Psikoanalisis: Sejarah, Teknik, Pendekatan, dan Tujuan
sejarah
Psikoanalisis berkembang pada akhir abad ke-19 melalui pemikiran Sigmund Freud, yang mengajukan bahwa pengalaman masa lalu, terutama yang bersumber dari ketidaksadaran, membentuk struktur kepribadian dan mempengaruhi perilaku individu. Awalnya, Freud meneliti gangguan histeria bersama Josef Breuer, yang kemudian melahirkan teknik terapi bicara (talking cure). Dalam The Interpretation of Dreams (1899), Freud mengembangkan teori ketidaksadaran serta konsep id, ego, dan superego, yang kemudian menjadi dasar bagi pendekatan psikoanalitik. Seiring berjalannya waktu, psikoanalisis mengalami berbagai adaptasi dan kritik. Carl Jung memperluas teori ini dengan konsep ketidaksadaran kolektif, sementara Alfred Adler menekankan peran dorongan sosial dalam membentuk kepribadian. Pada perkembangan selanjutnya, psikoanalisis juga diterapkan dalam berbagai bidang, termasuk psikologi klinis, budaya, dan politik (Gourguechon, 2013).
tujuan
Tujuan utama psikoanalisis adalah membantu individu memahami konflik emosional yang tersembunyi dalam ketidaksadaran mereka. Dengan menggali pengalaman masa lalu dan pola pikir yang tidak disadari, individu dapat mengembangkan kesadaran diri (insight) yang lebih baik. Pendekatan psikoanalisis juga bertujuan untuk mengurangi kecemasan dan meningkatkan regulasi emosi melalui eksplorasi ketidaksadaran. Menurut Soldz (2007), dalam dunia yang semakin kompleks, psikoanalisis dapat membantu individu mempertahankan keseimbangan psikologis dengan memahami mekanisme pertahanan diri mereka.Selain itu, Lucas (2003) menyoroti bagaimana psikoanalisis dapat memberikan wawasan terhadap gangguan psikologis yang kompleks, seperti skizofrenia. Dalam praktiknya, psikoanalisis tidak hanya digunakan untuk mengatasi gangguan mental tetapi juga untuk meningkatkan kualitas hidup individu melalui pemahaman yang lebih dalam tentang motivasi dan dinamika interpersonal mereka.Secara keseluruhan, psikoanalisis tetap menjadi pendekatan yang relevan dalam memahami aspek psikologis manusia, baik dalam konteks klinis maupun sosial. Meskipun mengalami berbagai adaptasi, prinsip dasar tentang peran ketidaksadaran dan dinamika internal individu tetap menjadi landasan dalam praktik dan penelitian psikoanalitik.
Pendekatan dalam Psikoanalisis
Psikoanalisis mengalami berbagai perkembangan dan modifikasi sesuai dengan konteks sosial dan budaya. Dalam perkembangannya, pendekatan psikoanalisis klasik yang menitikberatkan pada pengalaman masa kecil dan ketidaksadaran berkembang menjadi pendekatan yang lebih kontekstual. Dalam kajian psikoanalisis di Asia, terutama di Tiongkok, ditemukan bahwa pendekatan psikoanalitik perlu menyesuaikan dengan nilai-nilai budaya setempat. Varvin & Gerlach (2011) mengungkapkan bahwa dalam terapi di Tiongkok, pemahaman tentang hubungan antarpribadi yang lebih kolektivis mempengaruhi bagaimana pasien menanggapi teknik terapi psikoanalitik. Selain itu, Zhong (2011) menyoroti adanya konflik antara prinsip psikoanalisis yang berfokus pada ekspresi individu dengan budaya yang menekankan harmoni sosial.Di luar konteks klinis, psikoanalisis juga diterapkan dalam studi sosial dan budaya. Forest (2016) membahas bagaimana psikoanalisis dapat digunakan untuk menganalisis periklanan dan dampaknya terhadap psikologi konsumen. Sementara itu, Chow et al. (2023) mengeksplorasi peran psikoanalisis dalam komunitas dan bagaimana pendekatan ini dapat digunakan untuk memahami fenomena sosial yang lebih luas.
Teknik dalam Psikoanalisis
Teknik utama dalam psikoanalisis bertujuan untuk mengeksplorasi ketidaksadaran guna memahami dan mengatasi konflik psikologis yang tersembunyi. Salah satu teknik yang paling dikenal adalah asosiasi bebas, di mana individu berbicara secara spontan tentang pikiran dan perasaan mereka tanpa sensor. Teknik ini memungkinkan akses ke pengalaman masa lalu yang mungkin telah ditekan.Teknik lain yang penting adalah analisis mimpi, yang dikembangkan Freud berdasarkan gagasan bahwa mimpi merupakan jalan menuju ketidaksadaran. Simbol dan tema dalam mimpi dianalisis untuk mengungkap konflik emosional yang tidak disadari (Scharff, 2016). Selain itu, transferensi dan kontra-transferensi menjadi aspek penting dalam terapi, di mana pasien memproyeksikan perasaan dari hubungan masa lalu kepada terapis, sementara terapis juga dapat mengalami respons emosional yang berharga untuk memahami dinamika klien.
DAFTAR PUSTAKA
Gourguechon, P. (2013). Typology of Applied Psychoanalysis. International Journal of Applied Psychoanalytic Studies, 10(3), 192–198. doi:10.1002/aps.1366
Varvin, S., & Gerlach, A. (2011). The Development of Psychodynamic Psychotherapy and Psychoanalysis in China. International Journal of Applied Psychoanalytic Studies, 8(3), 261–267. doi:10.1002/aps.308
Scharff, D. E. (2016). PSYCHOANALYSIS IN CHINA: AN ESSAY ON THE RECENT LITERATURE IN ENGLISH. The Psychoanalytic Quarterly, 85(4), 1037–1067. doi:10.1002/psaq.12121
Zhong, J. (2011). Working with Chinese Patients: Are there Conflicts Between Chinese Culture and Psychoanalysis? International Journal of Applied Psychoanalytic Studies, 8(3), 218–226. doi:10.1002/aps.304
Chow, L., Gaspar, S., Kassoff, B., Leavitt, J., & Peltz, R. (2023). Community psychoanalysis and the generative landscape of our times. International Journal of Applied Psychoanalytic Studies, 20(2), 230–250. doi:10.1002/aps.1822
Soldz, S. (2007). Thinking critically in the midst of the maelstrom: can psychoanalysis help us stay sane in an insane world? In Introduction to the Practice of Psychoanalytic Psychotherapy (Vol. 5, pp. 163–170). doi:10.1002/ppi.141
Lucas, R. (2003). Psychoanalytic Controversies: The relationship between psychoanalysis and schizophrenia. The International Journal of Psychoanalysis, 84(1), 3–9. doi:10.1516/RKJ1-HJJ7-XMWV-6FF9
Forest, F. (2016). Psychoanalysis of Advertising. International Journal of Applied Psychoanalytic Studies, 13(4), 338–350. doi:10.1002/aps.1450