LABEL : KONTEKS

A.  PENGERTIAN TEKS DAN WACANA KRITIS

Terdapat tiga hal sentral dalam kaitannya dengan pengertian wacana, yaitu teks, konteks, dan wacana. Eriyanto (2001) kemudian menjelaskan ketiga makna tersebut sebagai berikut. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi. Wacana di sini dimaknai sebagai teks dan konteks secara bersama-sama. Teks memiliki peranan yang signifikan dalam pembentukan wacana. Unsur utama dalam konstruksi realitas adalah bahasa (teks). Bahasa (teks) mampu menentukan konteks, karena lewat bahasa seseorang mencoba memengaruhi orang lain (menunjukkan kekuasaannya) melalui pemilihan kata yang secara efektif mampu memanipulasi konteks (Supriyadi, 2015, p. 97).

Teks terdiri atas beberapa tingkatan (struktur) yang saling melengkapi. Terdapat tiga tingkatan yang terdapat dalam suatu wacana. Tingkatan yang pertama adalah struktur makro. Struktur makro adalah struktur atau bagian global dari suatu teks, pandangan umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang ditekankan dalam suatu teks. Tingkatan selanjutnya adalah superstruktur, terkait dengan kerangka suatu teks, superstruktur adalah tingkatan yang menggambarkan bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Selanjutnya, strktur mikro adalah wacana yang dapat diamati dari bagian kecil suatu teks yakni, kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar. Dalam analisis wacana kritis milik Van Dijk, setiap kata, frase, klausa, dan kalimat serta gaya penyusunannya tidak hanya dipandang sebagai bagian dari cara berkomunikasi tetapi juga dipandang sebagai politik komunikasi (Ratnaningsih, 2019, p. 23).

Teks tidak bisa lepas dari wacana. Analisis wacana termasuk dalam kategori paradigma kritis. Oleh karenanya, analisis wacana kritis digunakan untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa, batasan yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang digunakan, dan topik yang dibicarakan, yang dalam hal ini berupa teks berita. Analisis wacana kritis adalah sebuah upaya proses (penguraian) untuk memberikan penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh segala sesuatu yang diinginkan (Darma, 2013, p. 49).

Analisis wacana lebih mengkaji pada fenomena linguistik baik mikro maupun makro, sedangkan analisis wacana kritis menganalisis fenomena wacana yang berhubungan dengan sosial masyarkat yakni menggali alasan mengapa sebuah wacana memiliki struktur tertentu yamg berhubungan sosial antara pihak-pihak yang tercakup dalam wacana tersebut (Rohana & Syamsuddin, 2015, p. 20).

 

B.  POKOK-POKOK PIKIRAN KRITIS DALAM AWK

Pokok-pokok pikiran kritis diilhami oleh pandangan kritis yang memberikan paradigma mengenai bahasa dalam wacana. Pandangan terhadap bahasa dalam wacana terbagi ke dalam tiga kelompok besar. Pertama, kaum positivisme-empiris yang memandang bahwa analisis terhadap wacana adalah sebuah penggambaran atas tataaturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama yang didasarkan pada justifikasi sintaksis dan semantik. Kedua, kaum konstruktivisme yang melakukan analisis wacana sebagai bentuk pengungkapan makna dan maksud tertentu berdasarkan analisis subjektif dalam nuansa analisis framing. Ketiga, pandangan kritis yang melakukan analisis wacana sebagai analisis mendalam terhadap gejolak kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna.

Menurut Supriyadi (2015) bahwa bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa, batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan. Oleh karena memakai perspektif kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana kritis (critical discourse analysis) (p. 98).

Paradigma kritis terutama bersumber dari pemikiran sekolah Frankfrut. Ketika itu di Jerman tengah terjadi proses propaganda besar-besaran Hitler. Media dipenuhi prasangka, retorika dan propaganda. Media dijadikan alat dari pemerintah untuk mengontrol publik, menjadi saranan pemerintah mengobarkan semangat perang, berangkat dari sana ternyata media bukalah entitas yang netral, tetapi bisa dikuasai oleh kelompok yang dominan. Dari pemikiran sekolah Frankfrut inilah lahir pemikiran paradigma kritis (Aswadi, 2018, p. 179). Pernyataan utama dari paradigma kritis adalah adanya kekuatankekuatan yang berbeda dalam masyarakat yang mengontrol proses komunikasi. Teori kritis lahir karena ada keprihatinan akumulasi dan kapitalisme lewat modal yang besar, yang mulai menentukan dan mempengaruhi kehidupan masyarakat. Individu tidak lagi mempunyai kontrol terhadap modal tersebut, malah secara alamiah pula jadi diluar kesadarannya ia harus menyesuaikan dengan masyarakat yang dikuasai modal (Eriyanto, 2005, p. 24).

