LABEL : pendidikanbahasaindonesia

KESANTUNAN BERBAHASA

13 November 2022 08:57:41 Dibaca : 17095

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Kesantunan berbahasa berkaitan erat dengan penggunaan bahasa yang diujarkan masyarakat penutur bahasa. Setiap individu dalam masyarakat yang melakukan interaksi bahasa, baik sebagai penutur maupun mitra tutur hendaknya memahami dan mematuhi kaidah kesantunan berbahasa demi keharmonisan diantaranya dalam upaya menghindari onflik dan gesekan bahasa. Kesantunan berbahasa dilatarbelakangi oleh adanya konteks yang berkaitan dengan tempat, waktu, situasi, dan latar belakang penutur baik itu budaya, sosial, pekerjaan dan sebagainya.

Berdasarkan pengalaman pribadi penulis mengunjungi berbagai daerah dengan latar belakang budaya berbeda, terkadang aplikasi kesantunan berbahasa yang diwujudkan dalam ujarannya itu berbeda-beda. Namun secara umum watak orang Indonesia dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kesantunan dalam berbahasa.

Beragam tempat dan situasi lisan (misalkan di sekolah, terminal, siaran langsung televisi, seminar, dan sebagainya), ataukah bentuknya secara tulisan (pada media sosial, karya sastra, jurnal, pesan teks, dan sebagainya) harus mematuhi prinsip kesantunan berbahasa. Telah banyak tentunya penelitian yang terkait kesantunan berbahasa yang mencoba mengelaborasi pemahaman akan pentingnya kesantunan berbahasa diterapkan dalam berbagai onteks kehidupan. Berdasarkan asumsi tersebut maka penulis menyajikan makalah ini.

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:

Bagaimanakah hakikat kesantunan berbahasa?Bagaimanakah prinsip kesantunan berbahasa?Bagaimanakah ciri-ciri kesantunan berbahasa?Bagaimanakah faktor-faktor yang mempengaruhi kesantunan berbahasa?Bagaimanakah studi kasus kesantunan berbahasa?1.3  Tujuan Penulisan

Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:

Untuk memahami hakikat kesantunan berbahasaUntuk memahami prinsip kesantunan berbahasaUntuk memahami ciri-ciri kesantunan berbahasaUntuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kesantunan berbahasaUntuk memahami studi kasus kesantunan berbahasa 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 KESANTUNAN BERBAHASA

2.1.1 Hakikat Kesantunan Berbahasa

Setiap individu dalam sebuah masyarakat mesti menjunjung tinggi kesantunan berbahasa. Dikarenakan kesantunan berbahasa mencerminkan keluhuran budaya masyarakat tersebut. Pramujiono et al. (2020) menjelaskan bahwa kesantunan tidak hanya berkaitan dengan aspek personal, tetapi juga berkaitan dengan nilai-nilai sosial budaya yang disepakati oleh suatu masyarakat sehingga terbentuk suatu masyarakat yang beradab/(masyarakat madani).

Penggunaan bahasa tidak hanya sebatas memperhatikan ragam yang  baik dan benar, akan tetapi juga mematuhi ketepatan penyampaian makna dan maksud tujuan yang ingin disampaikan kepada mitra tutur secara santun. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, santun merujuk pada definisi: (1) halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar dan tenang; sopan, (2) penuh rasa belas kasihan; suka menolong.

Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Kesantunan berbahasa tecermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannnya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Tujuan utama kesantunan berbahasa adalah memperlancar komunikasi (Mislikhah, 2020).

Kesantunan berbahasa merupakan tatacara berprilaku yang disepakati oleh suatu masyarakat sebagai aturan perilaku sosial. Kesantunan tidak hanya dapat dilihat dari sisi penutur saja, tetapi juga harus memperhatikan kesan lawan tutur yang mendengarkan hal yang disampaikan penutur (Agustini, 2017). Kridalaksana (2008:11) mendefinisikan kesantunan berbahasa adalah hal memperlihatkan kesadaran akan martabat orang lain dalam berbahasa, baik saat menggunakan bahasa lisan maupun bahasa tulis. Menurut Chaer (2010:11) menjelaskan bahwa sebuah tuturan disebut santun kalau ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan itu memberi pilihan tindakan kepada lawan tutur, dan lawan tutur itu menjadi senang. Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa.

Leech (1993) dalam Wahidah dan Wijaya (2017) mengungkapkan bahwa Kesantunan Berbahasa mengacu pada: (1) cost-benefit scale (skala ini mengacu pada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur. Semakin merugikan dampak tuturan itu bagi penutur, tuturan itu dianggap semakin santun. Begitu pula sebaliknya), (2) optionality scale (skala ini mengacu pada banyak sedikitnya alternatif pilihan yang disampaikan penutur), (3) indirectness scale (skala ini mengacu pada langsung atau tidaknya suatu maksud dikemukakan. Tuturan dianggap sopan bila disampaikan tidak secara langsung), (4) authority scale (skala ini mengacu pada hubungan status sosial antara penutur dan petutur), dan (5) social distance scale (skala ini mengacu pada hubungan sosial antara penutur dan penutur yang terlibat dalam pertuturan.

Berdasarkan pemaparan oleh para ahli di atas, kesantunan berbahasa adalah pengungkapan pikiran dan perasaan dengan halus, baik dan sopan dalam interaksi komunikasi verbal. Kesantunan berbahasa mencerminkan budi halus dan pekerti luhur seseorang dengan tidak menyakiti perasaan dan memberikan pilihan kepada orang lain.

2.1.2 Prinsip Kesantunan Berbahasa

Lakoff (1973) dalam Chaer (2010:46) menyatakan "kesantunan dikembangkan oleh masyarakat guna mengurangi friksi dalam interaksi pribadi". Menurutnya, ada tiga buah kaidah yang harus dipatuhi untuk menerapkan kesantunan, yaitu formalitas (formality), ketidaktegasan (hesitancy), dan kesamaan atau kesekawanan (equality atau cameraderie).

1.    Formalitas berarti jangan terdengar memaksa atau angkuh.

2.    Ketidaktegasan berarti berarti berbuatlah sedemikian rupa sehingga mitra tutur dapat menentukan pilihan.

3.    Kesamaan atau kesekawanan berarti bertindaklah seolah-olah Anda dan mitra tutur menjadi sama.

Gunawan (2017) menjelaskan prinsip kesantunan berbahasa menurut teori Brown dan Levinson itu bermakna sebuah sikap kepedulian kepada wajah atau muka, baik milik penutur, maupun milik mitra tutur. Wajah dalam hal ini bukan berarti rupa fisik, akan tetapi public image, atau harga diri. Dalam kebudayaan Bugis, konsep wajah atau muka itu dikenal dengan istilah siri’ na pesse yang berarti menjaga harga diri, dan kehormatan. Siri’ berarti harga diri dan pesse berarti solidaritas. Dengan demikian, santun berarti kemampuan untuk selalu menjaga harga diri, perasaan, dan kehormatan baik diri sendiri maupun orang lain. Dalam pandangan Brown dan Levinson, konsep kesantunan ini berkaitan erat dengan persoalan bagaimana cara seseorang dapat menghindari sebuah konflik. Dalam teorinya, kesantunan juga berkaitan dengan konsep rasionalitas dan muka. Rasionalitas merupakan penalaran atau logika sarana-tujuan, sementara muka bermakna citra diri yang terdiri atas dua keinginan yang berlawanan, yaitu muka negatif dan muka positif. Muka negatif adalah keinginan agar tindakantindakan seseorang tidak dihalangi oleh orang lain, sementara muka positif adalah keinginan agar seseorang disenangi oleh orang lain. Kesantunan berbahasa merupakan cara untuk memelihara dan menyelamatkan muka. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa sebagian besar tindak tutur selalu mengancam muka penutur dan mitra tutur dan kesantunan berbahasa merupakan upaya untuk memperbaiki ancaman muka tersebut.

Brown dan Levinson (1987: 92) memostulatkan empat dasar strategi bertutur untuk menjaga muka atau harga diri, yaitu

1)   melakukan tindak tutur secara langsung/apa adanya tanpa basa-basi (bald on record),

2)   melakukan tindak tutur dengan menggunakan strategi kesantunan positif,

3)   melakukan tindak tutur dengan menggunakan strategi kesantunan negatif,

4)   melakukan tindak tutur secara tersamar/tidak langsung.

Berkaitan dengan strategi kesantunan negatif, Brown dan Levinson (1987) membagi kesantunan negatif menjadi sepuluh substrategi yang meliputi:

1)        ungkapan secara tidak langsung,

2)        menggunakan pagar,

3)        bersikap pesimis dengan cara bersikap hati-hati,

4)        meminimalkan pembebanan terhadap lawan tutur,

5)        menyatakan rasa hormat,

6)        menggunakan permohonan maaf,

7)        jangan menyebutkan penutur dan lawan tutur,

8)        menyatakan FTA (face trheatening act) sebagai suatu kaidah sosial yang umum berlaku,

9)        nominalisasikan pernyataan, dan

10)    menyatakan secara jelas bahwa penutur telah memberikan kebaikan (hutang) atau tidak kepada lawan tutur.

Berbeda dengan strategi kesantunan negatif, Brown dan Levinson (1987) menjabarkan kesantunan positif menjadi 15 substrategi, yaitu:

1)        memperhatikan kesukaan, keinginan, dan kebutuhan pendengar,

2)        membesar-besarkan perhatian, persetujuan, dan simpati kepada pendengar,

3)        mengintensifkan perhatian pendengar dengan pendramatisiran peristiwa atau fakta,

4)        menggunakan penanda identitas kelompok (bentuk sapaan, dialek, jargon, atau slang),

5)        mencari persetujuan dengan topik yang umum atau mengulang sebagian atau seluruh ujaran,

6)        menghindari ketidaksetujuan dengan pura-pura setuju, persetujuan yang semu (psedoagreement), menipu untuk kebaikan (white-lies), pemagaran opini (hedging opinions),

7)        menggunakan basa basi (small talk) dan presuposisi,

8)        menggunakan lelucon,

9)        menyatakan paham akan keinginan pendengar,

10)    memberikan tawaran atau janji,

11)    menunjukkan keoptimisan,

12)    melibatkan penutur dan pendengar dalam aktivitas,

13)    memberikan pertanyaan atau meminta alasan,

14)    menyatakan hubungan secara timbal balik (resiprokal), dan

15)     memberikan hadiah (barang, simpati, perhatian, kerja sama) kepada pendengar.

Terkait prinsip kesantunan berbahasa, Leech (1983) mendefinisikan kesantunan sebagai "strategi untuk menghindari konflik" yang "dapat diukur berdasarkan derajat upaya yang dilakukan untuk menghindari situasi konflik". Enam maksim kesantunan (politeness maxims) yang diajukan oleh Leech adalah sebagai berikut:

1)   Maksim kebijaksanaan (tact): minimalkan kerugian bagi orang lain; maksimalkan keuntungan bagi orang lain. Contoh: Bila tidak berkeberatan, sudilah datang ke rumah saya.

Rahardi (2005: 60) mengungkapkan gagasan dasar dalam maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Wijana (1996: 56) menambahkan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diuturakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.

Contoh:

Tuan rumah        : “Silahkan makan saja dulu, Nak! Tadi kami semua sudah mendahului.”

Tamu                  : “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”

Penjelasan :

Dituturkan oleh seorang Ibu kepada seorang anak muda yang sedang bertamu di rumah Ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus berada di rumah Ibu tersebut sampai malam karena hujan sangat deras dan tidak segera reda (Rahardi, 2005:60). Dalam tuturan diatas, tampak dengan jelas bahwa apa yang dituturkan si tuan rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang tamu. Lazimnya, tuturan semacam itu ditemukan dalam keluarga pada masyarakat tutur desa. Orang desa biasanya sangat menghargai tamu, baik tamu yang datangnya secara kebetulan maupun tamu yang sudah direncanakan terlebih dahulu kedatangannya (Rahardi, 2005: 60-61).

2)   Maksim kedermawanan (generosity): minimalkan keuntungan bagi diri sendiri; maksimalkan kerugian bagi diri sendiri. Contoh: Bapak silakan beristirahat. Biar saya yang mencuci piring kotor ini.

Menurut Leech (1993: 209) maksud dari maksim kedermawanan ini adalah buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin, buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. Rahardi (2005: 61) mengatakan bahwa dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Chaer (2010: 60) menggunakan istilah maksim penerimaan untuk maksim kedermawanan Leech.

Contoh:

Anak kos A: “Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak kok, yang kotor.”

Anak kos B: “Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga, kok!”

Penjelasan:

Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antar a sebuah rumah kos di kota Yogyakarta. Anak yang satu berhubungan demikian erat dengan anak yang satunya. Dalam tutursn yang disampaikan si A di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menabahkan beban bagi dirinya sendiri. Orang yang tidak suka membantu orang lain, apalagi tidak pernah bekerjasama dengan orang lain, akan dapat dikatakan tidak sopan dan biasanya tidak akan mendapatkan banyak teman di dalam pergaulan keseharian hidupnya (Rahardi, 2005:62).

3)   Maksim pujian (approbation/penghargaan): minimalkan cacian kepada orang lain; maksimalkan pujian kepada orang lain. Contoh: Sepatumu bagus sekali. Beli di mana?

Menurut Wijana (1996:57) maksim penghargaan ini diutarakan dengan kalimat ekspresif dan kalimat asertif. Dalam maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. Rahardi (2005:63) menambahkan, dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Dalam maksim ini Chaer menggunakan istilah lain, yakni maksim kemurahan.

Contoh:

Dosen A            : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah  perdana untuk kelas Bussines English.”

Dosen B : “Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari sini.”

Penjelasan:

Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi (Rahardi, 2005:63). Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai pujian atau penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu, dosen B berperilaku santun (Rahardi, 2005:63)

4)   Maksim kerendahanhatian (modesty)/kesederhanaan: minimalkan pujian kepada diri sendiri; maksimalkan cacian kepada diri sendiri. Contoh: Duh, saya bodoh sekali. Saya tidak dapat mengikuti kecepatan dosen tadi saat menerangkan. Boleh saya pinjam catatanmu?

Rahardi (2005:63) mengatakan bahwa di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, kesederhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang. Wijana (1996:58) mengatakan maksim kerendahan hati ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Bila maksim kemurahan atau penghargaan berpusat pada orang lain, maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.

Contoh:

Sekretaris A       : “Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya!”

Sekretaris B       : “Ya, Mbak. Tapi saya jelek, lho.”

Penjelasan:

Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang masih junior pada saat mereka bersama-sama bekerja di ruang kerja mereka (Rahardi, 2005: 64). Dari tuturan sekretaris B di atas, dapat terlihat bahwa ia bersikap rendah hati dan mengurangi pujian untuk dirinya sendiri. Dengan demikian, tuturan tersebut terasa santun.

5)   Maksim kesetujuan (agreement): minimalkan ketidaksetujuan dengan orang lain; maksimalkan kesetujuan dengan orang lain. Contoh: Betul, saya setuju. Namun, ....

Menurut Rahardi (2005: 64) dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun. Wijana (1996: 59) menggunakan istilah maksim kecocokan dalam maksim pemufakatan ini. Maksim kecocokan ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka.

Contoh:

Noni       : “Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!”

Yuyun    : “Boleh. Saya tunggu di Bambu Resto.”

Penjelasan:

Dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya yang juga mahasiswa pada saat mereka sedang berada disebuah ruangan kelas (Rahardi, 2005: 65). Tuturan di atas terasa santun, karena Yuyun mampu membina kecocokan dengan Noni. Dengan memaksimalkan kecocokan di antara mereka tuturan akan menjadi santun.

6)   Maksim simpati (sympathy): minimalkan antipati kepada orang lain; maksimalkan simpati kepada orang lain. Contoh: Saya turut berdukacita atas musibah yang menimpa Anda.

Dalam maksim ini diharapkan agar peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Orang yang bersikap antipati terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat (Rahardi, 2005: 65). Menurut Wijana (1996: 60), jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan, atau musibah, penutur layak turut berduka, atau mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.

Contoh:

Ani         : “Tut, nenekku meninggal.”

Tuti        : “Innalillahiwainailaihi rojiun. Ikut berduka cita.”

Penjelasan:

Dituturkan oleh seorang karyawan kepada karyawan lain yang sudah berhubungan erat pada saat mereka berada di ruang kerja mereka (Rahardi, 2005: 66). Dari tuturan tersebut, terlihat Tuti menunjukkan rasa simpatinya kepada Ani. Orang yang mampu memaksimalkan rasa simpatinya kepada orang lain akan dianggap orang yang santun.

Dengan menerapkan prinsip kesantunan, orang tidak lagi menggunakan ungkapan-ungkapan yang merendahkan orang lain sehingga komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif. Selain menggunakan prinsip kesantunan tersebut, kesantunan berbahasa juga dapat dilakukan dengan menggunakan eufemisme (ungkapan penghalus) dan pilihan kata honorifik (ungkapan hormat untuk menyapa orang lain). Eufemisme merupakan ungkapan halus untuk menggantikan acuan yang dirasa menghina atau merendahkan martabat orang lain. Di mana kamar kecilnya? Kata kamar kecil digunakan untuk menggantikan kata tempat buang air karena penyebutan tersebut di rasa kurang sopan. Dalam komunikasi politik, eufemisme diperlukan untuk menghindari ketidakterimaan dari sasaran komunikasi. Contoh kata pemekaran wilayah yang arti sebenarnya pemecahan wilayah. Kata pemecahan wilayah tidak dipilih karena dimungkinkan maknanya mengganggu fungsi negara kesatuan.

Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan, sebutan kata diri Engkau, Anda, Saudara, Bapak/Ibu mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika kita pakai untuk menyapa orang. Keempat kalimat berikut menunjukkan tingkat kesantunan ketika seorang pemuda menanyakan seorang pria yang lebih tua.

(1) Engkau mau ke mana?

(2) Saudara mau ke mana?

(3) Anda mau ke mana?

(4) Bapak mau ke mana?

Dalam konteks ini, kalimat ke-1 dan ke-2 tidak atau kurang santun diucapkan oleh orang yang lebih muda, tetapi kalimat ke-4 yang sepatutnya diucapkan jika penuturnya ingin memperlihatkan kesantunan. Kalimat ke-3 lazim diucapkan kalau penuturnya kurang akrab dengan orang yang disapanya, walaupun lebih patut penggunaan kalimat ke-4.

 

2.1.3 Ciri-Ciri Kesantunan Berbahasa

Berdasarkan keenam maksim kesantunan yang dikemukakan Leech, Chaer (2010: 56-57) memberikan ciri kesantunan sebuah tuturan sebagai berikut :

1)   Semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginannya untuk bersikap santun kepada lawan tuturnya.

2)   Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung, lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.

3)   Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih santun dibandingkan dengan kalimat perintah (imperatif).

Zamzani, et al. (2012) merumuskan beberapa ciri tuturan yang baik berdasarkan prinsip kesantunan Leech, yakni sebagai berikut:

1)   Tuturan yang menguntungkan orang lain

2)   Tuturan yang meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri

3)   Tuturan yang menghormati orang lain

4)   Tuturan yang merendahkan hati sendiri

5)   Tuturan yang memaksimalkan kecocokan tuturan dengan orang lain

6)   Tuturan yang memaksimalkan rasa simpati pada orang lain

Pranowo (2009) dalam Agustini (2017) menguraikan ciri kesantunan berbahasa bisa nampak pada indikator kesantunan berbahasa. Sebuah indikator diperlukan untuk dapat menjadi tolak ukur pencapaian suatu hal yang akan dinilai. Indikator kesantunan adalah penanda yang dapat dijadikan penentu apakah pemakaian bahasa Indonesia si penutur itu santun ataukah tidak.

1.    Indikator Kesantunan Menurut Dell Hymes (1978)

a.    Setting and Scene (waktu dan tempat berlangsungnya komunikasi).

b.    Participants (pihak pihak yang terlibat dalam pertuturan).

c.    Ends (maksud dan tujuan pertuturan).

d.   Act Sequence (bentuk dan isi ujaran).

e.    Key (cara penyampaian).

f.     Instrumentalities (jalur bahasa yang digunakan).

g.    Norms (norma atau aturan berinteraksi).

h.    Genres (ragam bahasa yang digunakan).

2.    Indikator Kesantunan Menurut Grice (2000)

a.    Ketika berbicara harus mampu menjaga martabat mitra tutur agar tidak merasa dipermalukan.

b.    Ketika berkomunikasi tidak boleh mengatakan hal-hal yang kurang baik mengenai diri mitra tutur atau orang atau barang yang ada kaitannya dengan mitra tutur.

c.    Tidak boleh mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur.

d.   Tidak boleh menyatakan ketidaksetujuan dengan mitra tutur sehingga mitra tutur merasa jatuh harga dirinya.

e.    Tidak boleh memuji diri sendiri atau membanggakan nasib baik atau kelebihan diri sendiri.

