KATEGORI : STUDI WACANA BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

A.  PENGERTIAN TEKS DAN WACANA KRITIS

Terdapat tiga hal sentral dalam kaitannya dengan pengertian wacana, yaitu teks, konteks, dan wacana. Eriyanto (2001) kemudian menjelaskan ketiga makna tersebut sebagai berikut. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi. Wacana di sini dimaknai sebagai teks dan konteks secara bersama-sama. Teks memiliki peranan yang signifikan dalam pembentukan wacana. Unsur utama dalam konstruksi realitas adalah bahasa (teks). Bahasa (teks) mampu menentukan konteks, karena lewat bahasa seseorang mencoba memengaruhi orang lain (menunjukkan kekuasaannya) melalui pemilihan kata yang secara efektif mampu memanipulasi konteks (Supriyadi, 2015, p. 97).

Teks terdiri atas beberapa tingkatan (struktur) yang saling melengkapi. Terdapat tiga tingkatan yang terdapat dalam suatu wacana. Tingkatan yang pertama adalah struktur makro. Struktur makro adalah struktur atau bagian global dari suatu teks, pandangan umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang ditekankan dalam suatu teks. Tingkatan selanjutnya adalah superstruktur, terkait dengan kerangka suatu teks, superstruktur adalah tingkatan yang menggambarkan bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Selanjutnya, strktur mikro adalah wacana yang dapat diamati dari bagian kecil suatu teks yakni, kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar. Dalam analisis wacana kritis milik Van Dijk, setiap kata, frase, klausa, dan kalimat serta gaya penyusunannya tidak hanya dipandang sebagai bagian dari cara berkomunikasi tetapi juga dipandang sebagai politik komunikasi (Ratnaningsih, 2019, p. 23).

Teks tidak bisa lepas dari wacana. Analisis wacana termasuk dalam kategori paradigma kritis. Oleh karenanya, analisis wacana kritis digunakan untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa, batasan yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang digunakan, dan topik yang dibicarakan, yang dalam hal ini berupa teks berita. Analisis wacana kritis adalah sebuah upaya proses (penguraian) untuk memberikan penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh segala sesuatu yang diinginkan (Darma, 2013, p. 49).

Analisis wacana lebih mengkaji pada fenomena linguistik baik mikro maupun makro, sedangkan analisis wacana kritis menganalisis fenomena wacana yang berhubungan dengan sosial masyarkat yakni menggali alasan mengapa sebuah wacana memiliki struktur tertentu yamg berhubungan sosial antara pihak-pihak yang tercakup dalam wacana tersebut (Rohana & Syamsuddin, 2015, p. 20).

 

B.  POKOK-POKOK PIKIRAN KRITIS DALAM AWK

Pokok-pokok pikiran kritis diilhami oleh pandangan kritis yang memberikan paradigma mengenai bahasa dalam wacana. Pandangan terhadap bahasa dalam wacana terbagi ke dalam tiga kelompok besar. Pertama, kaum positivisme-empiris yang memandang bahwa analisis terhadap wacana adalah sebuah penggambaran atas tataaturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama yang didasarkan pada justifikasi sintaksis dan semantik. Kedua, kaum konstruktivisme yang melakukan analisis wacana sebagai bentuk pengungkapan makna dan maksud tertentu berdasarkan analisis subjektif dalam nuansa analisis framing. Ketiga, pandangan kritis yang melakukan analisis wacana sebagai analisis mendalam terhadap gejolak kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna.

Menurut Supriyadi (2015) bahwa bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa, batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan. Oleh karena memakai perspektif kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana kritis (critical discourse analysis) (p. 98).

Paradigma kritis terutama bersumber dari pemikiran sekolah Frankfrut. Ketika itu di Jerman tengah terjadi proses propaganda besar-besaran Hitler. Media dipenuhi prasangka, retorika dan propaganda. Media dijadikan alat dari pemerintah untuk mengontrol publik, menjadi saranan pemerintah mengobarkan semangat perang, berangkat dari sana ternyata media bukalah entitas yang netral, tetapi bisa dikuasai oleh kelompok yang dominan. Dari pemikiran sekolah Frankfrut inilah lahir pemikiran paradigma kritis (Aswadi, 2018, p. 179). Pernyataan utama dari paradigma kritis adalah adanya kekuatankekuatan yang berbeda dalam masyarakat yang mengontrol proses komunikasi. Teori kritis lahir karena ada keprihatinan akumulasi dan kapitalisme lewat modal yang besar, yang mulai menentukan dan mempengaruhi kehidupan masyarakat. Individu tidak lagi mempunyai kontrol terhadap modal tersebut, malah secara alamiah pula jadi diluar kesadarannya ia harus menyesuaikan dengan masyarakat yang dikuasai modal (Eriyanto, 2005, p. 24).

Paradigma kritis pada dasarnya adalah paradigma ilmu pengetahuan yang meletakkan epistemologi kritik Marxisme dalam seluruh metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan bahwa paradigma kritis yang diinspirasikan dari teori kritis tidak bisa melepaskan diri dari warisan Marxisme dalam seluruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu pihak merupakan salah satu aliran ilmu sosial yang berbasis pada ide-ide Karl Marx dan Engels (Denzin, 2000, pp. 279-280).

Terdapat beberapa karakteristik utama pada seluruh filsafat pengetahuan paradigma kritis. Ciri pertama adalah ciri pemahaman paradigma kritis tentang realitas. Realitas dalam pandangan kritis sering disebut dengan realitas semu. Realitas ini tidak alami tapi lebih karena bangun konstruk kekuatan sosial, politik, dan ekonomi. Dalam pandangan paradigma kritis, realitas tidak berada dalam harmoni tapi lebih dalam situasi konflik dan pergulatan sosial (Eriyanto, 2005, pp. 3-46).

Ciri kedua adalah ciri tujuan penelitian paradigma kritis. Karakteristik menyolok dari tujuan paradigma kritis ada dan eksis adalah paradigma yang mengambil sikap untuk memberikan kritik, transformasi sosial, proses emansipasi, dan penguatan sosial. Tujuan penelitian paradigma kritis adalah mengubah dunia yang tidak seimbang. Dengan demikian, seorang peneliti dalam paradigma kritis akan mungkin sangat terlibat dalam proses negasi relasi sosial yang nyata, membongkar mitos, menunjukkan bagaimana seharusnya dunia berada (Denzin, 2000, pp. 163-186).

