Mahasiswa BK, Dimana Empatimu?
Sebagai mahasiswa Bimbingan dan Konseling (BK), tentu banyak yang memahami bahwa empati adalah kunci utama dalam profesi ini. Empati bukan sekadar materi perkuliahan atau teori dalam buku teks. Empati adalah sikap dasar yang seharusnya melekat dalam diri setiap mahasiswa BK sebagai calon konselor masa depan.
Namun, sangat disayangkan, realita di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Masih banyak mahasiswa BK yang belum mampu menerapkan empati dalam kehidupan sehari-hari. Tidak sedikit dari mereka yang acuh tak acuh terhadap perasaan orang lain, bahkan tak jarang melontarkan candaan yang justru melukai hati teman sendiri. Sikap seperti ini tentu sangat ironis. Bagaimana mungkin seseorang yang sedang dipersiapkan untuk menjadi pendamping bagi orang-orang bermasalah, justru tidak mampu memahami kondisi emosional orang di sekitarnya? Bagaimana mungkin seseorang yang kelak akan membantu klien menghadapi tekanan hidup, malah cuek terhadap kesulitan kecil yang dialami temannya?
Empati itu bukan hanya dibutuhkan saat praktik konseling di ruang BK saja. Empati itu harusnya tumbuh dalam keseharian: saat berbicara, saat bercanda, saat melihat teman sedang murung, atau bahkan saat menghadapi orang yang berbeda pandangan sekalipun. Mahasiswa BK harusnya menjadi contoh bagaimana memperlakukan orang lain dengan penuh rasa hormat dan peduli. Menjadi pribadi yang bisa memahami, bukan malah menghakimi. Menjadi pendengar yang tulus, bukan hanya pembicara yang sibuk memberi nasihat tanpa rasa.
Sudah saatnya mahasiswa BK melakukan refleksi diri:
- Apakah aku sudah cukup peka terhadap perasaan orang lain?
- Apakah selama ini aku benar-benar mendengarkan, atau hanya menunggu giliran bicara?
- Apakah sikapku sudah mencerminkan seorang calon konselor?
Ilmu tanpa empati hanya akan menjadi teori kosong. Gelar tanpa kepekaan hanya akan menghasilkan konselor yang kaku dan tidak manusiawi. Jangan sampai gelar Sarjana BK hanya menjadi formalitas, tanpa diiringi karakter yang layak sebagai seorang konselor. Karena pada akhirnya, klien tidak hanya butuh solusi — mereka butuh didengarkan, dipahami, dan diterima.
Dan semua itu hanya bisa dilakukan... jika kamu punya empati.