3.    Indikator Kesantunan Menurut Leech (1983)

a.    Tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur (maksim kebijaksanaan “tact maxim”).

b.    Tuturan lebih baik menimbulkan kerugian pada penutur (maksim kedermawanan “generosity maxim”).

c.    Tuturan dapat  memberikan pujian kepada mitra tutur (maksim pujian “praise maxim”).

d.   Tuturan tidak memuji diri sendiri (maksim kerandahan hati).

e.    Tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur (maksim kesetujuan “agreement maxim”).

f.     Tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh mitra tutur (maksim simpati “sympathy maxim”).

g.    Tuturan dapat mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang pada mitra tutur (maksim pertimbangan “consideration maxim”).

Menurut Agustini (2017) terdapat dua bentuk kesantunan yaitu bentuk kesantunan linguistis dan bentuk kesantunan pragmatis. Bentuk kesantunan linguistis terdiri dari intonasi, diksi, dan struktur kalimat sedangkan bentuk kesantunan pragmatis yaitu cara atau gaya bahasa.

 

2.1.4 Faktor Penyebab Ketidaksantunan Berbahasa

Ketidaksantunan bisa terjadi ketika penutur tidak mampu mengendalikan apa yang mereka bicarakan sehingga bahasa yang digunakan menjadi tidak santun. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Pranowo (dalam Chaer, 2010) yang menjelaskan beberapa faktor pemakaian bahasa yang tidak santun di antaranya yaitu: 1) menyampaikan kritik secara langsung dengan berkata kasar; 2) emosi pada diri penutur; 3) protektif terhadap pendapat penutur; 4) penutur sengaja memojokkan mitra tutur; 5) menuduh atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur. Faktor yang mempengaruhi kesantunan dalam bertutur dibedakan menjadi dua (Pranowo, 2009) yaitu: 1) faktor kebahasaan seperti, intonasi, nada, pilihan kata 2) faktor nonkebahasaan seperti, pranata sosial budaya masyarakat, sikap penutur, topik yang dibicarakan.

Faktor yang mempengaruhi ketidaksuntan berbahasa yakni:(1) Faktor  dorongan  rasa  emosi  penutur.  (2) Faktor  sengaja  memojokkan  mitra  tutur. (3)    Faktor    mengkritik    secara    langsung dengan   kata-kata   yang   kasar.(4)   Faktor kebiasaan  siswa.  (5)  Faktor  kedudukan  di kelas  dan  (6)Faktor  latar  belakang  sosial penutur (Sugiarti, 2017).

Mislikhah (2020) menjelaskan faktor yang menyebabkan pemakaian bahasa menjadi tidak santun adalah sebagai berikut.

1.    Penutur menyampaikan kritik secara langsung dengan kata atau frasa kasar.

Komunikasi menjadi tidak santun jika penutur ketika bertutur menyampaikan kritik secara langsung kepada mitra tutur. Sebagai contoh, ungkapan-ungkapan yang sering kita dengar dari demo mahasiswa yang mengkritik pimpinan dengan mengunakan istilah-istilah kasar. Komunikasi dengan cara seperti itu dinilai tidak santun karena dapat menyinggung perasaan mitra tutur yang menjadi sasaran kritik.

2.    Penutur didorong rasa emosi ketika bertutur

Ketika bertutur, penutur didorong rasa emosi yang berlebihan sehingga terkesan marah kepada mitra tutur

3.    Penutur protektif terhadap pendapatnya

Ketika bertutur, seorang penutur kadang-kadang protektif terhadap pendapatnya. Hal demikian dimaksudkan agar tuturan mitra tutur tidak dipercaya oleh pihak lain.

4.    Penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur

Ketika bertutur, penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur. Perhatikan contoh di bawah ini. Mereka sudah buta mata hati nuraninya. Apa mereka tidak sadar kalau BBM naik, harga barang-barang lainnya bakal membubung. Akibatnya, rakyat semakin tercekik. Tuturan di atas terkesan sangat keras dan intinya memojokkan mitra tutur. Tuturan dengan kata-kata keras dan kasar seperti itu menunjukkan bahwa penutur berbicara dengan nada marah, rasa jengkel, dan memojokkan mitra tutur.

5.    Penutur menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur

Tuturan menjadi tidak santun jika penutur terkesan menyampaikan kecurigaan terhadap mitra tutur. Hal ini dapat dilihat pada data tuturan di bawah ini. …kawasan hutan lindung dan konservasi biasanya dialihfungsikan menjadi areal perkebunan, pertambangan, atau hanya diambil kayunya lalu ditelantarkan. Tuturan di atas berisi tuduhan penutur kepada mitra tutur atas dasar kecurigaan penutur terhadap yang dilakukan oleh mitra tutur, seperti “hanya diambil kayunya lalu ditelantarkan”, Tuturan demikian menjadi tidak santun karena isi tuturan tidak didukung dengan bukti yang kuat, tetapi hanya atas dasar kecurigaan. Atas dasar identifikasi di atas, ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidaksantunan pemakaian Bahasa Indonesia. Pertama, ada orang yang memang tidak tahu kaidah kesantunan yang harus dipakai ketika berbicara. Jika faktor ini yang menjadi penyebabnya, terapi yang harus dilakukan adalah memperkenalkan kaidah kesantunan dan mengajarkan pemakaian kaidah tersebut dalam berkomunikasi. Hal ini biasanya terjadi pada anak kecil yang memang belum cukup pengetahuannya mengenai kesantunan berbahasa Indonesia. Kedua, ada orang yang sulit meninggalkan kebiasaan lama dalam budaya bahasa pertama sehingga masih terbawa dalam kebiasaan baru (berbahasa Indonesia). Jika faktor ini yang menjadi penyebabnya, terapi yang harus dilakukan adalah secara perlahan-lahan meninggalkan kebiasaan lama dan menyesuaikan dengan kebiasaan baru.

2.1.5 Studi Kasus Kesantunan Berbahasa

Berikut penulis sajikan studi kasus yang khusus meneliti tentang kesantunan berbahasa, sebagai berikut:

1.    Penelitian oleh Mey Jayanti dan Subyantoro(Universitas Negeri Semarang), berjudul “Pelanggaran Prinsip Kesantunan Berbahasa pada Teks di Media Sosial” pada tahun 2019 yang dimuat di Jurnal Sastra Indonesia, Volume 8 Nomor 2, halaman 119-128:

Adapun salah satu hasil temuan terkait kesantunan berbahasa dalam penelitian tersebut yakni:

Tindak pengancaman muka negatif berupa ungkapan peringatan

Konteks : Dituturkan oleh Tifatul Sembiring pada tanggal 30 Januari 2018 di twitter

Tuturan  : Assalamulaikum, panggung politik kerap bersikap munafik, beda antara ucapan dan perbuatan. Kata-kata yang manis belum tentu benar tak selalu enak di dengar. Drama politik tak kan pernah mengubah masyarakat.

Data tersebut merupakan penggalan tuturan dari teks media sosial twitter. Tuturan tersebut melanggar prinsip kesantunan tindak mengancam muka negatif dengan mengungkapkan peringatan terhadap lawan tutur. Tuturan yang melanggar terdapat dalam tuturan ”kata-kata yang manis belum tentu benar tak selalu enak di dengar. Drama politik tak kan pernah mengubah masyarakat”. Tuturan tersebut menunjukkan bahwa kata-kata yang manis ataupun drama politik untuk masyarakat belum tentu dapat mengubah pikiran masayarakat, yaitu terbukti pada tuturan “drama politik tak kan pernah mengubah masyarakat”. Tifatul mengungkapkan tuturan tersebut agar lawan tutur dalam berpolitik tidak harus mengandalkan perkataan dari beberapa golongan (partai) yang bertentangan.

2.    Penelitian oleh Dita Armeilia, Resmi, dan Berlian R. Turnip (Universitas Simalungun Pematangsiantar) berjudul “Kesantunan Berbahasa dalam Novel ‘Selena’ karya Tere Liye” pada tahun 2021 yang dimuat di Journal on Teacher Education, Volume 2 Nomor 2, halaman 184-194:

Adapun salah satu hasil temuannya terkait kesantunan berbahasa yaitu:

Maksim Kebijaksanaan

Maksim ini menggariskan bahwa setiap peserta tuturan harus meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain.

Data 1 : Aku ingat sekali kejadian malam itu, dengan senyum tipis Ibu berkata padaku, “Selena jadilah anak yang kuat. Kamu akan sendirian menghadapi kehidupan. Ibu akan pergi, Nak, seperti ayahmu. Maafkan Ibu yang tidak bisa membesarkanmu dengan baik”. Aku kembali mengangguk pelan. Aku tidak memangis. Sejak kecil aku tidak pernah menangis. Bahkan saat lahir pun aku tidak menangis. Kejadian langkah yang membuatku kadang dipanggil “Anak yang tidak pernah menangis” (hlm. 3)

Dari kutipan di atas menggambarkan Ibu meminta maaf kepada Selena. Tindakan tersebut agar menimimalkan kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan orang lain.

3.    Penelitian oleh Sri Yulianti Lahabu, Dakia Djou, dan Muslimin (Universitas Negeri Gorontalo) berjudul “Kesantunan Berbahasa di SMA Negeri 1 Dulupi Kabupaten Boalemo dan Implementasinya dalam Pembelajaran” pada tahun 2021 yang dimuat di Jurnal Reduplikasi: Jurnal Penelitian Pendidikan Bahasa Indonesia, Volume 1 Nomor 1, halaman 31-39:

Adapun hasil temuan penelitiannya dapat disajikan sebagai berikut:

Bentuk kesantunan berbahasa terbagi dalam dua bentuk yakni bentuk kesantunan linguistis dan bentuk kesantunan pragmatis. Bentuk kesantunan linguistis antar siswa di SMA Negeri I Dulupi Kabupaten Boalemo dalam ragam resmi dan ragam pergaulan meliputi pilihan kata (diksi) yang tepat, intonasi, dan struktur kalimat yang menunjukkan kesantunan berbahasa. Bentuk kesantunan pragmatis dalam ragam resmi ditandai dengan penggunaan majas perumpamaan sedangkan dalam ragam pergaulan ditandai dengan penggunaan majas metonimia. Kesantunan berbahasa di SMA Negeri 1 Dulupi Kabupaten Boalemo berdasarkan prinsip kesantuan Leech ditemukan beberapa maksim, yaitu: (1) maksim kebijaksanaan, (2) maksim kedermawanan, (3) maksim kesederhanaan, (4) maksim kesepakatan, dan (5) maksim kesimpatian. Sementara Pelanggaran maksim menurut prinsip kesantunan berbahasa menurut Leech yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, dan maksim kesederhanaan.

a.    Bentuk kesantunan berbahasa antar siswa di lingkungan sekolah

Salah satu faktor penentu bentuk kesantunan yaitu penggunaan pilihan kata (diksi) yang tepat sesuai dengan peristiwa tutur dan lawan tutur. Interaksi dengan siswa dalam ragam resmi menggunakan pilihan kata (diksi) yang sesuai dengan situasi pertuturan. Sementara dalam ragam pergaulan, terdapat dua pilihan kata yang digunakan yakni kata “jangan” dan “belum”. Kata “jangan” digunakan sebagai larangan. Dalam konteks tuturan di atas, kata “jangan” bukan sekedar larangan tetapi juga memunculkan daya bahasa. Kata “jangan” juga dipersepsi bukan sekedar dari maknanya tetapi melalui daya bahasanya. Kata “jangan” dipersepsi sebagai “larangan sambil menyuruh introspeksi diri”.

b.    Bentuk Kesantunan Berbahasa Siswa dalam Berinteraksi dengan Guru

Penggunaan pilihan kata (diksi) “beliau”, “maaf”, “dananya”, “perkenalkan” memiliki kadar yang lebih santun jika dibandingkan dengan kata “dia”, “uangnya”, dan “beritahukan”. Meskipun dalam kata-kata tersebut sering digunakan akan tetapi dalam konteks tuturan tertentu kata-kata tersebut masih dirasa belum mencerminkan kesantunan. Penggunaan kata “beliau” memberikan kesan bahwa penutur sangat menghormati orang yang sedang dibicarakannya

c.    Faktor-faktor yang mempengaruhi kesantunan berbahasa di SMA Negeri 1 Dulupi Kabupaten Boalemo

Kesantunan berbahasa di SMA Negeri I Dulupi Kabupaten Boalemo didukung oleh beberapa faktor, yaitu faktor bahasa daerah Gorontalo, lingkungan sekolah, dan juga lingkungan keluarga atau tempat tinggal. Implementasi kesantunan berbahasa di SMA Negeri I Dulupi Kabupaten Boalemo dapat dilaksanakan dalam proses pembelajaran maupun dalam situasi informal di luar jam pelajaran.

4.    Penelitian oleh Diansyah Ramadhan, Ngudining Rahayu, dan Bambang Djunaidi (Universitas Bengkulu) berjudul “Kesantunan Berbahasa dalam Diskusi pada Acara Indonesia Lawyers Club di TV One” pada tahun 2020 yang dimuat di Wacana: Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengajaran, Volume 18 Nomor 2, halaman 132-142:

Adapun hasil temuannya sebagai berikut:

Pematuhan Maksim Kesimpatian

Di   dalam   maksim   kesimpatian,   diharapkan   agar   para   peserta   tutur   dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggapsebagai tindakan tindak santun.

Konteks Penutur: M. Efendi Gazali (MEG),narasumber

Mitra tutur: Andi Arif

Hari/tanggal: Selasa, 05 Maret 2019,

Pukul 20.00 WIB

Tempat: Studio Tv One

Situasi: Formal

Topik: Andi Arif Terjerat Narkoba; Pukulan Bagi Kubu 02

MEG: “Kembali ke judul ini pukulan bagisiapa  maka  dengan  agak  cepat  tentunyakita  harus  melihat  basis  pendekatn  yang  kita pakai apa? Yang pasti kalau secara sederhana mengatakan sesudah ini Bang Andi Arif, salam juga ya bagi Bang Andi Arif mudah-mudahan sebagai dalam tanda petik korban ya cepatlah bisa terhabilitasi dan kembali seperti aktivitas sedia kala”.

Tuturan data di atas, MEG sebagai penutur, Andi Arif sebagai mitra tutur. Penggunaan kata tuturan “Salam juga ya bagi Bang Andi Arif mudah-mudahan  sebagai  dalam  tanda  petik korban ya cepatlah bisa terhabilitasi dan kembali seperti aktivis sedia kala” merupakan wujud pematuhanmaksim kesimpatian. Tuturan MEG mengandung pematuhan maksim kesimpatian maknanya adalah memberikan dukungan kepada mitra tutur. Tuturan MEG di atas mematuhi maksim  kesimpatian  karena  penutur  MEG  menunjukan  sikap  simpati  atas  kejadian  yang menipa  Andi  Arif.  Tuturan  ini  memperlihatkan  sikap  simpati,  memberikan  dukungan,  dan ketabahan kepada Andi Arif yang menjadi korban narkoba. Sikap penutur MEG menandakan bahwa penutur MEG mematuhi maksim kesimpatian

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Kesimpulan

Kesantunan berbahasa adalah pengungkapan pikiran dan perasaan dengan halus, baik dan sopan dalam interaksi komunikasi verbal. Kesantunan berbahasa mencerminkan budi halus dan pekerti luhur seseorang dengan tidak menyakiti perasaan dan memberikan pilihan kepada orang lain. Prinsip kesantunan berbahasa menurut teori Brown dan Levinson itu bermakna sebuah sikap kepedulian kepada wajah atau muka, baik milik penutur, maupun milik mitra tutur. Wajah dalam hal ini bukan berarti rupa fisik, akan tetapi public image, atau harga diri. Leech mengajukan enam maksim kesantunan yaitu maksim kebijaksanaan (tact), maksim kedermawanan (generosity), maksim pujian (approbation), maksim kerendahanhatian (modesty), maksim kesetujuan (agreement), maksim simpati (sympathy).

Ciri kesantunan berbahasa menurut Chaer yaitu (1) semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginannya untuk bersikap santun kepada lawan tuturnya, (2) tuturan yang diutarakan secara tidak langsung, lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung, (3) memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih santun dibandingkan dengan kalimat perintah (imperatif). Faktor pemakaian bahasa yang tidak santun di antaranya yaitu: 1) menyampaikan kritik secara langsung dengan berkata kasar; 2) emosi pada diri penutur; 3) protektif terhadap pendapat penutur; 4) penutur sengaja memojokkan mitra tutur; 5) menuduh atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur. Faktor yang mempengaruhi kesantunan dalam bertutur dibedakan menjadi dua yaitu: 1) faktor kebahasaan seperti, intonasi, nada, pilihan kata 2) faktor nonkebahasaan seperti, pranata sosial budaya masyarakat, sikap penutur, topik yang dibicarakan.

 

 

3.2  Saran

Pada makalah ini kita telah diberikan pemahaman mengenai kesantunan berbahasa. Sangat besar harapan penyusun agar nantinya makalah ini dapat membantu pembaca untuk lebih memahami baik konsep maupun penerapan sosiolinguistik itu sendiri di masayarakat. Selain itu, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca agar pada penulisan makalah selanjutnya  hal itu dapat diperbaiki. Tak luput penyusun menitipkan masukan sebagai berikut:

3.2.1        Bagi linguis, dosen, peneliti

a.       Memperkaya multi penafsiran kajian kesantunan berbahasa

b.      Memproduksi teori pengembangan kesantunan berbahasa

c.       Mendokumentasikan penelitian bidang sosiolinguistik secara kontinuitas

3.2.2        Bagi guru dan mahasiswa bahasa

a.       Mendalami kajian sosiolinguistik dengan sumber beragam dan terbaru

b.      Melakukan penelitian kajian sosiolinguistik di masyarakat

c.       Berkolaborasi dengan dosen dan peneliti dalam berkarya

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Agustini, R. (2017). Bentuk Kesantunan Berbahasa Indonesia (Studi Deskriptif Terhadap Penggunaan Bahasa Indonesia oleh Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Galuh Ciamis). Literasi: Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia serta Pembelajarannya, 1(1), 9-17.

Armeilia, D., Resmi, R., & Turnip, B. R. (2021). Kesantunan Berbahasa dalam Novel “Selena” Karya Tere Liye. Journal on Teacher Education, 2(2), 184-194.

Brown, P. dan Levinson, S.C. 1987. Politeness Some Universals in Language Usage. New York: Cambridge University Press.

Chaer, A. (2010), Kesantunan Berbahasa, Jakarta: Rineka Cipta.

Gunawan, F. (2017). Representasi kesantunan Brown dan Levinson dalam wacana akademik. Kandai, 10(1), 16-27.

Jayanti, M., & Subyantoro, S. (2019). Pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa pada teks di media sosial. Jurnal Sastra Indonesia, 8(2), 119-128.

Kridalaksana, H. (2008), Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Lahabu, S. Y., Djou, D., & Muslimin, M. (2021). Kesantunan Berbahasa di SMA Negeri 1 Dulupi Kabupaten Bolaemo dan Implementasinya dalam Pembelajaran. Reduplikasi: Jurnal Penelitian Pendidikan Bahasa Indonesia, 1(1), 31-39.

Leech, G.N. (1983), Principles of Pragmatics, New York: Longman

Mislikhah, S. (2020). Kesantunan Berbahasa. Ar-Raniry, International Journal of Islamic Studies, 1(2), 285-296.

Pramujiono, A., et al. (2020). Kesantunan Berbahasa, Pendidikan Karater, Dan Pembelajaran Yang Humanis.Magetan: Indocamp.

Rahardi, R. K. (2005). Pragmatik: kesantunan imperatif bahasa Indonesia. Erlangga.

Ramadhan, D., Rahayu, N., & Djunaidi, B. (2020). Kesantunan Berbahasa dalam Diskusi pada Acara Indonesia Lawyers Club di TV One. Wacana: Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra dan Pengajaran, 18(2), 132-142.

Sugiarti, M., Rahayu, N., & Wulandari, C. (2017). Analisis ketidaksantunan berbahasa di smp negeri 18 kota bengkulu. Jurnal Ilmiah KORPUS, 1(2), 150-156.

Wahidah, Y., & Wijaya, H. (2017). Anaslisis Kesantunan Berbahasa Menurut Leech pada Tuturan Berbahasa Arab Guru Pondok Pesantren Ibnul Qoyyim Putra Yogyakarta Tahun Ajaran 2016/2017 (Kajian Prgmatik). Jurnal Al Bayan: Jurnal Jurusan Pendidikan Bahasa Arab, 9(1), 1-16.

Wijana, I. D. P. (1996). Dasar-dasar pragmatik. Andi Offset.

Zamzani, Z., Musfiroh, T., Maslakhah, S., Listiyorini, A., & Rahayu, Y. E. (2012). Pengembangan Alat Ukur Kesantunan Bahasa Indonesia Dalam Interaksi Sosial Formal Bersemuka. Jurnal Penelitian Humaniora, 17(2).

 

Sumber rujukan:

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/

KOMPUTER SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN (E-LEARNING)

05 November 2022 04:48:22 Dibaca : 5471

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Era digital merambah dunia pendidikan khususnya aktifitas pembelajaran. Kebutuhan akan media pembelajaran interaktif yang disesuaikan dengan perkembangan jaman menempatkan komputer seabagai media pembelajaran memanfaatkan jaringan internet demi akses penggunaan e-learning sebagai proses pembelajaran. Pemanfaatan komputer sebagai e-learning tentunya mengedepankan aspek efisiensi dan fleksibilitas pembelajaran. Apalagi ketika pandemi Covid-19 bergejolak, pun berimbas dalam dunia pendidikan. Pada akhirnya, pembelajaran secara daring menjadi model pilihan utama bagi guru untuk tetap memastikan keberlangsungan proses pembelajaran.