Ciri ketiga adalah ciri titik perhatian penelitian paradigma kritis. Titik perhatian penelitian paradigma kritis mengandaikan realitas yang dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Ini berarti bahwa ada hubungan yang erat antara peneliti dengan objek yang diteliti. Setidaknya peneliti ditempatkan dalam situasi bahwa ini menjadi aktivis, pembela atau aktor intelektual di balik proses transformasi sosial. Dari proses tersebut, dapat dikatakan bahwa etika dan pilihan moral bahkan suatu keberpihakan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari analisis penelitian yang dibuat (Supriyadi, 2015, p. 100) .

Karakteristik keempat dari paradigma kritis adalah pendasaran diri paradigma kritis mengenai cara dan metodologi penelitiannya. Paradigma kritis dalam hal itu menekankan penafsiran peneliti pada objek penelitiannya. Hal itu berarti bahwa ada proses dialogal pada seluruh penelitian kritis. Dialog kritis itu digunakan untuk melihat secara lebih dalam kenyataan sosial yang telah, sedang, dan akan terjadi. Karakteristik keempat ini menempatkan penafsiran sosial peneliti untuk melihat bentuk representasi pada setiap gejala, dalam hal ini media massa sebagai wacana berikut teks yang diproduksinya. Pada paradigma kritis, penelitian yang bersangkutan tidak bisa menghindari unsur subjektivitas peneliti dan hal itu dapat menimbulkan perbedaan penafsiran gejala sosial dari peneliti lainnya (Newman, 2000, pp. 63-87). Pada konteks karakteristik yang keempat itu, penelitian dengan paradigma kritis mengutamakan juga analisis yang menyeluruh, kontekstual, dan multilevel. Hal itu berarti bahwa penelitian kritis menekankan soal historical situatedness dalam seluruh kejadian sosial yang ada (Denzin, 2000, p. 170).

 

C.  TIGA DIMENSI TEKS BAHASA

Bahasa dapat dilihat sebagai sesuatu yang memiliki tiga dimensi, yaitu bentuk, makna, dan fungsi. Dimensi bentuk dan makna merupakan dimensi internal bahasa. Sementara itu, dimensi fungsi merupakan dimensi eksternal bahasa. Dimensi bentuk meliputi unsur yang bersifat segmental dan unsur yang bersifat suprasegmental. Bentuk yang bersifat segmental disebut satuan kebahasaan atau satuan lingual. Dimensi fungsi membentuk struktur eksternal bahasa. Dalam dimensi fungsi, bahasa dipandang sebagai sesuatu yang bisa digunakan. Bahasa dalam dimensi fungsi menghubungkan struktur internal bahasa, yaitu bentuk dan makna (teks), dengan unsur luar bahasa yang disebut konteks. Teks yang dikaitkan dengan konteks melahirkan makna kontekstual atau dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan maksud (Sudarsono, 2022).

Van Dijk (1995) menggambarkan wacana memiliki tiga dimensi, yaitu (a) teks, (b) kognisi sosial, dan (c) konteks sosial. Dimensi teks merupakan bentuk kebahasaan dari wacana. Kognisi sosial berkaitan dengan produsen teks dan latar belakang ideologisnya. Konteks sosial merupakan keadaan masyarakat secara menyeluruh.  Menurut Van Dijk, sebuah teks tidak serta-merta ada. Teks tidak jatuh dari langit begitu saja dan tidak berada di dalam ruang yang hampa. Teks dibentuk dalam suatu praktik yang melibatkan konteks sosial-kultural melalui sebuah jembatan bernama kognisi produsennya. Misalnya, sebuah teks yang memarjinalkan para mahasiswa yang sedang berdemonstrasi lahir karena kognisi/kesadaran mental dari penulisnya, bahkan dari masyarakat yang memandang demonstrasi mahasiswa itu buruk. Teks tentang demonstrasi mahasiswa tersebut hanyalah salah satu cerminan dari kognisi dan merupakan bagian kecil dari struktur yang lebih besar, yaitu konteks sosial-kultural tadi.

Van Dijk memulai kajian ini dengan menganalisis teks-teks media yang berkaitan dengan rasisme di Barat. Van Dijk berhasil mengungkap alam bahwa sadar masyarakat Barat yang rasis dan memandang rendah kelompok minoritas. Konteks sosial-kultural tersebut “dimapankan” dalam teks media. Akibatnya, rasisme dianggap lumrah ada di kalangan masyarakat Barat. Berdasarkan ketiga dimensi yang disebutkan Van Dijk di atas, ada tiga tahapan analisis wacana yang dilakukan, yaitu (a) analisis teks, (b) analisis kognisi sosial, dan (c) analisis konteks sosial. Analisis teks dilakukan dengan membedah aspek-aspek kebahasaan dalam teks, mulai dari tataran tertinggi, yaitu wacana, hingga tataran terkecil, yaitu kata. Adapun linguistik sangat dekat dengan analisis teks yang disebutkan Van Dijk tersebut. Analisis kognisi sosial dilakukan dengan melacak produsen teks dan segala hal yang melatarbelakanginya. Misalnya, analisis dilakukan dengan menelusuri identitas media massa yang memuat teks dan pihak-pihak di belakang media massa tersebut. Analisis konteks sosial dilakukan dengan menghubungkan isu dalam teks dengan masyarakat tempat isu tersebut diproduksi dan dikonsumsi masyarakatnya. Analisis dapat dilakukan dengan menelusuri pustaka-pustaka, arsip-arsip, maupun pandangan-pandangan umum yang hidup dan dihayati masyarakat (Sudarsono, 2021).

 

D.  FOKUS KAJIAN DAN INTERPRETASI KONTEKS

Konteks dalam analisis wacana kritis, diartikan sebagai latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Hal ini menunjukkan bahwa wacana dipandang, diproduksi, dimengerti, dan dianalisis melalui konteks tertentu. Oleh karena itu, konteks merupakan bagian dari elemen yang akan dianalisis dalam wacana kritis. Melalui konteks, hal-hal yang memengaruhi pewacana dalam memproduksi wacana akan tergambar secara jelas. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Van Dijk (1992) yang mengatakan bahwa konteks adalah sesuatu yang melingkupi teks sehingga teks tersebut dapat dipahami secara komprehensif (Ratnaningsih, 2019, p. 42).

