Cinta yang Tak Ternilai: Sebuah Telaah Kritis
Cinta sering kali dipersepsikan sebagai sesuatu yang tak ternilai, melampaui ukuran material maupun kalkulasi ekonomi. Namun, dalam konteks sosial kontemporer, narasi mengenai cinta tak lepas dari konstruksi nilai yang dipengaruhi oleh relasi kuasa, konsumsi budaya, dan ekonomi emosi. Zangwill (2013) menegaskan bahwa cinta bersifat amoral dan arasional, dalam arti ia tidak tunduk pada norma moral konvensional atau logika rasionalitas ekonomis. Pandangan ini menekankan bahwa cinta memiliki dimensi otonom yang menjadikannya unik dan "tak ternilai" dalam kerangka eksistensial manusia.
Namun demikian, nilai cinta dalam masyarakat modern tidak sepenuhnya terlepas dari proses komodifikasi. Pelzelmayer (2018) menunjukkan bagaimana cinta dan perawatan dalam kerja domestik berbasis tinggal-secara-live-in (live-in care) sering kali dipertukarkan dalam bentuk jasa berbayar, yang secara paradoks mereduksi makna cinta sebagai tindakan altruistik menjadi relasi kerja transaksional. Komodifikasi cinta ini mencerminkan pergeseran nilai sosial, di mana afeksi menjadi bagian dari kapitalisme afektif yang lebih luas.
Transformasi dari sesuatu yang “tak ternilai” menjadi “dihargai” (priced) juga tampak dalam konteks pendidikan tinggi, seperti ditunjukkan oleh Sakhiyya dan Rata (2019). Mereka menjelaskan bahwa nilai pengetahuan, yang dulunya dianggap sebagai warisan budaya yang tak ternilai, kini diperlakukan sebagai komoditas dalam pasar global pendidikan. Fenomena serupa dapat dilihat dalam representasi cinta, yang turut mengalami proses pembendaan melalui media, kebijakan, dan konsumsi simbolik.
Dalam kajian sejarah budaya, Holloway (2020) menggambarkan bagaimana Hari Valentine di Inggris pada abad ke-17 hingga ke-19 menjadi momen penting dalam menormalisasi praktik konsumsi cinta. Surat cinta, hadiah, dan simbol-simbol kasih sayang dijadikan medium komersial yang pada akhirnya membingkai cinta dalam bentuk-bentuk yang dapat dibeli dan dijual. Hal ini menunjukkan bahwa cinta tak lagi berada di luar jangkauan pasar, tetapi justru terinternalisasi dalam praktik budaya sehari-hari.
Kritik atas hilangnya keaslian cinta juga muncul dalam representasi media. Yang (2024) menguraikan bagaimana dokumenter *Hard Love* menyoroti ketidakmampuan untuk mencintai dalam struktur relasi intim yang berubah drastis akibat tekanan sosial dan emosional. Ketika cinta kehilangan kedalaman afektifnya, ia tak lagi menjadi kekuatan yang menyelamatkan, melainkan sekadar struktur simbolik yang kosong makna. Hal ini memperkuat pandangan bahwa cinta yang tak ternilai bukanlah realitas universal, melainkan konsep yang terus dinegosiasikan melalui pengalaman sosial.
Meski begitu, masih terdapat narasi historis dan edukatif yang mempertahankan cinta sebagai sesuatu yang luhur. Stuttle (1955), dalam konteks pendidikan anak, menyebutkan bahwa nilai-nilai seperti kasih sayang dan perhatian adalah "materi tak ternilai" dalam membentuk karakter generasi muda. Di sisi lain, Gomery (1995) melalui telaah arsip sejarah film, menyatakan bahwa cinta dan perhatian orang tua terhadap pendidikan anak digambarkan sebagai “anugerah yang tak ternilai”, memperlihatkan bahwa dalam diskursus publik, cinta tetap memiliki nilai simbolik yang tinggi meskipun berada dalam lanskap sosial yang berubah.
Dengan demikian, cinta yang tak ternilai adalah sebuah konstruksi yang tidak statis. Ia bergerak antara glorifikasi emosional, komodifikasi budaya, dan resistensi etis terhadap pasar. Meskipun cinta sering digambarkan sebagai entitas yang murni dan tidak dapat diukur, kenyataannya ia terus bertransformasi sesuai dengan dinamika sosial, ekonomi, dan budaya yang mengitarinya.
Daftar Pustaka
Gomery, D. (1995). Two Documents: Your Priceless Gift And The 1946 Film Daily Yearbook. Historical Journal Of Film, Radio And Television, 15(1), 125–135. Doi:10.1080/01439689500260071
Holloway, S. (2020). Love, Custom & Consumption: Valentine’s Day In England C. 1660–1830. Cultural And Social History, 17(3), 295–314. Doi:10.1080/14780038.2019.1646075
Pelzelmayer, K. (2018). Care, Pay, Love: Commodification And The Spaces Of Live-In Care. Social & Cultural Geography, 19(7), 853–872. Doi:10.1080/14649365.2017.1315446
Sakhiyya, Z., & Rata, E. (2019). From ‘Priceless’ To ‘Priced’: The Value Of Knowledge In Higher Education. Globalisation, Societies And Education, 17(3), 285–295. Doi:10.1080/14767724.2019.1583089
Stuttle, M. A. (1955). Those Priceless Materials. Childhood Education, 31(8), 377–377. Doi:10.1080/00094056.1955.10726626
Yang, F. (2024). Inability To Love: Change Of Intimate Structure In The Documentary Hard Love. Feminist Media Studies, 24(3), 646–650. Doi:10.1080/14680777.2023.2274812
Zangwill, N. (2013). Love: Gloriously Amoral And Arational. Philosophical Explorations, 16(3), 298–314. Doi:10.1080/13869795.2013.812739