Paradigma kritis pada dasarnya adalah paradigma ilmu pengetahuan yang meletakkan epistemologi kritik Marxisme dalam seluruh metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan bahwa paradigma kritis yang diinspirasikan dari teori kritis tidak bisa melepaskan diri dari warisan Marxisme dalam seluruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu pihak merupakan salah satu aliran ilmu sosial yang berbasis pada ide-ide Karl Marx dan Engels (Denzin, 2000, pp. 279-280).

Terdapat beberapa karakteristik utama pada seluruh filsafat pengetahuan paradigma kritis. Ciri pertama adalah ciri pemahaman paradigma kritis tentang realitas. Realitas dalam pandangan kritis sering disebut dengan realitas semu. Realitas ini tidak alami tapi lebih karena bangun konstruk kekuatan sosial, politik, dan ekonomi. Dalam pandangan paradigma kritis, realitas tidak berada dalam harmoni tapi lebih dalam situasi konflik dan pergulatan sosial (Eriyanto, 2005, pp. 3-46).

Ciri kedua adalah ciri tujuan penelitian paradigma kritis. Karakteristik menyolok dari tujuan paradigma kritis ada dan eksis adalah paradigma yang mengambil sikap untuk memberikan kritik, transformasi sosial, proses emansipasi, dan penguatan sosial. Tujuan penelitian paradigma kritis adalah mengubah dunia yang tidak seimbang. Dengan demikian, seorang peneliti dalam paradigma kritis akan mungkin sangat terlibat dalam proses negasi relasi sosial yang nyata, membongkar mitos, menunjukkan bagaimana seharusnya dunia berada (Denzin, 2000, pp. 163-186).

Ciri ketiga adalah ciri titik perhatian penelitian paradigma kritis. Titik perhatian penelitian paradigma kritis mengandaikan realitas yang dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Ini berarti bahwa ada hubungan yang erat antara peneliti dengan objek yang diteliti. Setidaknya peneliti ditempatkan dalam situasi bahwa ini menjadi aktivis, pembela atau aktor intelektual di balik proses transformasi sosial. Dari proses tersebut, dapat dikatakan bahwa etika dan pilihan moral bahkan suatu keberpihakan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari analisis penelitian yang dibuat (Supriyadi, 2015, p. 100) .

Karakteristik keempat dari paradigma kritis adalah pendasaran diri paradigma kritis mengenai cara dan metodologi penelitiannya. Paradigma kritis dalam hal itu menekankan penafsiran peneliti pada objek penelitiannya. Hal itu berarti bahwa ada proses dialogal pada seluruh penelitian kritis. Dialog kritis itu digunakan untuk melihat secara lebih dalam kenyataan sosial yang telah, sedang, dan akan terjadi. Karakteristik keempat ini menempatkan penafsiran sosial peneliti untuk melihat bentuk representasi pada setiap gejala, dalam hal ini media massa sebagai wacana berikut teks yang diproduksinya. Pada paradigma kritis, penelitian yang bersangkutan tidak bisa menghindari unsur subjektivitas peneliti dan hal itu dapat menimbulkan perbedaan penafsiran gejala sosial dari peneliti lainnya (Newman, 2000, pp. 63-87). Pada konteks karakteristik yang keempat itu, penelitian dengan paradigma kritis mengutamakan juga analisis yang menyeluruh, kontekstual, dan multilevel. Hal itu berarti bahwa penelitian kritis menekankan soal historical situatedness dalam seluruh kejadian sosial yang ada (Denzin, 2000, p. 170).