Menurut Cook, analisis wacana juga mengaitkan konteks dari komunikasi: siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dan perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk masing-masing pihak. Tiga hal sentralnya adalah teks, konteks, dan wacana. Teks, dalam hal ini, adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi semua jenis ekspresi komunikasi. Konteks memasukan semua jenis situasi dan hal yang berada diluar teks dan memengaruhi pemakaian bahasa, situasi dimana teks itu diproduksi serta fungsi yang dimaksudkan. Wacana dimaknai sebagai konteks dan teks secara bersama. Titik perhatianya adalah analisis wacana menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam proses komunikasi. Berdasar pada titik tolak dari analisis wacana, bahasa tidak bisa dimengerti sebagai mekanisme internal dari linguistik semata, bukan suatu objek yang diisolasi dalam ruang tertutup. Bahasa, dalam analisis wacana kritis, dipahami dalam konteks secara keseluruhan (Ratnaningsih, 2019, pp. 42-43).

Terdapat beberapa konteks penting yang berpengaruh pada produksi wacana. Pertama, partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana. Jenis kelamin, umur, pendidikan, kelas sosial, etnis, agama, dalam banyak hal relevan dalam menggambarkan wacana. Misalnya, seseorang berbicara dalam pandangan tertentu karena ia laki-laki, atau karena ia berpendidikan. Kedua, setting sosial tertentu, seperti tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik adalah konteks yang berguna untuk mengerti suatu wacana. Misalnya, pembicaraan di tempat kuliah berbeda dengan di jalan. Setting, seperti tempat itu privat atau publik, dalam suasana formal atau informal, atau pada ruang tertentu memberikan wacana tertentu pula. Berbicara di ruang kelas berbeda dengan berbicara di rumah dan juga di pasar, karena situasi sosial atau aturan yang melingkupinya berbeda, menyebabkan partisipan komunikasi harus menyesuaikan diri dengan konteks yang ada. Oleh karena itu, wacana harus dipahami dan ditafsirkan dari kondisi dan lingkungan sosial yang mendasarinya (Ratnaningsih, 2019, pp. 43-44).

 

E.  SIMPULAN

Analisis wacana kritis adalah upaya atau kegiatan untuk memahami wacana lebih mendalam, tidak hanya memandang wacana sebagai teks semata. Dalam analisis wacana kritis, wacana dipandang sebagai praktik sosial, yang pemroduksiannya memiliki tujuan atau maksud tertentu. Analisis wacana kritis setidaktidaknya memandang wacana sebagai objek berdimensi yang terdiri atas tiga unsur: teks, kognisi sosial dan konteks.

 

DAFTAR PUSTAKA

Aswadi. (2018). Mengulik Akar Kritis dalam Analisis Wacana Kritis dan Implementasinya Terhadap Teks Berita. Lensa: Kajian Kebahasaan, Kesusastraan, dan Budaya, 8(2) , 176-188.

Darma, Y. A. (2013). Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya.

Denzin, N. K. (2000). Handbook of Qualitative Research. California: Sage Public.

Eriyanto. (2005). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.

Newman, L. W. (2000). Social Research Method. London: Allyn and Bacon.

Ratnaningsih, D. (2019). Analisis Wacana Kritis: Sebuah Teori dan Implementasi. Lampung: Universitas Muhammadiyah Kotabumi.

Rohana, & Syamsuddin. (2015). Analisis Wacana. Makassar: CV. Samudra Alif Mim.

Sudarsono, S. C. (2022, October 11). Dimensi Bahasa: Bentuk, Makna, dan Fungsi. Retrieved April 4, 2023, from sastranesia.id: https://sastranesia.id/dimensi-bahasa-bentuk-makna-dan-fungsi/

Sudarsono, S. C. (2021, September 24). Tiga Dimensi Analisis Wacana Kritis Van Dijk. Retrieved April 4, 2023, from sastranesia.id: https://sastranesia.id/tiga-dimensi-analisis-wacana-kritis-van-dijk/

Supriyadi. (2015). Analisis Wacana Kritis: Konsep dan Fungsinya Bagi Masyarakat. Aksara: Jurnal Bahasa dan Sastra, 16(2) , 96-112.

 

ANALISIS WACANA KRITIS

28 November 2023 19:56:10 Dibaca : 66

A.  SEMIOTIKA DALAM ANALISIS WACANA KRITIS

Semiotika adalah ilmu tentang tanda. Untuk membaca dan memaknai tanda diperlukan adanya “bahasa”. Makna terbentuk melalui sistem perbedaan yang terstruktur dalam bahasa. Makna diproduksi melalui proses seleksi dan kombinasi tanda-tanda di sekitar dua poros, yaitu: poros sintagmatis (linear, misalnya kalimat) dan poros paradigmatis (arena tanda, misalnya sinonim), yang ditata dalam sistem penandaan. Tanda ini terdiri dari penanda (media) dan petanda (makna) (Saussure, 1960). Tujuan analisis semiotika adalah untuk menemukan makna tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi dibalik sebuah tanda (teks, iklan, berita). Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari berbagai konstruksi sosial dimana pengguna tanda (Wibowo, 2013). Semiotika mempelajari apa saja yang dapat dianggap sebagai tanda dan menolak tanda yang bersifat absolut. Tanda sebagai sesuatu yang merepresentasikan atau menggambarkan sesuatu yang lain berdasarkan pemikiran seseorang. Tanda ini terdiri dari dua materi dasar, yaitu ekspresi (seperti kata, suara, dan simbol) dan konten/isi (seperti makna dan arti) (Hjemslev, 1961).

