KATEGORI : Ulasan

Malam Tumbilo Tohe

25 March 2025 23:29:53 Dibaca : 11

Malam pasang lampu atau masyarakat Gorontalo menyebutnya dengan Malam tumbilo tohe, dimana ini menandakan ramadan akan meninggalkan kita dan akan menuju kemenangan atau lebaran. Malam pasang Lampung identik dengan lampu-lampu tradisional berupa lentera bergeser indah halaman selasa rumah, dan ada juga yang menggantungnya dipagar-pagar selasar rumah. 

 

Pada malam ini anak-anak bergembira, karena mereka mencari zakat namanya, mereka akan datang ke rumah-rumah untuk meminta uang zakat atau bisa disebut uajg hari raya. Tak dapat dipungkiri ini sudah tradisi yang menjamur di Gorontalo, dan banyak juga masyarakat yang terbuka dengan hal ini, jika biasanya uang hari raya diberikan pada saat lebaran tapi banyak juga yang memberikan uang hari raya atau masyarakat Gorontalo menyebutnya zakati di malam pasang lampu tumbilotohe. Tentu ini disambut sangat gembira oleh anak-anak, ada rasa senyum dan kebahagiaan yang terukur indah di bibir mereka.

 

Dikutip dari Hulondalo.id konon Tumbilo tohe sudah berlangsung sejak abad XV. Pada masa itu, lampu penerangan masih terbuat dari wamuta atau seludang yang dihaluskan dan diruncingkan, kemudian dibakar. Alat penerangan ini disebut wango. Tahun-tahun berikutnya, alat penerangan mulai menggunakan tohetutu atau damar, semacam getah padat yang akan menyala cukup lama ketika dibakar. Tumbilo tohe hanya ada di Gorontalo yang mulai tersebar di beberapa wilayah, khususnya di Pulau Sulawesi. Tradisi ini juga telah dinobatkan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia pada tahun 2014 silam.

 

Dikutip dari Detik.com Dahulu kala, masyarakat memasang lampu minyak tanah di sepanjang pinggir jalan. Mereka kompak memberikan penerangan bagi petugas setempat yang sedang mengumpulkan zakat fitrah berupa beras dari rumah-rumah di daerah tersebut.

 

Kini, tradisi tersebut tidak hanya dimaksudkan untuk tujuan tersebut, tetapi juga untuk menyambut hari lebaran dan mengapresiasi umat yang menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan. Yang berikut Tumbilo tohe juga menandakan lebaran tinggal sedikit lagi karena Tumbilo tohe baru bisa dilaksanakan pada bulan puasa malam ke 27 hari. 

 

Malam tumbilo tohe tentu sangat indah lampu lentera dimana mana menambah objek wisata di Gorontalo, Tumbilo tohe merupakan tradisi Gorontalo yang harus dilestarikan karena ini merupakan budaya Gorontalo, tak heran banyak objek-objek wisata yang memotret fenomena ini banyak festival-festival. Masih menurut Hulondalo.id Saat malam Tumbilotohe, wilayah Gorontalo menjadi terang benderang, cahayanya merata ke seluruh wilayah, nyaris tak ada sudut kota yang gelap.

 

Tradisionalnya, lampu Tumbilo tohe menggunakan media botol kaca kecil yang diisi dengan minyak tanah dan sumbu agar api dapat menyala. Bukan hanya dirumah rumah saja sawah yang kosong dan pekarangan yang lapang turut di letakan lampu botol kecil (lentera).

 

Akan tetapi budaya dan tradisi ini mulai terdegradasi dengan kemajuan jaman, dimana lampu yang dahulunya menggunakan lentera atau botol kecil berisi minyak tanah dan terdapat sumbu untuk menyalakan lampu kini sudah berganti menggunakan lampu tumbler oleh karena itu masyarakat Gorontalo harus melestarikan tradisi ini. 

Organisasi Kampus Hilang Arah?