Telah banyak website dan aplikasi yang menawarkan konsep pembelajaran online berbasis e-learning. Namun guru harus memastikan penggunaan e-learning tersebut harus memiliki karakteristik model yang sesuai diterapkan dalam pembelajaran. Sebelum mengaplikasikan e-learning, guru harus mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan e-learning tersebut sebagai langkah relevansinya diintegrasikan dalam proses pembelajaran. Atas dasar asumsi tersebut, penulis menyajikan makalah ini.

 

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:

Bagaimanakah hakikat komputer sebagai media pembelajaran?Bagaimanakah karakteristik media pembelajaran berbasis komputer?Bagaimanakah hakikat e-learning?Bagaimanakah fungsi dan manfaat e-learning?Bagaimanakah kelebihan dan kekurangan e-learning?Bagaimanakah penerapan e-learning sebagai media pembelajaran? 

1.3  Tujuan Penulisan

Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:

Untuk memahami hakikat komputer sebagai media pembelajaranUntuk memahami karakteristik media pembelajaran berbasis komputerUntuk memahami hakikat e-learningUntuk memahami fungsi dan manfaat e-learningUntuk memahami kelebihan dan kekurangan e-learningUntuk memahami penerapan e-learning sebagai media pembelajaran 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 KOMPUTER SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN (E-LEARNING)

2.1.1 Hakikat Komputer sebagai Media Pembelajaran

Komputer berasal dari bahasa latin Computare yang mengandung arti menghitung. Karena luasnya bidang garapan ilmu komputer, para pakar dan peneiiti sedikit berbeda dalam mendefinisikan terminologi komputer (Sudjiman:2018). Komputer adalah mesin yang dirancang khusus untuk memanipulasi informasi yang diberi kode, mesin elektronik yang otomatis melakukan pekerjaan dan perhitungan sederhana dan rumit. Satu unit komputer terdiri atas empat komponen dasar, yaitu input (misalnya keyboard dan writing pad), prosesor (CPU unit pemroses data yang diinput), penyimpanan data (memori yang menyimpan data yang akan diproses oleh CPU balk secara permanen (ROM) maupun untuk sementara (RAM), dan output misalnya layar monitor, printer atau plotter (Ramli, 2012:94).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, komputer adalah alat elektronik otomatis yang dapat menghitung atau mengolah data secara cermat menurut instruksi, dan memberikan hasil pengolahan, serta dapat menjalankan sistem multimedia (film, musik, televisi, faksimile, dan sebagainya), biasanya terdiri atas unit pemasukan, unit pengeluaran, unit penyimpanan, serta unit pengontrolan. Harmayani et al. (2021:3-4) menyajikan berbagai definisi komputer dari beberapa ahli, sebagai berikut:

1.    Menurut  Robert  H.  Blissmer,  pengertian  komputer  adalah  suatu  alat elektronik  yang  mampu  melakukan  beberapa  tugas,  yaitu  menerima input,  memproses  input  sesuai  dengan  instruksi  yang  diberikan, menyimpan    perintah-perintah    dan    hasil    pengolahannya,    serta menyediakan output dalam bentuk informasi.

2.    Menurut    V.    C.    Hamacher,    definisi    komputer    adalah    mesin penghitung  elektronik  yang  cepat  dan  dapat  menerima  informasi input  digital,  kemudian  memprosesnya  sesuai  dengan  program  yang tersimpan di memorinya, dan menghasilkan output berupa informasi.

3.    Menurut Sanders, pengertian komputer adalah sistem elektronik yang digunakan untuk memanipulasi data yang cepat serta tepat, dirancang dan   diorganisasikan   agar   dapat   secara   otomatis   menerima   dan menyimpan   data,   memproses   data   hingga   menghasilkan   output berdasarkan perintah yang sudah tersimpan di dalam memori.

4.    Menurut Fuori, pengertian komputer adalah suatu alat pemroses data yang  bisa  melakukan  perhitungan  secara  besar  dan  cepat,  termasuk perhitungan  aritmatika  serta  operasi  logika,  dan  tidak  ada  campur tangan manusia.

5.    Menurut  Robert  H.  Blissmer, pengertian  komputer  adalah  suatu  alat elektronik   yang   mampu   melakukan   beberapa   tugas   diantaranya menerima input, memproses input, menyimpan perintah-perintah dan menghasilkan output yang berbentuk informasi.

6.    Menurut   Williams   &   Sawyer,   definisi   komputer   adalah   mesin serbaguna  yang  dapat  diprogram,  bisa  menerima  data  (fakta-fakta serta  gambar-gambar  kasar)  dan  memproses  atau  memanipulasi  data tersebut ke dalam informasi yang dapat digunakan.

Komputer memberikan beberapa kelebihan untuk produksi media audio visual. Komputer dapat menghasilkan grafik dan peta yang memiliki ketepatan statistik untuk bermacam-macam media visual. Beberapa komputer yang menghasilkan sistem grafis dapat dengan cepat menghasilkan beberapa pandangan dari suatu objek tiga dimensi. Dengan demikian dapat memberikan pilihan gambar kepada pemakainya. Film bingkai judul, film bingkai kata, dan film bingkai grafis yang menarik dapat dihasilkan dengan cepat dan relatif murah oleh sistem komputer. Komputer digunakan untuk penyuntingan yang tepat dan pengumpulan produksi video dan film. Komputer untuk keperluan sistem word processing pun sudah umum dalam sebagian besar media cetak (Ramli, 2012:94).

Komputer sebagai media pembelajaran memberikan pengertian bahwa pemanfaatan komputer diterapkan sebagai salah satu komponen penunjang kegiatan pembelajaran. Saefulloh (2007) mengungkapkan keistimewaan komputer sebagai media pembelajaran, adalah sebagai berikut:

1.    Komputer dapat berperan sebagai media yang efektif untuk menumbuhkembangkan minat dan kreativitas siswa dalam pembelajaran.

2.    Komputer dapat menjadikan siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran (terciptanya hubungan interaktif).

3.    Dengan menggunakan komputer sebagai media pembelajaran, seringkali siswa berhasil mempelajari bahan ajar yang sama banyaknya dengan waktu yang lebih sedikit.

4.    Siswa yang belajar dengan media komputer mempunyai kemampuan mengingat materi kuliah dalam waktu yang lebih lama dan dapat menggunakannya dalam bidang-bidang lain.

5.    Komputer memberi fasilitas bagi siswa untuk mengulangi pelajaran apabila diperlukan, dengan tujuan memperkuat proses belajar dan memperbaiki ingatan.

6.    Komputer membantu siswa memperoleh umpan balik secara leluasa dan bisa memacu motivasi siswa dengan peneguhan positif yang diberikan jika siswa memberikan jawaban.

 

2.1.2 Karakteristik Media Pembelajaran Berbasis Komputer

Pemanfaatan komputer sebagai media pembelajaran mengisyaratkan penyajian berbagai model pembelajaran melalui pendekatan komputer. Adapun beberapa model pembelajaran melalui pendekatan komputer menurut Saefulloh (2007) adalah sebagai berikut:

 

 

1.    Simulasi

Pada model simulasi, komputer menyediakan suatu situasi buatan yang serupa dengan situasi yang sebenarnya, di mana siswa dapat melakukan latihan sama persis seperti dalam situasi yang sesungguhnya tanpa harus menghadapi risiko buruk seperti yang terjadi dalam situasi sesungguhnya. Siswa menganalisis suatu hipotesis/konsep, mengambil keputusan berdasarkan informasi yang diberikan dan membuat kesimpulan

2.    Latihan dan Praktik (Drill and Practice)

Model ini membantu siswa dalam mengingat dan menggunakan informasi yang diberikan dosen, menguatkan pelajaran yang sudah lewat melalui pengulangan, misalnya dalam memahami fakta, konsep, aturan, dan prosedur (algoritma). Latihan berfungsi untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam mengaplikasikan konsep dan ide yang telah dipelajarinya.

3.    Hiperteks dan Hipermedia

Konsep hiperteks mulai diperkenalkan oleh Vannevar Bush pada tahun 1945. Hiperteks adalah penyampaian informasi dalam bentuk teks atau kalimat dengan cara yang tidak berurutan, pengguna komputer boleh mencari kata yang diperlukan mengikuti yang dikehendakinya tanpa harus mengikuti urutan tertentu melalui kata kunci (password) dan teks yang diberi warna lain (hotword) yang terdapat dalam teks. Adapun hipermedia adalah gabungan berbagai media seperti video, suara, musik, teks, animasi, film, grafik dan gambar yang diatur oleh hiperteks.

4.    Tutorial

Tutorial dirancang untuk menyampaikan materi perkuliahan yang baru, di mana siswa belum pernah diajarkan materi ini sebelumnya. Program komputer diformat berupa dialog antara komputer dan siswa, informasi disajikan, pertanyaan diajukan oleh siswa dan jawaban diberikan, lalu keputusan dibuat untuk melanjutkan materi baru atau me-review materi yang telah disajikan.

5.    Permainan (Game)

Pola interaksi dalam bentuk permainan menyajikan materi pembelajaran dengan cara yang kompetitif dan menghibur dalam upaya memelihara minat belajar siswa.Pembelajaran yang memanfaatkan komputer dalam bentuk permainan dapat berfungsi sebagai pembelajaran yang bersifat instruksional hanya jika sajian di dalamnya mengandung unsur-unsur yang bersifat akademis-edukatif dan memuat tujuan pembelajaran (instruksional yang harus dicapai), di samping menawarkan unsur-unsur yang meningkatkan keterampilan.

Adapun karakteristik media pembelajaran berbasis komputer menurut Cahdriyana dan Richardo (2016) adalah sebagai berikut:

1.        Tujuan pembelajaran jelas

Salah satu menu yang ditampilkan dalam media pembelajaran berbasis komputer adalah menu kompetensi, yang menampilkan beberapa tujuan dari penggunaan media. Hal ini dimaksudkan agar siswa mengetahui kompetensi apa saja yang dapat mereka kuasai nantinya. Pernyataan ini disimpulkan dari hasil analisis lembar penilaian media pembelajaran matematika interaktif oleh guru dan lembar respon oleh siswa yang telah memenuhi kriteria yang ditetapkan.

2.        Materi yang disajikan sesuai dengan kompetensi kurikulum

Materi yang ada dalam media berbasis komputer harus menunjukkan adanya kesesuaian dengan kurikulum sehingga dapat membimbing siswa untuk memiliki kompetensi yang diharapkan.

3.        Kebenaran konsep

Penyampaian materi yang dituangkan dalam bentuk animasi ataupun simulasi interaktif pada media pembelajaran berbasis komputer tidak menyimpang dari konsep yang ada.

4.        Alur pembelajaran jelas

Analisis kurikulum yang dilakukan pada tahap awal penyusunan media berbasis komputer ditujukan agar materi yang disampaikan mempunyai sistematika yang baik dan benar. Pengguna (siswa) dapat mengetahui urutan penguasaan materi melalui tampilan awal media yang memperlihatkan link-link submateri yang tersusun secara berurutan.

5.        Penjelasan materi sesuai kemampuan berpikir siswa

Bentuk simulasi melalui percobaan-percobaan merupakan salah satu cara agar siswa tergerak untuk mempelajari lebih dalam tentang materi yang sedang mereka pelajari. Interaksi seperti ini merupakan upaya untuk mengurangi sifat abstrak dari materi sehingga makna yang terkandung di dalamnya dapat dipahami oleh siswa.

6.        Terdapat petunjuk yang jelas

Media berbasis komputer memiliki petunjuk umum penggunaan media yang terletak pada tampilan awalnya. Setiap menu yang ditampilkan juga memiliki petunjuk khusus yang dapat menuntun pengguna untuk menelusuri setiap penjelasan materi yang disampaikan

7.        Terdapat apersepsi

Bagian intro (pendahuluan) pada media berbasis komputer memuat apersepsi yang menampilan contoh-contoh materi yang dihubungkan dengan kehidupan nyata. Apersepsi tersebut juga memuat kalimat pertanyaan interaktif yang berfungsi untuk mengaktifkan siswa dalam menyebutkan hal-hal yang dimaksud.

8.        Terdapat kesimpulan, contoh, dan latihan yang disertai umpan balik

Media berbasis komputer mempunyai beberapa submateri yang masing-masing memiliki kesimpulan, contoh, ataupun latihan yang disertai umpan balik yang berfungsi sebagai penguatan terhadap uraian dan penjelasan materi yang telah disajikan. Misalnya, pada latihan soal meminta siswa untuk memasukkan jawaban dari soal dengan umpan balik berupa tanda silang untuk jawaban salah dan kata “oke” untuk jawaban benar.

9.        Mampu membangkitkan motivasi belajar siswa

Tanggapan yang dituliskan beberapa siswa pada kolom “komentar/saran” dalam lembar respon menunjukkan bahwa siswa antusias menggunakan media pembelajaran berbasis komputer karena tampilannya yang menarik dan tidak membosankan. Selain itu, simulasi interaktif yang disajikan mempermudah siswa dalam mempelajari materi yang ada.

10.    Terdapat evaluasi yang disertai hasil dan pembahasan

Setiap akhir pengerjaan soal terdapat “hasil evaluasi” yang berfungsi agar siswa mengetahui tingkat kemampuannya, sedangkan “pembahasan” yang berfungsi sebagai penjelasan dari soal yang diberikan.

11.    Gambar, animasi, teks, warna tersaji serasi, harmonis, dan proporsional

Suatu media berbasis komputer telah mencapai desain visual yang baik karena pemilihan jenis dan ukuran huruf yang tepat, pemakaian jenis huruf yang konsisten, pengaturan jarak yang tepat, tampilan gambar yang disajikan terlihat jelas dan tidak memecah konsentrasi, perpaduan warna yang tepat, dan tata letak unsur-unsur dalam slide yang konsisten.

12.    Interaktif

Penyajian materi dalam media pembelajaran menuntut pengguna untuk melakukan berbagai percobaan-percobaan melalui simulasi yang disajikan.

13.    Navigasi mudah

Setiap tombol di dalam media pembelajaran didesain dan diletakkan sedemikian rupa sehingga mudah dimengeri oleh pengguna

14.    Bahasa yang digunakan mudah dipahami oleh siswa

Penggunaan bahasa baku, tidak menimbulkan penafsiran ganda, dan komunikatif menjadikan bahasa dalam media berbasis komputer ini mudah dipahami oleh siswa.

2.1.3 Hakikat E-Learning

Di dunia pendidikan dan pelatihan sekarang, banyak sekali praktik yang disebut E-Learning. Sampai saat ini pemakaian kata E-Learning sering digunakan untuk menyatakan semua kegiatan pendidikan yang menggunakan media komputer dan Internet. Banyak pula terminologi lain yang mempunyai arti hampir sama dengan E-Learning, diantaranya : Web-based training, online learning, computer-based training/ learning, distance learning, computer-aided instruction, dan lainnya (Suanti dan Soleh, 2008). Purbo (2002) dalam Elyas (2018) menjelaskan bahwa istilah “e” atau singkatan dari elektronik dalam e-learning digunakan sebagai istilah untuk segala teknologi yang digunakan untuk mendukung usaha-usaha pengajaran lewat teknologi elektronik internet.  Fenny (2016) dalam Marlina et al. (2021) menyatakan Electronic Learning atau di singkat E-Learning adalah suatu konsep pembelajaran dengan memanfaatkan media elektronik sebagai instrumen dalam media pembelajarannya. E-learning adalah proses pembelajaran yang difasilitasi dan didukung melalui pemamfaatan teknologi informasi dan internet (Chandrawati, 2010).

Purbo dan Hartanto (2002) dalam Susanti dan Sholeh (2008) menjelaskan konsep E-Learning adalah penyediaan kelas-kelas baru setara dengan kelas konvensional di lembaga pendidikan yang selama ini ada. Oleh karena itu, pembangunan sebuah lembaga pendidikan virtual seperti E-Learning ini haruslah memberikan hasil yang kurang lebih sama dengan cita-cita untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan konvensional. Intinya, sistem E-Learning ini diadaptasikan dari sistem yang ada di lembaga pendidikan konvensional ke dalam sebuah sistem digital melalui Internet. Sebagai sebuah hasil pencangkokan dari benih sistem pendidikan induk yang sama, juga mewarisi sifat-sifat dan sistem yang dilakukan oleh induknya. Salah satu contoh yang paling nyata adalah proses belajar-mengajar. Seorang pengajar akan memberikan materinya kepada para siswa yang ada di berbagai tempat dengan dihubungkan oleh Internet. Metode ini kurang lebih sama dengan proses belajar-mengajar yang ada di sekolah konvensional. Dari sifat tersebut, jelaslah bahwa pengembangan teknologi E-Learning harus didasarkan pada sifat dan karakter asli dari sistem pendidikan yang telah ada.

 

2.1.4 Fungsi dan Manfaat E-Learning

Pembelajaran dengan menggunakan media elektronik. E-learning, seperti juga namanya “Electronic Learning” disampaikan dengan menggunakan media elektronik yang terhubung dengan Internet (World Wide Web yang menghubungkan semua unit komputer di seluruh dunia yang terkoneksi dengan Internet) dan Intranet (jaringan yang bisa menghubungkan semua unit komputer dalam sebuah perusahaan). Jika Anda memiliki komputer yang terkoneksi dengan Internet, Anda sudah bisa berpartisipasi dalam e-learning. Dengan cara ini, jumlah pembelajar yang bisa ikut berpartisipasi bisa jauh lebih besar dari pada cara belajar secara konvensional di ruang kelas (jumlah siswa tidak terbatas pada besarnya ruang kelas). Teknologi ini juga memungkinkan penyampaian pelajaran dengan kualitas yang relatif lebih standar dari pada pembelajaran di kelas yang tergantung pada “mood” dan kondisi fisik dari instruktur. Dalam e-learning, modul-modul yang sama (informasi, penampilan, dan kualitas pembelajaran) bisa diakses dalam bentuk yang sama oleh semua siswa yang mengaksesnya, sedangkan dalam pembelajaran konvensional di kelas, karena alasan kesehatan atau masalah pribadi, satu instruktur pun bisa memberikan pelajaran di beberapa kelas dengan kualitas yang berbeda (Elyas, 2018).

Menurut Yustanti dan Novita (2019) E-learning memiliki fungsi sebagai berikut:

1.    Suplemen (tambahan)

Peserta didik mempunyai kebebasan memilih, apakah akan memanfaatkan materi pembelajaran elektronik atau tidak. Dalam hal ini, tidak ada kewajiban/keharusan bagi peserta didik untuk mengakses materi pembelajaran elektronik.Mengakses materi pembelajaran elektronik hanya sebagai himbauan pengajar kepada peserta didik.

2.    Komplemen (pelengkap)

Materi pembelajaran elektronik diprogramkan untuk melengkapi materi pembelajaran yang diterima peserta didik di dalam kelas, sebagai pengayaan bagi peserta didik berkemampuan rata-rata, atau remedial bagi peserta didik yang lamban kemampuan belajarnya.

3.    Substitusi (pengganti)

E-learning sebagai pengganti digunakan di beberapa perguruan tinggi di negara-negara maju.Tujuannya untuk membantu mempermudah siswa mengelola kegiatan pembelajaran/perkuliahan sehingga siswa dapat menyesuaikan waktu dan aktivitas lainnya dengan kegiatan perkuliahan.Siswa dapat memilih model kegiatan pembelajaran yaitu tatap muka saja, sebagian tatap muka dan sebagaian melalui internet, atau sepenuhnya melalui interne

Menurut Elyas (2018), beberapa manfaat yang bisa dinikmati dari proses pembelajaran dengan e-learning, diataranya:

1.    Fleksibilitas.

Jika pembelajaran konvensional di kelas mengharuskan siswa untuk hadir di kelas pada jam-jam tertentu (seringkali jam ini bentrok dengan kegiatan rutin siswa), maka elearning memberikan fleksibilitas dalam memilih waktu dan tempat untuk mengakses pelajaran. Siswa tidak perlu mengadakan perjalanan menuju tempat pelajaran disampaikan, e-learning bisa diakses dari mana saja yang memiliki akses ke Internet. Bahkan, dengan berkembangnya mobile technology (dengan palmtop, bahkan telepon selular jenis tertentu), semakin mudah mengakses e-learning. Berbagai tempat juga sudah menyediakan sambungan internet gratis (di bandara internasional dan cafe-cafe tertentu), dengan demikian dalam perjalanan pun atau pada waktu istirahat makan siang sambil menunggu hidangan disajikan, Anda bisa memanfaatkan waktu untuk mengakses elearning.