Semiotika merupakan metode penelitian dengan pendekatan tekstual dan studi tentang tanda. Untuk memaknai tanda diperlukan bahasa dan kode-kode kultural agar dapat dibentuk dan dikomunikasikan. Tanda akan membentuk makna yang mengacu satu sama lain, yang merupakan hasil konvensi sosial yang terorganisasi melalui relasi antar-tanda. Sebagai contoh berita di televisi dari analisis semiotika menjadi representasi makna yang telah dikonstruksi, bukan cermin realitas (Barker, 2000). Ekspresi sangat tergantung pada perspektif atau cara berpikir seorang pengamat. Sedangkan konten bersifat objektif, sehingga yang dapat menyatukan antara ekspresi dan konten adalah konteks. Hubungan antara ekspresi dan konten bersifat mental, tergantung dari siapa yang menginterpretasikan tanda tersebut (Manning & Swan, 1997). Metode semiotika menjadi dasar asumsi dan konsep yang memungkinkan kita untuk menganalisis sistem simbolik dengan cara sistematis. Sistem simbolik ini direpresentasikan melalui bahasa verbal, kode, dan simbol. Dalam kehidupan sosial, struktur kelompok, kepercayaan atau agama, praktik-praktik budaya, dan makna relasi sosial beranalogi dengan struktur bahasa (Denzin & Lincoln, 1997).

Semiotika dalam analisis wacana kritis menjadi sebuah kajian kritis yang melingkupi aspek tanda dan lambang dalam situasi wacana sosial yang berkembang di masyarakat. Objeknya berupa teks wacana. Adapun media analisisnya menggunakan bahasa, kode, gambar, suara, dan simbol komunikasi lainnya. Hasil analisis semiotika dalam analisis wacana kritis berupa makna yang dipersepsikan berdasarkan teks dan konteksnya.

Secara garis besar dapat dinyatakan bahwa terdapat dua pendekatan dalam analisis wacana kritis (Matsuki, 1996, pp. 351-352). Pertama, pendekatan sosiolinguistik yang menitikberatkan persoalan-persoalan bahasa secara makro, seperti persoalan formasi tekstual dari wacana, atau bentuk-bentuk serta fungsi-funsi dari lambang-lambang bahasa yang digunakan dalam teks. Pendekatan ini seringkali di kritik sebagai terkesan kurang mementingkan proses-proses makrohistoris dari teks bersangkutan.

Kedua, pendekatan sosiokultural yang melihat wacana sebagai praktik sosial. Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada praktik sosial kehidupan manusia, dan menempatkan wacana sebagai tindakan manusia yang senantiasa berkaitan dengan proses-proses simbolik, seperti kekuasaan dan ideologi. Pendekatan ini lebih menempatkan lambang-lambang dalam konteks situasional maupun historis secara lebih luas sehingga lebih dekat dengan semiotika. Michael Foucault seorang poststrukturalis Perancis mengingatkan  dalam hubungan ini bahwa pengguliran wacana dibatasi dan bahkan ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan-kekuatan pranata sosial yang kompleks yang ada di masyarakat, dan bukan semata merupakan persoalan bahasa (Matsuki, 1996, p. 351).

 

B.  MEMAHAMI TEORI ANALISIS WACANA KRITIS

Analisis wacana kritis tidak hanya sekadar analisis teks semata, tetapi juga analisis bentukbentuk sistematis dari hubungan antar elemen-elemen pada proses sosial. Analisis wacana kritis bukanlah aktivitas yang hanya berupa pemberian komentar pada wacana, analisis wacana kritis juga melibatkan analisis sistematis dari teks (tidak hanya deskriptif tetapi juga naratif) (Ratnaningsih, 2019, p. 19).

Analisis wacana kritis didefinisikan sebagai upaya untuk menjelaskan suatu teks pada fenemona sosial untuk mengetahui kepentingan yang termuat didalamnya. Wacana sebagai bentuk praktis sosial dapat dianalisis dengan analisis wacana kritis untuk mengetahui hubungan antara wacana dan perkembangan sosial budaya dalam domain sosial yang berbeda dalam dimensi linguistik (Eriyanto, 2008, p. 7).

Menurut Van Djik (2001), analisis wacana kritis yang menitikberatkan kekuatan dan ketidaksetaraan yang dibuat pada fenomena sosial. Oleh sebab itu, analisis wacana kritis digunakan untuk menganalisis wacana terhadap ilmu lain yang terdapat pada ranah politik, ras, gender, hegemoni, budaya, kelas sosial. Ranah kajian tersebut berpusat pada prinsip analisis wacana kritis yakni: tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi (Syamsuddin, 2016, p. 17)

Eriyanto (2008) membagi karakteristik wacana kritis menjadi lima karakteristik. Kelima karakteristik tersebut adalah tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi. Tindakan berarti bahwa wacana diproduksi sebagai tindakan yang memiliki tujuan-tujuan tertentu: membujuk, mengritik, menolak, atau mengajak, dan wacana diproduksi atas kesadaran pemroduksi wacana. Konteks berarti bahwa wacana diproduksi dengan dipengaruhi konteks: untuk siapa wacana itu diproduksi, lingkungan apa saja yang memengaruhi wacana, dan dimana wacana itu diproduksi. Historis berarti bahwa produksi wacana tidak akan terlepas dari rentang waktu diproduksinya wacana. Faktor historis dapat memengaruhi konten wacana yang diproduksi. Pada karakteristik kekuasaan, wacana dipandang sebagai alat dari kekuasaan: untuk memperluas cakupan kekuasaan, menyudutkan kekuatan lawan, dan alat untuk mengimplementsaikan kebijakan penguasa sedangkan karakteristik ideologi berkaitan dengan keyakinan atau paham-paham, yang biasanya muncul dari kaum minoritas. Wacana digunakan sebagai alat untuk mempropagandakan suatu keyakinan atau paham tertentu dan membuat kaum minoritas diterima oleh khalayak ramai (Ratnaningsih, 2019, pp. 19-20).

Analisis wacana kritis adalah upaya atau kegiatan untuk memahami wacana lebih mendalam, tidak hanya memandang wacana sebagai teks semata. Dalam analisis wacana kritis, wacana dipandang sebagai praktik sosial, yang pemroduksiannya memiliki tujuan atau maksud tertentu. Analisis wacana kritis setidak-tidaknya memandang wacana sebagai objek berdimensi yang terdiri atas tiga unsur: teks, kognisi sosial dan konteks (Ratnaningsih, 2019, p. 21).

 

C.  PENDEKATAN ANALISIS WACANA KRITIS

Dalam analisis wacana kritis, wacana tidak dipahami sebagai objek studi bahasa semata. Objek studi dalam analisis wacana kritis selain teks juga pada konteks bahasa. Tujuan utama analisis wacana kritis adalah membuka kesamaran dalam wacana yang tidak seimbang antarpartisipan wacana (Masitoh, 2020, p. 71).

