KETERAMPILAN BERSASTRA
1. Menciptakan Karya Sastra
Menurut Hasanah dan Siswanto (2013) menyatakan bahwa menciptakan karya sastra diawali oleh proses berpikir kreatif dan kreativitas. Proses berpikir kreatif ditandai dengan kemampuan memunculkan ide atau gagasan baru yang tidak lazim, kontroversial dan aneh, tetapi ide tersebut dapat diwujudkan atau direalisasikan. Proses berpikir kreatif dipengaruhi oleh faktor lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan kebiasaan. Untuk membentuk kompetensi berpikir kreatif, seseorang harus memiliki kepekaan terhadap lingkungan dan perubahannya, memiliki minat untuk mencermati dan menganalisis lingkungan dan perubahan tersebut serta memiliki hasrat untuk untuk pemecahan masalah. (pp. 1-2).
Aktivitas berpikir kreatif yang intens dan terus menerus dapat menciptakan kreativitas pada diri seseorang. Untuk bisa kreatif, seseorang perlu memiliki kreativitas. Kreativitas berarti daya cipta atau kemampuan mencipta. Kreativitas dalam bidang bahasa mengacu pada kemampuan memproduksi dan memahami kalimat-kalimat yang belum pernah didengar dari sumber-sumber bahasa. Kreativitas berbahasa lebih sering terjadi pada unsur kata daripada kalimat, terutama dalam penemuan makna kata dan kreasi kata atau leksikon. Kreativitas dalam dunia seni mengacu pada orisinalitas ide atau penemuan bentuk yang dihubungkan dnegan deviation (penyimpangan dari aturan) dan foregrounding (pengedepanan, pengaktualan, pementingan, atau penekanan) yang biasanya terhubung dengan penciptaan puisi dan prosa fiksi (Hasanah & Siswanto, 2013, p. 2).
Karya sastra tercipta dari proses kreatif pengarang yang beranjak dari permasalahan-permasalahan sosial masyarakat. Berkualitas atau tidaknya karya sastra sangat ditentukan oleh daya kreativitas pengarang. Pengarang yang menciptakan karya sastra berdasarkan fenomena-fenomena sosial, budaya, politik, dan sebagainya yang terjadi di masyarakat berarti ia telah melakukan proses mimetik (peniruan/tindakan imitatif). Tanpa melakukan proses mimetik, karya sastra yang diciptakan tidak akan memiliki ruh, atau hanya sebuah karya kosong, khayalan belaka (Suarta & Dwipayana, 2014, p. 13).
Sebelum mencipta satra pengarang melakukan beberapa kegiatan penting untuk memunculkan imajinasi (Siswanto, 2008, p. 28), yakni:
1. Menelusuri/menjelajah dunia berjalan ke sana ke mari, sebab dunia ini sebagai sumber yang kaya untuk mengembang imajinasi.
2. Membaca majalah, karya sastra dan puisi para pengarang lain yang tersohor, buku pengetahuan.
3. Mendengarkan dan menyimak berbagai uraian, pidato, dongeng lisan, peristiwa tentang kemanusiaan, diskusi dan perdebatan.
4. Memperoleh pengalaman yang bermanfaat baik yang dialami sendiri atau yang dialami orang lain.
Pada dasarnya, proses kreatif yang dilalui sastrawan selalu dikaitkan dengan kegiatan menulis kreatif. Menulis kreatif dapat diartikan sebagai kegiatan mengekspresikan atau menuangkan ide-ide baru dalam wujud tulisan. Dalam dunia sastra, kegiatan menulis kreatif dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni menulis karya/cipta sastra dan menulis karya apresiatif-kritik sastra (Hasanah & Siswanto, 2013, p. 5).
