Validasi Perasaan: Bimbingan bagi Hati yang Bimbang
Malam merayap pelan di langit kota, menghamparkan kelam yang dihiasi gemintang redup. Di sudut taman dekat danau, lampu-lampu kecil berpendar lembut, menciptakan bayangan samar di bangku kayu yang sedikit basah oleh embun.
Dira duduk di sana, menggenggam erat secarik kertas yang telah lecek. Wajahnya tertunduk, pikirannya kalut oleh pertanyaan-pertanyaan yang terus bergelayut di benaknya. Malam ini, ia ingin mencari jawaban—tentang perasaannya, tentang seseorang yang selama ini ia cintai dalam diam.
Di hadapannya, seorang pria paruh baya dengan sorot mata teduh duduk tenang. Namanya Pak Riadi, seorang konselor yang sudah lama dikenal di lingkungan kampus. Ia memandang Dira dengan kesabaran yang tak tergesa-gesa, menunggu pemuda itu berbicara.
"Apa yang membuatmu ragu, Dira?" tanya Pak Riadi, suaranya tenang seperti aliran sungai di malam hari.
Dira menghela napas panjang. "Saya mencintainya, Pak. Saya benar-benar menyukainya. Tapi… saya tidak tahu apakah dia pantas untuk saya cintai."
Pak Riadi tersenyum kecil, lalu berkata, "Dira, tak ada yang salah dalam perasaan. Mencintai adalah fitrah, perasaan yang datang tanpa bisa kita kendalikan. Namun, yang perlu kamu pastikan adalah apakah dia memang tepat untuk dicintai."
Dira mengangkat kepalanya, menatap konselor di hadapannya dengan mata yang mulai berembun. "Maksud Bapak?"
"Kamu perlu memvalidasi perasaanmu, Dira. Apakah dia membalas perhatianmu dengan ketulusan? Apakah dia menghadirkan ketenangan dalam hatimu, atau justru membuatmu terus diliputi kecemasan? Cinta yang sehat bukan tentang menunggu seseorang berubah menjadi seperti yang kita harapkan, tapi tentang bagaimana perasaan itu tumbuh dalam lingkungan yang sehat."
Dira terdiam. Kata-kata itu terasa menelusup ke dalam relung hatinya, menyingkap sesuatu yang selama ini ia abaikan. Orang yang ia cintai selalu membuatnya bimbang, datang hanya ketika butuh, pergi tanpa pernah benar-benar memberi kepastian.
Pak Riadi melanjutkan, "Terkadang, kita harus berani mengakui bahwa perasaan kita tulus, tetapi mungkin orang yang kita cintai tidak tepat. Dan itu tidak apa-apa. Bukan berarti kamu gagal dalam mencintai, tetapi kamu sedang belajar untuk mencintai dengan lebih bijaksana."
Dira tersenyum kecil, meski matanya masih menyisakan ragu. Namun, malam ini, ia merasa sedikit lebih ringan. Ia menyadari bahwa perasaan yang ia miliki bukanlah kesalahan, tetapi tetap harus divalidasi agar tidak menjadi luka.
Di bawah langit malam yang kian pekat, Dira merobek suratnya perlahan. Bukan karena ia berhenti mencintai, tetapi karena ia mulai memahami bahwa mencintai juga berarti berani melepaskan jika itu yang terbaik bagi dirinya sendiri.