Beberapa pendekatan dalam analisis wacana kritis, adalah sebagai berikut:

1.    Analisisis Wacana Kritis Norman Fairclough (Dialectical-Relational Approach/ DRA)

Pendekatan analisis wacana kritis yang dibuat Norman Fairclough adalah bahwa kegiatan berwacana sebagai praktik sosial. Hal ini menyebabkan ada hubungan yang berkaitan antara praktik sosial dan proses membentuk wacana. Untuk itu, harus dilakukan penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi terbentuknya wacana. Fairclough (1989) menjelaskan ada hubungan dialektikal antara praktik sosial dan proses terbentuknya wacana, yaitu wacana mempengaruhi tatanan sosial dan tatanan sosial mempengaruhi wacana. Oleh karena itu, wacana dapat membentuk dan dibentuk oleh masyarakat. Selain itu, wacana juga dapat membentuk dan mengubah pengetahuan, hubungan sosial, dan identitas sosial. Selanjutnya, wacana dibentuk oleh kekuasaan yang berhubungan dengan ideologi. Dengan demikian, pendekatan analisis wacana kritis yang dibuat oleh Fairclough disebut dengan Pendekatan Relasional Dialektikal (Dialectical-Relational Approach/DRA) atau biasa juga disebut dengan pendekatan perubahan sosial (Masitoh, 2020, p. 71).

2.    Analisisis Wacana Kritis Theo Van Leeuwen (Social Actors Approach/SAA)

Theo van Leeuwen memperkenalkan pendekatan analisis wacana kritis ini untuk menjelaskan bagaimana sebuah kelompok dimunculkan atau disembunyikan. Pendekatan analisis wacana kritis yang dibuat Van Leeuwen menjelaskan bagaimana orang-orang tertentu dan aktor sosial (social actors) dimunculkan dalam wacana. Bagaimana suatu kelompok yang mendominanasi lebih memegang kendali dan kelompok yang posisinya rendah digambarkan sebagai orang yang tidak baik. Misalnya, kelompok yang dimarjinalkan, seperti: pengangguran, PSK, buruh, dan perempuan dianggap kelompok yang tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan, mereka juga digambarkan sebagai orang yang tidak berpendidikan, penyakit masyarakat, pengacau, dan selalu berbuat jahat. Citra buruk yang tergambar dalam media kepada kelompok marjinal ini dianggap sebagai kelompok yang tidak baik dan kelompok yang mendominasi menjadi pihak yang terlihat ‘dirugikan’ (Masitoh, 2020, pp. 71-72).

Berkaitan dengan hal di atas Van Leeuwen berfokus kepada dua hal, yaitu proses eksklusi dan proses inklusi. Proses eksklusi adalah proses yang menjelaskan bahwa dalam wacana adakah kelompok atau aktor yang tidak ditampilkan dalam pemberitaan, yaitu dengan cara tidak ditampilkan atau menyamarkan dalang utama sehingga pihak yang dirugikanlah yang menjadi pusat perhatian berita. Proses penghilangan dalang utama ini dapat mengubah pikiran masyarakat akan suatu kejadian dan melegalkan posisi pemahaman tertentu. Proses inklusi, yaitu proses memasukkan seseorang atau kelompok tertentu ke dalam wacana, kebalikan dari proses eksklusi. Proses eksklusi dan inklusi merupakan strategi wacana. Proses eksklusi dan inklusi adalah cara menampilkan aktor sosial di dalam wacana dengan memanfaatkan permainan kata atau diksi, kalimat, gaya bahasa, dan cara bercerita tertentu untuk menampilkan aktor sosial yang diinginkan ke dalam sebuah wacana (Masitoh, 2020, p. 72).

3.    Analisisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk (Socio-cognitive Approach/SCA)

Pendekatan analisis wacana kritis yang dikemukan oleh Van Dijk ini dikenal dengan sebutan ”pendekatan kognitif sosial”. Pendekatan analisis wacana kritis ini bukan hanya didasarkan pada analisis teks, melainkan juga harus dilihat bagaimana teks tersebut dapat diproduksi, sehingga diperoleh suatu pengetahuan mengapa dapat diperoleh teks seperti itu. Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial dan ketiga dimensi wacana tersebut digabungkan menjadi suatu kesatuan untuk analisis. Dalam dimensi teks, yang dianalisis adalah struktur teks dan strategi wacana digunakan untuk memperjelas tema yang dibuat. Dimensi kognisi sosial menganalisis proses memperoleh teks berita yang melibatkan kognisi individu dari orang lain. Dimensi konteks sosial menganalisis kerangka wacana yang berkembang di khalayak ramai akan suatu berita (Masitoh, 2020, p. 72).

Pendekatan analisis wacana kritis menurut Van Dijk, kerangka wacana terdiri atas tiga struktur yang membentuk satu kesatuan. Tiga struktur tersebut adalah struktur makro, super struktur, dan struktur mikro. Struktur makro merujuk pada semua makna yang ada pada tema atau topik dalam wacana. Super struktur merujuk pada skematika wacana yang lazim digunakan, yang dimulai dari pendahuluan, isi pokok, dan diakhiri dengan penutup/simpulan. Selanjutnya struktur mikro merujuk pada makna setempat, yaitu wacana dapat digali dari aspek semantik, sintaksis, stilistika, dan retorika setempat. Dari penjelasan di atas Van Dijk menyimpulkan bahwa kerangka wacana harus mempertimbangkan aspek makna universal yang dapat diperlihatkan melalui analisis struktur makro dan super struktur yang posisinya jauh di atas analisis kata dan kalimat, tetapi analisis struktur mikro tetap diperhitungkan. Dengan menganalisis keseluruhan komponen kerangka wacana, dapat dijelaskan kognisi sosial pembuat wacana. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa cara memandang seseorang terhadap suatu yang ditulisnya dalam wacana akan menentukan ciri khas dan kerangka wacana yang dituliskan (Masitoh, 2020, p. 73).