16 March 2025 21:28:47 Dibaca : 24

 

Organisasi kampus, dahulu kala, adalah jantung kehidupan mahasiswa. Tempat di mana ide-ide brilian lahir, kepemimpinan ditempa, dan persahabatan abadi terjalin. Namun, belakangan ini, muncul keresahan yang mendalam. Apakah organisasi kampus kita telah kehilangan arah? Apakah kita, sebagai mahasiswa, telah membiarkan wadah pengembangan diri ini meredup?

 

Gejala "hilang arah" ini tampak jelas. Partisipasi mahasiswa dalam kegiatan organisasi semakin menurun. Ruang-ruang diskusi yang dulu ramai kini sunyi. Program-program yang dijalankan terasa kurang relevan dengan kebutuhan zaman. Konflik internal pun tak jarang menghantui, menggerogoti semangat kebersamaan.

 

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi ini. Pertama, perubahan minat mahasiswa. Generasi milenial dan gen Z tumbuh di era digital, di mana interaksi virtual sering kali lebih diminati daripada pertemuan tatap muka. Kedua, pengaruh teknologi. Media sosial dan platform digital lainnya menawarkan berbagai hiburan dan informasi yang mengalihkan perhatian mahasiswa dari kegiatan organisasi. Ketiga, kurangnya kaderisasi. Regenerasi kepemimpinan yang tidak berjalan dengan baik menyebabkan organisasi kehilangan arah dan semangat.

 

Dampak dari "hilang arah" ini sangatlah signifikan. Mahasiswa kehilangan kesempatan untuk mengembangkan soft skills yang sangat dibutuhkan di dunia kerja. Kemampuan berkomunikasi, bekerja sama, dan memimpin menjadi tumpul. Lingkungan kampus pun terkena imbasnya. Iklim akademik yang seharusnya dinamis dan progresif menjadi lesu. Tradisi-tradisi positif yang dulu dijunjung tinggi mulai pudar.

 

Namun, harapan tidak boleh pupus. Kita masih bisa membalikkan keadaan. Langkah pertama adalah revitalisasi program kerja organisasi. Mari kita rancang kegiatan yang relevan dengan minat dan kebutuhan mahasiswa saat ini. Pemanfaatan teknologi juga menjadi kunci. Kita bisa menggunakan platform digital untuk meningkatkan partisipasi, komunikasi, dan kolaborasi.

 

Kaderisasi yang berkualitas adalah fondasi organisasi yang kuat. Mari kita cari bibit-bibit unggul dan berikan mereka pelatihan kepemimpinan yang memadai. Kita juga perlu membangun budaya organisasi yang inklusif dan transparan, di mana setiap anggota merasa dihargai dan memiliki kesempatan untuk berkontribusi.

 

Peran mahasiswa sangatlah krusial. Kita adalah agen perubahan. Mari kita aktif berpartisipasi dalam kegiatan organisasi, memberikan ide-ide segar, dan mengkritisi program-program yang tidak efektif. Jangan biarkan organisasi kampus kita menjadi sekadar formalitas. Mari kita jadikan wadah ini sebagai tempat untuk belajar, berkembang, dan berkontribusi bagi masyarakat.

 

Organisasi kampus yang sehat dan dinamis adalah cerminan dari kualitas mahasiswa dan perguruan tinggi itu sendiri. Mari kita bersama-sama mengembalikan arah organisasi kampus kita ke jalur yang benar. Mari kita jadikan organisasi kampus sebagai kawah candradimuka, tempat di mana calon-calon pemimpin bangsa ditempa.

Di tengah hiruk pikuk persiapan pemilihan kepala daerah (pilkada), sebuah pertanyaan mendasar kembali mengemuka: siapakah yang sebenarnya berhak menentukan pemimpin daerah? Apakah rakyat pemilih, atau segelintir elite partai politik, khususnya ketua umum? Realitasnya, praktik politik di Indonesia seringkali menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan, di mana keputusan penting terkait calon kepala daerah lebih banyak ditentukan oleh preferensi ketua umum partai, bukan aspirasi rakyat.

