (Farooq et al., 2024). Intervensi efektif memerlukan pendekatan holistik, termasuk kombinasi strategi farmakologis, manajemen perilaku, dan pelatihan keterampilan sosial (Sibley et al., 2024). Selain pendekatan berbasis aktivitas fisik, TK AL Khairaat perlu menerapkan strategi tambahan seperti pengajaran regulasi emosi dan konseling kelompok. (Habibi Asgarabad et al., 2024) juga menyoroti hubungan ADHD dengan kecemasan, yang memerlukan strategi pengurangan kecemasan, seperti mindfulness atau terapi bermain.
3. Strategi yang Digunakan
Guru di TK AL Khairaat telah menerapkan strategi aktivitas fisik terstruktur, seperti bermain dan bernyanyi, serta penguatan positif berupa pujian, sebagaimana disarankan oleh (Li et al., 2024) dan (Lukban et al., 2024). Namun, pelatihan tambahan diperlukan untuk mendukung keberlanjutan strategi ini. Kolaborasi antara guru, keluarga, dan tenaga kesehatan, sebagaimana disarankan (Bégin et al., 2024), dapat memperkuat efektivitas intervensi. Teknologi juga dapat menjadi solusi inovatif untuk siswa dengan hiperaktivitas. Menurut (Letts et al., 2024), teknologi berbasis gerak dapat meningkatkan partisipasi siswa. Selain itu, (Vera & Heineke, 2024) menekankan pentingnya pendekatan yang mempertimbangkan konteks sosial dan budaya siswa. Dengan pelatihan profesional, kolaborasi lintas disiplin, dan integrasi teknologi, strategi di TK AL Khairaat dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan mendukung.