4.    Analisisis Wacana Kritis Ruth Wodak (Discourse-Historica Approaches/DHA)

Pendekatan analisis wacana kritis yang dikemukakan oleh Wodak, yaitu untuk melakukan analisis pada sebuah wacana adalah dengan cara melihat faktor historis dalam suatu wacana. Pendekatan analisis wacana kritis yang dikembangkan itu disebut pendekatan historis wacana karena dalam menganalisis wacana harus menyertakan konteks histori untuk menjelaskan suatu kelompok atau komunitas tertentu (Masitoh, 2020, p. 73)

Pendekatan analisis wacana kritis yang dikemukakan Wodak dapat dilakukan tiga cara: (1) menentukan topik utama dari sebuah wacana yang spesifik; (2) melakukan telaah strategi-strategi diskursif (termasuk strategi argumentasi); dan (3) menganalisis makna-makna yang nyata dalam kebahasaan, juga makna-makna kebahasaan dalam bentuk lain. Beberapa elemen dan strategi diskursif yang harus mendapatkan perhatian menurut Wodak dalam menganalisis wacana kritis adalah sebagai berikut.

a.    Bagaimana pembuatan nama orang dan mengacu kepada siapa?

b.    Bagaimana sifat, watak, kualitas, dan bentuk penggambaran kepada mereka?

c.    Argumentasi seperti apakah orang atau sekelompok orang yang digambarkan secara eksklusi dan inklusi?

d.   Dari pandangan manakah pelabelan, penggambaran, dan argumentasi disampaikan?

e.    Pengungkapan apakah disampaikan dengan jelas, diintensifkan, atau malah dikurangi?

Dari pertanyaan-pertanyaan di atas, Wodak memilih 5 tipe strategi diskursif, yang kesemuanya menghadirkan citra diri sendiri yang positif dan untuk orang lain yang negatif (Masitoh, 2020, pp. 73-74).

5.    Analisis Wacana Kritis Sara Mills (Feminist Stylistics Approach/FSA)

Pendekatan analisis wacana kritis Sara Mills memfokuskan seperti apa perempuan dimunculkan dalam wacana. Selama ini perempuan selalu disingkirkan dan berada dalam keadaan yang tidak baik dan para perempuan itu tidak diberikan kesempatan untuk membela diri. Pendekatan wacana kritis ini sering disebut sebagai pendekatan analisis wacana perspektif feminis/feminist stylistics. Menurut Sara Mills, pendekatan perspektif feminis ini memiliki tujuan untuk menjelaskan apa yang ada dalam stilistika konvensional akan menjadi lebih jelas dalam menganalisis wacana. Hal ini akan memaksimalkan fungsi stilistika dalam analisis wacana bahwa apakah bahasa itu hanya sekedar ada atau memang harus ada dan dimunculkan.

Sara Mills mengembangkan pendekatan ini untuk mengamati seperti apa tampilan pelaku dalam wacana. Maksudnya, siapa yang akan menjadi subjek penceritaan dan siapa yang akan menjadi objek penceritaan. Dengan demikian, akan didapat seperti apa bangunan wacana dan makna yang bagaimana yang ada dalam wacana secara detailnya. Sara Mills juga mengamati seperti apa pembaca dan penulis diperlakukan dan bagaimana pembaca mengidentifikasi dan menempatkan dirinya dalam wacana. Hal ini akan menempatkan pembaca pada salah satu posisi dan mempengaruhi bagaimana wacana tersebut diwujudkan. Gaya penceritaan dan posisiposisi yang ditempatkan dan ditampilkan dalam wacana ini membuat satu pihak dilegalkan dan pihak lain tidak dilegalkan.

Selanjutnya Sara Mills membagi ke dalam tiga tingkatan untuk menganalisis wacana kritis, ketiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut. (a) Tingkatan kata, yang meliput seksisme dalam bahasa dan seksisme maknanya. (b) Tingkata frasa/kalimat, meliputi: penamaan, pelecehan pada wanita, belas kasihan, pengkerdilan, dan penghalusan. (c) Tingkatan wacana, meliputi: karakter, peran, fragmentasi, vokalisasi, skemata (Masitoh, 2020, p. 74).

 

D.  SIMPULAN

Analisis wacana kritis adalah studi linguistik yang membahas wacana bukan dari unsur kebahasaan, melainkan mengaitkannya dengan konteks. Dasar teoretis analisis wacana didasarkan pada beberapa perkembangan sejarah dalam filsafat pengetahuan dan teori sosial. Oleh karena itu, faktor histori, sosial, dan ideologi adalah sumber utama dalam kerangka kerja analisis wacana kritis. Adapun tujuan utama analisis wacana kritis adalah membuka kesamaran yang ada dalam wacana.

Untuk menganalisis wacana kritis, ada beberapa pendekatan yang disampaikan para ahli. Pertama, pendekatan analisis wacana kritis Norman Fairclough menjelaskan bahwa kegiatan berwacana sebagai praktik sosial yang menyebabkan ada hubungan dialektikal antara praktik sosial dan proses terbentuknya wacana. Kedua, pendekatan analisis wacana kritis yang dibuat Van Leeuwen menjelaskan bagaimana orang-orang tertentu dan aktor sosial (social actors) dimunculkan dalam wacana. Ketiga, pendekatan analisis wacana kritis yang dikemukan oleh Van Dijk, yaitu pendekatan kognitif sosial yang bukan hanya didasarkan pada analisis bahasa wacana, melainkan juga harus dilihat bagaimana wacana tersebut diproduksi dan mengapa dapat diperoleh wacana seperti itu. Keempat, pendekatan analisis wacana kritis yang disampaikan Wodak adalah pendekatan wacana historis yang menjelaskan bahwa untuk melakukan analisis pada sebuah wacana dengan cara melihat faktor historis dalam suatu wacana itu. Kelima, pendekatan analisis wacana kritis Sara Mills adalah perspektif feminis/feminist stylistics yang memfokuskan seperti apa perempuan dimunculkan dalam wacana.

 

DAFTAR PUSTAKA

Barker, C. (2000). Cultural Studies: Theory and Practice. London: Sage Publication.

Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (1997). Handbook of Qualitative Research. USA: Sage Publication.

Eriyanto. (2008). Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: Lkis.

Hjemslev, L. (1961). Prolegomena to a Theory of Language (ed.rev). Masidon: University of Wisconsin Press.