Dalam mengarang, sastrawan didorong oleh motif tertentu. Dorongan tertentu ini bisa dalam memilih ide/tema, bahan karangan, bangunan unsur intrinsik karya (Hasanah & Siswanto, 2013, p. 7). Ali Akbar Navis menulis novel ‘Kemarau’ untuk membela diri bahwa ia bukanlah komunis seperti yang pernah dicurigai kepadanya. Ajip Rosidi didorong alasan ekonomi karena merasa bahwa keterlibatannya dalam kesenian dan sastra memberi jalan hidup dan lapangan pekerjaan. Terkadang dalam berkarya, sastrawa meniru tingkah laku sesamanya. Trisnoyuwono meniru-niru Riyono Pratikno dalam mengambil kerangka cerita. Diantara sastrawan ada yang didorong alasan untuk berbakti, Chairil Anwar misalnya beberapa karya puisinya ditujukan untuk orang-orang tertentu. Taufik Ismail merupakan sastrawan yang berkarya didorong rasa Ketuhanan. Budi Darma mengaku berkarya karena takdir. Bakat, kemamuan, kesempatan dan hambatan menulis hanyalah rangkaian pernyataan takdir. Ia merasa ada sesuatu dalam dirinya yang terobsesi menanyakan berbagai hal, sehingga memaksanya untuk menulis. Utuy T. Sontani menulis puisi karena ingin mendapat pujian dari gadis yang dikaguminya. Hampir semua sastrawan berkarya karena dorongan rasa keindahan, meskipun kadarnya berbeda-beda (Hasanah & Siswanto, 2013, pp. 7-13).
2. Kompetensi Mencipta Karya Sastra
Beberapa bekal menurut pengakuan sastrawan harus dimilikinya. Bekal itu terdiri atas (1) imajinasi, (2) kepekaan, (3) otak, insting, dan persepsi, (4) kejujuran dalam menulis, (5) intuisi, bakat, dan kerja keras, (6) intelektualitas dan hidup baik, (7) keajegan dan kecintaan terhadap karya sastra (Hasanah & Siswanto, 2013, p. 14).
Imajinasi adalah daya bayang, daya fantasi, tetapi bukan lamunan. Ia tetap berpangkal dari kenyataan-kenyataan dan pengalaman-pengalaman. Imajinasi tidaklah sama dengan realitas yang sesungguhnya (realitas obyektif) (Muzakki, 2007, p. 28). Kekuatan imajinasi identik dengan kepekaan seorang sastrawan. Kepekaan adalah kemampuan menembus apa yang tidak terlihat, tidak terasa, dan tidak terpikirkan. Kepekaan adalah kemamuan untuk melakukan sesuatu yang tidak terjangkau oleh orang lain (Hasanah & Siswanto, 2013, p. 15).
Sebagai pengarang harus mempunyai otak, disamping insting dan persepsi kepengarangan. Dengan insting dan persepsi ini pengarang tidak hanya melihat bayang-bayang hidup yang tercermin dalam tindakan manusia, akan tetapi hakikat hidup itu sendiri (Hasanah & Siswanto, 2013, p. 20). Kejujuran dalam menulis karya sastra untuk menunjukkan orisinalitas ide serta keikhlasan pengarang dalam berkarya.
Kompetensi yang harus dimiliki pengarang dalam mencipta karya sastra adalah bahasa. Sastrawan sering menggunakan bahasa secara khusus bahkan menyimpang dari gramatika. Sastrawan bisa juga dianggap sebagai teladan dalam penggunaan bahasa secara baik dan optimal, dengan menggunakan gaya yang menarik (Teeuw, 1984, p. 70). Beberapa ciri bahasa sastrawan yakni:
1. Bahasa persuasif yang bertujuan untuk mengajar, memberi kenikmatan, dan menggerakkan.
2. Bahasa licentia poetarum, yaitu keleluasaan menggunakan bahasa, yang dicirikan oleh mengikuti kaidah bahasa yang sudah ada, menggunakan potensi bahasa secara inovatif, menyimpang dari konvensi yang sudah ada dan mengharuskan interpratasi khusus (Tuloli, 2000, p. 6)
3. Bahasa yang mempunyai fungsi puitik(keindahan), emotif (perasaan pengarang), konatif (menggugah pembaca), dan patik (komunikasi pengarang dan penikmat).
4. Bahasa yang disulap/disimpangkan atau diasingkan (deotomatisasi), sehingga bahasa dalam sastra berbeda dengan bahasa sehari-hari (Luxemburg, 1986).
