Kau Fokus dengan Karirmu, Aku dan Tulisanku
Di sudut waktu yang pernah kita duduki bersama, aku masih duduk dengan secangkir kopi dan semoangkok bakso yang kini hanya menemaniku sendiri. Kau pergi, bukan karena lupa, tapi karena ada yang harus kau kejarĀ karirmu, ambisimu, dan masa depan yang tak bisa menunggu.
Aku mengerti, sungguh. Dunia ini kejam pada orang-orang yang hanya berharap tanpa bergerak. Maka kau bergerak. Langkahmu cepat, matamu tajam menatap puncak yang ingin kau daki. Dan aku? Aku memilih diam, menetap, menuliskan kisah-kisah yang kau tinggalkan. Tulisan-tulisanku mungkin tak sehebat pencapaianmu. Tak ada gelar di belakang namaku, tak ada gedung bertingkat yang bisa kubanggakan. Tapi aku punya halaman-halaman penuh kata yang menyimpan jejakmu jejak kita. Karena setiap larik yang kutulis adalah percakapan denganmu yang tak pernah selesai.
Kau sibuk menaklukkan dunia, aku sibuk mencatat rasanya ditinggal oleh seseorang yang kucintai namun tak bisa kumiliki seutuhnya. Mungkin beginilah jalan kita. Kau dengan statistik dan strategi, aku dengan metafora dan melankolia. Tapi jangan salah sangka. Ini bukan keluhan, bukan pula ratapan. Ini adalah bentuk cinta paling tenang: membiarkan kau pergi tanpa membenci arah yang kau tuju. Dan menulis, adalah caraku untuk terus mencintaimu dalam bentuk paling sunyi. Kelak, mungkin kau akan menemukan namaku di sebuah buku usang, atau kutipan kecil di balik halaman majalah. Dan saat itu, semoga kau tahu: di balik setiap tulisan yang kau baca, ada aku yang dulu pernah begitu mencintaimu tanpa harus menghentikanmu.