 

C.  TIGA DIMENSI TEKS BAHASA

Bahasa dapat dilihat sebagai sesuatu yang memiliki tiga dimensi, yaitu bentuk, makna, dan fungsi. Dimensi bentuk dan makna merupakan dimensi internal bahasa. Sementara itu, dimensi fungsi merupakan dimensi eksternal bahasa. Dimensi bentuk meliputi unsur yang bersifat segmental dan unsur yang bersifat suprasegmental. Bentuk yang bersifat segmental disebut satuan kebahasaan atau satuan lingual. Dimensi fungsi membentuk struktur eksternal bahasa. Dalam dimensi fungsi, bahasa dipandang sebagai sesuatu yang bisa digunakan. Bahasa dalam dimensi fungsi menghubungkan struktur internal bahasa, yaitu bentuk dan makna (teks), dengan unsur luar bahasa yang disebut konteks. Teks yang dikaitkan dengan konteks melahirkan makna kontekstual atau dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan maksud (Sudarsono, 2022).

Van Dijk (1995) menggambarkan wacana memiliki tiga dimensi, yaitu (a) teks, (b) kognisi sosial, dan (c) konteks sosial. Dimensi teks merupakan bentuk kebahasaan dari wacana. Kognisi sosial berkaitan dengan produsen teks dan latar belakang ideologisnya. Konteks sosial merupakan keadaan masyarakat secara menyeluruh.  Menurut Van Dijk, sebuah teks tidak serta-merta ada. Teks tidak jatuh dari langit begitu saja dan tidak berada di dalam ruang yang hampa. Teks dibentuk dalam suatu praktik yang melibatkan konteks sosial-kultural melalui sebuah jembatan bernama kognisi produsennya. Misalnya, sebuah teks yang memarjinalkan para mahasiswa yang sedang berdemonstrasi lahir karena kognisi/kesadaran mental dari penulisnya, bahkan dari masyarakat yang memandang demonstrasi mahasiswa itu buruk. Teks tentang demonstrasi mahasiswa tersebut hanyalah salah satu cerminan dari kognisi dan merupakan bagian kecil dari struktur yang lebih besar, yaitu konteks sosial-kultural tadi.

Van Dijk memulai kajian ini dengan menganalisis teks-teks media yang berkaitan dengan rasisme di Barat. Van Dijk berhasil mengungkap alam bahwa sadar masyarakat Barat yang rasis dan memandang rendah kelompok minoritas. Konteks sosial-kultural tersebut “dimapankan” dalam teks media. Akibatnya, rasisme dianggap lumrah ada di kalangan masyarakat Barat. Berdasarkan ketiga dimensi yang disebutkan Van Dijk di atas, ada tiga tahapan analisis wacana yang dilakukan, yaitu (a) analisis teks, (b) analisis kognisi sosial, dan (c) analisis konteks sosial. Analisis teks dilakukan dengan membedah aspek-aspek kebahasaan dalam teks, mulai dari tataran tertinggi, yaitu wacana, hingga tataran terkecil, yaitu kata. Adapun linguistik sangat dekat dengan analisis teks yang disebutkan Van Dijk tersebut. Analisis kognisi sosial dilakukan dengan melacak produsen teks dan segala hal yang melatarbelakanginya. Misalnya, analisis dilakukan dengan menelusuri identitas media massa yang memuat teks dan pihak-pihak di belakang media massa tersebut. Analisis konteks sosial dilakukan dengan menghubungkan isu dalam teks dengan masyarakat tempat isu tersebut diproduksi dan dikonsumsi masyarakatnya. Analisis dapat dilakukan dengan menelusuri pustaka-pustaka, arsip-arsip, maupun pandangan-pandangan umum yang hidup dan dihayati masyarakat (Sudarsono, 2021).

 

D.  FOKUS KAJIAN DAN INTERPRETASI KONTEKS

Konteks dalam analisis wacana kritis, diartikan sebagai latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Hal ini menunjukkan bahwa wacana dipandang, diproduksi, dimengerti, dan dianalisis melalui konteks tertentu. Oleh karena itu, konteks merupakan bagian dari elemen yang akan dianalisis dalam wacana kritis. Melalui konteks, hal-hal yang memengaruhi pewacana dalam memproduksi wacana akan tergambar secara jelas. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Van Dijk (1992) yang mengatakan bahwa konteks adalah sesuatu yang melingkupi teks sehingga teks tersebut dapat dipahami secara komprehensif (Ratnaningsih, 2019, p. 42).

Menurut Cook, analisis wacana juga mengaitkan konteks dari komunikasi: siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dan perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk masing-masing pihak. Tiga hal sentralnya adalah teks, konteks, dan wacana. Teks, dalam hal ini, adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi semua jenis ekspresi komunikasi. Konteks memasukan semua jenis situasi dan hal yang berada diluar teks dan memengaruhi pemakaian bahasa, situasi dimana teks itu diproduksi serta fungsi yang dimaksudkan. Wacana dimaknai sebagai konteks dan teks secara bersama. Titik perhatianya adalah analisis wacana menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam proses komunikasi. Berdasar pada titik tolak dari analisis wacana, bahasa tidak bisa dimengerti sebagai mekanisme internal dari linguistik semata, bukan suatu objek yang diisolasi dalam ruang tertutup. Bahasa, dalam analisis wacana kritis, dipahami dalam konteks secara keseluruhan (Ratnaningsih, 2019, pp. 42-43).

Terdapat beberapa konteks penting yang berpengaruh pada produksi wacana. Pertama, partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana. Jenis kelamin, umur, pendidikan, kelas sosial, etnis, agama, dalam banyak hal relevan dalam menggambarkan wacana. Misalnya, seseorang berbicara dalam pandangan tertentu karena ia laki-laki, atau karena ia berpendidikan. Kedua, setting sosial tertentu, seperti tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik adalah konteks yang berguna untuk mengerti suatu wacana. Misalnya, pembicaraan di tempat kuliah berbeda dengan di jalan. Setting, seperti tempat itu privat atau publik, dalam suasana formal atau informal, atau pada ruang tertentu memberikan wacana tertentu pula. Berbicara di ruang kelas berbeda dengan berbicara di rumah dan juga di pasar, karena situasi sosial atau aturan yang melingkupinya berbeda, menyebabkan partisipan komunikasi harus menyesuaikan diri dengan konteks yang ada. Oleh karena itu, wacana harus dipahami dan ditafsirkan dari kondisi dan lingkungan sosial yang mendasarinya (Ratnaningsih, 2019, pp. 43-44).

 

E.  SIMPULAN

Analisis wacana kritis adalah upaya atau kegiatan untuk memahami wacana lebih mendalam, tidak hanya memandang wacana sebagai teks semata. Dalam analisis wacana kritis, wacana dipandang sebagai praktik sosial, yang pemroduksiannya memiliki tujuan atau maksud tertentu. Analisis wacana kritis setidaktidaknya memandang wacana sebagai objek berdimensi yang terdiri atas tiga unsur: teks, kognisi sosial dan konteks.

 

DAFTAR PUSTAKA

Aswadi. (2018). Mengulik Akar Kritis dalam Analisis Wacana Kritis dan Implementasinya Terhadap Teks Berita. Lensa: Kajian Kebahasaan, Kesusastraan, dan Budaya, 8(2) , 176-188.

Darma, Y. A. (2013). Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya.

Denzin, N. K. (2000). Handbook of Qualitative Research. California: Sage Public.

Eriyanto. (2005). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.

Newman, L. W. (2000). Social Research Method. London: Allyn and Bacon.

Ratnaningsih, D. (2019). Analisis Wacana Kritis: Sebuah Teori dan Implementasi. Lampung: Universitas Muhammadiyah Kotabumi.

Rohana, & Syamsuddin. (2015). Analisis Wacana. Makassar: CV. Samudra Alif Mim.

Sudarsono, S. C. (2022, October 11). Dimensi Bahasa: Bentuk, Makna, dan Fungsi. Retrieved April 4, 2023, from sastranesia.id: https://sastranesia.id/dimensi-bahasa-bentuk-makna-dan-fungsi/

Sudarsono, S. C. (2021, September 24). Tiga Dimensi Analisis Wacana Kritis Van Dijk. Retrieved April 4, 2023, from sastranesia.id: https://sastranesia.id/tiga-dimensi-analisis-wacana-kritis-van-dijk/

Supriyadi. (2015). Analisis Wacana Kritis: Konsep dan Fungsinya Bagi Masyarakat. Aksara: Jurnal Bahasa dan Sastra, 16(2) , 96-112.