Kompetensi yang juga harus dimiliki seseorang untuk mencipta karya yakni kapasitas penggunaan gaya bahasa. Gaya merupakan cara penggunaan bahasa oleh pengarang/sastrawan untuk mengungkapkan ide atau gagasan dan perasaannya dalam teks karya sastra (Luxemburg, 1989, p. 59)
3. Kemahiran Membaca Sastra
Membaca sastra merupakan kegiatan membaca yang berhubungan dengan seni atau keindahan. Dalam membaca sastra, pembaca dituntut untuk mengaktifkan daya imajinasi dan kreativitasnya agar dapat menghayati dan memahami isi bacaan. Setelah membaca sebuah karya sastra pembaca akan memeroleh pengetahuan dan pengalaman melalui karya sastra yang dibacanya (Rahmayantis, 2016, p. 47). Untuk dapat menikmati, menghayati, dan menghargai unsur-unsur keindahan yang terdapat dalam teks sastra, pembaca terlebih dahulu harus memahami isi dan konteks penuturan dalam teks sastra (Rahmayantis, 2016, p. 48). Medium membaca sastra adalah bahasa, sehingga pembaca sastra harus memahami bahasa dan kaidah-kaidah bahasa yang digunakan dalam teks sastra (Priyatni, 2010, p. 25).
Membaca sastra dapat dilakukan dengan langkah dari membaca komprehensif, membaca teknis, dan membaca ekspresif (Rahmayantis, 2016, p. 48). Membaca komprehensif merupakan seperangkat keterampilan pemerolehan pengetahuan dari suatu teks, membaca komprehensif ini melibatkan pemikiran, jadi dalam membaca komprehensif ini pemahaman membaca sangat diperlukan. Membaca komprehensif bergantung pada gabungan pengetahuan bahasa, gaya kognitif, dan pengalaman membaca (Zuchdi, 2008, pp. 22-26). Membaca komprehensif diawali dengan memahami segmen-segmen terkecil (huruf, suku kata, kata) dalam teks bacaan dan kemudian dibangun agar mencakup unit-unit yang lebih besar yaitu klausa, kalimat, dan paragraf (Gazali, 2010, p. 208). Membaca teknis sering disebut oral reading "membaca lisan" maupun reading aloud "membaca nyaring". Disebut demikian karena membaca teknis adalah membaca yang dilaksanakan secara bersuara sesuai denganaksentuasi, intonasi, dan irama yang benar selaras dengan gagasan serta suasana penuturan dalam teks yang dibaca (Aminuddin, 1987, pp. 19-20). Membaca ekspresif adalah kegiatan membaca yang dilatarbelakangi tujuan menikmati serta menghargai unsur-unsur keindahan yang terpapar dalam teks sastra. Sementara untuk mampu menikmati dan menghayati, terlebih dahulu pembaca harus mampu memahami isi serta suasana penuturan dalam teks yang dibacanya. Membaca ekspresif tersebut dapat terwujud melalui kegiatan membaca dalam hati maupun dalam bentuk membaca secara lisan (Aminuddin, 1987, p. 21).
Sebelum seseorang melaksanakan kegiatan membaca cerita fiksi atau story telling, pembaca selain harus memahami isi teks serta suasana penuturan yang ada di dalamnya juga harus memahami masalah (1) pelafalan, (2) penentuan kualitas bunyi: tinggi-rendah, keras-lunak, (3) tempo, dan (4) irama. Selain itu, karena membaca secara lisan itu juga melibatkan aspek tubuh, pembaca juga harus mampu menata gerak mimik atau facial expression, gerak bagian-bagian tubuh atau gesture, maupun penataan posisi tubuh atau posture. Selain itu, unsur kontak mata sebagai salah satu upaya menciptakan hubungan batin dengan pendengarnya juga harus diperhatikan (Rahmayantis, 2016, p. 48).
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. (1987). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Gazali, A. S. (2010). Pembelajaran Keterampilan Berbahasa dengan Pendekatan Komunikatif Interaktif. Bandung: Refika Aditama.
Hasanah, M., & Siswanto, W. (2013). Proses Kreatif Sastrawan Indonesia. Malang: Cakrawala Indonesia.
Luxemburg, J. V. (1986). Pengantar Ilmu Sastra. (D. Hartoko, Trans.) Jakarta: Gramedia.
Luxemburg, J. V. (1989). Tentang Sastra. (A. Ikram, Trans.) Jakarta: Intermasa.
Muzakki, A. (2007). Karya Sastra: Mimesis, Realitas Atau Mitos? LINGUA: Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra, 2(1) , 26-44.
Priyatni, E. (2010). Membaca Sastra dengan Ancangan Literai Kritis. Jakarta: Bumi Aksara.
Rahmayantis, M. D. (2016). Pengembangan Bahan Ajar Membaca Indah Puisi untuk Siswa SMP Kelas VII. KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 2(1) , 47-56.
Siswanto, W. (2008). Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grasindo.