Manning, P. K., & Swan, B. C. (1997). Analisis Naratif, Analisis Konten, dan Analisis Semiotika. Dalam Handbook of Qualitative Research, editor: Denzin, N.K. & Lincoln, Y.S. USA: Sage Publication.

Masitoh. (2020). Pendekatan dalam Analisis Wacana Kritis. Edukasi Lingua Sastra, 18(1) , 66-76.

Matsuki, K. (1996). Metaphors of anger in Japanese. In Taylor, J. and R. MacLaury (eds.), Language and the cognitive construal of the world. Berlin: Gruyter.

Ratnaningsih, D. (2019). Analisis Wacana Kritis Sebuah Teori dan Implementasi. Lampung: Universitas Muhammadiyah Kotabumi.

Saussure, F. D. (1960). Course in General Linguistics. London: Peter Owen.

Syamsuddin, R. (2016). Analisis Wacana. Makassar: CV. Samudra Alif Mim.

Wibowo, I. S. (2013). Semiotika Komunikasi-Aplikasi Praktis bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.

 

Dalam wacana linguistik, bahasa diberi pengertian sebagai sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi, yang dipakai sebagai alat komunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pemikiran. Sedangkan dalam pengertian metaforis, istilah bahasa mengacu pada berbagai cara komunikasi atau berkontak (isyarat atau simbol lainnya). Adapun semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dengan kata lain, semiotika mempelajari relasi diantara komponen-komponen tanda, serta relasi antara komponen-komponen terseebut dengan masyarakat penggunanya (Hasbullah, 2020, p. 122).

Semiotik sosial pertama kali dikembangkan oleh M.A.K Halliday. Dengan dasar pemikiran strukturalis yang dipengaruhi pemikiran post-strukturalis, Halliday berpendapat bahwa grammar dalam bahasa bukan merupakan sebuah kode, yang tidak semata-mata membangun kalimat yang benar. Tetapi merupakan sebuah peristiwa yang menghasilkan makna. ‘Tanda’ merupakan konsep fundamental dalam semiotik, namun tidak memandang ‘tanda’ sebagai sesuatu yang tetap. Untuk itu, Van Leeuwen menggunakan istilah “sumber semiotik” untuk mengantikan kata “tanda”. ‘Sumber semiotik’, kata yang dianggap lebih tepat mengantikan kata ‘tanda’ dalam semiotik sosial, merupakan sebuah tindakan atau artefak yang digunakan dan tercipta dalam peristiwa komunikasi. Mulai dari yang diciptakan secara physiological, dengan otot (menghasilkan ekspresi wajah, atau gestur), atau teknologi (pensil, kertas, atau komputer). Sumber semiotik tidak terbatas pada perkataan, tulisan, atau gambar, namun hampir semua hal yang memiliki makna secara sosial dan kultural (Praditya, 2019).

Akar dari pandangan Halliday ialah bahasa sebagai semiotika sosial. Formulasi “bahasa sebagai semiotik sosial” berarti menafsirkan bahasa dalam konteks sosiokultural tempat kebudayaan itu ditafsirkan dalam termonologis semiotis sebagai sebuah “sistem informasi.” Dalam level yang amat konkret, bahasa itu tidak berisi kalimat-kalimat, tetapi bahasa itu berisi “teks” atau “wacana”, yakni pertukaran makna (exchange of meaning) dalam konteks interpersonal. Mengkaji bahasa hakikatnya mengkaji teks atau wacana. Hal ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa mengodekan (encode) representasi dunia yang dikonstruksikan secara sosial (Santoso, 2008, p. 2). Dengan demikian, ilmu bahasa merupakan jenis dari semiotik. Ilmu bahasa adalah satu segi kajian tentang tanda. Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang secara bersama-sama membentuk budaya manusia (Halliday & Hasan, 1992, p. 3).

Halliday menginginkan tafsiran yang lebih khusus tentang kata ‘sosial’, untuk menunjukkan perhatian terutama pada hubungan antara bahasa dengan struktur sosial, dengan memandang struktur sosial sebagai satu segi dari sistem sosial. Sedangkan struktur sosial dapat dilihat melalui hubungan sosial manusia dalam kehidupan sehari-hari ketika berkomunikasi dan bertukar makna, maka kata-kata yang dipertukarkan dalam konteks tersebut mendapatkan maknanya dari kegiatan-kegiatan yang mengandung kata-kata yang merupakan kegiatan sosial dengan perantara dan tujuan sosial (Halliday & Hasan, 1992, pp. 4-5). Semiotika sosial lebih cenderung melihat bahasa sebagai sistem tanda atau simbol yang sedang mengekspresikan nilai dan norma kultural dan sosial  suatu masyarakat tertentu di dalam suatu proses sosial kebahasaan (Santoso R. , 2006, p. 6). Halliday menyatakan bahwa kajian bahasa sebagai semiotika sosial mencakup subkajian tentang teks, konteks situasi, register, kode, sistem linguistik, dan struktur sosial (Zainuddin, 2021, p. 73).

Bahasa merupakan sistem semiotik. Akan tetapi berbeda dengan semiotik umum yang hanya terjadi dari ‘arti’ dan ekspresi, bahasa adalah semiotik sosial yang terjadi dari tiga unsur (yang juga disebut tiga tingkat), yakni ‘arti’, bentuk, dan eskpresi. Ketiga unsur bahasa membentuk semiotik yang terhubung dengan realisasi, yakni ‘arti’ atau semantik direalisasikan oleh bentuk atau leksikogrammar (leksis kosa kata dan grammar tata bahasa), dan selanjutnya bentuk diekspresikan oleh bunyi (fonologi) dalam bahasa lisan atau sistem tulisan (grafologi) dalam bahasa tulisan. Hubungan ketiga unsur ini dalam persepsi bahasa sebagai semiotik sosial. Berbeda dengan semiotik umum, satu ‘arti’ dalam bahasa tidak dapat langsung dikodekan dalam ekspresi. Proses perealisasian arti ke ekspresi mengikuti dua tahap, yakni pertama ‘arti’ direalisasasikan dalam susunan kata dan penyusunan kata ini disebut tata bahasa. Seterusnya, ‘arti’ yang terealisasi di dalam kata yang telah terstruktur menurut tata bahasa dieskspresikan dalam bunyi (bahasa lisan) atau dalam huruf (bahasa tulisan) (Saragih, 2018, p. 3).

