GANGGUAN BERBICARA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan atau menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Sebagai perluasan ini berbicara merupakan suatu sistem tanda-tanda yang dapat didengar (audible) dan yang kelihatan (visible) yang memanfaatkan otot dan jaringan otot tubuh manusia demi maksud dan tujuan gagasan-gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan. Berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatka faktor-faktor fisik, psikologis, neurologis, semantik, dan linguistik sedemikian ekstensif, secara luas sehingga dapat dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi kontrol manusia (Tarigan, 2008:16).
Bahasa sebagai instrumen komunikasi berperan dalam menyampaikan pesan dari penutur kepada pendengar. Kompetensi berbicara yang berada pada tataran mental kemudian diartikulasikan melalui organ bicara. Proses artikulasi bahasa melibatkan sistem yang sangat kompleks dan melibatkan berbagai organ pada tubuh manusia. Gangguan atau kerusakan pada organ bicara dapat menyebabkan terganggunya komunikasi normal. Pada makalah ini akan dipaparkan lebih jauh tentang gangguan berbicara yang disebabkan oleh gangguan mekanisme berbicara, gangguan akibat multifaktorial, dan gangguan psikogenik.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:
Bagaimanakah gangguan berbicara?Bagaimanakah gangguan mekanisme berbicara?Bagaimanakah gangguan akibat multifaktorial?Bagaimanakah gangguan psikogenik?1.3 Tujuan Penulisan
Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:
Untuk memahami gangguan berbicaraUntuk memahami gangguan mekanisme berbicaraUntuk memahami gangguan akibat multifaktorialUntuk memahami gangguan psikogenik
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 GANGGUAN BERBICARA
Berbicara adalah bentuk tindak tutur yang berupa bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap disertai dengan gerak-gerik tubuh dan ekspesi raut muka (Setyonegoro, 2013). Gangguan bicara terdiri dari masalah artikulasi, suara, kelancaran bicara (gagap), afasia (kesulitan dalam menggunakan kata-kata, biasanya akibat cedera otak) serta keterlambatan dalam bicara. Keterlambatan bicara dapat disebabkan oleh berbagai faktor termasuk faktor lingkungan atau hilangnya pendengaran (Masitoh, 2019).
Gangguan berbicara merupakan suatu gangguan yang dapat mempengaruhi cara seseorang untuk mengeluarkan suara dan membentuk kata-kata. Gangguan suara tertentu juga dapat dianggap sebagai gangguan bicara. Salah satu gangguan bicara yang paling sering terjadi yaitu gagap. Gangguan bicara lainnya termasuk apraksia dan disartria. Apraxia adalah gangguan bicara yang disebabkan oleh kerusakan pada bagian otak dimana seseorang tidak dapat mengikuti perintah sederhana, sementara disartria merupakan gangguan bicara di mana terjadi kelemahan pada otot-otot mulut, wajah, atau sistem pernapasan sehingga mulut sulit digerakkan.
Beberapa orang dengan gangguan bicara sebenarnya sadar dengan apa yang ingin mereka katakan tetapi orang tersebut tidak mampu mengungkapkan apa yang ada di pikiran. Kondisi ini dapat menyebabkan masalah rasa percaya diri seseorang dan dapat menyebabkan depresi. Gangguan bicara dapat dialami oleh orang dewasa maupun anak-anak dan merupakan suatu penyakit keturunan dan kondisi ini dapat berkembang seiring waktu, tetapi pengobatan yang dilakukan sejak dini dapat memperbaiki kondisi tersebut.
Gangguan bicara dapat mempengaruhi beberapa bagian tubuh seperti pita suara, otot, saraf, dan struktur lain di dalam tenggorokan. Gangguan bicara disebabkan oleh beberapa hal di bawah ini, termasuk:
1. Genetik
2. Kelainan bentuk saat kehamilan
3. Kerusakan pita suara
4. Kerusakan otak
5. Kelemahan otot
6. Kelemahan pernapasan
7. Stroke
8. Polip atau nodul pada pita suara
9. Kelumpuhan pita suara
10. Paska kecelakaan yang menyebabkan kerusakan otak
Seseorang yang memiliki masalah medis atau masalah perkembangan tertentu mungkin juga memiliki kelainan bicara. Kondisi yang dapat menyebabkan gangguan bicara antara lain:
1. Autisme
2. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
3. Stroke
4. Kanker mulut
5. Kanker laring
6. Penyakit Huntington
7. Demensia
8. Lou Gehrig (Amyotrophic Lateral Sclerosis / ALS)
Gejala gangguan bicara biasanya muncul dan bergantung pada apa yang menjadi penyebabnya. Gejala seseorang yang mengalami gangguan bicara, antara lain:
1. Pengucapan yang berulang dan paling sering terlihat pada orang yang gagap
2. Terdapat penambahan suara dan kata-kata yang berlebih
3. Perkataan atau pengucapan yang terlalu panjang
4. Melakukan gerakan tersentak-sentak saat berbicara biasanya melibatkan kepala
5. Mata berkedip beberapa kali saat berbicara
6. Terlihat frustasi saat mencoba untuk berkomunikasi
7. Sering ada jeda saat berbicara
8. Pengucapan yang berubah-ubah saat berbicara
9. Berbicara dengan suara yang serak atau parau
Ada banyak pemeriksaan yang tersedia untuk mendiagnosis gangguan bicara, di antaranya:
1. Tes skrining Artikulasi Denver
Pemeriksaan skrining artikulasi Denver merupakan sistem pemeriksaan yang umum digunakan untuk mendiagnosis gangguan artikulasi atau gangguan bicara. Tes ini dilakukan dengan cara mengevaluasi kejernihan pengucapan pada anak-anak antara usia 2-7 tahun. Tes yang dilakukan selama 5 menit ini menggunakan berbagai macam latihan untuk menilai bicara anak.