2.    Independent Learning

E-learning memberikan kesempatan bagi pembelajar untuk memegang kendali atas kesuksesan belajar masing-masing, artinya pembelajar diberi kebebasan untuk menentukan kapan akan mulai, kapan akan menyelesaikan, dan bagian mana dalam satu modul yang ingin dipelajarinya terlebih dulu. Ia bisa mulai dari topik-topik ataupun halaman yang menarik minatnya terlebih dulu, ataupun bisa melewati saja bagian yang ia anggap sudah ia kuasai. Jika ia mengalami kesulitan untuk memahami suatu bagian, ia bisa mengulang-ulang lagi sampai ia merasa mampu memahami. Seandainya, setelah diulang masih ada hal yang belum ia pahami, pembelajar bisa menghubungi instruktur, nara sumber melalui email atau ikut dialog interaktif pada waktu-waktu tertentu. Jika ia tidak sempat mengikuti dialog interaktif, ia bisa membaca hasil diskusi di message board yang tersedia di LMS (di Website pengelola). Banyak orang yang merasa cara belajar independen seperti ini lebih efektif daripada cara belajar lainnya yang memaksakannya untuk belajar dengan urutan yang telah ditetapkan.

3.    Biaya

Banyak biaya yang bisa dihemat dari cara pembelajaran dengan e-learning. Biaya di sini tidak hanya dari segi finansial tetapi juga dari segi non-finansial. Secara finansial, biaya yang bisa dihemat, antara lain biaya transportasi ke tempat belajar dan akomodasi selama belajar (terutama jika tempat belajar berada di kota lain dan negara lain), biaya administrasi pengelolaan (misalnya: biaya gaji dan tunjangan selama pelatihan, biaya instruktur dan tenaga administrasi pengelola pelatihan, makanan selama pelatihan), penyediaan sarana dan fasilitas fisik untuk belajar (misalnya: penyewaan ataupun penyediaan kelas, kursi, papan tulis, LCD player, OHP).

 

2.1.5 Kelebihan dan Kekurangan E-Learning

Menurut Susanti dan Sholeh (2008), E_Learning memiliki kelebihan dan kekurangan.

Kelebihan E-Learning:

1.         Biaya

Kelebihan pertama E-Learning adalah mampu mengurangi biaya pelatihan. Organisasi perusahaan atau pendidikan dapat menghemat biaya karena tidak perlu mengeluarkan dana untuk peralatan kelas seperti penyediaan papan tulis, proyektor dan alat tulis.

2.         Fleksibilitas Waktu

E-Learning membuat pelajar dapat menyesuaikan waktu belajar, karena dapat mengakses pelajaran di Internet kapanpun sesuai dengan waktu yang diinginkan.

3.         Fleksibilitas tempat

Adanya E-Learning membuat pelajar dapat mengakses materi pelajaran dimana saja, selama komputer terhubung dengan jaringan Internet.

4.         Fleksibilitas kecepatan pembelajaran

E-Learning dapat disesuaikan dengan kecepatan belajar masing-masing siswa.

5.         Efektivitas pengajaran

E-Learning merupakan teknologi baru, oleh karena itu pelajar dapat tertarik untuk mencobanya sehingga jumlah peserta dapat meningkat. E-Learning yang didesain dengan instructional design mutahir membuat pelajar lebih mengerti isi pelajaran.

6.         Ketersediaan On-demand

E-Learning dapat sewaktu-waktu diakses dari berbagai tempat yang terjangkau Internet, maka dapat dianggap sebagai “buku saku” yang membantu menyelesaikan tugas atau pekerjaan setiap saat.

Kekurangan E-Learning:

1.         Budaya

Pengguna E-Learning menunutut budaya self-learning, dimana seseorang memotivasi diri sendiri agar mau belajar. Sebaliknya, pada sebagian besar penduduk di Indonesia, motivasi belajar lebih banyak tergantung pada pengajar. Pada E-Learning 100% energi dari pelajar, oleh karena itu, beberapa orang masih merasa segan berpindah dari pelatihan di kelas ke pelatihan E-Learning.

2.         Investasi

Walaupun E-Learning menghemat banyak biaya, tetapi suatu organisasi harus mengeluarkan investasi awal cukup besar untuk mengimplementasikan E-Learning. Investasi dapat berupa biaya desain dan pembuatan program learning management system, paket pelajaran dan biaya lain, seperti promosi.

3.         Teknologi

Karena teknologi yang digunakan beragam, ada kemungkinan teknologi tersebut tidak sejalan dengan yang sudah ada dan terjadi konflik teknologi sehingga E-Learning tidak berjalan baik.

4.         Infrastruktur Internet belum terjangkau semua kota di Indonesia. Akibatnya belum semua orang atau wilayah dapat merasakan E-Learning dengan internet.

5.         Materi

Walaupun E-Learning menawarkan berbagai fungsi, ada beberapa materi yang tidak dapat diajarkan melalui E-Learning. Pelatihan yang memerlukan banyak kegiatan fisik, seperti praktek perakitan hardware, sulit disampaikan secara sempurna.

 

2.1.6 Penerapan E-Learning sebagai Media Pembelajaran

1.    Google Classroom sebagai E-Learning

Google Classroom juga merupakan media e-learning karena Google classroom adalah fitur terbaru dari google app for education yang dapat dimanfaatkan oleh guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Google Classroom atau ruang kelas Google merupakan suatu serambi pembelajaran campuran untuk ruang lingkup pendidikan yang dapat memudahkan pengajar dalam membuat, membagikan dan menggolongkan setiap penugasan tanpa kertas (paperless). Jadi, dapat dikatakan sangat efisien karena dapat diakses dimana saja dan kapan saja.Berdasarkan website resmi dari Google, Google Classroom ini memberikan beberapa manfaat seperti: 1) Kelas dapat disiapkan dengan mudah; pengajar dapat menyiapkan kelas dan mengundang siswa serta asisten pengajar. Kemudian di dalam aliran kelas, mereka dapat berbagi informasi seperti tugas, pengumuman dan pertanyaan; 2) Menghemat waktu dan kertas; pengajar dapat membuat kelas, memberikan tugas, berkomunikasi dan melakuan pengelolaan, semuanya di satu tempat; 3) Pengelolaan yang lebih baik; siswa dapat melihat tugas di halaman tugas, di aliran kelas maupun di kalender kelas. Semua materi otomatis tersimpan dalam folder Google Drive; 4) Penyempurnaan komunikasi dan masukan; pengajar dapat membuat tugas, mengirim pengumuman dan memulai diskusi kelas secara langsung. Siswa dapat berbagi materi antara satu sama lain dan berinteraksi dalam aliran kelas melalui email. Pengajar juga dapat melihat dengan cepat siapa saja yang sudah dan belum menyelesaikan tugas, serta langsung memberikan nilai dan masukan real -time; 5) Dapat digunakan dengan aplikasi yang anda gunakan; kelas berfungsi dengan Google Document, Calender, Gmail, Drive dan Formulir; 6) Aman dan terjangkau; kelas disediakan secara gratis. Kelas tidak berisi iklan dan tidak pernah menggunakan konten atau data siswa untuk tujuan iklan. Sebagai tambahan, Google Classroom dapat diakses melalui 2 cara yaitu melalui website dan aplikasi. Google Classroom sebagai media pembelajaran yang juga cocok diterapkan sebagai pemanfaatan e-learning karena sangat efisien bagi para pendidik dan peserta didik yang tidak mengharuskan pembelajaran face to face, dan dapat diakses melalui handphone

2.    Aplikasi Moodle sebagai Virtual Learning Environment

Seiring kemajuan teknologi dan perubahan tren serta gaya hidup manusia yang cenderung bergerak secara dinamis (mobile), kebutuhan akan proses belajar jarak jauh atau yang biasa disebut dengan teleedukasi semakin meningkat pula. E-learning sebagai salah satu bagian dari teleedukasi memberikan alternatif cara belajar baru. Murid dan guru tidak berada dalam ruang dan waktu yang sama. Meskipun demikian, proses belajar dan mengajar tetap dapat berjalan dalam lingkungan virtual. Oleh karena itu, e-learning sering disebut juga dengan Virtual Learning Environment (VLE). Moodle adalah sebuah nama untuk sebuah program aplikasi yang dapat merubah sebuah media pembelajaran kedalam bentuk web. Aplikasi ini memungkinkan siswa untuk masuk kedalam “ruang kelas” digital untuk mengakses materi-materi pembelajaran. Dengan menggunakan Moodle, kita dapat membuat materi pembelajaran, kuis, jurnal elektronik dan lain-lain. Moodle itu sendiri adalah singkatan dari Modular Object Oriented Dynamic Learning Environment. Moodle merupakan sebuah aplikasi Course Management System (CMS) yang gratis dapat diunduh, digunakan ataupun dimodifikasi oleh siapa saja dengan lisensi secara GNU (General Public License). Anda dapat mendownload aplikasi Moodle di alamat http://www.moodle.org. yang dikembangkan oleh Martin Dougiamas. Saat ini Moodle sudah digunakan pada lebih dari 150.000 institusi di lebih dari 160 negara di dunia. Beberapa keunggulan dan yang kita dapatkan dari membangun e-learning dengan menggunakan Moodle: (1) Sederhana, efisien, ringan dan kompatibel dengan banyak browser, (2) Mudah cara instalasinya serta mendukung banyak bahasa, termasuk Indonesia, (3) Tersedianya manajemen situs untuk pengaturan situs keseluruhan, mengubah theme, menambah module, dan sebagainya, ( 4) Tersedianya manajemen pengguna.( 5) Manajemen kursus, penambahan jenis kur sus, pengurangan, atau pengubahan kursus, (6) Modul Chat, modul pemilihan (polling), modul forum, modul untuk jurnal, modul untuk kuis, modul untuk survei dan workshop, dan masih banyak lainnya. (7) Free dan open source software. Ini sejalan dengan kebijakan pemerintah dengan IGOSnya, Moodle bersifat free dan open source. Oleh karena itu, Moodle sesuai digunakan di lingkungan pendidikan. Di samping itu, Moodle bisa dimodifikasi dan disesuaikan dengan kultur yang ada di Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PENUTUP

 

3.1  Kesimpulan

Komputer sebagai media pembelajaran memberikan pengertian bahwa pemanfaatan komputer diterapkan sebagai salah satu komponen penunjang kegiatan pembelajaran. Karakteristik komputer sebagai media pembelajaran adalah interaktif, navigasi dan penggunaan mudah, tampilan menarik, dan dirancang efisien dan efektif. Beberapa konsep model pembelajaran yang menggunakan komputer yaitu simulasi, latihan dan praktik, tutorial, hiperteks dan hipermedia, dan game edukasi.

E-learning adalah proses pembelajaran yang difasilitasi dan didukung melalui pemamfaatan teknologi informasi dan internet E-Learning memiliki fungsi sebagai pelengkap, pengganti maupun tambahan dalam kehadirannya sebagai media pembelajaran. Pemanfaatan E-Learning sebagai media pembelajaran sangat fleksibel, efisien, hemat biaya, dan berorientasi kemandirian pembelajaran. Meskipun begitu e-learning tak dapat menggantikan proses pembelajaran yang membutuhkan aktifitas fisik secara nyata, serta mahalnya biaya pembuatan website yang dikembangkan sebagai e-learning.

3.2  Saran

Pada makalah ini kita telah diberikan pemahaman mengenai komputer sebagai media pembelajaran (e-learning). Sangat besar harapan penyusun agar nantinya makalah ini dapat membantu  pembaca untuk lebih memahami baik konsep maupun penerapan penerapan aplikasi media dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Selain itu, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca agar pada penulisan makalah selanjutnya  hal itu dapat diperbaiki. Tak luput penyusun menitipkan masukan agar lebih variatif lagi kajian tentang komputer sebagai media pembelajaran(e-learning) dan semakin banyak kehadiran media pembelajaran berbasis e-learning.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Cahdriyana, R. A., & Richardo, R. (2017). Karakteristik media pembelajaran berbasis komputer untuk siswa SMP. AlphaMath: Journal of Mathematics Education, 2(2).

Chandrawati, S. R. (2010). Pemamfaatan E-learning dalam Pembelajaran. Jurnal Cakrawala Kependidikan, 8(2).

Elyas, A. H. (2018). Penggunaan model pembelajaran e-learning dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Warta Dharmawangsa, (56).

Harmayani, H., Abdilah, D., Mapilindo, M., Oktopanda, O., & Hutahaean, J. (2021). Aplikasi Komputer. Drestanta Pelita Indonesia Press, 1-89.

Ramli, Muhammad. (2012). Media dan Teknologi Pembelajaran. Banjarmasin: IAIN Antasari Press.

Saefulloh, A. (2007). Penggunaan Komputer sebagai Media Pembelajaran di perguruan tinggi. INSANIA: Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan, 12(1), 57-65.

Sudjiman, P. E., & Sudjiman, L. S. (2018). Analisis Sistem Informasi Manajemen Berbasis Komputer dalam Proses Pengambilan Keputusan. TeIKa, 8(2), 55-66.

Susanti, E., & Sholeh, M. (2008). Rancang Bangun Aplikasi E-Learning. Jurnal Teknologi, 1(1), 53-57.

Yustanti, I., & Novita, D. (2019). Pemanfaatan e-learning bagi para pendidik di era digital 4.0 utilization of e-learning for educators in digital era 4.0. In Prosiding Seminar Nasional Program Pascasarjana Universitas Pgri Palembang (Vol. 12, No. 01).

 

Sumber referensi:

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/komputer

TEORI BELAJAR KOGNITIF

03 November 2022 06:58:42 Dibaca : 6995

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Secara bahasa kognitif berasal dari bahasa latin ”Cogitare” artinya berfikir. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kognitif berarti segala sesuatu yang berhubungan atau melibatkan kognisi, atau berdasarkan pengetahuan faktual yang empiris. Dalam pekembangan selanjutnya, istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi, baik psikologi perkembangan maupun psikologi pendidikan. Dalam psikologi, kognitif mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental manusia yang berhubungan dengan masalah pengertian, pemahaman, perhatian, menyangka, mempertimbangkan, pengolahan informasi,pemecahan masalah, kesengajaan, membayangkan, memperkirakan, berpikir, keyakinan dan sebaganya.

Bagi  penganut aliran  ini,  belajar  tidak  sekedar  melibatkan  hubungan  antar  stimulus dan respons. Namun lebih dari itu, belajar melibatkan proses berpikir yang  sangat  kompleks.  Belajar melibatkan prinsip-prinsip  dasar  psikologi,  yaitu  belajar aktif,  belajar  lewat  interaksi  sosial  dan  lewat  pengalaman  sendiri.   Teori belajar kognitif muncul dilatarbelakangi oleh ada  beberapa  ahli  yang  belum  merasa  puas  terhadap penemuan-penemuan  para  ahli  sebelumnya  mengenai  belajar,  sebagaimana dikemukakan oleh teori Behavior, yang menekankan pada  hubungan  stimulus-responsreinforcement. Munculnya teori kognitif merupakan wujud nyata dari kritik terhadap teori Behavior yang dianggap terlalu naïf, sederhana, tidak masuk akal dan sulit dipertanggungjawabkan secara psikologis.

Menurut paham kognitif,  tingkah  laku  seseorang  tidak  hanya  dikontrol oleh reward  (ganjaran)  dan  reinforcement  (penguatan).  Tingkah laku  seseorang  senantiasa  didasarkan  pada  kognisi,  yaitu tindakan  untuk mengenal  atau  memikirkan  situasi  di mana  tingkahlaku  itu terjadi.  Dalam  situasi  belajar,  seseorang  terlibat  langsung  dalam situasi  itu  dan  memperoleh  pemahaman atau insight  untuk  pemecahan  masalah.  Paham kognitifis  berpandangan  bahwa, tingkahlaku  seseorang  sangat tergantung  pada pemahaman atau insight  terhadap  hubungan-hubungan yang ada di dalam suatu situasi.

Pada makalah ini akan diurai sejumlah teori kognitif mulai dari Tolman hingga Chomsky.

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:

Bagaimanakah teori belajar kognitif?Bagaimanakah teori teori behaviorisme purposif dari Tolman?Bagaimanakah teori medan gestalt dari Wertheimer?Bagaimanakah teori medan dari Lewin?Bagaimanakah teori perkembangan kognitif dari Piaget?Bagaimanakah teori genetik kognitif dari Chomsky? 

1.3  Tujuan Penulisan

Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:

Untuk memahami teori belajar kognitif

Untuk memahami teori behaviorisme purposif dari Tolman

Untuk memahami medan gestalt dari Wertheimer

Untuk memahami medan dari Lewin

Untuk memahami perkembangan kognitif dari Piaget

Untuk memahami genetik kognitif dari Chomsky 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 TEORI BELAJAR KOGNITIF

Monita (2019) memaparkan bahwa kognitivisme terkait kognisi (knowing) yaitu kegiatan untuk mengetahui sesuatu yang mencakup perolehan, pengorganisasian dan pemakaian pengetahuan. Artinya, kognisi fokus pada memori, atensi, persepsi, bahasa, rasio, pemecahan masalah dan kreatifitas (Elliott,et.al.,1996:238) serta peran struktur mental atau pengorganisasiannya dalam proses mengetahui sesuatu (Lefrancois,1988:55). Tekanan utama pendekatan psikologi kognitif terletak pada bagaimana informasi diproses dan disimpan; ini tentu berbeda dengan pendekatan psikologi behavioristik yang fokus pada tingkah laku dalam kontek lingkungan dan kosekuensinya. Dengan demikian, psikologi kognitif, menurut Phye&Andre, adalah studi tentang struktur kognisi dan komponennya dalam memproses informasi (Elliott,et.al.,1996:238). Konsep kognitif pembelajaran, menurut Shuell, telah berpengaruh besar pada pembelajaran berupa pemberian kesadaran yang tinggi pada pendidik betapa pentingnya pengaruh pengetahuan awal (entry behavior) siswa dan strategi penguatan memori mereka terhadap pembelajaran mereka saat ini (Elliott et.al.,1996:241).

Dalam perspektif psikologi kognitif, belajar pada dasarnya adalah peristiwa mental, bukan behavioral (jasmaniah) meskipun hal-hal bersifat bihavioral tampak nyata dalam setiap siswa belajar. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, misalnya tentu menggunakan perangkat jasmaniah, untuk menggucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi perilaku mengucapkan dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata respon atas stimulus yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya (Pahliwandari, 2016).

Teori kognitif adalah suatu proses atau usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, keterampilan,  nilai dan sikap yang bersifat relatif dan berbekas. Misalnya, seseorang mengamati sesuatu ketika dalam perjalanan. Dalam pengamatan tersebut terjadi aktifitas mental. Kemudian ia menceritakan pengalaman tersebut kepada temannya. Ketika dia menceritakan pengalamannya selama dalam perjalanan, dia tidak dapat menghadirkan objek-objek yang pernah dilihatnya selama dalam perjalanan itu, dia hanya dapat menggambarkan semua objek itu dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Maka dengan demikian, telah terjadi proses belajar, dan terjadi perubahan terutama terhadap pengetahuan dan pemahaman. Jika pengetahuan dan pemahaman tersebut mengakibatkan perubahan sikap, maka telah terjadi perubahan sikap, dan seterusnya.

Fungsi kognitif membuat seseorang bisa dengan mudah bergaul satu sama lain. Adapun fungsi kognitif sebagai berikut:

1.    Perhatian merupakan penyeleksi rangsangan yang nantinya menjadi fokus perhatian dan bisa diabaikan secara bersamaan. Rangsangan yang dimaksud bisa berupa bau, suara, maupun gambar.

2.    Memori atau Daya Ingat berkaitan dengan tingkat kefokusan seseorang. Semakin fokus, semakin baik memori atau daya ingat. Hal ini menunjukkan bagaimana suatu informasi akan ditransfer dan disimpan di dalam otak.

3.    Fungsi eksekutif merupakan fungsi yang mengarahkan manusia untuk menjadi perencana dan melaksanakan sesuatu yang telah ia rencanakan. Nah, dari sinilah seseorang terlihat bagaimana cara menyelesaikan setiap permasalahan.

4.    Kemampuan bahasa berkaitan dengan bagaimana seseorang mampu menyusun kata-kata saat berkomunikasi dengan orang lain. Setiap orang memiliki kemampuan bahasa yang berbeda-beda, bergantung dari fungsi kognitifnya.

5.    Merasakan dan mengenali, kehadiran fungsi kognitif membuat seseorang bisa merasakan dan mengenali segala sesuatu di sekitarnya. Misalnya membedakan antara jeruk dan lemon, semangka dan melon, dan seterusnya.

Teori belajar kognitif adalah teori belajar yang mementingkan proses belajar daripada hasilnya. Teori ini menyatakan bahwa pada proses belajar, seseorang tidak hanya cenderung pada hubungan antara stimulus dan respon, melainkan juga bagaimana perilaku seseorang dalam mencapai tujuan belajarnya

Prinsip teori belajar kognitif dalam pembelajaran adalah sebagai berikut.

1.    Proses belajar lebih penting daripada hasil.

2.    Persepsi dan pemahaman dalam mencapai tujuan belajar menunjukkan tingkah laku seorang individu.

3.    Materi belajar dipisahkan menjadi komponen kecil, lalu dipelajari secara terpisah.

4.    Keaktifan peserta didik saat pembelajaran merupakan suatu keharusan.

5.    Pada kegiatan belajar, dibutuhkan proses berpikir yang kompleks.

Pendekatan kognitif merupakan suatu istilah yang menyatakan bahwa melalui tingkah lakulah seorang individu akan mengalami proses mental yang nantinya bisa meningkatkan kemampuan menilai, membandingkan, atau menanggapi stimulus sebelum terjadinya reaksi. Pendekatan ini memberikan penekanan terhadap isi pikiran manusia agar manusia tersebut mendapatkan pengalaman, pemahaman, standar moral, dan sebagainya.