 

Praktik ini jelas bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi, yaitu kedaulatan rakyat. Dalam negara demokrasi, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Rakyatlah yang berhak menentukan siapa yang akan memimpin mereka. Pemilihan kepala daerah adalah salah satu perwujudan nyata dari prinsip ini. Namun, ketika ketua umum partai mendominasi proses pencalonan, suara rakyat seolah tereduksi menjadi formalitas belaka.

 

Dominasi ketua umum partai dalam pilkada juga berpotensi mengabaikan kepentingan lokal. Kepala daerah yang dipilih bukan berdasarkan aspirasi masyarakat setempat, melainkan kepentingan elite partai, cenderung tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang kebutuhan dan permasalahan daerah. Akibatnya, kebijakan yang diambil pun tidak optimal, bahkan kontraproduktif.

 

Selain itu, kepala daerah yang terpilih melalui mekanisme yang tidak demokratis cenderung kurang akuntabel kepada rakyat. Mereka merasa lebih berutang budi kepada ketua umum partai yang telah mengusung mereka, daripada kepada rakyat yang telah memilih mereka. Kurangnya akuntabilitas ini membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan nepotisme.

 

Dominasi ketua umum partai dalam pilkada juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi partai politik itu sendiri. Keputusan yang tidak populer di kalangan kader dan pemilih dapat memicu konflik internal dan perpecahan. Lebih jauh lagi, hal ini dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap partai politik secara keseluruhan.

 

Lalu, bagaimana seharusnya pilkada yang demokratis itu diwujudkan? Pertama, partai politik perlu menerapkan mekanisme pemilihan calon yang lebih transparan dan partisipatif. Libatkan kader dan anggota partai di tingkat daerah dalam proses pengambilan keputusan. Kedua, masyarakat sipil perlu dilibatkan secara aktif dalam proses pengawasan dan pemberian masukan terkait calon kepala daerah. Ketiga, perlu ada reformasi undang-undang yang mengatur pilkada, untuk membatasi intervensi elite partai dalam proses pencalonan.

 

Kepala daerah adalah pemimpin yang akan menentukan arah pembangunan daerah selama lima tahun ke depan. Oleh karena itu, sudah sepatutnya rakyatlah yang memiliki hak penuh untuk memilih mereka. Jangan biarkan segelintir elite partai merampas hak demokrasi rakyat. Mari kita wujudkan pilkada yang jujur, adil, dan demokratis, di mana kepala daerah benar-benar menjadi pilihan rakyat, bukan pilihan ketua umum.

KELURGA : PONDASI UTAMA PENDIDIKAN ANAK SEBELUM MENGINJAK SEKOLAH ?

By Safrin Lamusrin

Sumber Gambar : https://depositphotos.com

Pasti kita selalu menganggap bahwa sekolah merupakan bagian dari instrumen pendidikan, dan menganggap sekolah adalah pendidikan utama dan yang terakhir bagi kita. Seperti kita ketahui bersama, bahwa sekolah memainkan peran dalam pendidikan yang mengajarkan kita berbagai macam materi dan yang bermanfaat, kedisiplinan dan rasa tanggung jawab telah dibentuk selama kita duduk di bangku sekolah. Akan tetapi dari semua hal yang telah diuraikan di atas maka dalam pembentukan karakter dan tanggung jawab sebelum sekolah, maka keluarga menjadi pendidikan utama bagi anak sebelum menginjak sekolah mengapa demikian?

 

Pendidikan merupakan suatu alur budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia melalui proses yang panjang dan berlangsung terus menerus sepanjang hayat. Menurut (Mashup, Dkk : 2023) dalam buku Telaah Kurikulum dan Buku Teks pada halaman pertama mengungkapkan “Pendidikan itu terjadi  melalui interaksi insani tanpa batasan rung dan waktu”.

 

Maka dengan itu, berdasarkan uraian tersebut yang mengatakan bahwa pendidkan tidak mengenal batasan ruang dan waktu memberikan dukungan bahwa keluarga layak dikatakan sebagai pendidikan atau pondasi anak sebelum menginjak sekolah. Sebagai contoh, Sejak kita lahir sampai  masanya kita berumur 3 sampai 6 tahun kita diajari cara berdiri melangkah demi langkah hingga bisa berjalan, belajar mengucapkan kalimat pendek demi kalimat hingga kita bisa berbicara, mengenal angka dan huruf sehingga kita mengenal angka dan huruf tersebut dan bahkan berinteraksi melalui pertanyaan yang mereka tidak ketahui.

 

Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa keluarga menjadi pendidikan utama bagi anak, pera keluarga  dalam pembentukan karakter dimana seorang anak akan belajar nilai dasar seperti kejujuran, tanggung jawab dan rasa hormat. Di samping itu pembentukan kasih  sayang dan dukungan dan emosional. Anak akan diajarkan pendidikan dasar dalam berbagai aspek seperti moral, sosial, dan budaya.

 

Hal ini menandakan bahwa keluarga menjadi pondasi utama sebelum anak menginjak sekolah, pengenalan huruf, angka dan nilai akan dimatangkan dalam proses pendidikan ke dua yaitu sekolah. Menurut Umar Tirtaraharja, Dkk dalam buku ilmu pendidikan menyebutkan bahwa adanya tri pusat pendidikan yaitu dimulai dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu tidak dapat dipungkiri lagi bahwa keluarga menjadi pendidikan dasar sebelum sekolah.  

 

Kesimpulnnya, berdasarkan uraian demi uraian di atas maka keluarga-lah yang menjadi pendidikan dasar utama bagi anak sebelum menginjak sekolah. Oleh karena itu, peran orang tua dan keluarga sangat sentral dalam mendidik anak apalagi dalam hal pembentukan karakter, nilai, moral dan rasa hormat menghormati.  

Mengenal HAM (Hak Asasi Manusia)

21 February 2025 20:16:55 Dibaca : 21

         Manusia tentu merupakan mahluk sosial dan saling berinteraksi satu sama lain. dalam pemenuhan kebutuhan, manusia tentu sangat membutuhkan satu sama lain. Manusia saling berinteraksi satu dengan orang lain yang lalu kemudian membentuk kelompok kecil, dan kelompok kecil itu membentuk komunikas dan terbentuklah masyarakat yang terdiri dari individu—individu, kelompok, komunnitas dan masyarakat.

    Setiap manusia harus mampu memenuhi dan mewujudkan pemenuhan, maksudnya adalah, untuk bertahan hidup jelas manusia harus melakukan pemenuhan-pemenuhan untuk bertahan hidup. Dalam hal pemenuhan untuk hidup tersebut tidak boleh sampai melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia orang lain. Maksudnya adalah setiap manusia mempunyai HAM, dan HAM itu harus kita hargai karna itu merupakan pemberian dari Tuhan.

      HAM bersifat Universsal yang sudah diberikan sejak lahir. Dan manusia memiliki kesamaaan derajat. Punya kesamaaan dan tidak ada yang di tinggikan. Dipertegaskan agi bahwa manusia sama. Dalam aspek kebenaran, manusia kadang kala mempunyai kebenaran tapi kadang kala punya sisi tidak adanya kebenaran.

     Kemutlakan kebenaran hanya ada pada Tuhan Yang Maha Esa. Konteks sama rata hanya berlaku kkepada manusia, dimana manussia memiliki derajat yang sama dan tidak ada yang leebih tinggi di bandingkan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Maka muncul pertanyaan, Lantas jika sama apakah yang kaya dan yang punya kuasa itu derajatnya tinggi? maka jawabannya adalah itu status sosial dan bukan kederajatan. Kekayaan dan kekuasaan yang membagi si miskin, si kaya, si kuasa dan tidak punya kuasa merupakan staatus sosial dan staatsu jabatan.

        Oleh karena itu, Hak Asasi Manusia jelas terdiri dari dua Kata yaitu Hak Dan Asasi. Kata Hak memiliki arti kewenangan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Sudah menjadi seyoginya bahwa manusia merupakan mahluk yang otonom boleh melakkukan sesuatu ataau tidak merupakan hak-nya. Sedangkan kata Asasi berasal dari kataa Asas, yang artinya adalah pondasi, alas, dan atau dasar.