Dialektika Cinta dan Pendidikan
Pendidikan tanpa cinta menggambarkan kondisi di mana proses pendidikan berlangsung tanpa adanya perhatian, kepedulian, atau relasi emosional yang sehat antara pendidik dan peserta didik. Dalam konteks ini, cinta bukan sekadar perasaan personal, tetapi menjadi bagian penting dalam pembentukan relasi edukatif yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan individu secara utuh (Aldridge, 2019).
Aldridge (2019) menjelaskan bahwa pendidikan idealnya berada dalam love triangle atau segitiga cinta, yaitu melibatkan hubungan antara guru, siswa, dan pengetahuan yang didasari cinta sebagai kekuatan penghubungnya. Pendidikan tanpa cinta mengabaikan elemen ini, sehingga cenderung bersifat kaku, transaksional, dan mengabaikan aspek kemanusiaan peserta didik. Bahkan, dalam konteks tertentu, pendidikan tanpa cinta dapat memperlemah solidaritas sosial dan mengurangi semangat keterlibatan individu dalam proses belajar (Fantuzzo, 2018).
Penelitian Hu & Wu (2019) juga menunjukkan bahwa pendidikan orang tua memiliki pengaruh terhadap cara pandang anak dalam memaknai cinta, termasuk dalam konteks pendidikan. Ketika pendidikan keluarga dan sekolah sama-sama miskin akan nilai cinta, maka dapat terbentuk generasi yang memiliki persepsi negatif terhadap hubungan sosial, termasuk dalam kehidupan akademik.
Dalam kajian literatur klasik, Gerlier (2019) menegaskan bahwa bahasa, pengetahuan, dan cinta saling berkaitan erat dalam proses pendidikan. Tanpa cinta, bahasa pendidikan kehilangan kehangatan, dan pengetahuan menjadi sekadar hafalan tanpa makna mendalam. Hal ini sejalan dengan Heath (2011) yang menekankan bahwa pendidikan yang adil secara sosial membutuhkan fondasi cinta, sebab cinta memampukan individu untuk saling memahami dalam perbedaan.
Laughey et al. (2021) bahkan memperkenalkan metode love and breakup letter dalam pendidikan kedokteran untuk mengungkapkan pengalaman emosional siswa. Ini menunjukkan bahwa keterlibatan emosional, termasuk cinta dan kecewa, merupakan bagian integral dari proses belajar. Ketidakhadiran cinta dalam pendidikan akan menciptakan jarak emosional antara guru dan siswa, sehingga menurunkan efektivitas pembelajaran.
Selain itu, cinta dalam pendidikan juga berkaitan dengan pembentukan identitas sosial dan nasionalisme. Schumann (2016) mengungkapkan bahwa pendidikan seharusnya mampu menyeimbangkan antara cinta tanah air (patriotisme) dan keterbukaan terhadap nilai-nilai global (kosmopolitanisme). Pendidikan tanpa cinta akan cenderung mengarah pada eksklusivitas dan resistensi terhadap keberagaman.
Standley (2022) menambahkan bahwa pendidikan memiliki peran penting dalam membongkar mitos-mitos cinta yang keliru, termasuk dalam konteks hubungan romantis siswa. Ini menunjukkan bahwa cinta dalam pendidikan tidak hanya berkaitan dengan kasih sayang antarpersonal, tetapi juga mencakup pembentukan pola pikir kritis terhadap relasi sosial.
Dalam konteks pendidikan sains dan STEM, Basile & Azevedo (2022) mengkritik bahwa upaya keadilan sosial dalam pendidikan sering kali kehilangan elemen cinta sebagai refleksi diri dalam praktik pendidikan. Tanpa cinta, pendidikan cenderung hanya berfokus pada pencapaian formal tanpa memperhatikan kesejahteraan emosional siswa.
Ho et al. (2024) menegaskan bahwa nilai cinta, keadilan, dan kepedulian lingkungan harus menjadi bagian dari pendidikan, termasuk dalam pendidikan berbasis agama. Pendidikan tanpa cinta bukan hanya kehilangan esensi moral, tetapi juga mengabaikan tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam diri peserta didik.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan tanpa cinta merupakan kondisi yang mereduksi peran pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia. Pendidikan yang mengabaikan cinta tidak hanya berdampak pada relasi guru-siswa yang kaku, tetapi juga berpotensi melemahkan solidaritas sosial, mempersempit pemaknaan belajar, serta menciptakan ketimpangan dalam pengembangan karakter peserta didik.
Daftar Pustaka
Aldridge, D. (2019). Education’s Love Triangle. Journal of Philosophy of Education, 53(3), 531–546. doi:10.1111/1467-9752.12373
Hu, A., & Wu, X. (2019). Parental Education and College Students’ Attitudes Toward Love: Survey Evidence From China. Journal of Marriage and Family, 81(3), 584–600. doi:10.1111/jomf.12561
Gerlier, V. (2019). ‘How Well He’s Read, To Reason Against Reading’: Language, Eros and Education in Shakespeare’s Love’s Labour’s Lost. Journal of Philosophy of Education, 53(3), 589–604. doi:10.1111/1467-9752.12381
Fantuzzo, J. P. (2018). Facing the Civic Love Gap: James Baldwin’s Civic Education for Interpersonal Solidarity. Educational Theory, 68(4–5), 385–402. doi:10.1111/edth.12323
Heath, S. B. (2011). New Love, Long Love: Keeping Social Justice and Ethnography of Education in Mind. Anthropology & Education Quarterly, 42(4), 397–403. doi:10.1111/j.1548-1492.2011.01147.x
Laughey, W. F., Brown, M. E. L., Liu, A., Dueñas, A. N., & Finn, G. M. (2021). Love and breakup letter methodology: A new research technique for medical education. Medical Education, 55(7), 818–824. doi:10.1111/medu.14463
Schumann, C. (2016). Which Love of Country? Tensions, Questions and Contexts for Patriotism and Cosmopolitanism in Education. Journal of Philosophy of Education, 50(2), 261–271. doi:10.1111/1467-9752.12205
Standley, J. (2022). Lessons in love: Countering student belief in romantic love myths. Journal of Philosophy of Education, 56(5), 739–751. doi:10.1111/1467-9752.12687
Basile, V., & Azevedo, F. S. (2022). Ideology in the mirror: A loving (self) critique of our equity and social justice efforts in STEM education. Science Education, 106(5), 1084–1096. doi:10.1002/sce.21731
Ho, M. Y., Hui, T. Y., & Chan, J. K. Y. (2024). Environmentalism and Christian Values in Hong Kong: The Potential Influences of Stewardship, Justice, Love, and Church Environmental Education. Journal for the Scientific Study of Religion, 63(4), 867–887. doi:10.1111/jssr.12930