Teori belajar kognitif muncul dilatarbelakangi oleh ada  beberapa  ahli  yang  belum  merasa  puas  terhadap penemuan-penemuan  para  ahli  sebelumnya  mengenai  belajar,  sebagaimana dikemukakan oleh teori Behavior, yang menekankan pada  hubungan  stimulus-responsreinforcement. Munculnya teori kognitif merupakan wujud nyata dari kritik terhadap teori Behavior yang dianggap terlalu naïf, sederhana, tidak masuk akal dan sulit dipertanggungjawabkan secara psikologis.

2.1.1 Teori Behaviorisme Purposif dari Tolman

Tolman lahir di Newton, Massachusetts, dan meraih gelar B.S. di Massachusetts Institute of Technology di bidang elektrokimia pada 1911. Gelar M.A. (1912) dan Ph.D (1915) di Hardvard University untuk bidang psikologi disinilah ia belajar tentang behavioris. Pada akhir dari tahun pertama dia tinggal di Harvard, Tolman sempat pergi ke Jerman dan menghabiskan beberapa waktu dengan para ahli Gestalt yaitu terjadi pada tahun 1913 (Farnham-Diggory, 1994). Selanjutnya, dia mengajar di Northwestern University dari 1915 sampai 1918. Selain itu ia menghabiskan sebagian besar kehidupan profesinya untuk mengajar di Universitas California di Berkeley. Karya utamanya, Purposive Behaviour in Animals and Man, terbit pada tahun 1932. (Hill, 2014).

Teori belajar Tolman dapat dikatakan sebagai campuran antara Teori Gestalt dan Behaviorisme. Sepuluh tahun kemudian, setelah lulus dari Harvard Tolman pergi ke Jerman dan bekerja dengan Koffka. Keberadaan teori Gestalt terhadap proses berteorinya mempunyai pengaruh yang sangat signifikan. Sikapnya yang senang terhadap teori Gestalt tidaklah menghalangi perhatiannya terhadap behaviorisme. Ketidaksepakatannya dengan behaviorisme adalah pada soal unit perilaku yang mesti diteliti. Pemikirannya bertentangan dengan para behavioris seperti Pavlov, Guthrie, Hull, Watson, dan Skinner yang menyatakan bahwa unit perilaku bisa dipelajari sebagai unsur-unsur yang terpisah.

Tolman memandang dengan menjadikan elemen-elemen kecil, sesungguhnya behavioris telah membuang artinya secara utuh. Akan tetapi dia juga yakin bahwa hal seperti itu mungkin juga untuk dijadikan sebagai objek ketika belajar tentang molar behavior secara sistematis. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa Tolman seorang behavioris secara metodologi dan teoris kognitif dalam hal metafisik. Dengan kata lain, ia belajar behavior untuk menentukan proses kognitif (Hergenhahn dan Olson, 2009).

Teori murni Tolman disebut sebagai perilaku purposive (purposive behavior) atau perilaku yang ditujukan untuk mengarah pada suatu tujuan. Aspek ini membuat teori Tolman (purposive behavior dan Gestalt (molarmolekular) memiliki kesamaan yakni mengarah pada tujuan tertentu. Oleh karena itu, ia berusaha menjelaskan perilaku yang diarahkan untuk mendapatkan tujuan atau dengan kata lain mengkaji perilaku dalam kaitannya dengan tujuan yang hendak dicapai melalui perilaku itu. Behaviorisme purposive sering dianggap teori behavioristik maupun teori kognitif. Tolman dalam percobaannya menggunakan metode pengembangan behavioristik tapi dia meneliti atau menempatkan penelitiannya pada posisi kognitif (Safitri, 2019).

Teori behaviorisme purposif yang diperkenalkan oleh Tolman mengajarakan bahwa sesuatu rangsangan tertentu menimbulkan respons tertentu, maka akan kita lihat rangsangan itu dalam perspektif yang baru. Umpamanya, pada waktu SD atau SMP kita diajarkan untuk selalu berlaku sopan dan menghormati guru, sebagai akibatnya apabila kita berhadapan dengan dosen atau guru besar di perguruan tinggi (berupa rangsangan), maka kita juga akan berlaku sopan, hormat, atau diam mendengarkan kuliahnya (berupa respon). Namun, dosen atau guru besar itu mungkin akan marah jika kita bersikap demikian, karena masih dianggapnya sebagai kanak-kanak, bukan mahasiswa. Kita dituntut untuk lebih terbuka, lebih banyak bicara, dan tidak terlalu bersifat formal. Di sini kita melihat keadaan dalam perspektif yang baru, dan sebagai akibatmya kognisi kita akan membuat respon yang baru pula.

Tolman mengatakan bahwa tingkah laku manusia secara keseluruhan disebut tingkah laku molar. Tingkah laku molar ini terdiri dari tingkah laku-tingkah laku yang lebih kecil yang disebut molekular (Sarwono, 2020). Karakteristik utama molar behavior (perilaku molar) adalah perilaku itu purposive (memiliki tujuan); yakni ia selalu diarahkan untuk tujuan tertentu. Dalam hal ini, teori Tolman disebut sebagai purposive behaviorism (behaviorisme purposif) sebab ia berusaha menjelaskan perilaku yang diarahkan untuk mendapatkan tujuan (Hergenhahn dan Olson, 2009) atau dengan kata lain mengkaji perilaku dalam kaitannya dengan tujuan yang hendak dicapai melalui perilaku itu (Hill, 2014). Sorotan bahwa Tolman dianggap sebagai setengah behavioris atau setengah kognitif itu adalah karena sebutan dari orang lain dan itu bukan sebutan dari Tolman sendiri. Selain itu juga teori behaviorisme purposive Tolman ini merupakan teori kognitif akan tetapi kadang juga dianggap sebagai teori behavioristik, hal itu dikarenakan Tolman dalam percobaannya menggunakan metode pengembangan behavioristik tapi dia meneliti atau menempatkan penelitiannya pada posisi kognitif.

Berikut konsep utama belajar menurut Tolman:

Definisi Belajar menurut TolmanMenurut Tolman, belajar adalah mengenal tentang situasi. Organisme belajar tentang sesuatu yang ada di sekitarnya, jika ia berbalik ke kiri, ia akan menemukan sesuatu. Jika ia berbalik ke kanan, ia temukan juga sesuatu yang lain. Hal ini terjadi secara berangsur-angsur, sehingga ia dapat membuat kesimpulan sendiri. Dengan demikian, menurut Tolman, belajar itu akan sia-sia jika hanya dihafal. Sehingga dapat dikatakan bahwa belajar adalah merupakan pengorganisasian perbuatan (tingkah laku) untuk meraih maksud (Ganda, 2004)

Konfirmation versus ReinforcementTeori Belajar Edward C. Tolman – Sebagaimana Guthrie, konsep penguatan (reinforcement) adalah tidak penting bagi Tolman sebagai variabel pembelajaran. Akan tetapi, Tolman menyebutkan hal tersebut sebagai konfirmasi, di mana behavioris menyebutnya reinforcement. Selama perkembangan sebuah peta kognitif, harapan atau dugaan-dugaan dimanfaatkan oleh sebuah organisme. Dugaan adalah sebuah firasat tentang sesuatu dan fungsinya. Di mana awal sebuah dugaan bersifat sementara yang disebut hipotesis, yang berasal baik dari pengalaman maupun bukan. Hipotesis yang telah dikonfirmasikan akan dipakai. Sedangkan hipotesis yang salah akan dibuang. Yang harus diperhatikan adalah proses penerimaan maupun penolakan hipotesis merupakan sebuah proses kognitif bukan termasuk tindakan behavior (Passer dan Smith, 2004). Bisa dikatakan bahwa konfirmasi itu semacam berhipotesis, sebab dalam konfirmasi itu ada harapan menemukan apa menuju apa dengan menggunakan prinsip dasar bahwa sebenarnya tingkah laku itu memiliki tujuan.

Vicarious Trial and ErrorTolman memperhatikan karakteristik tikus dalam kebingungan (jalan simpag siur). Sehingga ia bisa memanfaatkannya sebagai pendukung untuk menafsirkan teori belajarnya. Seekor tikus sering berhenti pada suatu titik tertentu dan memandang sekelilingnya seolah-olah berpikir tentang berbagai alternatif yang ada. Kegiatan seperti ini (berhenti dan memandang sekelilingnya) yang disebut Tolman sebagai Vicarious Trial and Error, sehingga organisme itu bisa membuat kesimpulan sendiri dari berbagai kegiatan yang telah dilakukannya.

Learning Versus PerformanceHull membedakan antara learning dan performance. Pada akhir teorinya, Hull menyatakan bahwa banyaknya jumlah percobaan (trial) yang diperbuat merupakan satu-satunya variabel belajar. Sedangkan variabel-variabel lainnya, yang ada dalam sistemnya merupakan variable perantara (performance). Sehingga performance dapat dimaksudkan sebagai perwujudan belajar ke dalam prilaku. Hal seperti ini penting bagi Hull, dan lebih penting lagi bagi Tolman. Menurut Tolman, kita mengetahui banyak hal tentang lingkungan di sekitar kita, akan tetapi, kita hanya akan melaksanakan informasi atau pengetahuan itu ketika kita harus melakukannya. Dalam status kebutuhan (need), organisme memanfaatkan apa yang telah dipelajarinya hingga sampai pada real testing yang bisa mengurangi kebutuhan itu. Misalnya, ada dua kran air dalam rumah kita, dalam jangka waktu yang lama, kita tidak pernah memperhatikan atau meminumnya hingga suatu saat terasa sangat haus. Secara spontan kita akan meminum salah satu dari keduanya. Dari sini, kita akan mengetahui bagaimana menemukan air minum itu tanpa harus menunggu hingga terasa haus.

Latent LearningMenurut Wade dan Tavris (2007) mengatakan bahwa latent learning (pembelajaran laten) adalah pembelajaran yang tidak langsung dalam kinerja seseorang. Dengan kata lain, pembelajaran laten merupakan suatu jenis pembelajaran dimana hasil pembelajaran tersebut tidak langsung terlihat; hal ini terjadi tanpa suatu penguatan yang nyata. Konsep tentang latent learning sangat penting bagi Tolman, dan dia merasa sukses dalam mendemonstrasikan eksistensinya. Eksperimen terkenal yang dilakukan oleh Tolman dan Honzik (1930) melibatkan tiga kelompok tikus, yang mencoba belajar untuk memecahkan suatu kebingungan (jaringan jalan yang simpang siur). Kelompok pertama, tidak pernah mendapatkan atau menemui makanan saat melintasi jalan yang simpang siur itu. Kelompok kedua, selalu diberi makanan di ujung labirin. Sedang kelompok ketiga, tidaklah diperkuat sampai hari ke-11 mengadakan percobaan. Kelompok terakhir inilah yang menarik bagi Tolman. Teorinya tentang latent learning meramalkan bahwa kelompok ini akan belajar di simpang siur jalan itu, sama halnya dengan kelompok yang secara teratur diperkuat. Dan ketika penguatan (reinforcement) diperkenalkan pada hari ke-11, kelompok ini akan melakukan seperti halnya kelompok yang secara terus menerus diperkuat (reinforced).

Reinfocement ExpectancyMenurut Tolman, ketika kita belajar, kita menganalisa “situasi”. Term understanding selalu ada hubungannya dengan Tolman sebagaimana para behavioris. Dalam situasi problem-solving, kita belajar untuk memperoleh cara yang paling paktis. Kita belajar untuk mengharapkan terjadinya persitiwa tertentu, mengikuti peristiwa yang lain. Seekor binatang mengharapkan jika ia pergi ke suatu tempat tertentu, maka ia akan menemukan reinforcer tertentu. Manurut pada ahli teori S-R, bahwa merubah reinforcer dalam teori belajar tidak akan mengganggu prilaku sepanjang kuantitas reinforcement tidak dirubah secara drastis. Sedangkan menurut Tolman, ia memprediksikan, jika reinforcer dirubah, prilaku akan terganggu, karena reinforcement expectancy merupakan bagian dari apa yang diharapkan

Dalam artikel “There is more than one kind of learning,” Tolman (1949) mengusulkan enam jenis belajar. Ringkasnya adalah sebagai berikut:

CathexesCathexis (jamak) Cathexes adalah tendensi belajar untuk mengasosiasikan objek tertentu dengan keadaan dorongan tertentu. Misalnya, ada makanan tertentu untuk memuaskan dorongan lapar dari seseorang yang tinggal disuatu Negara. Orang yang tinggal di daerah dimana biasanya makan ikan itu sudah menjadi kebiayasaan cenderung akan mencari ikan untuk menghilangkan laparnya. Orang-orang ini mungkin tidak menyukai daging sapi atau spageti karena, menurut mereka, makanan itu tidak diasosiasikan dengan pemuasan dorongan rasa lapar.

Keyakinan ekuivalensiKetika “sub tujuan” memiliki efek yang sama dengan tujuan itu sendiri, maka sub tujuan itu dikatakan merupakan keyakinan ekuivalensi.

Ekspektasi medanField expectancies (ekspektasi medan) berkembang dengan cara yang serupa dengan perkembangan peta kognitif. Organisme belajar bahwa sesuatu akan menimbulkan sesuatu yang lain. Setelah melihat isyarat tertentu, misalnya, ia akan berharap isyarat lain akan muncul. Pengetahuan umum tentang lingkungan ini digunakan untuk menjelaskan belajar laten, belajar ruang, dan penggunaan jalan pintas.

Mode medan-kognisiField-cognition mode (mode medan kognisi), yakni strategi,suatu cara, untuk menangani situasi pemecahan problem. Ini adalah tendensi untuk mengatur bidang perseptual dalam konfigurasi tertentu. Tolman menduga bahwa tendensi ini adalah bawaan namun dapat dimodifikasi oleh pengalaman. Dalam kenyataannya, sebagian besar hal penting mengenai strategi yang berhasil dalam memecahkan problem adalah strategi itu akan di uji cobakan lagi dalam situasi yang sama di masa mendatang. Jadi, mode medan kognisi yang efektif, atau strategi pmecahan masalah yang efektif, di transfer ke problem terkait.

Diskriminasi doronganDrive discrimination (diskriminasi dorongan) berarti bahwa organisme dapat menentukan keadaan dorongan mereka sendiri dan karenanya dapat merespon dengan benar.

Pola motorTolman menunjukkan bahwa teorinya, terutama dengan asosiasi ide dan tidak terlalu berhubungan dengan cara ide-ide itu menjadi diasosiasikandengan perilaku. Belajar motor pattern (pola motor) adalah usaha untuk memecahkan kesulitan ini, Tolman menerima pendapat Gutrhie tentang bagaimana respon diasosiasikan menjadi stimuli. Sepert tampak dalam perkataannya berikut ini: “saya mencoba menerima dan sepakat dengan Guthrie bahwa kondisi dimana pola motor di dapatkan mungkin adalah kondisi dimana gerakan tertentu membuat hewan menjauhi stimuli yang hadir saat gerakanitu dimulai

Kelebihan teori Tolman yaitu jika kita memandang kemampuan Tolman memasukkan aspek-aspek terbaik behaviorisme ke dalam teori kognitif, luasnya variabel yang ia gunakan, kita bisa menyimpulkan bahwa Tolman adalah teoritisi pembelajaran terbesar. Jika melihat pembahasan belajar laten oleh Tolman dan, eksperimen jalur teka-teki melingkar oleh Tolman yang menunjukkan bahwa tikus dapat belajar relasi spasial dan respon sederhana, telah diidentifikasikan sebagai perintis studi tentang kognisi komparatif dewasa ini. Penelitian Tolman tentang belajar spasial (ruang) dan peta kognitif masih menjadi pedoman riset terhadap belajar ruang pada manusia non manusia.

Diantara hal-hal yang menjadi kekurangan dalam Teori belajar Tolman adalah teorinya tidak mudah diteliti secara empiris, teorinya banyak menggunakan variabel individual, bebas dan intervening yang sulit untuk dijelaskan semuanya. Menurut Hill (2014) menjelaskan bahwa Tolman mendiskusikan jenis hukum yang dibutuhkan psikologi, namun ia tidak pernah mengembangkan hukum-hukum ini. Ia melakukan eksperimen-eksperimen untuk menunjukkan bahwa rumusan-rumusan kognitif itu lebih baik. namun eksperimenya mengenai rumusan kognitif ini tidak cukup teliti sehingga tidak bisa digunakan untuk memprediksi. Ia menyediakan kerangka kognitif untuk menginterprestasi pembelajaran, namun ia tidak memberikan hokum-hukum pembelajaran mendetail seperti pada Skinner atau teori yang teliti seperti pada Hull, atau prinsip umum pembelajaran seperti pada Gutrhie.

Seperi  yang diungkapkan  oleh  Tolman  bahwa apabila  suatu  rangsangan  tertentu menimbulkan  respon  tertentu,  maka akan kita lihat rangsangan itu dalam perspektif   yang  baru.  Tolman menekankan  apabila  kita  ingin memahami prilaku/karakter seseorang   maka   kita   harus mengetahui  tujuan orang  tersebut. Untuk  mengetahui  tujuan  seseorang makan  harus  paham  akan  bahasa yang   digunakan,   Bukti   yang mendukung  dalam  teori  ini  adalah seorang  anak  yang  ingin  selalu berlaku sopan dan menghargai guru, maka bahasa yang ia gunakan akan sopan  dan  baik  ketika  berhadapan dengan guru. bahasa   yang   notabenenya sebagai  alat komunikasi mempunyai dampak yang besar terhadap perilaku manusia.  Hal  tersebutlah  yang meyakini   setiap   tuturan   yang diucapkan   manusia   mempunyai karakter  tersendiri. Apabila  kaum akademisi  dan  masyarakat  peka terhadap hal ini tentu saja kesusahan dalam   menanamkan   nilai-nilai pendidikan  karakter  di  lingkungan formal  dapat  teratasi (Alawiyah, 2017).

 

2.1.2 Teori Medan Gestalt dari Wertheimer

Max Wertheimer (1880-1943) dianggap sebagai pendiri psikologi Gestalt setelah dia menemukan penemuan yang dinamakan dengan phi phenomenon. Pada tahun 1923, Wertheimer mengemukakan hukum-hukum Gestalt dalam bukunya yang berjudul “Investigation of Gestalt Theory”. Hukum-hukum itu antara lain: a) Law of Proximity (Hukum Kedekatan), yaitu unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu, b) Law of Closure (Hukum Ketertutupan), yaitu orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap, c) Law of Equivalence (Hukum Kesamaan), yaitu sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki (Rohmansyah, 2017).

Dalam    perjalanan    liburan    di    awal karirnya  sambil  naik  kereta  api,  Wertheimer melihat  sinar  berkedip-kedip  (hidup  dan  mati) dengan  jarak  tertentu,  sinar  itu  memberi  kesan sebagai  satu  sinar  yang  bergerak  datang  dan pergi  tidak  putus-putus.  Dari  kejadian  tersebut Wertheimer memperoleh gagasan untuk sebuah eksperimen  yang  paling  penting  darinya.  Dia mulai mengerjakan teka-teki yang menjadi titik awal    memunculkan    serangkaian    khayalan-khayalan    gerakannya, jika    mata    melihat perangsang  dengan  cara  tertentu,makaakan memberikan ilusi gerakan. Wertheimer menyebut    gejala    ini    dengan    istilah Phi Phenomenon (Lefrancois, 1995).

Teori belajar menurut psikologi gestalt ini sering pula disebut field theory atau insight full learning. Melihat kepada nama teori ini dan kepada aliran psikologi yang mendasarinya, yakni psikologi gestalt, jelaslah kiranya bahwa pendapat teori ini berbeda dengan pendapat-pendapat teori behavioristik. Menurut para ahli psikologi gestalt, manusia bukan hanya sekedar makhluk reaksi yang hanya berbuat atau bereaksi jika ada perangsang yang mempengaruhinya. Manusia itu adalah individu yang merupakan kebulatan jasmani dan rohani. Sebagai induvidu, manusia bereaksi atau lebih tepat berinteraksi dengan dunia luar dengan kepribadiannya dan dengan caranya yang unik pula. Tidak ada dua orang yang mempunyai pengalaman yang benar-benar sama atau identik terhadap objek atau realita yang sama (Purwanto, 2007).

