Menanti yang Tak Datang

25 February 2025 00:44:45 Dibaca : 21

Senja hampir habis ketika Arga duduk di bangku taman kampus, membiarkan angin sore membelai rambutnya yang sedikit berantakan. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat seorang gadis berdiri di bawah pohon flamboyan, sesekali memainkan ujung rambutnya sambil sesekali melirik layar ponselnya. Raut wajahnya mengisyaratkan sesuatu: harapan. Namun, Arga tahu, harapan itu bukan untuknya.

“Kata orang, dia lagi nunggu ditembak,” ujar Dimas, temannya, sambil menyesap kopi kaleng yang baru dibelinya dari kantin. “Tapi bukan kau orangnya.”

Arga tertawa kecil, bukan karena ia menganggap itu lelucon, tetapi karena Dimas seolah menegaskan sesuatu yang sebenarnya sudah ia ketahui sejak lama. Gadis itu, Nadira, bukan sedang menunggunya. Ia menunggu seseorang yang lain, seseorang yang bisa membuat matanya berbinar setiap kali ponselnya berbunyi, seseorang yang bisa mengisi lamunannya dengan senyum dan tawa.

Namun, anehnya, Arga tetap di sini. Duduk di bangku taman yang sama setiap hari, menyaksikan Nadira menunggu. Ia tidak tahu pasti kenapa, tetapi mungkin, di dalam dirinya, ada bagian yang diam-diam berharap bahwa seseorang yang ditunggu Nadira itu tidak pernah datang.

“Kalau kau suka, kenapa tidak langsung saja tembak dia?” tanya Dimas lagi, kali ini lebih serius. “Setidaknya, kalau ditolak, kau bisa berhenti berharap.”

Arga menghela napas, matanya masih terpaku pada Nadira yang kini mengangkat telepon dengan ekspresi berbinar. “Karena bukan aku yang dia tunggu.”

Dimas mendengus, lalu menepuk bahu Arga sebelum pergi. Meninggalkan Arga sendirian dengan pikirannya yang berputar-putar di antara kenyataan dan harapan. Ia tahu betul bahwa logika tak seharusnya memberi ruang bagi sesuatu yang sudah jelas tak berbalas, tetapi perasaan tidak pernah sesederhana itu.

Nadira tertawa kecil di telepon, lalu mengangguk meski lawan bicaranya tak bisa melihatnya. Arga bisa menebak apa yang terjadi. Seseorang yang ia tunggu akhirnya datang. Mungkin mereka akan bertemu di kafe favorit mereka atau berjalan-jalan di sekitar kampus. Nadira akan tersenyum sepanjang percakapan mereka, dan Arga hanya akan menjadi bayangan di latar belakang.

Mungkin sudah saatnya berhenti menunggu seseorang yang tidak pernah menunggunya kembali.

Arga berdiri, menyelipkan tangan ke saku jaketnya, lalu berjalan menjauh sebelum sempat melihat Nadira pergi dengan seseorang yang bukan dirinya.