Lebih lanjut diungkapkan Saragih (2018) bahwa bahasa atau teks tergantung pada konteks. Selanjutnya, konteks menentukan teks. Dengan hubungan timbal balik ini dikatakan bahwa teks menentukan dan ditentukan oleh konteks. Keadaan ini dinyatakan sebagai bahasa berkonstrual (construal) dengan konteks sosial. Dengan pengertian ini, konteks dan teks saling menentukan: pertama konteks menentukan teks dan kedua teks menentukan konteks (p. 4).

Semiotika sosial dalam analisis wacana kritis menjadi sebuah kajian kritis yang melingkupi aspek tanda dan lambang dalam situasi wacana sosial yang berkembang di masyarakat. Objeknya berupa teks wacana. Adapun media analisisnya menggunakan bahasa, kode, gambar, suara, dan simbol komunikasi lainnya. Hasil analisis semiotika sosial dalam analisis wacana kritis berupa makna yang dipersepsikan berdasarkan teks dan konteksnya.

Analisis wacana kritis (critical discourse analysis) adalah analisis bahasa dalam penggunaannya dengan menggunakan paradigma bahasa kritis. Dalam AWK, wacana tidak dipahami semata-mata sebagai kajian bahasa. AWK memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis. Hasilnya bu- kan untuk memperoleh gambaran dari aspek kebahasaan, melainkan menghubungkannya dengan konteks (Santoso A. , 2008, p. 10).

Menurut Halliday (1978), sebuah teks selain dapat direalisasikan dalam level- level sistem lingual yang lebih rendah seperti sistem leksikogramatis dan fonologis juga merupakan realisasi dari level yang lebih tinggi dari interpretasi, kesastraan, sosiologis, psikoanalitis, dan sebagainya yang dimiliki oleh teks itu. Pilihan terhadap struktur lingual tertentu, misalnya, dapat ditafsirkan kepada persoalan- persoalan yang lebih besar (p. 138).

Halliday berpandangan bahwa linguistik pada hakikatnya adalah bentuk tindakan dan secara lebih spesifik sebagai sebuah bentuk tindak politis (Hasan & Martin, 1989, p. 4). Mengkaji bahasa hakikatnya adalah mengkaji tindak berbahasa. Pandangan Halliday itu dipengaruhi oleh dua hal, yakni: (1) keterlibatan aktifnya dalam penelitian linguistik dan (2) keterlibatan aktifnya dalam gerakan politik kiri ketika menjadi mahasiswa pada awal tahun 1950-an (Santoso A. , 2008, p. 11).

Dalam pandangan Halliday, teks selalu dilingkupi oleh dua konteks, yakni konteks situasi dan konteks budaya (Butt, Fahey, Spinks, & Yallop, 1995, p. 11). Hal itu berarti bahwa teks akan selalu menyatu dengan konteksnya, baik dalam pembentukannya maupun dalam proses pemahamannya. Pandangan itu selanjutnya berpengaruh terhadap cara pan- dang terhadap wacana. Dalam paradigma kritis, wacana diproduksi, dimengerti, dan ditafsirkan dalam konteks tertentu. Wacana adalah teks dalam konteks. Titik perhatian analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Bahasa selalu berada dalam konteks. Tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipan, antarteks, situasi, dan sebagainya. Dalam AWK, kajian wacana tidak dipahami semata-mata sebagai kajian bahasa. AWK memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis. Hasilnya bukan hanya untuk memperoleh gambaran dari aspek kebahasaan, melainkan menghubungkannya dengan konteks. Hal itu berarti bahwa bahasa itu dipergunakan untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik  kekuasaan (Santoso A. , 2008, p. 12).

Bahasa sangat terkait dengan satu  segi yang penting dalam pengalaman manusia, yakni segi struktur sosial. Bahasa adalah  produk proses sosial (Halliday, 1978). Dengan dialektis antara makro dan mikro dalam kajiannya, analisis wacana kritis dapat mengungkap naturalisasi-naturalisasi yang terjadi serta membuat secara jelas determinasi- determinasi sosial dan pengaruh wacana bagi partisipan (Santoso A. , 2008, p. 13).

Halliday mengemukakan bahwa teks itu selalu dilingkupi konteks situasi dan konteks budaya (Butt, Fahey, Spinks, & Yallop, 1995, p. 11). Mengkaji bahasa secara fungsional pada hakikatnya mengkaji tiga aspek yang saling terkait, yakni teks, konteks situasi (context of situation), dan konteks budaya (context of culture). Dalam teks, selalu terkandung unsur tekstur dan struktur (Santoso A. , 2008, p. 13).

 

DAFTAR RUJUKAN

Butt, D., Fahey, R., Spinks, S., & Yallop, C. (1995). Using Functional Grammar:An Explorers Guide. Sidney: Macquary University.

Halliday, M. (1978). Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning. London: Edward Arnold.

Halliday, M., & Hasan, R. (1992). Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. (A. B. Tou, Trans.) Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hasan, R., & Martin, J. (1989). Introduction. In R. Hasan, & J. Martin, Language Development:Learning Language,Learning Culture(Meaning and Choice in Language:Studies for Michael Halliday) (pp. 1-17). New Jersey: Ablex Publishing Corporation.

Hasbullah, M. (2020). Hubungan Bahasa, Semiotika Dan Pikiran Dalam Berkomunikasi . Al-Irfan, 3(1) , 106-124.

Praditya, A. A. (2019, February 24). Semiotika Sosial. Retrieved May 2, 2023, from misekta.id: https://misekta.id/article/semiotika-sosial

Santoso, A. (2008). Jejak Halliday dalam Linguistik Kritis dan Analisis Wacana Kritis. Bahasa dan Seni, 36(1) , 1-15.

Santoso, R. (2006). Semiotika Sosial: Pandangan terhadap Bahasa. Surabaya: Pustaka Eureka dan JP Press.

Saragih, A. (2018). Bahasa sebagai Semiotik Sosial dan Pembelajaran Bahasa Inggris. Medan Makna, Jurnal Ilmu Kebahasaan dan Kesastraan, 4(1) , 1-10.

Zainuddin. (2021). Semiotik dalam Tataran Semantik. Bahas, 32(1) , 68-75.