Kata gestalt berasal dari bahasa Jerman yang secara harfiah berarti “keseluruhan”, dalam kaitannya dengan teori psikologi di sini berarti bahwa di dalam pengamatan, pikiran tidaklah membentuk pengamatan keseluruhan dari bagain-bagain kecil benda yang diamati itu, melainkan bagian-bagian kecilnya. Psikologi gestalt ini sebenarnya merupakan salah satu bagian yang penting dari kelompok yang lebih besar yakni kelompok psikologi kognitif. Kalau kelompok teori psikologi hubungan stimulus[1]respons (S – R) mengkaji unit-unit kecil perilaku atau unit-unit kecil pembelajaran, maka kelompok psikologi kognitif mengkaji keseluruhan perilaku atau keseluruhan pembelajaran sebagai satu keseluruhan dalam peringkat yang lebih abstrak. Perbedaan lain, kalau teori hubungan Stimulus – Respons selalu mengkaji unit-unit perilaku atau pembelajaran yang dapat diamati secara langsung dan dapat diukur yaitu rangsangan (stimulus) dan gerak balas (respons) yang dapat diukur, maka teori kognitif mempunyai kecenderungan untuk menggunakan intuisi untuk menerangkan hakikat pembelajaran dan membicarakan proses-proses tersembunyi yang terjadi pada waktu belajar, yaitu proses-proses mental yang tidak dapat diamati. Jadi dapat disimpulkan bahwa, teori hubungan Stimulus – Respons mengkaji data-data seperti perilaku, kelakukan perilaku, penguatan dan pengukuhan, perilaku yang ada tetapi tidak tampak jelas, peristiwa pengukuhan, rangsangan pengukuhan, dan sebagainya. Sedangkan teori kognitif membicarakan persepsi-persepsi, pengertian-pengertian dalam (di dalam otak) dan proses-proses mental lainnya yang tidak dapat diulang, tidak dapat diukut, dan tidak dapat diobservasi secara langsung.

Jasa terbesar teori gestalt ini adalah dalam bidang persepsi yang oleh teori hubungan Stimulus – Respons tidak dapat dijelaskan. Pada   tahun   1910,   ketika   berusia   30 tahun,   Max   memperlihatkan   ketertarikannya untuk   meneliti   tentang   persepsi   setelah   ia melihat sebuah alat yang disebut "stroboscope" (benda  berbentuk  kotak  yang  diberi  alat  untuk melihat   ke   dalam   kotak   tersebut)   di   toko mainan anak-anak. Setelah melakukan beberapa  penelitian  dengan  alat  tersebut,  dia mengembangkan  teori  tentang  persepsi  yang sering disebut dengan teori Gestalt. Eksperimen Wertheimer mengenai Scheinbewegung   (gerak   semu)   memberikan kesimpulan,  bahwa  pengamatan  mengandung hal   yang   melebihi   jumlah   unsur-unsurnya. Inilah  gejala  gestalt.  Penelitian  dalam  bidang optic   ini   kemudian   juga   dipandang   berlaku (kesimpulan serta prinsip-prinsipnya) di bidang lain, seperti misalnya di bidang belajar (Hidayati, 2011). Persepsi merupakan satu kesadaran yang bulat yang diperleh oleh akal (mind) melalui proses pancaindra bila suatu rangsangan tertentu berhadapan dengan pancaindra. Hal ini dapat terjadi karena peranan latar belakang rangsangan dan kemampuan membuat organisasi. Menurut teori gestalt ni setiap keseluruhan gestalt lahir sebagai satu bentuk yang menggambarkan satu latar belakang dan persepsi membuat satu organisasi yang segera dari keduanya. Misalnya, dalam persepsi pendengaran kita mendengar sebuah lagu yang menggambarkan satu karya seni, maka dalam persepsi penglihatan kita melihat matahari terbenam dengan latar belakang langit yang agak samar-samar. Berdasarkan hal itu, maka teori gestalt memperkenalkan lima buah hukum organisasi, yaitu:

a.    Hukum Pragnanz

Hukum ini menyatakan bahwa organisasi psikologi cenderung bergerak ke arah keadaan pragnanz, yaitu ke arah gestalt yang sempurna. Satu gestalt yang sempurna selalu berbentuk sederhana, teratur, kukuh atau stabil, dan merupakan satu organisasi struktur yang maksimal dari peristiwa-peristiwa atau benda[1]benda. Hukum ini merupakan satu prinsip keseimbangan yang mengatakan bahwa setiap pengalaman cenderung menyempurnakan dirinya dalam keadaan sebaik mungkin, yaitu gestalt yang sempurna. Hal-hal yang tidak teratur akan dibuang untuk mencapai keteraturan. Contohnya dalam kegiatan terbatas, bercakap dengan anak-anak atau dengan teman kita sering mendengar kalimat[1]kalimat yang tidak sempurna, tidak lengkap, atau terputus-putus, namun kita selalu cenderung untuk menjadikan gestalt yang sempurna, serta membuang unsur-unsur yang merusak gestalt itu. Begitu juga dalam pemerolehan bahasa pertama, kalimat anak-anak banyak yang tidak gramatikal dan tidak lengkap, tetapi persepsinya selalu membentuk gestalt sempurna dari data-data linguistik itu untuk menuranikan tata bahasanya.

b.   Hukum Kesamaan

Hukum kesamaan atau persamaan dalam persepsi situasi rangsangan penuh menyatakan bahwa benda-benda yang sama (bentuk atau warna) cenderung membentuk atau berkelompok sebagai satu keseluruhan. Umpamanya dalam persepsi sekumpulan lingkaran yang ukurannya bermacam-macam, akan dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok menurut ukurannya. Lingkaran kecil dalam satu kelompok, lingkaran sedang dalam satu kelompok, dan lingkaran besar juga dalam satu kelompok. Oleh karena itu, dalam pembelajaran bahasa, kata-kata atau suku-suku kata yang tidak mempunya persamaan. Adanya persamaan pada data linguistik ini memudahkan proses pembelajaran bahasa, baik dalam belajar bahasa pertama maupun bahasa kedua. Jadi, bisa dikatakan hukum persamaan ini mempunyai implikasi yang sangat penting dalam pembelajaran bahasa.

c.    Hukum Proksimiti atau Kedekatan

Hukum ini menyatakan bahwa persepsi cenderung menggabungkan benda-benda, peristiwa-peristiwa, dan hal-hal yang berdekatan satu sama lain dalam satu ruang atau waktu. Umpamanya, sejumlah garis sejajar yang jaraknya berbeda-beda, maka semua garis berjarak pendek akan digabungkan oleh persepsi ke dalam satu unit, sedangkan garis-garis yang jaraknya panjang akan digabungkan ke dalam unit lain. Demikian juga peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa-masa atau waktu-waktu yang berdekatan akan digabungkan oleh persepsi, sehingga mempunyai hubungan yang lebih erat. Implikasi hukum ini dalam pembelajaran bahasa adalah kata-kata atau frasa-frasa dan ungkapan-ungkapan yang bersamaan maknanya (jadi mengikuti hukum persamaan) hendaklah muncul bersama-sama dalam masa-masa yang teratur menuruti hukum proksimiti atau kedekatan agar lebih mudah dipelajari dan diingat. Jika bahan-bahan ini sering muncul bersama-sama pada waktu-waktu yang teratur dan tidak terlalu jauh jaraknya, maka pembelajaran akan lebih mudah, lebih lancar, dan lebih cepat. d. Hukum Penutupan Hukum ini mengatakan bahwa bidang-bidang yang tertutup (maksudnya selesai dan wujud), lebih stabil dan lebih mudah untuk membentuk gambar dalam persepsi dibandingkan dengan bidang-bidang terbuka (belum selesai dan belum berwujud). Jadi, menurut hukum penutupan ini, ada satu kecenderungan nurani pada persepsi untuk mencapai satu bentuk yang berwujud dan bermakna yang pasti dari apa saja yang kita amati. Hal ini sejalan dengan hukum pragnanz, yakni pengalaman cenderung melengkapkan dirinya agar menjadi sebaik mungkin. Menurut hukum ini, kita selalu melihat sesuatu sebagai satu keseluruhan dan bukan bagian-bagian terpisah yang tidak bermakna.

d.   Hukum Kelanjutan Baik

Hukum ini juga merupakan satu hal dari hukum pragnanz, dan hampir serupa dengan hukum penutupa. Hukum ini diperkenalkan dan dikembangkan oleh Weitheimer. Hukum ini mengatakan bahwa persepsi kita cenderung melengkapkan bagian-bagian yang hilang dari peristiwa-peristiwa atau benda[1]benda yang kita amati. Jadi, persepsi cenderung bekerja sebagai garis lurus yang kelihatan berkelanjutan sebagai garis lurus, satu bagian dari lingkaran sebagai satu lingkaran, dan seterusnya. Jadi, hukum ini mengatakan bahwa kita cenderung mengingat kejadian-kejadian atau benda-benda sebagai telahs selesai, teratur, sebagai gestalt (keseluruhan) yang baik.

Rahyubi (2012: 77) dalam Pahliwandari (2016) menyatakan bahwa Kaum Gestaltis berpendapat bahwa pengalaman itu berstuktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan. Menurut pandangan Gestaltis, semua kegiatan belajar menggunakan pemahaman terhadap hubungan-hubungan, terutama hubungan antara bagian dan keseluruhan. Intinya, tingkat kejelasan dan keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan kemampuan belajar seseorang dari pada dengan hukuman dan ganjaran. Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain adalah sebagai berikut:

(1)   Pengalaman tilikan (insight), bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.

(2)   Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning), kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran;

(3)   Perilaku bertujuan (pusposive behavior), bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan tujuan yang ingin dicapai;

(4)   Prinsip ruang hidup (life space), bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana seseorang berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik; dan

(5)   Transfer dalam belajar, yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.

Abdurahman (2015) menyebutkan kelebihan teori gestalt sebagai berikut:

1.      Menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.

2.      Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh siswa. Selain itu, latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.

3.      Siswa dapat aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru berfungsi sebagai mediator, fasilitator dan teman yang membuat situasi menjadi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan dari peserta didik.

4.      Siswa dengan mudah dapat mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri.

5.      Siswa dapat dengan mudah berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif.

6.      Siswa mempunyai kesempatan untuk mencoba gagasan baru.

Adapun kekurangan teori Gestalt menurut Abdurrahman (2015) adalah selain jasa dan sumbangannya yang sangat berharga bagi belajar di sekolah dengan insight, namun terdapat juga celah-celah kelemahan dan kekurangannya. Seperti halnya teori belajar koneksionisme, terhadap teori gestaltpun dapat diajukan pertanyaan, bolehkah belajar dengan insight itu dianggap sebagai prototipe belajar? Dari satu segi, teori ini nampak menunjukkan beberapa kejadian belajar yang umum, sehingga lebih mudah menganalisisnya. Misalnya, kalau anak dibimbing untuk ”melihat ’ hubungan, seperti tambah dan kali, antara berat dan ”daya tarik” gaya berat, maka sering ia mampu memperlihatkan pemahaman. Sedangkan dari segi yang lain, memang sulit menemukan pemahaman dalam mempelajari hal-hal yang sangat beragam. Misalnya: anak tidak dapat mempelajari nama tanam-tanaman atau binatang-binatang dengan insight. Dia tidak dapat membaca dengan insight, demikian pula dia tidak tidak dapat berbicara dengan bahasa asing. Siswa Biologi tidak dapat mempelajari struktur dan fungsi hewan dengan pemahaman. Tegasnya, pemahaman itu tidak dapat menjadi prototipe untuk sejumlah belajar yang biasa dilakukan manusia. Barangkali, pemahaman barulah terjadi kalau kita belajar dengan ”pemecahan masalah”, walaupun dalam kenyataannya, tidak semua hal merupakan masalah, boleh jadi hanya merupakan fakta atau prinsip.

 

2.1.3 Teori Medan dari Lewin

Menurut Lewin bahwa masing-masing individu berada dalam medan kekuatan yang bersifat psikologis. Medan dimana individu bereaksi disebut life space. Life space mencakup perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya; orang-orang yang dijumpainya, objek material yang ia hadapi, serta fungsi kejiwaan yang ia miliki. Jadi menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan yaitu struktur medan kognisi dan kebutuhan motivasi internal individu (Anidar, 2017).

Ekawati (2019) menjelaskan bahwa Kurt Lewin mengembangkan suatu teori belajar Cognitive-Field dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan pisikologi sosial. Menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif'. Lewin berpendapat bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan bail: yang berasal dari individu seperti tujuan, kebutuhan tekanan kejiwaan maupun yang berasal dari luar individu seperti tantangan dan permasalahan. Seorang psikolog, Kurt Lewin (1935, 1936) mengkaji perilaku sosial melalui pendekatan konsep "medan" atau "field" atau "ruang kehidupan" —life space. Kurt Lewin merumuskan perilaku sebagai B = f (P, E), dimana B,P, dan E berturut-turut adalah behavior (perilaku), the person (individu), dan the environment (lingkungan). Untuk memahami konsep ini perlu dipahami bahwa secara tradisional para psikolog memfokuskan pada keyakinan bahwa karakter individual (insting dan kebiasaan). bebas - lepas dari pengaruh situasi dimana individu melakukan aktivitas. Namun Lewin kurang sepaham dengan keyakinan tersebut. Menurutnya penjelasan tentang perilaku yang tidak memperhitungkan faktor situasi tidaklah lengkap. Dia merasa bahwa semua peristiwa psikologis apakah itu berupa tindakan, pikiran, impian, harapan, atau apapun, kesemuanya itu merupakan fungsi dari "ruang kehidupan" individu, dan lingkungan dipandang sebagaisebuah konstelasi yang saling tergantung satu sama lainnya. Artinya "ruang kehidupan" juga merupakan determinan bagi tindakan, impian, harapan, pikiran seseorang. Lewin memaknai "ruang kehidupan'' sebagai seluruh peristiwa (masa Iampau, sekarang, masa datang) yang berpengaruh pada perilaku dalam situasi tertentu. Bagi Lewin, pemahaman atas perilaku seseorang senantiasa harus dikaitkan dengan konteks —lingkungan dimana perilaku tertentu ditampilkan. Intinya, teori medan berupaya menguraikan bagaimana situasi yang ada (field) di sekeliling individu bepengaruh pada perilakunya. Sesungguhnya teori medan mirip dengan konsep "gestalt" dalam psikologi yang memandang bahwa eksistensi bagian-bagian atau unsur-unsur tidak bisa terlepas satu sama lainnya. Misalnya, kalau kita melihat bangunan, kita tidak melihat batu bata, semen, kusen, kaca, secara satu persatu. Demikian pula kalau kita mempelajari perilaku individu, kita tidak bisa melihat individu itu sendiri, lepas dari konteks di mana individu tersebut berada. Contohnya seorang anak berperilaku agresif karena dia berada di lingkungan yang agresif (berisi orang-orang yang agresif pula). Ciri-ciri utama dari teori medan Lewin adalah : (1) tingkah laku adalah suatu fungsi dari medan yang ada pada waktu tingkah laku itu terjadi ; (2) analisis mulai dengan situasi sebagai keseluruhan dari mana bagian-bagian komponennya dipisahkan : dan (3) orang yang kongkrit dalam situasi yang kongkrit dapat digambarkan secara matematis. Medan didefinisikan sebagai "keseluruhan fakta-fakta yang bereksistensi yang dipandang, sebagai saling tergantung."

Teori medan (field theory) diperkenalkan oleh Kurt Lewin setelah dia meninggalkan teori medan gestalt dan lalu mengembangkan teorinya sendiri. Lewin mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap peyelidikan mengenai motivasi perilaku manusia yang menurut padangannya merupakan tenaga atau kekuatan yang berhubungan erat dengan sistem ketegangan psikologi. Proses mengembangkan teori ini, Lewin menggunakan konsep ilmu fisika yang disebut medan dinamik (dymanic field) seperti medan magnet, yakni semua partikel berinteraksi satu sama lain, dan setiap partikel dipengatuhi oleh kekuatan yang ditentukan oleh medan magnetik itu pada suatu waktu tertentu. Tampaknya, pengaruh behaviorisme terasa juga di dalam perkembangan teori ini meskipun hanya sedikit. Lewin telah mengembangkan satu konsep penting dalam teorinya yang hampir sama dengan teori medan gestalt, yakni konsep “ruang penghidupan” di mana setiap perilaku berlangsung. Menurut Lewin ruang penghidupan seseorang terdiri atas:

a.    Diri sendiri, keperluan utama sendiri, keperluan diri pada satu saat tertentu, maksud dan rencana sendiri.

b.    Lingkungan perilaku orang itu, lingkungan fisik, lingkungan sosial, lingkungan konsepsi sebagai yang ditanggapinya dalam hubungannya dengan keperluan[1]keperluan dan maksud-maksudnya.

Keadaan setiap bagian dari ruang penghidupan ini, misalnya diri sendiri, bergantung pada keadaan dan antarhubungan di antara setiap bagian lain dengan diri sendiri pada waktu tertentu itu. Setiap pengamat memandang penghidupan ini secara objektif dan tidak secara subjektif. Oleh karena itu, pendekaran ini tampak dipengaruhi oleh behaviorisme. Meskipun demikan, teori Lewin ini dimasukkan dalam kelompok teori kognitif karena peranan diri sendiri (organism) di dalam ruang penghidupan itu sangat besar, terutama dalam menentukan reaksi (respons) atas organisme individu. Di ruang penghidupan ini terdapat tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh individu itu sesuai dengan keperluan-keperluan individu tersebut. Tujuan-tujuan yang ingin dicapai inilah yang membangkitkan kekuatan penarik atau kekuatan positif dan kekuatan penolak atau kekuatan negatif yang menimbulkan sistem-sitem ketegangan yang akan menentukan arah pergerakan individu itu di dalam ruang penghidupannya.

Menurut Lewin, sistem-sistem ketegagan inilah yang menjadi dasar perilaku, sehingga dalam menentukan sifat-sifat ketegangan ini organisme itu sendiri memegang peranan yang sangat penting. Umpamanya, seseorang setelah mengamati ruang penghidupannya berdasarkan keperluan-keperluannya telah merasa tertarik pada sesuatu tujuan tertentu yang berkaitan dengan keperluannya itu, tetapi dalam usahanya untuk mencapai tujuan itu muncul suatu halangan yang menghambat tercapainya tujuan itu, maka halangan ini akan membangkitkan bebagai ketegangan yang bisa menimbulkan berbagai pengaruh atau akibat sesuai dengan keadaan ruang penghidupan individu itu. Akibat dari ketegangan ini mungkin seseorang itu akan mecari jalan lain untuk mencapai tujuannya, atau mencari tujuan lain yang lebih menarik, atau juga dia akan meninggalkan tujuannya itu untuk sementara waktu atau untuk selamanya. Adanya tiga buah konsep penting dalam teori Lewin, yaitu tujuan, pengamatan atau persepsi, dan motivasi untuk mencapai tujuan itu. Ke dalam teori ruang penghidupan ini dimasukkan juga ganjaran dan hukuman. Ganjaran ini memiliki konotasi kognitif sebab Lewin percaya bahwa setiap orang dapat menilai ganjaran dan hukuman itu berkesan atau tidak.

Mustapid (2021) menjelaskan bahwa teori belajar menurut Kurt Lewin adalah teori medan yang dipelajari sebagai sekumpulan konsep dengan dimana seseorang dapat menggambarkan kenyataan psikologis. Konsep konsep ini harus cukup luas untuk dapat diterapkan dalam semua bentuk tingkah laku, dan sekaligus juga cukup spesifik untuk menggambarkan orang tertentu dalam suatu situasi. konkret. Lewin juga menggolongkan teori medan sebagai “suatu metode untuk menganalisis hubungan hubungan kausal dan untuk membangun konstruk-konstruk ilmiah.”

 

 

2.1.4 Teori Perkembangan Kognitif dari Piaget

 

Pada tahun 1969, Sinclair de Zwart menyatakan bahwa sebenarnya Piaget belum pernah memperkenalkan secara eksplisit suatu teori pemerolehan (akuisisi) dan pembelajaran bahsa. Teori pembelajaran yang digariskannya dilakukan berdasarkan teori perkembangan kognitif atau perkembangan intelek yang dikembangkannya. Oleh karena itu, Simanjuntak (1987) memasukkan teori Piaget ini ke dalam kelompok teori kognitif. Upaya memperkenalkan teori perkembangan kognitif, Piaget terlebih dahulu menjelaskan apa yang dimaksud dengan kecerdasan. Menurut Piaget kecerdasan adalah satu bentuk keseimbangan atau penyeimbangan kea rah mana semua fungsi kognitif bergerak. Penyeimbangan ini tidak berlaku secara tepat dan otomatis seperti yang dirumuskan oleh teori Gestalt, melainkan merupakan suatu “imbuhan” untuk satu gangguan luar. Jika terdapat satu gangguan luar, maka individu akan melakukan satu kegiatan untuk mengimbuhkan gangguan ini. Imbuhan ini merupakan satu usaha untuk membatalkan satu transformasi, yaitu gangguan dengan cara membangkitkan satu transformasi berbalik. Jadi, imbuhan yang mencampuri penyeimbangan ini merupakan satu ide pembalikan yang penting dan pembalikan inilah yang menggambarkan dengan tepat operasi-operasi kecerdasan.

Jean Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme, sedangkan teori pengetahuannya dikenal dengan teori adaptasi kognitif. Sama halnya dengan setiap organisme harus bcradaptasi secara fisik dengan lingkungan untuk dapat bertahan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Manusia bcrhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapinya secara kognitif (mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkan skema pikiran lebih umum, atau perlu perubahan. menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut. Kaitannya dengan perkembangan kognitif, Jean Piaget mengemukakan tahap-tahap yang harus dilalui seorang anak dalam mencapai tingkatan perkembangan proses berpikir formal (Ekawati, 2019).