Suarta, I. M., & Dwipayana, I. K. (2014). Teori Sastra. Jakarta: Rajawali Pers.
Teeuw, A. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tuloli, N. (2000). Kajian Sastra. Gorontalo: BMT Nurul Jannah.
Zuchdi, D. (2008). Strategi Meningkatkan Kemampuan Membaca. Yogyakarta: UNY Press.
KEMAHIRAN BERBICARA
1.1 Pengertian Berbicara
Berbicara adalah salah satu kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui media bahasa. Berbicara adalah bentuk tindak tutur yang berupa bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap disertai dengan gerak-gerik tubuh dan ekspesi raut muka. Berbagai definisi telah dikemukakan untuk memberikan makna tentang berbicara. Sesuai fungsinya, berbicara adalah media yang digunakan manusia untuk berkomunikasi (Setyonegoro, 2013, hal. 68).
Tujuan utama berbicara adalah untuk menginformasikan gagasan-gagasan pembicara kepada pendengar. Akan tetapi, tujuan berbicara sebetulnya tidak hanya sebatas memberikan informasi kepada orang lain. Menentukan tujuan berbicara berarti kegiatan berbicara harus ditempatkan sebagai sarana penyampaian sesuatu kepada orang lain sesuai dengan tujuan yang diharapkan pembicara. Berbicara sebagai salah satu bentuk komunikasi dapat digunakan dalam berbagai tujuan. Dalam hal ini, Mulyana mengelompokkan tujuan berbicara ke dalam empat tujuan, yaitu tujuan sosial, ekspresif, ritual dan instrumental (Mulyana, 2001, hal. 5-30).
1.2 Unsur-unsur Keterampilan Berbicara
Dalam berbicara tentunya diperlukan berbagai unsur agar kegiatan tersebut dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan berbicara. Dalam berbicara terdapat beberapa unsur pokok. Ada lima unsur pokok dalam berbicara yaitu komunikator, pesan, komunikan, media, afek atau pengaruh. Pertama, komunikator adalah sekelompok orang yang menyampaikan pikiran, gaagsan, perasaan pada orang lain. Kedua, pesan adalah lambang yang bermakna yang membawakan pikiran atau perasaan komunikator. Ketiga, komunikan adalah seseorang atau sejumlah orang yang menjadi sasran komunikator ketika ia menyampaikan pesannya. Keempat, media adalah sarana untuk menyalurkan pesan-pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Kelima, efek adalah respon atau reaksi dari komunikan ketika menerima pesan dari komunikator (Almasitoh & Uningowati, 2014).
1.3 Situasi Berbicara
Situasi berbicara (Ghazali, 2010, hal. 251) sebagai berikut:
a. Pembicara dalam situasi berbicara bisa berinteraksi sebagai: teman, orang asing, bersikap netral, simpatik, atasan atau bawahan, guru atau siswa, dll.
b. Situasi lingkungan berbicara: di rumah sendiri atau orang lain, di kantor, di rumah sakit, di jalan, di kenderaan, di sekolah, di stasiun, dll.
c. Jenis interaksi berbicara sesuai fungsinya:
(1) Fungsi transaksional: pembicaraan pemberian informasi dan menerima informasi tentang fakta, kejadian, kebutuhan, opini, sikap, dan perasaan. (Polisi memberi petujuk arah tempat).
(2) Fungsi interaksional: pembicaraan mencakup fungsi-fungsi sosial seperti memberi salam, berpamitan, memperkenalkan diri, mengucapkan terima kasih, meminta maaf, memberi nasihat, memuji, dll. (Itu ide yang bagus sekali, Robert. Kerjakan sampai selesai!).
d. Jenis pembicraan sesuai arah sasaran:
(1) Sasaran satu arah: pembicara aktif sendiri dan pendengar pasif, tidak ada pertukaran peran (sebagai pembicara atau pendengar). Misalnya mengajar, berpidato, ceramah, dll.
(2) Sasaran dua arah: pembicara bergantian dalam berbicara, ada pergantian peran sebagai pembicara dan sebagai pendengar. Misalnya dalam diskusi, percakapan santai, debat, dll.
e. Jenis pembicaraan berdasarkan aturan:
(1) Pembicaraan resmi: pembicaraan yang diatur oleh pimpinan atau pengacara. Misalnya dalam rapat, seminar, konferensi, sidang, dll.
(2) Pembicaraan terbuka (tidak resmi): pembicaraan santai, pergaulan, pertemanan, keluarga, dll. Misalnya pembicaraan keluarga pada saat makan.