2. Language Milestones Scale 2
Tes ini dibuat oleh dokter spesialis perkembangan saraf anak oleh James Coplan, tes Language milestones scale 2 dilakukan untuk menentukan perkembangan bahasa anak. Tes ini dapat dengan cepat mengidentifikasi keterlambatan bicara atau gangguan bahasa pada anak-anak.
3. Tes Kosakata dengan Gambar Peabody
Tes ini dilakukan dengan cara mengukur kosakata dan kemampuan seseorang untuk berbicara. Seseorang akan mendengarkan berbagai kata dan memilih gambar yang menggambarkan kata-kata tersebut.Seseorang yang memiliki cacat intelektual dan seseorang yang buta tidak dapat menggunakan tes ini. Tes kosakata gambar Peabody telah direvisi berkali-kali sejak versi pertamanya tahun 1959.
Gangguan bicara ringan mungkin tidak memerlukan pengobatan yang khusus karena tetapi perlu memaksimalkan kemampuan bicaranya. pada beberapa orang, gangguan bicara dapat membaik dengan terapi wicara. Pengobatan gangguan bicara bervariasi dan tergantung pada jenis gangguannya dan penyebabn yang mendasarinya. Dalam terapi wicara, terapis profesional akan memberikan latihan yang berfungsi untuk memperkuat otot-otot di wajah dan tenggorokan.
Selain itu, diberikan pengajaran untuk mengendalikan pernapasan saat berbicara. Latihan penguatan otot dan pernapasan dapat membantu memperbaiki gangguan bicara dan berlatih untuk berbicara lebih fasih dan lancar. Beberapa orang dengan gangguan bicara biasanya merasa gugup, malu, atau depresi sehingga dengan terapi bicara dapat membantu Anda mengatasi situasi ini. Seorang terapis akan mengajarkan cara untuk mengatasi kondisi serta cara meningkatkan kepercayaan diri. Jika mengalami depresi parah, penggunaan obat antidepresan dapat membantu mengatasi masalah tersebut.
Komplikasi yang terjadi akibat gangguan bicara tidak diobati dapat menyebabkan seseorang mengalami rasa cemas yang berlebihan. Seiring waktu, rasa cemas ini dapat memicu gangguan atau fobia dalam berbicara di depan umum.
Pengobatan dini dalam mengatasi masalah kecemasan dapat membantu mencegah berkembangnya gangguan kecemasan atau fobia. Pilihan pengobatan seperti terapi bicara dan obat anti kecemasan umumnya dapat membantu meringankan gejala ataupun kondisi pasien. Gangguan bicara yang cepat ditangani dapat membantu mencegah gangguan bicara berkembang ke kondisi yang lebih buruk seperti terjadinya depresi, termasuk dengan prospek kecacatan yang mungkin terjadi, tetapi hal tersebut akan tetap bergantung pada tingkat keparahan gangguan bicara yang dialami.
2.1.1 Gangguan Mekanisme Berbicara
Mekanisme berbicara adalah suatu proses produksi ucapan (perkataan) oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan peru-paru. Maka gangguan berbicara berdasarkan meknismenya ini dapat dirinci menjadi gangguan berbicara akibat kelainan pada paru-paru (pulmonal), pada pita suara (laringan), pada lidah (lingual), dan pada rongga mulut dan kerongkongan (resonantal).
1. Gangguan Akibat Faktor Pulmonal
Gangguan berbicara ini dialami oleh para penderita penyakit paru-paru. Para penderita penyakit paru-paru ini kekuatan bernafasnya sangat kurang, sehingga cara berbicaranya diwarnai oleh nada yang monoton, volume suara kecil sekali, dan terputus-putus, meskipun dari segi semantik dan sintaksis tidak ada masalah.
2. Gangguan Akibat Faktor Laringan
Gangguan pda pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang sama sekali. Gangguan berbicara akibat faktor laringan ini ditandai oleh suara yang serak atau hilang, tanpa kelainan semantik dan sintaksisnyaa. Artinya, dilihat dari segi semantik dan sintaksis ucapannya bisa diterima.
3. Gangguan Akibat Faktor Lingual
Lidah yang sariawan atau terluka akan terasa pedih kalau digerakkan. Untuk mencegah timbulnya rasa pedih ini ketika berbicara maka gerak aktivitas lidah itu dikurangi secara semaunya. Dalam keadaan seperti ini maka pengucapan sejumlah fonem menjadi tidak sempurna, sehingga misalnya, kalimat “sudah barang tentu dia akan menyangkal” mungkin akan diucapkan menjadi “hu ah ba-ang ke-ku ia a-an me- angkay”. Pada orang yang terkena stroke dan badannya lumpuh sebelah, maka lidahnya pun lumpuh sebelah. Oleh karena itu, cara berbicaranya juga akan terganggu, yaitu menjadi pelo atau cadel. Istilah medisnya disatria (yang berarti terganggunya artikulasi).
4. Gangguan Akibat Faktor Resonansi
Gangguan akibat faktor resonansi ini menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau. Pada orang sumbing, misalnya. Suaranya menjadi tersengau (bindeng) karena rongga mulut dan rongga hidun yang digunakan untuk berkomunikasi melalui defek di langit-langit keras (palatum), sehingga resonansi yang seharusnya menjadi terganggu. Hal ini terjadi juga pada ornag yang mengalami kelumpuhan pada langit-langit lunak (velum). Rongga langit-langit ini tidak memberikan resonansi yang seharusnya, sehingga suaranya menjadi tersengau. Penderita penyakit miastenia gravis (gangguan yang menyebabkan otot menjadi lemah dan cepat lelah) sering dikenali secara langsung karena kesengauan ini.
2.1.2 Gangguan Akibat Multifaktorial
Akibat gangguan multifaktorial atau berbagai faktor bisa menyebabkan terjadinya berbagai gangguan berbagai gangguan berbicara. Antara lain adalah berikut ini :
1. Berbicara Serampangan
Berbicara serampangan atau semberono adalah berbicara dengan cepat sekali, dengan artikulasi yang rusak, ditambah dengan “menelan” sejumlah suku kata, sehingga apa yang diucapkan sukar dipahami. Dalam kehidupan sehari-hari kasus ini memang jarang dijumpai; tetapi didalam praktek kedokteran sering ditemui. Umpamanya kalimat “kmarin pagi saya sudah beberapa kali kesini” diucapkan dengan cepat menjadi “kemary sdada berali ksni”. Berbicara serampangan ini karena kerusakan di serebelum atau bisa juga terjadi sehabis terkena kelumpuhan ringan sebelah badan.
2. Berbicara Propulsif
Gangguan berbicara propulsif biasanya terdapat pada para penderita penyakit parkinson (kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku dan lemah). para penderita penyakit ini biasanya bermasalah dalam melakukan gerakan-gerakan. Mereka sukar sekali untuk memulai suatu gerakan. Namun, bila sudah bergerak maka ia dapat terus menerus tanpa henti. Gerak yang laju terus itu disebut propulsi. Pada waktu berbicara ciri khas ini akan tampak pula. Artikulasi sangat terganggu karena elastisitas otot lidah, otot wajah, dan pita suara, sebagian besar lenyap. Dalam pada itu volume suaranya kecil, iramanya datar (monoton). Suaranya mula-mula tersendat-sendat, kemudian terus menerus, dan akhirnya tersendat-semdat kembali. Oleh karena itu, cara berbicara seperti ini disebut propulsif.
3. Berbicara Mutis (Mutisme)
Penderita gangguan mutisme ini tidak berbicara sama sekali. Sebagian besar dari mereka mungkin masih dapat dianggap membisu, yakni memang sengaja tidak mau bicara. Mutisme ini sebenarnya bukan hanya tidak dapat berkomunikasi secara verbal saja tetapi juga tidak dapat berkomunikasi secara visual maupun isyarat, seperti dengan gerak-gerik, dan sebagainya. Dunia ilmiah sebenarnya belum dapat menjelaskan dengan tepat apa ,mutisme itu. Oleh karena itu, tak heran kalau kita dapatkan berbagai teori dan anggapan dari berbagai pihak tentang mutisme itu. Oleh karena itu pula, setiap orang yang tidak dapat berkomunikasi verbal dinyatakan sebagai mutistik. Dengan begitu seseorang yang membisu sebagai tindakan protes nonverbal dapat dianggap menderita mutisme histerik, padahal sebenarnya merupakan sindrom konversi histerik. Perwujudan histeria lain adalah mutisme elektif karena membisunya itu ditujukan kepada orang-orang tertantu saja, misalnya kepada gurunya atau pacarnya. Dewasa ini apa yang dulu dikenal sebagai mutisme akinetik lebih dikenal sebagai locked-in syndrome. Dalam hal ini, si penderita masih hidup karena jantung, paru-paru, ginjal, hati, dan hampir organ masih berfungsi. Hanya gerakan voluntar, pikiran, minat, keinginan dan semua fungsi luhur lainnya sudah tidak bekerja sama sekali. Mutisme lain diketahui penyebabnya. Hanya baru diperkirakan mutisme ini mungkin suatu keadaan jiwa yang terganggu sejak dilahirkan (Sidharta, 1982). Multisme tidak bisa disamakan dengan orang bisu, apalagi denga bisu tuli. Dalam hal kebisuan ini sebenarnya perlu dibedakan adanya tiga macam penderita. Pertama, orang yang bisu karena kerusakan atau kelainan alat artikulasi, sehingga dia tidak bisa memproduksi ujaran bahasa; tetapi alat dengarnya normal sehingga dia dapat mendengar suara bahasa orang lain. Kedua, orang yang bisu karena kerusakan kelainan alat artikulasi dan alat pendengarnya, sehingga dia tidak bisa memproduksi ujaran bahasa dan juga tidak mendengar ujaran bahasa orang lain. Ketiga, oramg bisu yang sebenarnya alat artikulasinya normal tidak ada kelainan; tetapi alat pendengarannya rusak atau ada kelainnan. Orang golongan ketiga ini menjadi bisu karena dia tidak pernah mendengar ujaran bahasa orang lain, sehingga dia tidak bisa menirukan ujaran bahasa itu.
Pasien golangan pertama, yang alat artikulasinya rusak atau mengalami kelainnan, sedangkan alat dengarnya normal, kalau fungsi hemisfer otak yang dominannya normal, masih akan dapat berkomunikasi. Hanya tentunya, jika diajak bertutur dia akan memjawab atau bertanya dalam bahasa isyarat, atau dalam bahasa tulis (jika dia sudah belajar menulis)
Pasien golongan kedua yang bisu tuli karena alat artikulasi dan alat pendengarannya rusak, kalau fungsi hemisfer otak yang dominannya normal, masih akan dapat berkomunikasi dengan bahasa isyarat atau dengan bahasa “membaca bibir”. Untuk dapat berkomunikasi itu tentunya mereka memerlukan pendidikan dan pelatihan khusus yang memakan banyak waktu.
Pasien golongan ketiga yang menjadi bisu karena kerusakan atau kelainan alat dengarnya, kalau fungsi hemisfer otak yang dominannya normal, masih bisa dilatih untuk memproduksi ujaran bahasa secara tidak sempurna karena dia tidak bisa mendengar ujaran bahasa itu. Pelatihan dilakukan dengan cara dia disuruh memperhatikannya,memegang dan merasakan “gerak mulut” pelatih bicaranya. Ia pun tentu memerlukan waktu yang cukup lama.
Ketiga golongan pasien kasus kebisuan tidak berkaitan dengan fungsi otak. Hanya barang kali perkembangan fungsi otak itu yang terganggu.
2.1.3 Gangguan Psikogenik
Selain karena karena faktor gangguan mekanisme berbicara sebagaimana dijelaskan diatas, ada juga gangguan berbicara disebabkan segi mental atau psikogenik. Gangguan ini bersifat lebih ‘ringan’ karena itu lebih tepat disebut sebagai variasi cara berbicara yang normal sebagai ungkapan dari gangguan mental. Modalitas mental ini terungkap dari nada, intonasi, intensitas suara, lafal, dan diksi atau pilihan kata. Ujaran yang berirama lancar atau tersendat-sendat dapat juga mencerminkan sikap mental si pembicara. Gangguan psikogenik ini antara lain sebagai berikut:
1. Berbicara Manja
Disebut berbicara manja karena ada kesan keinginan untuk dimanja sebagaimana anak kecil yang membuat perubahan pada cara bicaranya. Fonem (s) dilafalkan (c) sehingga kalimat “sakit sekali susah sembuhnya” menjadi “cakit cekali cucah cembuhnya”. Gejala seperti ini dapat diamati pada orang tua pikun atau jompo (biasanya wanita).
2. Berbicara Kemayu
Menurut Sidharta (dalam Chaer, 2009) istilah kemayu mengacu pada perangai kewanitaan yang berlebihan yang dalam hal ini ditunjukkan oleh seorang pria. Berbicara kemayu dicirikan oleh gerak bibir dan lidah yang menarik perhatian dan lafal yang dilakukan secara menonjol atau ekstra lemah gemulai dan memanjang. Meskipun berbicara jenis ini tidak langsung termasuk gangguan berbahasa, tetapi dapat dipandang sebagai sindrom fonologik yang mengungkapkan gangguan identitas kelamin.
3. Berbicara Gagap
Gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat-sendat, mendadak berhenti, lalu mengulang-ulang suku kata pertama, kata-kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat diselesaikan. Seperti orang yang ingin mengatakan,”awas ada pohon tumbang”, tetapi ia mengucapkannya secara terputus dan berulang-ulang sehingga menjadi seperti berikut,”a’….a..aw…awwaass…..a..aa..add..a…pp…po.hhon….ttu..tum…mbang”. Apa yang menyebabkan terjadinya gagap ini masih belum diketahui secara pasti, tetapi hal-hal berikut dianggap mempunyai peranan penting penyebab terjadinya gagap:
a. Faktor stres dalam kehidupan berkeluarga
b. Pendidikan anak yang dilakukan secara keras dan ketat, dengan membentak-bentak; serta tidak
c. mengizinkan anak berargumentasi dan membantah.
d. Adanya kerusakan pada belahan otak (hemisfer) yang dominan.
e. Faktor neurotik famial.
Jika hal ini terjadi pada anak-anak para orang tua sebaiknya tidak menganggap lucu atas keadaan ini karena akan membuat anak tersebut merasa malu bahkan akan memperparah gagapnya. Berikut ini beberapa hal yang harus dilakukan jika menghadapi seorang anak yang gagap:
a. Bersikap sabar dan tenang
b. Menyarankan anak untuk bicara dengan tenang dan perlahan
c. Jangan menirukannya
d. Berbicaralah dengan tenang dan perlahan-lahan dan jelas sehingga anak tersebut mempunyai banyak kesempatan untuk menirukan percakapan tersebut.
e. Berikan anak tersebut kesempatan untuk berbicara dan jangan memotong pembicaraannnya.
f. Berilah penghargaan kepadanya jika ia dapat berbicara dengan baik.
4. Berbicara latah
Latah adalah respon reflektif berupa perkataan atau perbuatan yang tidak terkendali yang terjadi ketika seseorang merasa kaget. Latah bukanlah penyakit mental, tapi lebih merupakan kebiasaan yang tertanam di pikiran bawah sadar. Setiap orang latah punya respon yang berbeda-beda dalam bereaksi terhadap stimulus yang mengagetkan, diantarnya:
a) Mengulangi perkataan orang lain
b) Meniru gerakan orang lain
c) Mengucapkan kata-kata tertentu berulang-ulang (biasanya kata-kata jorok)
d) Melaksanakan perintah secara spontan pada saat terkejut, misalnya; ketika penderita dikejutkan dengan seruan perintah seperti ”jongkok” atau “loncat”,dia akan melakukan perintah itu seketika.
Latah sering disamakan dengan ekolalla, yaitu perbuatan membeo, atau menirukan apa yang dikatakan orang lain; tetapi sebenarnya latah adalah suatu sindrom yang terdiri atas curah verbal repetitif yang bersifat jorok (koprolalla) dan gangguan lokomotorik yang dapat dipancing. Koprolalla pada latah ini berorientasi pada alat kelamin laki-laki. Yang sering dihinggapi penyakit latah ini adalah orang perempuan berumur 40 tahun ke atas. Awal mula timbulnya latah ini, menurut mereka yang terserang latah, adalah ketika bermimpi melihat banyak sekali penis lelaki yang sebesar dan sepanjang belut. Latah ini punya korelasi dengan kepribadian histeris. Kelatahan ini merupakan ”excuse” atau alasan untuk dapat berbicara dan bertingkahlaku porno, yang pada hakikatnya berimplikasi invitasi seksual (lihat juga W.F.Maramis, 1998: 416-418) Latah memang bukan gangguan psikologis yang serius dan malah banyak orang menganggapnya sebagai hiburan atau sesuatu yang lucu. Namun jika seseorang ingin tampil berwibawa atau jika ia tidak ingin lagi menjadi bahan godaan / tertawaan orang lain, maka ia harus menghilangkan kebiasaan latahnya.
Ada dua syarat yang harus dipenuhi agar kebiasaan latah bisa dihilangkan dengan cepat dan hasilnya permanen, yaitu:
a. harus sungguh-sungguh ingin berubah dan serius ingin menghilangkan kebiasaan latah Anda.
b. harus setuju untuk menganggap latah sebagai kebiasaan yang kurang baik dan merugikan diri sendiri.
Kebiasaan latah akan sulit dihilangkan atau bisa saja kambuh sewaktu-waktu apabila penderita menganggap menjadi latah itu lucu, menguntungkan dan menyenangkan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gangguan bicara merupakan suatu gangguan yang dapat mempengaruhi cara seseorang untuk mengeluarkan suara dan membentuk kata-kata. Gangguan bicara terdiri dari masalah artikulasi, suara, kelancaran bicara (gagap), afasia (kesulitan dalam menggunakan kata-kata, biasanya akibat cedera otak) serta keterlambatan dalam bicara. Keterlambatan bicara dapat disebabkan oleh berbagai faktor termasuk faktor lingkungan atau hilangnya pendengaran.
Mekanisme berbicara adalah suatu proses produksi ucapan (perkataan) oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan peru-paru. Akibat gangguan multifaktorial atau berbagai faktor bisa menyebabkan terjadinya berbagai gangguan berbagai gangguan berbicara. Selain karena karena faktor gangguan mekanisme berbicara dan gangguan multifaktorial, ada juga gangguan berbicara disebabkan segi mental atau psikogenik. Gangguan ini bersifat lebih ‘ringan’ karena itu lebih tepat disebut sebagai variasi cara berbicara yang normal sebagai ungkapan dari gangguan mental.
3.2 Saran
Makalah ini telah membahas mengenai gangguan berbicara. Penulis sangat berharapan masukan dan saran yang berarti demi diskursus wacana yang lebih kompleks terkait materi. Penulis berharap semakin bervariasi dalam pengkajian tentang gangguan berbicara dalam tataran psikolinguistik serta menjadi pemicu dalam produktifitas penelitian terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. (2009). Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Masitoh, M. (2019). Gangguan Bahasa dalam Perkembangan Bicara Anak. Edukasi Lingua Sastra, 17(1), 40-54.
Setyonegoro, A. (2013). Hakikat, alasan, dan tujuan berbicara (dasar pembangun kemampuan berbicara mahasiswa). Pena: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, 2(2).
Tarigan, Henry Guntur. (2008). Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Penerbit Angkasa.
Sumber referensi:
https://www.honestdocs.id/gangguan-bicara , (Diakses 21 Nopember 2022 pukul 09.00)
KEMAHIRAN BERBICARA
1.1 Pengertian Berbicara
Berbicara adalah salah satu kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui media bahasa. Berbicara adalah bentuk tindak tutur yang berupa bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap disertai dengan gerak-gerik tubuh dan ekspesi raut muka. Berbagai definisi telah dikemukakan untuk memberikan makna tentang berbicara. Sesuai fungsinya, berbicara adalah media yang digunakan manusia untuk berkomunikasi (Setyonegoro, 2013, hal. 68).
Tujuan utama berbicara adalah untuk menginformasikan gagasan-gagasan pembicara kepada pendengar. Akan tetapi, tujuan berbicara sebetulnya tidak hanya sebatas memberikan informasi kepada orang lain. Menentukan tujuan berbicara berarti kegiatan berbicara harus ditempatkan sebagai sarana penyampaian sesuatu kepada orang lain sesuai dengan tujuan yang diharapkan pembicara. Berbicara sebagai salah satu bentuk komunikasi dapat digunakan dalam berbagai tujuan. Dalam hal ini, Mulyana mengelompokkan tujuan berbicara ke dalam empat tujuan, yaitu tujuan sosial, ekspresif, ritual dan instrumental (Mulyana, 2001, hal. 5-30).
1.2 Unsur-unsur Keterampilan Berbicara
Dalam berbicara tentunya diperlukan berbagai unsur agar kegiatan tersebut dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan berbicara. Dalam berbicara terdapat beberapa unsur pokok. Ada lima unsur pokok dalam berbicara yaitu komunikator, pesan, komunikan, media, afek atau pengaruh. Pertama, komunikator adalah sekelompok orang yang menyampaikan pikiran, gaagsan, perasaan pada orang lain. Kedua, pesan adalah lambang yang bermakna yang membawakan pikiran atau perasaan komunikator. Ketiga, komunikan adalah seseorang atau sejumlah orang yang menjadi sasran komunikator ketika ia menyampaikan pesannya. Keempat, media adalah sarana untuk menyalurkan pesan-pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Kelima, efek adalah respon atau reaksi dari komunikan ketika menerima pesan dari komunikator (Almasitoh & Uningowati, 2014).
1.3 Situasi Berbicara
Situasi berbicara (Ghazali, 2010, hal. 251) sebagai berikut:
a. Pembicara dalam situasi berbicara bisa berinteraksi sebagai: teman, orang asing, bersikap netral, simpatik, atasan atau bawahan, guru atau siswa, dll.
b. Situasi lingkungan berbicara: di rumah sendiri atau orang lain, di kantor, di rumah sakit, di jalan, di kenderaan, di sekolah, di stasiun, dll.
c. Jenis interaksi berbicara sesuai fungsinya:
(1) Fungsi transaksional: pembicaraan pemberian informasi dan menerima informasi tentang fakta, kejadian, kebutuhan, opini, sikap, dan perasaan. (Polisi memberi petujuk arah tempat).
(2) Fungsi interaksional: pembicaraan mencakup fungsi-fungsi sosial seperti memberi salam, berpamitan, memperkenalkan diri, mengucapkan terima kasih, meminta maaf, memberi nasihat, memuji, dll. (Itu ide yang bagus sekali, Robert. Kerjakan sampai selesai!).
d. Jenis pembicraan sesuai arah sasaran:
(1) Sasaran satu arah: pembicara aktif sendiri dan pendengar pasif, tidak ada pertukaran peran (sebagai pembicara atau pendengar). Misalnya mengajar, berpidato, ceramah, dll.
(2) Sasaran dua arah: pembicara bergantian dalam berbicara, ada pergantian peran sebagai pembicara dan sebagai pendengar. Misalnya dalam diskusi, percakapan santai, debat, dll.
e. Jenis pembicaraan berdasarkan aturan:
(1) Pembicaraan resmi: pembicaraan yang diatur oleh pimpinan atau pengacara. Misalnya dalam rapat, seminar, konferensi, sidang, dll.
(2) Pembicaraan terbuka (tidak resmi): pembicaraan santai, pergaulan, pertemanan, keluarga, dll. Misalnya pembicaraan keluarga pada saat makan.
1.4 Pengajaran Keterampilan Berbicara
Dalam uraian berikut ini, ditawarkan alternatif strategi pembelajaran yang dapat diterapkan oleh guru dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Strategi pembelajaran yang ditawarkan diharapkan mampu mengatasi kesulitan belajar siswa dan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan (Dewantara, 2016, hal. 39-48):
1. Strategi Pembelajaran KSUPP (P)
KSUPP(P) merupakan suatu sarana keterampilan yang berpusat pada siswa dengan suatu komponen menulis yang bersifat fakultatif. KSUPP(P) adalah singkatan dari Kisahkan, Siapkan, Ulangi, Pakai, Pamerkan, dan Pekerjaan rumah yang ditaruh dalam kurung karena bersifat fakultatif, bersifat pilihan. Dalam bahasa Inggris disebut PPRUE(H) sebagai singkatan dari Present, Prepare, Rehearse, Use, Exhibit, dan Homework. Berikut adalah fase-fase kegiatan pembelajaran dengan strategi KSUPP(P) yang dapat dilakukan oleh guru dalam pembelajaran menceritakan pengalaman paling mengesankan (Dewantara, 2016, hal. 41).
2. Strategi Pembelajaran Kuantum
Sebagai contoh aplikasi strategi pembelajaran kuantum adalah dalam pembelajaran menyampaikan pengumuman. Stretegi pembelajaran kuantum diterapkan melalui metode diskusi dan tanya jawab dengan teknik koreksi sesama teman. Teknik lain adalah dengan menyertakan lelucon dan pengaturan pembentukan kelompok oleh guru. Media yang dapat digunakan oleh guru dalam pembelajaran ini dapat berupa video penyampaian pengumuman. Dua buah video yang memuat penyampaian pengumuman yang baik dan yang kurang baik dapat dilakukan agar siswa menjadi lebih tertarik untuk memperhatikan materi pembelajaran. Penilaian dilakukan dengan teknik tes unjuk kerja secara individu. Metode, teknik, media, dan penilaian tersebut terangkai dalam unsurunsur kerangka perancangan pengajaran quantum teaching yang digagas oleh De Porter dan koleganya. Unsur-unsur kerangka tersebut adalah Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan yang diakronimkan menjadi TANDUR (Dewantara, 2016, hal. 42).
3. Strategi Pembelajaran Kooperatif Berbantukan Objek Langsung
Bercerita merupakan sebuah bentuk keterampilan yang perlu dimiliki oleh siswa agar mereka dapat menyampaiakan suatu kisah dengan baik dan menarik perhatian lawan tuturnya. Media yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran bercerita melalui penerapan strategi pembelajaran kooperatif berbantu objek langsung adalah video. Prosedur pembelajaran kooperatif pada prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu (1) penjelasan materi; (2) belajar dalam kelompok; (3) penilaian; dan (4) pengakuan tim (Dewantara, 2016, hal. 44).
4. Strategi Pembelajaran Heuristik
Salah satu strategi yang dapat dipilih oleh guru adalah strategi pembelajaran heuristik. Misalnya dalam pembelajaran bercerita, strategi ini diterapkan melalui metode penugasan, diskusi, tanya jawab, dan demonstrasi dengan teknik storytelling berbantu media personal photograph (foto pribadi). Teknik penilaian yang dapat digunakan adalah teknik penilaian tes unjuk kerja secara individu dengan aspek yang dinilai adalah isi cerita, urutan, volume, lafal, intonasi, mimik dan gestur, serta penggunaan alat peraga (Dewantara, 2016, hal. 46).
1.5 Praktek Keterampilan Berbicara
Teknik pembelajaran keterampilan berbicara yang dapat dipraktikkan di sekolah (Rohmah, 2009):
1. Berbicara terpimpin: (Frase dan kalimat, Satuan paragraf, Dialog, Pembacaan puisi
2. Berbicara semi terpimpin (Reproduksi cerita, Cerita berantai, Menyusun kalimat dalam pembicaraan, Melaporkan isi bacaan secara lisan
3. Berbicara bebas (Diskusi, Drama, Wawancara, Berpidato, Bermain peran
Berdasarkan tingkatatan berbicara, teknik pembelajaran untuk:
1. tingkat pemula dapat digunakan: Ulang ucap, lihat ucap, permainan kartu kata, wawancara, permainan memori, reka cerita gambar, biografi, manajemen kelas, bermain peran, permainan telepon, dan permainan alfabet.
2. Tingkat menengah: Dramatisasi, elaborasi, reka derita gambar, biografi, permainan memori, wawancara, permainan kartu kata, diskusi, permainan telepon, percakapan satu pihak, pidato pendek, parafrase, melanjutkan cerita, permainan alfabet.
3. Tingkat yang paling tinggi: Dramatisasi, elaborasi, reka cerita gambar, biografi, permainan memori, diskusi, wawancara, pidato, melanjutkan cerita, talk show, parafrase, dan debat.
1.6 Ciri-ciri Pembicara yang Baik
Terdapat sejumlah ciri-ciri pembicara yang baik untuk dikenal, dipahami, dan dihayati, serta dapat diterapkan dalam berbicara (Rusmiati, 2002, hal. 30). Ciri-ciri tersebut meliputi hal-hal di bawah ini:
1. Memilih topik yang tepat. Pembicara yang baik selalu dapat memilih materi atau topik pembicaraan yang menarik, aktual dan bermanfaat bagi para pendengarnya, juga selalu mempertimbangkan minat, kemampuan, dan kebutuhan pendengarnya.
2. Menguasai materi. Pembicara yang baik selalu berusaha mempelajari, memahami, menghayati, dan menguasai materi yang akan disampaikannya.
3. Memahami latar belakang pendengar. Sebelum pembicaraan berlangsung, pembicara yang baik berusaha mengumpulkan informasi tentang pendengarnya.
4. Mengetahui situasi. Mengidentifikasi mengenai ruangan, waktu, peralatan penunjang berbicara, dan suasana.
5. Tujuan jelas. Pembicara yang baik dapat merumuskan tujuan pembicaranya yang tegas, jelas, dam gambling.
6. Kontak dengan pendengar. Pembicara berusaha memahami reaksi emosi, dan perasaan mereka, berusaha mengadakan kontak batin dengan pendengarnya, melalui pandangan mata, perhatian, anggukan, atau senyuman.
7. Kemampuan linguistiknya tinggi. Pembicara dapat memilih dan menggunakan kata, ungkapan, dan kalimat yang tepat untuk menggambarkan jalan pikirannya, dapat menyajikan materi dalam bahasa yang efektif, sederhana, dan mudah dipahami.
8. Menguasai pendengar. Pembicara yang baik harus pandai menarik perhatian pendengarnya, dapat mengarahkan dan menggerakkan pendengarnya ke arah pembicaraannya.
9. Memanfaatkan alat bantu.
10. Penampilannya meyakinkan.
11. Berencana
BIBLIOGRAFI
Almasitoh, U. H., & Uningowati, D. W. (2014). Peningkatan Kualitas Pembelajaran Berbicara dengan Metode Kooperatif dengan Teknik DESSI pada Siswa SMA di Klaten. Magistra, 26(90), 64-87.
Dewantara, I. P. (2016). Alternatif Strategi Pembelajaran Keterampilan Berbicara. Jurnal Santiaji Pendidikan, 6(1), 38-49.
Ghazali, S. (2010). Pembelajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: PT Refika Aditama.
Mulyana, D. (2001). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Rohmah, D. (2009, July 4). Strategi Pembelajaran Keterampilan Berbicara. Dipetik May 8, 2023, dari dewirohmah.wordpress.com: https://dewirohmah.wordpress.com/2009/07/04/strategi-pembelajaran-keterampilan-berbicara/
Rusmiati, N. (2002). Model Show Case dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara. Bandung: Alfa.
Setyonegoro, A. (2013). Hakikat, Alasan, dan Tujuan Berbicara. Pena, 3(1), 67-80.
Kategori
- ASESMEN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
- BIPA
- FILSAFAT ILMU
- ISU MUTAKHIR PENDIDIKAN
- KEMAHIRAN BERBAHASA
- METODOLOGI PENELITIAN
- MODEL PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
- PENGEMBANGAN KURIKULUM BAHASA INDONESIA
- PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
- PENULISAN ARTIKEL ILMIAH
- PROBLEMATIKA PENDIDIKAN
- PSIKOLINGUISTIK LANJUT
- SOSIOLINGUISTIK LANJUT
- STATISTIKA
- STUDI WACANA BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
- TEKNOLOGI INFORMASI
- UMUM
Blogroll
- Masih Kosong