Teori ini tidak hanya diterima secara luas dalam bidang psikologi tetapi juga sangat besar pengaruhnya di bidang pendidikan. Tahapan tersebut adalah :

(1)   Tahap Sensori Motor/Deria Motor (0-2 tahun)

Anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui perubahan fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indera). Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari objek yang asalnya terlihat kemudian menghilang dari pandangannnya, atau perpindahan terlihat. Contoh : Anak mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan.

(2)   Tahap Pra Operasi (2- 6 tahun)

Pada tahap ini adalah tahap pengorganisasian operasi kongkrit. lstilah operasi yang digunakan disini adalah berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek. menata benda-benda menurut Lyman tertentu dan membilang. Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pengalaman konkrit dari pada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat objek-objek yang kelihatan berbeda, maka ia mengatakan berbeda pula. Contoh : Jika ada lima kelereng yang sama besar di atas meja, lalu kelereng itu diubah letaknya menjadi agak berjauhan maka anak pada tahap ini akan mengatakan letak kelereng yang jauh lebih banyak.

(3)   Tahap Operasi Konkrit (6- 12 tahun)

Anak-anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada di sekolah dasar. Ditahap ini anak: telah memahami operasi logis dengan bantuan benda- benda kongkrit. Kemampuan ini tenwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasikan dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang bcrbeda secara objektif dan berfikir ireversibel. Contoh : seorang anal: diberi 20 bola kayu, 15 buah diantaranya berwarna merah. Apabila ditanyakan manakah yang lebih banyak bola kayu atau bola benvarna merah? Anak pada tahap pra operasional menjawab bawa bola merah lebih banyak, sedangkan anak pada operasi kongkrit menjawab bola kayu lebih banyak dari pada bola rnerah.

(4)   Tahap Operasi Formal (12 tahun ke atas)

Tahap ini rnerupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitas. Anak pada tahap ini sudah mampu mengadakan penalaran dengan menggunakan hal-hal abstrak. Penalaran yang terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu menggunakan simbol-simbo atau ide.

Piaget berpendapat bahwa pemerolehan bahsa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan kognitif secara keseluruhan dan khususnya sebagai bagian dari kerangka fungsi simbolik. Bagi Piaget, bahasa merupakan hasil dari perkembangan intelek secara keseluruhan dan sebagai lanjutan pola-pola perilaku yang sederhana. Perkembangan kosa kata yang sangat pesat dialami anak-anak ketika berumur antara satu setengah sampai dua tahun, dijelaskan oleh Piaget sebagai hasil dari peralihan intelek kepada representasi akal (mental).

Teori kognitif Piaget telah memberikan dampak besar pada teori dan praktik pendidikan. Dan telah mengilhami dunia pendidikan untuk merancang lingkungan, kurikulum, materi, dan pengajaran yang sesuai dengan perkembangan berpikir anak-anak (Ninawati, 2012). Teori perkembangan kognitif Piaget berimplikasi dalam dalam pembelajaran, sebagai berikut:

1.    Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.

2.    Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.

3.    Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.

4.    Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.

5.    Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.

Teori Piaget tidak luput dari kritikan. Beberapa pertanyaan muncul tentang estimasi terhadap kompetensi anak di level perkembangan yang berbeda-beda; tentang tahap-tahap perkembangan dan pelatihan anak untuk melakukan penalaran pada level yang lebih tinggi. Mengenai estimasi kompetensi anak, beberapa kemampuan kognitif muncul lebih awal ketimbang yang diyakini Piaget. Misalnya pada aspek objeck permanence, anak usia 2 tahun dalam beberapa konteks tertentu bersifat non-egosentris. Ketika mereka menyadari bahwa orang lain tidak melihat suatu objek, mereka meneliti apakah orang itu buta atau sedang mengarahkan perhatian pada tempat yang lain. Konservasi angka telah muncul sejak usia 3 tahun, sementara Piaget berpendapat bahwa kemampuan ini baru muncul pada usia 7 tahun. Kemampuan kognitif lain dapat muncul lebih lambat ketimbang yang dianggap Piaget. Banyak remaja masih berpikir dalam tahap opersional konkret atau baru saja akan menguasai opersional formal. Bahkan banyak orang dewasa bukan pemikir operasional formal. Piaget juga memandang bahwa tahap perkembangan kognitif sebagai struktur pemikiran yang seragam. Akan tetapi beberapa konsep operasional konkret tidak muncul secara sinkron atau serempak. Para teoritisi developmental kontemporer sepakat bahwa perkembangan kognitif anak tidak bertahap seperti yang diyakini oleh Piaget. Kritikan juga mengarah pada pandangan Piaget tentang “melatih anak untuk menalar pada level yang lebih tinggi”. Beberapa anak yang pada tahap perkembangan kognitif (seperti pra-opersional) dapat dilatih untuk menalar seperti tahap kognitif yang lebih tinggi (misalnya opersional konkret). Ini menimbulkan problem pada Piaget. Dia mengatakan bahwa pelatihan seperti itu tidak efektif dan dangkal, kecuali si anak berada dalam titik transisi kedewasaan antara tahapan tersebut.

2.1.5 Teori Genetik Kognitif dari Chomsky

Seperti halnya dengan Piaget, Chomsky juga tidak pernah memperkenalkan teori pemerolehan dan pembelajaran bahasa secara khusus. Namun, karena teori linguistik yang diperkenalkannya pada tahun 1957, 1965, dan 1968, serta artikel ulasannya mengenai buku Skinner yang berjudul “Verbal Behavior” tahun 1957 dalam Language tahun 1959 telah mengubah secara drastis perkembangan psikolingustik, maka satu teori pemerolehan dan pembelajaran bahasa telah dapat disimpulkan dari teori generatif transformasinya yang kini dikenal dengan nama teori genetik kognitif. Teori ini digolongkan ke dalam kelompok teori kognitif karena teori ini menekankan pada otak (akal dan mental) sebagai landasan dalam proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa. Teori genetik dan kognitif ini dikemukakan oleh Avram Noam Chomsky, yang merupakan seorang ahli psikolinguistik  Amerika serikat. Metode Chomsky sangat menaruh perhatian terhadap aspek akal. Ia membahas masalah-masalah bahasa dan psikologi, kemudian membingkainya menjadi satu bingkai dengan bentuk bahasa kognitif.

Teori generatif-transformatif yang diletakkan oleh Chomsky adalah teori modern paling menonjol yang mencerminkan kemampuan akal, membicarakan masalah kebahasaan dan pemerolehannya, serta hubungannya dengan akal dan pengetahuan manusia . Menurut teori ini, kapasitas genetik manusia sejak lahir juga memengaruhi kemampuannya untuk memahami bahasa di sekitar sehingga hasilnya adalah sebuah kontruksi sistem bahasa yang tertanam dalam diri (Permata, 2015).

Chaer (2011) menjelaskan bahwa Pada tahun 1959 Chomsky dengan keras menentang teori pembiasaan operan dalam bahasa yang dikemukakan Skinner. Menurut Chomsky tidaklah ada gunanya sama sekali untuk menjelaskan proses pemerolehan bahasa tanpa mengetahui dengan baik apa sebenarnya bahasa sebagai benda yang diperoleh itu. Agar dapat menerangkan hakikat proses pemerolehan bahasa, di samping memahami apa sebenarnya bahasa itu, kita tidak boleh menyampingkan pengetahuan mengenai struktur dalam organisme (manusia), yakni bagaimana cara-cara orang (organisme) memproses masukan informasi, dan bagaimana cara-cara perilaku berbahasa itu diatur. Semua cara ini ditentukan oleh struktur awal yang dibawa sejak lahir yang sangat rumit, dan proses perkembangannya diatur menurut proses pematangan genetik dan pengalaman-pengalamn yang telah lalu. Teori genetik kognitif ini didasarkan pada satu hipotesis yang disebut hipotesis nurani. Hipotesis ini mengatakan bahwa otak manusia dipersiapkan secara genetik untuk berbahasa. Oleh karena itu, otak manusia telah dilengkapi dengan struktur bahasa universal dan apa yang disebut Language Acquisition Devive (LAD).

Di dalam proses pemerolehan bahasa, LAD ini menerima ucapan-ucapan dan data-data lain yang berkaitan melalui pancaindra sebagai masukan dan membentuk rumus[1]rumus linguistik berdasarkan masukan itu yang kemudian dinuranikan sebagai keluaran. Menurut Chomsky, teori behaviorisme (S – R) sangat tidak memadai untuk menerangkan proses-proses pemerolehan bahasa sebab masukan data linguistiknya sangat sedikit untuk dapat membangkitkan rumus-rumus linguistik. Chomsky berpendapat tidak mungkin seorang kanak-kanak mampu menguasai bahasa ibunya dengan begitu mudah yaitu tanpa diajar dan begitu cepat dengan masukan yang sedikit tanpa adanya struktur universal dan LAD itu di dalam otaknya secara genetik. Di dalam proses pemerolehan bahasa, tugas anak-anak dengan alat yang dimilikinya yaitu LAD adalah menentukan bahasa masyarakat manakah masukan kalimat[1]kalimat yang didengarnya itu akan dimasukkan. Struktur awal atau skema nurani yang dimilikinya semakin diperkaya setelah “bertemu” dengan masukan dari bahasa masyrakatnya, dan anak-anak akan membentuk teori tata bahasanya berdasarkan itu. Tata bahasa itu terus-menerus disempurnakan berdasarkan masukan yang semakin banyak, dan sesuai dengan proses pematangan otaknya. Setelah mencapai umur tiga atau empat tahun, tata bahasa sudah hampir sama baikya dengan tata bahasa yang dimiliki orang dewasa. Keadaan ini merupakan hal yang luar biasa mengingat betapa rumitnya bahasa yang sedang diperolehnya.

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Kesimpulan

Teori belajar kognitif adalah teori belajar yang mementingkan proses belajar daripada hasilnya. Teori ini menyatakan bahwa pada proses belajar, seseorang tidak hanya cenderung pada hubungan antara stimulus dan respon, melainkan juga bagaimana perilaku seseorang dalam mencapai tujuan belajarnya.

Teori belajar kognitif muncul dilatarbelakangi oleh ada  beberapa  ahli  yang  belum  merasa  puas  terhadap penemuan-penemuan  para  ahli  sebelumnya  mengenai  belajar,  sebagaimana dikemukakan oleh teori Behavior, yang menekankan pada  hubungan  stimulus-responsreinforcement. Munculnya teori kognitif merupakan wujud nyata dari kritik terhadap teori Behavior yang dianggap terlalu naïf, sederhana, tidak masuk akal dan sulit dipertanggungjawabkan secara psikologis.

 

3.2  Saran

Makalah ini telah membahas mengenai hakikat teori belajar kognitif. Penulis sangat berharapan masukan dan saran yang berarti demi diskursus wacana yang lebih kompleks terkait materi. Penulis berharap semakin bervariasi dalam pengkajian tentang teori belajar kognitif serta menjadi pemicu dalam produktifitas penelitian terkait.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdurrahman, A. (2015). Teori belajar aliran psikologi Gestalt serta implikasinya dalam proses belajar dan pembelajaran. Jurnal Al-Taujih: Bingkai Bimbingan dan Konseling Islami, 1(2), 14-21.

Alawiyah, T. (2017). Pengaruh Bahasa Lingkungan Formal terhadap Pendidikan Karakter Siswa TK Al-Ma’arif Rangkui Jaya KecamatanPedamaran Kabupaten Ogan Komering Ilir. Dialektologi, 2(2), 203-209.

Anidar, J. (2017). Teori belajar menurut aliran kognitif serta implikasinya dalam pembelajaran. Jurnal Al-Taujih: Bingkai Bimbingan dan Konseling Islami, 3(2), 8-16.

Chaer, Abdul. 2011. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

Ekawati, M. (2019). Teori belajar menurut aliran psikologi kognitif serta implikasinya dalam proses belajar dan pembelajaran. E-TECH: jurnal ilmiah teknologi pendidikan, 7(2), 1-12.

Farnham-Diggory, S. (1994). Paradigms of knowledge and instruction. Review of Educational Research, 64(3), 463-477..

Ganda, Y. (2004). Petunjuk praktis cara mahasiswa belajar di perguruan tinggi. Jakarta: Grasindo.

Hergenhahn, B. R., & Olson, M. H. (2009). Theories of Learning (Teori Belajar). terjemahan Tri Wibowo BS Jakarta: Kencana.

Hidayati, T. N. (2011). Implementasi Teori belajar gestalt pada proses pembelajaran. Jurnal Falasifa, 2(1), 1-19.

Hill, Winfred F. pengarang; Khozim, M. penerjemah; Agung Prihatmoko penyunting. (2014). Theories of learning : teori-teori pembelajaran/ Winfred F. Hill ; penerjemah, M. Khozim ; penyunting, Agung Prihatmoko. Bandung: Nusa Media.

Lefrancois, G. R. (1995). Theories of human learning: kro's report. Pacific Grove, Calif.; Toronto: Brooks/Cole Publishing Company.

Mu'min, S. A. (2013). Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Al-TA'DIB: Jurnal Kajian Ilmu Kependidikan, 6(1), 89-99.

Ninawati, M. (2012). Kajian dampak bilingual terhadap perkembangan kognitif anak sekolah dasar. Jurnal Ilmiah Widya, 218706.

Pahliwandari, R. (2016). Penerapan Teori Pembelajaran Kognitif dalam Pembelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Jurnal Pendidikan Olah Raga, 5(2), 154-164.

Passer, M. W., & Smith, R. E. (2004). Psychology: The science of mind and behavior. McGraw-Hill.

Permata, B. A. (2015). Teori generatif-transformatif Noam Chomsky dan relevansinya dalam pembelajaran bahasa Arab. EMPIRISMA: Jurnal Pemikiran Dan Kebudayaan Islam, 24(2).

Purwanto, Ngalim, 2007, Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosda Karya

Rohmansyah, N. A. (2017). Implikasi Teori Gestalt Dalam Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar. Malih Peddas (Majalah Ilmiah Pendidikan Dasar), 7(2), 195.

Safitri, V. N. (2019, November). Analisis Perilaku Molar Molekular Tokoh Utama dalam Novel Karena Aku Tak ButaKarya Redy Kuswanto. In Prosiding Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia (SENASBASA), 3(2).

Sarwono, S. W. (2020). Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang.

Tolman, E. C. (1949). There is more than one kind of learning. Psychological review, 56(3), 144.

Wade, C., & Tavris, C. (2007). Psikologi Jilid I, terjemahan Benedictine Wydyasinta dan Darma Juono. Jakarta: Erlangga.

PERANCANGAN PUSAT SUMBER BELAJAR

24 October 2022 16:21:25 Dibaca : 3707

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Pendidikan masa kini berorientasi pada partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran. Bentuk partisipasi aktif siswa akan lebih muda teraktualisasikan jika didukung oleh sarana dan prasarana pembelajaran. Guru sebagai fasilitator pembelajaran perlu menghadirkan dan memanfaatkan pusat sumber belajar sebagai fitur pendukung utama proses pembelajaran. Pusat sumber belajar pada hakikatnya dirancang untuk efisiensi dan pemaksimalan kualitas pembelajaran dalam artian variasi keberagaman muara sumber belajar dan kebaruannya memperkaya pembelajaran.

Pusat sumber belajar sebagai sebuah sistem atau wadah tentunya mempunyai fungsi, tujuan dan manfaat bagi dunia pendidikan khususnya proses pembelajaran. Pemahaman akan komponen pengembangan pusat sumber belajar harus diketahui seorang guru dalam rangka inovasi pembelajaran. Atas asumsi di atas yang melatarbelakangi penulis menyususn makalah yang berjudul “Perancangan Pusat Sumber Belajar”.

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:

Bagaimanakah pengertian pusat sumber belajar?Bagaimanakah fungsi pusat sumber belajar?Bagaimanakah tujuan pusat sumber belajar?Bagaimanakah manfaat pusat sumber belajar?Bagaimanakah pengembangan pusat sumber belajar?Bagaimanakah pusat sumber belajar di lembaga pendidikan? 

1.3  Tujuan Penulisan

Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:

Untuk mengetahui pengertian pusat sumber belajarUntuk memahami fungsi pusat sumber belajarUntuk memahami tujuan pusat sumber belajarUntuk memahami manfaat pusat sumber belajarUntuk memahami pengembangan pusat sumber belajarUntuk memahami pusat sumber belajar di lembaga pendidikan 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 PERANCANGAN PUSAT SUMBER BELAJAR

2.1.1  Pengertian Pusat Sumber Belajar

Kehadiran pusat sumber belajar atau disingkat PSB sebagai manifestasi pengembangan sebuah sistem yang merangkul segenap sumber belajar, media pembelajaran, instruksi dan pelatihan yang dimaksudkan menggenapi efisiensi dan pencapaian kualitas proses pembelajaran. Hakikat pusat sumber belajar yang berpedoman pada student centered learning atau berorientasi pada peran aktif siswa. Student centered learning menurut Priyatmojo (2010) adalah adalah pendekatan pembelajaran yang menempatkan siswa di pusat kegiatan pembelajaran dimana siswa berperan aktif mengembangkan kemampuannya untuk berpikir kreatif dan inovatif.

Pusat sumber belajar dalam bahasa Inggris resources centre atau learning resources centre adalah suatu unit dalam suatu lembaga (khususnya sekolah/universitas/perusahaan) yang berperan mendorong efektifitas serta optimalisasi proses pembelajaran melalui penyelenggaraan berbagai fungsi yang meliputi fungsi layanan (seperti layanan media, pelatihan, konsultansi pembelajaran, dan lain-lain), fungsi pengadaan/pengembangan (produksi) media pembelajaran, fungsi penelitian dan pengembangan, dan fungsi lain yang relevan untuk peningkatan efektifitas dan efisiensi pembelajaran (Gafur, 1999).

PSB merupakan bentuk bangunan mulai dari yang sederhana sampai yang rumit dan lengkap, yang dirancang dan diatur secara khusus dengan tujuan menyimpan,  merawat, mengembangkan, dan memanfaatkan koleksi sumber belajar dalam berbagai bentuknya baik secara individual maupun kelompok (Ferd Persifal dan H. Ellington dalam Rahadi, 2005: 190). PSB ini dirancang untuk memberikan kemudahan kepada peserta didik baik secara individu maupun kelompok atau guru untuk memanfaatkan sumber belajar yang tersedia sehingga proses belajar terjadi.

PSB disebut juga dengan media center, artinya suatu departemen yang memberikan fasilitas pendidikan, pelatihan, dan pengenalan melalui produksi bahan media (seperti slide, transparansi OHP, filmstrip, video, film, dan lain-lain) dan pemberian pelayanan penunjang seperti sirkulasi peralatan audiovisual, penyajian program-program video, pembuatan catalog, dn pemanfaatan pelayanan sumber-sumber belajar pada perpustakaan (Ricard N. Tunker dalam Rahadi, 2005: 190). Definisi ini mencerminkan fungsi dan isi dari PSB. Suatu PSB terdiri dari bagian-bagian sirkulasi media cetak dan non cetak, bagian produksi dan pelatihan media cetak dan non cetak, dan bagian pengembangan pembelajaran.

Sedangkan menurut Irving R. Merril dan Harold A. Drob PSB dalam Warsita (2008: 215) adalah

“an organized activity consisting of a director, staff, and equipment housed in one or more specialized facilities for the production, procurement, and presentation of instructional material and the provision of developmental and planning services related to the curriculum and teachimg on a general university campus”.   

 

PSB dipandang sebagai suatu kegiatan yang terorganisasi, terdiri dari Direktur PSB, staf, peralatan dan bahan-bahan pembelajaran yang ditempatkan dalam suatu lokasi yang mempunyai fasilitas khusus untuk perencanaan, pembuatan, penyajian, pengembangan, dan pelayanan perencanaan yang berhubungan dengan kurikulum dan pengajaran pada satuan pendidikan.

Berdasarkan beberapa penjabaran definisi pusat sumber belajar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pusat sumber belajar adalah lembaga/portal/platform dimana terdapat suatu kegiatan yang terorganisir yang memberikan fasilitas pendidikan, pelatihan, pengenalan melalui berbagai media, serta pemberian layanan penunjang pembelajaran, dengan maksud dan tujuan yaitu mengembangkan dan memanfaatkan berbagai sumber belajar untuk keperluan belajar mandiri atau kelompok agar menghasilkan pembelajaran yang efektif, efisien, dan menyenangkan sehingga tujuan dari belajar tersebut dapat tercapai.

2.1.2 Fungsi Pusat Sumber Belajar

Fungsi PSB meliputi (Mudhofir, 1992):

1.    Fungsi Pengembangan Sistem Instruksional

PSB membantu membuat rancangan dan memilih sumber belajar yang dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran. PSB juga menyediakan layanan konsultasi pengembangan kurikulum, penyusunan rencana pembelajaran, revisi program, dan lain-lain.