1.4 Pengajaran Keterampilan Berbicara
Dalam uraian berikut ini, ditawarkan alternatif strategi pembelajaran yang dapat diterapkan oleh guru dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Strategi pembelajaran yang ditawarkan diharapkan mampu mengatasi kesulitan belajar siswa dan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan (Dewantara, 2016, hal. 39-48):
1. Strategi Pembelajaran KSUPP (P)
KSUPP(P) merupakan suatu sarana keterampilan yang berpusat pada siswa dengan suatu komponen menulis yang bersifat fakultatif. KSUPP(P) adalah singkatan dari Kisahkan, Siapkan, Ulangi, Pakai, Pamerkan, dan Pekerjaan rumah yang ditaruh dalam kurung karena bersifat fakultatif, bersifat pilihan. Dalam bahasa Inggris disebut PPRUE(H) sebagai singkatan dari Present, Prepare, Rehearse, Use, Exhibit, dan Homework. Berikut adalah fase-fase kegiatan pembelajaran dengan strategi KSUPP(P) yang dapat dilakukan oleh guru dalam pembelajaran menceritakan pengalaman paling mengesankan (Dewantara, 2016, hal. 41).
2. Strategi Pembelajaran Kuantum
Sebagai contoh aplikasi strategi pembelajaran kuantum adalah dalam pembelajaran menyampaikan pengumuman. Stretegi pembelajaran kuantum diterapkan melalui metode diskusi dan tanya jawab dengan teknik koreksi sesama teman. Teknik lain adalah dengan menyertakan lelucon dan pengaturan pembentukan kelompok oleh guru. Media yang dapat digunakan oleh guru dalam pembelajaran ini dapat berupa video penyampaian pengumuman. Dua buah video yang memuat penyampaian pengumuman yang baik dan yang kurang baik dapat dilakukan agar siswa menjadi lebih tertarik untuk memperhatikan materi pembelajaran. Penilaian dilakukan dengan teknik tes unjuk kerja secara individu. Metode, teknik, media, dan penilaian tersebut terangkai dalam unsurunsur kerangka perancangan pengajaran quantum teaching yang digagas oleh De Porter dan koleganya. Unsur-unsur kerangka tersebut adalah Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan yang diakronimkan menjadi TANDUR (Dewantara, 2016, hal. 42).
3. Strategi Pembelajaran Kooperatif Berbantukan Objek Langsung
Bercerita merupakan sebuah bentuk keterampilan yang perlu dimiliki oleh siswa agar mereka dapat menyampaiakan suatu kisah dengan baik dan menarik perhatian lawan tuturnya. Media yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran bercerita melalui penerapan strategi pembelajaran kooperatif berbantu objek langsung adalah video. Prosedur pembelajaran kooperatif pada prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu (1) penjelasan materi; (2) belajar dalam kelompok; (3) penilaian; dan (4) pengakuan tim (Dewantara, 2016, hal. 44).
4. Strategi Pembelajaran Heuristik
Salah satu strategi yang dapat dipilih oleh guru adalah strategi pembelajaran heuristik. Misalnya dalam pembelajaran bercerita, strategi ini diterapkan melalui metode penugasan, diskusi, tanya jawab, dan demonstrasi dengan teknik storytelling berbantu media personal photograph (foto pribadi). Teknik penilaian yang dapat digunakan adalah teknik penilaian tes unjuk kerja secara individu dengan aspek yang dinilai adalah isi cerita, urutan, volume, lafal, intonasi, mimik dan gestur, serta penggunaan alat peraga (Dewantara, 2016, hal. 46).
1.5 Praktek Keterampilan Berbicara
Teknik pembelajaran keterampilan berbicara yang dapat dipraktikkan di sekolah (Rohmah, 2009):
1. Berbicara terpimpin: (Frase dan kalimat, Satuan paragraf, Dialog, Pembacaan puisi
2. Berbicara semi terpimpin (Reproduksi cerita, Cerita berantai, Menyusun kalimat dalam pembicaraan, Melaporkan isi bacaan secara lisan
3. Berbicara bebas (Diskusi, Drama, Wawancara, Berpidato, Bermain peran
Berdasarkan tingkatatan berbicara, teknik pembelajaran untuk:
1. tingkat pemula dapat digunakan: Ulang ucap, lihat ucap, permainan kartu kata, wawancara, permainan memori, reka cerita gambar, biografi, manajemen kelas, bermain peran, permainan telepon, dan permainan alfabet.
2. Tingkat menengah: Dramatisasi, elaborasi, reka derita gambar, biografi, permainan memori, wawancara, permainan kartu kata, diskusi, permainan telepon, percakapan satu pihak, pidato pendek, parafrase, melanjutkan cerita, permainan alfabet.
3. Tingkat yang paling tinggi: Dramatisasi, elaborasi, reka cerita gambar, biografi, permainan memori, diskusi, wawancara, pidato, melanjutkan cerita, talk show, parafrase, dan debat.
1.6 Ciri-ciri Pembicara yang Baik
Terdapat sejumlah ciri-ciri pembicara yang baik untuk dikenal, dipahami, dan dihayati, serta dapat diterapkan dalam berbicara (Rusmiati, 2002, hal. 30). Ciri-ciri tersebut meliputi hal-hal di bawah ini:
1. Memilih topik yang tepat. Pembicara yang baik selalu dapat memilih materi atau topik pembicaraan yang menarik, aktual dan bermanfaat bagi para pendengarnya, juga selalu mempertimbangkan minat, kemampuan, dan kebutuhan pendengarnya.
2. Menguasai materi. Pembicara yang baik selalu berusaha mempelajari, memahami, menghayati, dan menguasai materi yang akan disampaikannya.
3. Memahami latar belakang pendengar. Sebelum pembicaraan berlangsung, pembicara yang baik berusaha mengumpulkan informasi tentang pendengarnya.
4. Mengetahui situasi. Mengidentifikasi mengenai ruangan, waktu, peralatan penunjang berbicara, dan suasana.
5. Tujuan jelas. Pembicara yang baik dapat merumuskan tujuan pembicaranya yang tegas, jelas, dam gambling.
6. Kontak dengan pendengar. Pembicara berusaha memahami reaksi emosi, dan perasaan mereka, berusaha mengadakan kontak batin dengan pendengarnya, melalui pandangan mata, perhatian, anggukan, atau senyuman.
7. Kemampuan linguistiknya tinggi. Pembicara dapat memilih dan menggunakan kata, ungkapan, dan kalimat yang tepat untuk menggambarkan jalan pikirannya, dapat menyajikan materi dalam bahasa yang efektif, sederhana, dan mudah dipahami.
8. Menguasai pendengar. Pembicara yang baik harus pandai menarik perhatian pendengarnya, dapat mengarahkan dan menggerakkan pendengarnya ke arah pembicaraannya.
9. Memanfaatkan alat bantu.
10. Penampilannya meyakinkan.
11. Berencana
BIBLIOGRAFI
Almasitoh, U. H., & Uningowati, D. W. (2014). Peningkatan Kualitas Pembelajaran Berbicara dengan Metode Kooperatif dengan Teknik DESSI pada Siswa SMA di Klaten. Magistra, 26(90), 64-87.
Dewantara, I. P. (2016). Alternatif Strategi Pembelajaran Keterampilan Berbicara. Jurnal Santiaji Pendidikan, 6(1), 38-49.
Ghazali, S. (2010). Pembelajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: PT Refika Aditama.
Mulyana, D. (2001). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Rohmah, D. (2009, July 4). Strategi Pembelajaran Keterampilan Berbicara. Dipetik May 8, 2023, dari dewirohmah.wordpress.com: https://dewirohmah.wordpress.com/2009/07/04/strategi-pembelajaran-keterampilan-berbicara/
Rusmiati, N. (2002). Model Show Case dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara. Bandung: Alfa.
Setyonegoro, A. (2013). Hakikat, Alasan, dan Tujuan Berbicara. Pena, 3(1), 67-80.
Kategori
- ASESMEN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
- BIPA
- FILSAFAT ILMU
- ISU MUTAKHIR PENDIDIKAN
- KEMAHIRAN BERBAHASA
- METODOLOGI PENELITIAN
- MODEL PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
- PENGEMBANGAN KURIKULUM BAHASA INDONESIA
- PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
- PENULISAN ARTIKEL ILMIAH
- PROBLEMATIKA PENDIDIKAN
- PSIKOLINGUISTIK LANJUT
- SOSIOLINGUISTIK LANJUT
- STATISTIKA
- STUDI WACANA BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
- TEKNOLOGI INFORMASI
- UMUM
Blogroll
- Masih Kosong