2.    Fungsi Pelayanan Media

PSB membantu memprogram media dan layanan dukungan yang dibutuhkan, baik oleh pendidik maupun peserta didik. Contohnya seperti menyediakan layanan perpustakaan cetak dan digital, konsultasi media pembelajaran, sistem media untuk kelompok kelas, serta pelayanan pembelian bahan dan peralatan.

3.    Fungsi Produksi

PSB menyediakan materi dan bahan instruksional yang tidak dapat diperoleh melalui sumber-sumber yang diperjual-belikan. Contohnya seperti memproduksi program audio, video, multimedia, media cetak, dan media sederhana. Fungsi ini juga meliputi penyiapan karya seni asli dan memelihara sistem.

4.    Fungsi Administrasi

Fungsi ini berhubungan dengan cara mencapai tujuan dan prioritas program. PSB membantu merencanakan program yang akan dilaksanakan dan akan melibatkan orang banyak. Fungsi ini meliputi perencanaan pengadaan sumber belajar, inventarisasi peralatan, evaluasi, monitoring, dan lain-lain.

5.    Fungsi Pelatihan

PSB berupaya meningkatkan kemampuan SDM, baik untuk pengelola maupun pengguna PSB. Fungsi ini meliputi pelatihan pengembangan kompetensi pembelajaran, pelatihan pengembangan SDM, dan lain-lain

 

2.1.3 Tujuan Pusat Sumber Belajar

Tujuan umum PSB adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran melalui pengembangan sistem instruksional. Adapun tujuan khusus dari PSB meliputi (Mudhofir, 1992):

1.        Menyediakan berbagai macam pilihan komunikasi untuk mendukung kegiatan kelas tradisional yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan tujuan pembelajaran. Contohnya seperti penggunaan majalah dinding untuk menampilkan karya, beep test untuk menguji ketahanan fisik, dan sebagainya.

2.        Mendorong penggunaan cara-cara belajar baru sesuai dengan tujuan program akademis dan kewajiban institusional.

3.        Memberikan layanan dalam perencanaan produksi, operasional, dan tindakan lanjutan. Contoh tindakan lanjutan yang dimaksud dapat berupa evaluasi.

4.        Melaksanakan latihan mengenai pengembangan sistem instruksional dan integrasi teknologi.

5.        Memajukan penelitian yang perlu tentang penggunaan media pendidikan. PSB dapat membantu penguasaan materi peserta didik karena tersedianya contoh konkret.

6.        Menyebarkan informasi yang akan membantu memajukan penggunaan berbagai macam sumber belajar. Contohnya seperti whatsapp group untuk komunikasi dan diskusi kelompok.

7.        Menyediakan layanan produksi bahan belajar. PSB harus dapat memproduksi berbagai bentuk bahan belajar, seperti video, audio, modul, dan sebagainya.

8.        Memberikan konsultasi untuk modifikasi dan desain fasilitas. Seiring berjalannya waktu, dibutuhkan adanya modifikasi dan desain fasilitas. Ahli dari PSB harus dapat memberikan konsultasi pemilihan dan perubahan fasilitas tersebut.

9.        Membantu mengembangkan standar penggunaan sumber belajar. Contohnya seperti pengadaan manual book.

10.    Menyediakan layanan pemeliharaan atas berbagai macam peralatan media. Contohnya seperti mengecek komputer secara berkala, serta merapikan buku sesuai dengan topik dan judul.

11.    Membantu dalam pemilihan dan pengadaan bahan-bahan media kelas dan peralatan. Contohnya seperti saat membantu instruktur memilih media apa yang dapat digunakan untuk belajar bahasa asing secara menyenangkan, PSB membantu mengadakan flash card.

12.    Menyediakan pelayanan penilaian untuk membantu menentukan efektivitas berbagai cara pembelajaran. Contohnya seperti membantu pembuatan instrumen penilaian program.

 

2.1.4 Manfaat Pusat Sumber Belajar

Dengan dikembangkannya PSB dalam suatu sekolah atau lembaga pemerintah (Balai Tekkom dan SKB), maka PSB akan memiliki manfaat antara lain untuk:

1.        memperluas dan meningkatkan kesempatan belajar;

2.        melayani kebutuhan perkembangan informasi bagi masyarakat;

3.        mengembangkan kreativitas dan produktivitas tenaga pendidikdan kependidikan;

4.        meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran, baik secara individu maupun kelompok;

5.        menyediakan berbagai macam pilihan komunikasi untuk menunjang kegiatan kelas tradisional;

6.        mendorong cara-cara belajar baru yang paling cocok untuk mencapai tujuan pembelajaran;

7.        memberikan pelayanan dalam perencanaan, produksi, operasional, dan tindakan lanjutan untuk pengembangan sistem pembelajaran;

8.        melaksanakan latihan bagi para tenaga pengajar mengenai pengembangan sistem pembelajaran dan pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi untuk pembelajaran;

9.        memajukan usaha penelitian yang perlu tentang penggunaan media pembelajaran;

10.    memberikan alasan dan memfasilitasi dengan sumber belajar di luar pusat sumber belajar;

11.    menyebarkan berbagai informasi pembelajaran yang akan membantu memajukan penggunaan berbagai macam sumber belajardengan lebih efektif dan efisien;

12.    menyediakan pelayanan produksi bahan pengajaran;

13.    memberikan konsultasi untuk modifikasi dan desain fasilitas sumber belajar;

14.    membantu mengembangkan standar penggunaan berbagai sumber belajar;

15.    menyediakan pelayanan pemeliharaan atas berbagai macam peralatan;

16.    membantu dalam pemilihan dan pengadaan bahan-bahan media dan peralatannya;

17.    menyediakan pelayanan evaluasi untuk membantu menentukan efektivitas berbagai cara/ metode pembelajaran (Rahadi, 2005: 192).

 

2.1.5 Pengembangan Pusat Sumber Belajar

Pusat Sumber Belajar sangat bermanfaat bagi kegiatan pembelajaran. PSB memberikan fasilitas belajar bagi siswa. pengembangan dan pengelolaan pusat sumber belajar (PSB). Pengembangan PSB didasarkan atas tiga pokok pikiran, yaitu:

a.    Pusat Sumber Belajar merupakan penunjang utama kegiatan pembelajaran.

b.    Maksud utama PSB adalah untuk memberikan pelayanan kepada tenaga pengajar (guru), siswa, tenaga administrai dan orang tua siswa dalam memilih, mengevaluasi, meneliti, mengembangkan dan memanfaatkan media, termasuk media dan teknologi komunikasi mutakhir.

c.    Program PSB meningkatkan efektivitas pembelajaran melalui usaha perencanaan yang sistematis.

Sesuai dengan pokok – pokok pikiran tersebut, maka komponen utama pengembangan PSB hendaknya mencerminkan pengorganisasian dan pengadministrasian PSB di bidang pendanaan, ketenagaan, fasilitas, penyusunan program, pengelolaan koleksi, teknologi, penyebarluasaan/pemanfaatan dan evaluasi. Jadi, paling tidak, ada delapan komponen yang perlu diperhatikan dalam rangka pengembangan PSB, yaitu:

1.    Dana

Dana perlu disediakan untuk mengembangkan PSB. Dana diperlukan untuk semua kegiatan PSB mulai dari kegiatan administrasi, produksi, pemeliharaan, pengadaan fasilitas kantor, pengadaan koleksi media, gaji karyawan, dan sebagainya.

2.    Staf

Staf yang akan bertugas di PSB perlu ditentukan baik mengenai jumlah maupun kualifikasinya. Setelah staf ditunjuk, kemudian ditempatkan atau diorganisasikan sesuai dengan keahliannya. Untuk suatu PSB, hendaknya diangkat sejumlah tenaga yang mencukupi. Tenaga itu hendaknya meliputi para ahli media, tata usaha, ahli pembelajaran, ahli pustaka media, pemelihara peralatan media, ahli komunikasi, dan sebagainya.

3.    Fasilitas

PSB harus memiliki fasilitas berupa kantor, mebeler dan koleksi media. Fasilitas kantor PSB dan pengaturan tata letak fasilitas dan peralatan memegang peranan penting dalam memperlancar ruang gerak pegawai maupun pengguna PSB. Program kegiatan PSB banyak ditentukan oleh bentuk, ukuran gedung dan pengaturan perlengkapan serta kecukupan fasilitas yang dimiliki. Pimpinan PSB perlu melengkapi dan mengatur program media sesuai dengan fasilitas dan perlengkapan yang tersedia. Kelancaran lalu lintas kerja ditentukan oleh pengaturan mebelair. Interaksi atau diskusi kelompok mudah dilaksanakan jika meja kursi diatur secara melingkar. Sedangkan untuk kegiatan klasikal, mudah dilaksanakan jika meja kursi diatur secara berbanjar dari depan ke belakang. PSB perlu dilengkapi ruang yang dapat digunakan untuk kegiatan pengajaran baik secara klasikal, kelompok kecil, maupun individual.

4.    Penyusunan Program

Program kegiatan PSB hendaknya disusun bersama para Dosen/Guru dan tenaga lain yang terkait. Ahli media perlu mengatur jadwal penggunaan fasilitas dan ruang PSB untuk kegiatan klasikal, kelompok, maupun individual.

5.    Pengaturan Koleksi Media

Pengelolaan koleksi media dalam PSB merupakan kegiatan administrasi yang paling utama. Ahli media bertanggung jawab terhadap pemilihan, pengadaan, pemrosesan/katalogisasi dan pemeliharaan koleksi media pembelajaran yang dimiliki PSB.

a.       Pemilihan Media

Menentukan berbagai jenis media yang akan dibeli atau diadakan untuk membantu pelaksaan kurikulum dan pembelajaran di sekolah yang bersangkutan, baik untuk keperluan murid maupun guru merupakan proses yang berkelanjutan yang harus dilaksanakan oleh pengelola PSB/ahli media. Dalam menentukan media hendaknya bekerja sama dengan guru, petugas administrasi, siswa dan wali murid. Pemilihan media noncetak perlu mendapatkan perhatian sehubungan dengan berkembangnya kemajuan teknologi komunikasi yang memungkinkan informasi disimpan dalam bentuk kaset, video, film, disket, CD-ROM, dan sebagainya.

b.      Pengadaan dan Penerimaan Barang

Ahli media bertugas mengadminitrasikan pengadaan dan penerimaan barang. Begitu media dipilih untuk di beli, ahli media perlu mengidentifikasikan sumber dan tempat di mana media dapat di beli. Beberapa media dapat di beli dari toko atau penjual yang telah mengadakan penawaran. Beberapa media harus di beli langsung dari pabrik pembuatannya. Cara pembelian dapat menggunakan formulir pemesanan, membeli langsung ke toko atau pabrik, atau menggunakan sarana modern seperti faximile dan e-mail.

c.       Pemrosesan dan Katalogisasi

Ada media yang telah di beri katalog oleh pabrik pembuatannya. Namun banyak pula yang tidak disertai katalog. Ahli media perlu membuat katalog koleksi bahan atau media yang dimiliki PSB. Pemberian nomor katalog, pengklaifikasian, isi singkat, durasi (panjang program). Pendataan setiap jenis media tersebut sangat diperlukan untuk sirkulasi peminjaman dan penyimpanan.

d.      Pemeliharaan Koleksi Media

Mengusahakan agar koleksi media tetap aktual tidak ketinggalan jaman dan lengkap juga merupakan tanggungjawab ahli media di PSB. Koleksi media yang telah ketinggalan jaman, kuno dan tidak lagi digunakan perlu di keluarkan dari daftar koleksi agar tidak membebani tugas administrasi dan tidak menghabiskan tempat penyimpanan. Pengeluaran koleksi biasanya dilakukan pada saat pendaftaran ulang inventaris barang pada akhir tahun. Kegiatan mengeluarkan suatu barang dari koleksi biasa disebut penghapusan barang – barang inventaris. Ahli media bertanggung jawab menentukan jumlah yang harus ada pada setiap jenis koleksi, menentukan barang yang harus tetap dipertahankan keberadaannya, jumlah yang harus ditambahkan dan jumlah koleksi yang harus dikeluarkan atau dihapus. Bekerja sama dengan para guru, ahli media dapat membuat peta koleksi media yang dimiliki oleh PSB. Pemeliharaan mngandung pula pengertian menjaga agar media tidak rusak sehingga tetap dapat digunakan. Karena itu perlu diidentifikasi media yang rusak atau aus untuk diperbaiki baik bagian-bagiannya maupun keseluruhan media tersebut. Misalnya head tape recorder perlu dibersihkan atau diganti, lampu OHP perlu penggantian, kaca lensa perlu dibersihkan, kabel putus perlu diganti, dan sebagainya.

6.    Teknologi

Sehubungan dengan kemajuan teknologi komunikasi, koleksi media pada PSB banyak didominasi oleh peralatan elektronika mulai dari peralatan yang sederhana sampai media mutakhir. Peralatan media sederhana termasuk kelompok media kecil, misalnya tape recorder, pesawat radio, OHP, proyektor film bingkai. Sedangkan media mutakhir termasuk media besar, seperti televise, telpon, faximile, video recorder, CD-ROM player/recorder, komputer dan sebagainya. Ahli media lazimnya dipandang sebagai orang yang menguasai keterampilan di bidang teknologi komunikasi. Sehubungan dengan itu beberapa tugas dan tanggungjawab yang harus dilaksanakan antara lain: 1) Mengoperasikan, memelihara dan memperbaiki perangkat teknologi dalam PSB. 2) Memberikan pelatihan kepada guru dan murid dalam mengoperasikan dan pemeliharaan peralatan media. 3) Merancang pembelian peralatan media. 4) Memasang jaringan teknologi komunikasi seperti pesawat telepon, jaringan komputer, CCTV, dan sebagainya.

7.    Pemanfaatan/Penyebarluasan

Konsep teknologi media dan PSB merupakan hal baru. Karena itu agar pemanfaatan media membudaya dan dikenal secara luas, maka perlu usaha promosi atau penyebarluasan konsep pemanfaatan media dalam PSB. Pengelolaan PSB perlu memiliki keterampilan kehumasan untuk memasyarakatkan penggunaan media. Ahli media perlu menyebarluaskan informasi tentang pelayanan, kegiatan dan hubungan kerja antara PSB dengan kegiatan pembelajaran di sekolah dan masyarakat. Sasaran kampanye penggunaan media antara lain murid, guru, orang tua murid, pejabat pemerintah, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Promosi tentang PSB perlu dilakukan terus menerus. Promosi atau kampanye tentang PSB dapat dilakukan dengan kunjungan, ceramah, mengundang tamu untuk datang, menggunakan poster, leaflet, brosur, iklan di media massa seperti Koran, radio, TV, dan sebagainya. Jika dipandang perlu PSB dapat membentuk semacam badan atau komisi yang mengurusi PSB yang terdiri dari pejabat pemerintah, pejabat depdikbud, murid dan orang tua murid.

8.    Evaluasi

Kegiatan PSB perlu dievaluasi efektivitasnya. Evaluasi perlu dilakukan secara terus menerus. Ahli media perlu menyusun rancangan dan instrumen evaluasi. Sasaran yang perlu di evaluasi antara lain kegiatan pemilihan koleksi media, pelayanan media, hasil pemanfaatan media dan hasil pembelajaran dengan menggunakan media di PSB. (Suartama, 2013:55-59).

 

2.1.6 Pusat Sumber Belajar di Lembaga Pendidikan

Pada hakikatnya, PSB bertugas untuk memberikan fasilitas dan kemudahan bagi proses pembelajaran dengan berpusat pada peserta didik. Meskipun tujuan utamanya adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembelajaran, PSB di setiap tingkat pendidikan memiliki karakteristik yang berbeda. Idealnya, PSB memenuhi seluruh fungsi di atas (pengembangan sistem instruksional, pelayanan media, produksi, administrasi, dan pelatihan).

Pada tingkat sekolah dasar, PSB harus siap menawarkan berbagai pengalaman kinetik dan sentuhan yang melatih kebebasan bergerak, berbicara, dan melakukan penelitian. Pengalaman tersebut diberikan melalui alat bantu sederhana, bentuk geometris, model hewan, dan sejenisnya. Intinya, PSB harus menunjang peserta didik untuk belajar sambil bermain. PSB di tingkat SMP dan SMA memiliki lebih banyak siswa yang datang secara individu. Koleksi materi harus mencerminkan kedalaman subjek yang lebih dalam dan detail (daripada buku materi yang disajikan di kelas). Media yang digunakan di PSB harus memberikan pengalaman dalam berbagai mode komunikasi (visual, audio, audio-visual, dan seterusnya).

Untuk SMA, penting untuk diberikan keterampilan sosial yang dibutuhkan dalam masyarakat dan kompetensi yang dibutuhkan untuk masuk ke perguruan tinggi. Semakin tinggi jenjang pendidikan, maka semakin tinggi kebutuhan belajar dan kemandirian peserta didiknya. Mahasiswa membutuhkan lebih banyak sumber belajar untuk tambahan pembelajaran di kelas. Diperlukan semua keterampilan dari para profesional media untuk mengkoordinasikan penggunaan media agar pembelajaran maksimal. Secara keseluruhan, karakteristik jenjang sekolah sebelumnya juga diperhatikan di jenjang universitas. Hanya saja, semuanya menjadi lebih kompleks dan beragam. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, PSB melebarkan sayapnya. Kini pusat sumber belajar tidak hanya berbentuk fisik, namun juga virtual.

Berikut beberapa contoh pusat sumber belajar (baik yang dikelola sekolah maupun pemerintah).

1.    Perpustakaan Nasional RI

Perpustakaan Nasional RI sebagai PSB terbesar dan tertinggi di Indonesia menyediakan berbagai macam koleksi, di antaranya ada buku, monograf, kartografis, majalah, karya seni, audiovisual, dan multimedia.

2.    Portal Rumah Belajar Kemdikbud

Portal Rumah Belajar Kemdikbud sebagai PSB virtual menyediakan berbagai macam fitur yang dapat mendukung pembelajaran daring, seperti kelas maya, sumber belajar, laboratorium maya, dan bank soal.

3.    Odessa College Learning Resources Center

PSB milik Odessa College, United States ini menyediakan berbagai macam fitur dan layanan untuk memfasilitasi pembelajaran mahasiswa.

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Kesimpulan

Pusat sumber belajar adalah lembaga/portal/platform dimana terdapat suatu kegiatan yang terorganisir yang memberikan fasilitas pendidikan, pelatihan, pengenalan melalui berbagai media, serta pemberian layanan penunjang pembelajaran, dengan maksud dan tujuan yaitu mengembangkan dan memanfaatkan berbagai sumber belajar untuk keperluan belajar mandiri atau kelompok agar menghasilkan pembelajaran yang efektif, efisien, dan menyenangkan sehingga tujuan dari belajar tersebut dapat tercapai. Pusat sumber belajar memiliki lima fungsi utama yaitu fungsi pengembangan sistem instruksional, fungsi pelayanan media, fungsi produksi, fungsi administrasi,  dan fungsi pelatihan.

Tujuan umum PSB adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran melalui pengembangan sistem instruksional. Pusat sumber belajar memiliki beragam manfaat bagi dunia pendidikan dalam kehadirannya sebagai penyedia media dan sumber belajar maupun pusat pelatihan dan pembelajaran. Komponen utama pengembangan PSB hendaknya mencerminkan pengorganisasian dan pengadministrasian PSB di bidang pendanaan, ketenagaan, fasilitas, penyusunan program, pengelolaan koleksi, teknologi, penyebarluasaan/pemanfaatan dan evaluasi. Contoh  pusat sumber belajar di dunia pendidikan yaitu Perpustakaan Nasional Republik Indonesi, Portal Rumah Belajar, dan Odessa College Learning Resources Center.

 

 

3.2  Saran

Pada makalah ini kita telah diberikan pemahaman mengenai perancangan pusat sumber belajar. Sangat besar harapan penyusun agar nantinya makalah ini dapat membantu pembaca untuk lebih memahami baik konsep maupun penerapan penerapan pusat sumber belajar. Selain itu, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca agar pada penulisan makalah selanjutnya  hal itu dapat diperbaiki. Tak luput penyusun menitipkan masukan agar lebih variatif lagi kajian tentang pusat sumber belajar dan semakin banyak kehadiran pusat sumber belajar terutama yang berbasis digital.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Gafur. (1999). Pengembangan PSB dan Kelompok Belajar. Jakarta: Universitas Terbuka.

Mudhofir. (1992). Prinsip-Prinsip Pengelolaan Pusat Sumber Belajar. Jakarta: Rosda Karya.

Priyatmojo, Achmadi., dkk. (2010). Buku Panduan Pelaksanaan Students Centered Learning (SCL) dan Teacher Aesthethic Role-Sharing (STAR). Yogyakarta: Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Gadjah Mada.

Rahadi, A. (2005). Menuju Kelembagaan Pusat Sumber Belajar (Learning Resources Center). In Purwanto (ed). Jejak langkah perkembangan teknologi pendidikan di Indonesia. Jakarta: Depdiknas Pustekkom.

Suartama, I Kadek. (2013). Buku Ajar Pengelolaan Pusat Sumber Belajar. Denpasar: Jurusan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Ganesha.

Warsita, Bambang. (2008). Teknologi Pembelajaran landasan dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta.