MODEL PEMBELAJARAN NEUROSAINS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan pembelajaran pada deawa ini menuntut pengaplikasian model pembelajaran yang tepat demi ketercapaian tujuan pembelajaran. Pembelajaran Bahasa Indonesia yang menitikberatkan aspek kemampuan menyimak, membaca dan memirsa, berbicara dan mempresentasikan dan menulis perlu memanfaatkan model yang tepat.
Model pembelajaran neurosains dianggap sebagai salah satu model yang efektif digunakan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia karena perancangan aktivitas belajar yang memaksimalkan peran sentral kerja otak dalam menemukenali pengaktualan otak kiri dan otak kanan secara maksimal demi potensi pengembangan kecerdasan intelegensi, emosional dan spiritual.
Seorang guru mesti menyajikan model pembelajaran neurosains ini demi keterukuran kada kualitas pembelajaran yang menuntut perkembangan dan kemajuan aspek kognitif, psikomototrik dan afektif siswa. Atas dasar asumsi tersebut maka penulis menyajikan makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:
Bagaimanakah definisi neurosains?Bagaimanakah mekanisme kerja otak terkait kecakapan belajar?Bagaimanakah mekanisme mengingat suatu informasi ?Bagaimanakah model pembelajaran neurosains dalam pembelajaran bahasa Indonesia?Bagaimanakah kelebihan dan kekurangan neurosains?1.3 Tujuan Penulisan
Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:
Untuk memahami definisi neurosains?Untuk memahami mekanisme kerja otak terkait kecakapan belajar?Untuk memahami mekanisme mengingat suatu informasi ?Untuk memahami model pembelajaran neurosains dalam pembelajaran bahasa Indonesia?Untuk memahami kelebihan dan kekurangan neurosains?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 MODEL PEMBELAJARAN NEUROSAINS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
2.1.1 Definisi Neurosains
Neurosains adalah ilmu yang mempelajari tentang sel saraf atau neuron (Dadana, 2013). Tujuan utama dari ilmu ini adalah mempelajari dasar-dasar biologis dari setiap perilaku. Artinya, tugas utama dari neurosains adalah menjelaskan perilaku manusia dari sudut pandang aktivitas yang terjadi di dalam otaknya (Wijaya, 2018). Neurosains adalah suatu bidang penelitian saintifik tentang sistem saraf, utamanya otak. Neurosains merupakan penelitian tentang otak dan pikiran. Studi tentang otak menjadi landasan dalam pemahaman tentang bagaimana kita merasa dan berinteraksi dengan dunia luar dan khususnya apa yang dialami manusia dan bagaimana manusia mempengaruhi yang lain (Schneider, 2011).
Dalam pembelajaran model neurosains sangat berperan dalam mengembangkan kemampuan otak untuk melakukan beberapa tindakan atau upaya untuk meningkatkan kemampuan mengingat, kesadaran dan kepekaan. Menurut Konsep neuorosains yang dijelaskan oleh Harun merupakan suatu bidang kajian mengenai sistem saraf yang terdapat di dalam otak manusia yang berhubungan dengan kesadaran dan kepekaan otak dari segi biologi, persepsi, ingatan, dan kaitannya dengan pembelajaran (Resti, 2013). Selanjutnya menurut Wathon (2016) tujuan utama dari ilmu ini adalah mempelajari dasar-dasar biologis dari setiap perilaku. Artinya, tugas utama dari neurosains adalah menjelaskan perilaku manusia dari sudut pandang aktivitas yang terjadi di dalam otaknya.
2.1.2 Mekanisme Kerja Otak Terkait Kecakapan Belajar
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Profesor Marian Diamond dalam Rakhmat (2005) dapat diketahui bahwa medulla mampu mengatur detak jantung dan proses respirasi. Panjang medulla hanya beberapa inci, dan sama panjang yang dimiliki oleh otak simpanse, namun kapasitas medulla pada manusia berkembang tiga kali lipat daripada simpanse. Serebelum (otak kecil) berada di sebelah medulla.
Rakhmat (2005) mengungkapkan bahwa serebelum ini bertanggung jawab dalam proses koordinasi dan keseimbangan serta kemampuan dalam proses belajar dan berbicara. Otak mengalami evolusi yang salah satunya dapat dicontohkan dengan peristiwa melipatnya korteks dan bagian otak yang terakhir berevolusi ialah lobus frontal. Lobus frontal inilah yang memberikan peranan penting dalam pembentukan kepribadian anda, perencanaan masa depan, serta penataan ide-ide.
Rakhmat (2005) mengungkapkan bahwa bagian otak yang memegang peranan lainnya ialah area pengendali ucapan (motor speech area), korteks visual, area yang menggerakkan lengan, tungkai, jari-jari, bagian yang mengendalikan perasaan, rasa sakit, temperatur, sentuhan, tekanan, pendengaran, serta adanya sistem limbik. Pada sistem ini dapat diketahui adanya bagian otak yang berkaitan dengan ketakutan, kemarahan, emosi, seksualitas, cinta, gairah. Kelenjar pituitari yang memproduksi hormon. Kemampuan otak untuk menunjukkan dan menghentikan rasa sakit. Cara otak dalam mengirim pesan-pesan dalam dirinya di seluruh tubuh, pesan yang secara terus-menerus mengubah impuls-impuls listrik menjadi aliran-aliran kimiawi.
Profesor Marian Diamond dalam Rakhmat (2005) mengungkapkan bahwa betapa dinamisnya otak manusia, otak mampu berubah pada usia berapa pun, sejak lahir sampai akhir kehidupan. Otak dapat berubah secara positif jika dihadapkan pada lingkungan yang diberi rangsangan, dan otak akan dapat menjadi negatif jika tidak diberi rangsangan. Pernyataan Profesor Marian Diamond ini menumbangkan mitos-mitos yang selama berabad-abad dipercayai para ilmuwan dan orang awam sekaligus. Mitos yang pertama ialah otak sepenuhnya ditentukan secara genetis, karena keturunan. Mitos kedua mengatakan bahwa otak kita mengerut dalam perjalan waktu, karena ketuaan.
Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi dan banyaknya penemuan-penemuan baru dalam teknologi otak maka para ilmuwan mulai meragukan mitos-mitos yang dahulu mereka percayai. Beberapa penemuan terkait dengan teknologi otak diantaranya ialah computerized tomography, scanner yang menggunakan sinar X untuk memperoleh gambar bagian struktur otak secara terperinci, positron emission tomography (PET), magnetic resonance imaging (MRI),dan penemuan neurotransmitter yang merupakan zat kimia yang menjalankan beberapa fungsi otak.
2.1.3 Mekanisme Mengingat Informasi
Wade (2008) mengungkapkan bahwa memori bukanlah duplikat murni dari suatu pengalaman. Informasi sensorik seperti gambar atau kata-kata kemudian dirangkum dan disandikan sesegera mungkin setelah kita mendeteksi hal-hal tersebut. Agar kita dapat mengingat suatu informasi dengan baik, kita harus melakukan proses penyandian dengan tepat. Pada beberapa jenis informasi tertentu, proses penyandian yang akurat berjalan otomatis, tanpa memerlukan usaha.
Wade (2008) mengungkapkan bahwa pengulangan merupakan salah satu teknik penting agar kita mampu menyimpan informasi memori jangka pendek dan mengingat kembali informasi yang telah disimpan dalam memori jangka panjang, dengan cara mempelajari kembali atau mempraktekkan material yang sedang kita pelajari. Peterson dalam Wade (2008) mengungkapkan bahwa apabila seseorang dicegah dari melakukan pengulangan, informasi pada memori jangka pendek akan menghilang dengan cepat. Memori jangka pendek menyimpan berbagai jenis informasi, termasuk di dalamnya informasi visual dan pemahaman abstrak.
Wade (2008) mengungkapkan bahwa terdapat berbagai strategi pengulangan yang lebih efektif dibandingkan strategi lainnya, satu strategi yang lazim digunakan adalah maintenance rehearsal (pengulangan pemeliharaan) yakni metode pengulangan yang melibatkan penghafalan harafiah secara berulang-ulang, pengulangan ini berguna untuk menyimpan suatu informasi di memori jangka pendek, dan tidak akan menjamin informasi tersebut pasti akan dipindahkan ke memori jangka panjang.
Wade (2008) mengungkapkan bahwa apabila akan mengingat suatu informasi yang telah lama, strategi pengulangan yang lebih baik adalah elaboration rehearsal (pengulangan elaboratif). Elaborasi melibatkan pengasosiasian informasi-informasi baru dengan materi yang telah terlebih dahulu tersimpan atau dengan fakta-fakta baru lainnya. Metode ini juga dapat melibatkan proses analisis berupa fisik, sensorik, atau kategori semantik dari sebuah objek.
Craik dan Lockhart dalam Wade (2008) mengungkapkan bahwa Deep processing (pemrosesan mendalam) adalah strategi untuk memperpanjang ingatan yang kita miliki mengenai sesuatu, strategi ini terkait dengan pemrosesan makna. Apabila kita hanya memproses elemen fisik atau indrawi dari suatu stimulus, pemrosesan yang terjadi akan dangkal, terlepas dari apakah kita melakukan elaborasi atau tidak. Shallow processing (pemrosesan mendangkal) terkadang memiliki kegunaan khusus.
Wade (2008) mengungkapkan bahwa saat kta sedang berusaha menghafal sebuah puisi, misalnya kita seharusnya memperhatikan (dan melakukan penyandian secara elaboratif) pengucapan kata dan pola ritme puisi tersebut; tidak semata-mata memperhatikan makna puisi tersebut. Meski demikian, seringkali deep processing lebih efektif. Inilah alasan yang menyebabkan saat kita berusaha mengingat sesuatu yang tidak bermakna atau tidak penting, biasanya ingatan tersebut hilang dengan cepat.
Wade (2008) mengungkapkan bahwa hormon-hormon yang dilepaskan oileh kelenjar adrenal selama stres dan selama periode rangsangan emosi yaitu mencakup epinephrine (adrenalin) dan beberapa jenis steroid yang akan meningkatkan kemmapuan memori kita. Adanya ketertarikan (arousal) terhadap stimulus memberikan petunjuk pada otak bahwa suatu peristiwa atau potongan informasi merupakan hal yang penting, yang harus disandikan dan disimpan sehingga dapat digunakan kembali pada masa depan. Namun arousal yang ekstrim bukanlah merupakan sesuatu yang baik.
Hormon yang diproduksi dalam kelenjar adrenal dapat mempengaruhi proses penyimpanan informasi yang terdapat di otak karena epinephrine mampu meningkatkan kadar glukosa dalam darah. Gold dalam Wade (2008) mengungkapkan bahwa, walaupun epinephrine tidak memasuki bagian otak secara langsung, glukosa akan memasuki bagian otak. Saat memasuki bagian otak, glukosa meningkatkan kemampuan memori, baik secara langsung atau tidak langsung, yakni dengan mempengaruhi efek neurotransmiter. Dalam berbagai kasus, glukosa sepertinya berlaku sebagai bahan bakar untuk otak kita, di saat area-area otak berada dalam keadaan aktif, area-area tersebut akan mengkonsumsi glukosa lebih banyak.
Berdasarkan penelitian Saputro (2017) menjelaskan bahwa pendekatan neurosains melalui keterampilan mengingat berpengaruh terhadap hasil belajar. Dimaksudkan dalam keteremapilan mengingat berdasarkan penelitian tersebut adalah pemberian pembelajaran yang terus dilakukan berulang agar para mahasiswa didalam pembelajarannya dapat mengasosiasikan materi membuat suasana belajar lebih aktif dan kerja otak dapat berjalan secara maksimal sehingga ketika mendapatkan evaluasi, mahasiswa dapat mengerjakan dengan baik. Selanjutnya berdasarkan hasil kajian Hanafi berkaitan dengan kemampuan spiritual yang dipengaruhi oleh otak (2016), yakni : a. Pertama, cortex prefrontal. Bagian ini dalam kajian neurosains diangggap sebagai penghubung utama antara emosi dan kognisi manusia, melalui cortex ini emosi dan kognisi manusia dikelola. Artinya bahwa cortex prefrontal yaitu pembentuk kepribadian manusia yang berkaitan dengan motivasi, sosial, moralitas, rasionalitas dan kesadaran manusia. Kedua, area asosiasi. Area asosiasi bisa disebut juga dengan serebrum atau otak besar. Komponen ini berfungsi sebagai fungsi kognitif, emosi, dan pencarian makna hidup, artinya pada area asosiasi inilah tempat kesadaran di proses. Berhubungan dengan spiritualiatas, kemudian area ini lebih spesifik lagi membagi kepada area asosiasi visual, asosiasi atensi, asosiasi orientasi, serta asosiasi konseptual verbal. Ketiga, operator neurospiritual ialah lymbic system. Sistem limbik ini dibangun oleh sejumlah struktur, yaitu hypotalamus, amygdala, dan hippocampus.
Dari pendapat tersebut dapat diambil simpulan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model neurosains adalah pembelajaran yang mengutamakan kemampuan antar neuron atau saraf yang saling terhubung berpusat pada otak sebagai koordinasi berpikir kognitif dan afektif. Simpulan pendapat tersebut menjelaskan bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia menekankan kepada kemampuan untuk melakukan pengkoordinasian antara kemampuan kognitif, psikomotorik digabung kedalam kemampuan afektif berupa spritual yang saling berkoordinasi sehingga menghasilkan kemampuan yang diharapkan.
2.1.4 Model Pembelajaran Neurosains dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Setiap anak dilahirkan dengan bakat(potensi kemampuan) yang berbeda-beda dan terwujud dengan interaksi yang dinamis antara keunikan individu dan pengaruh lingkungan. Berbagai kemampuan yang teraktualisasikan beranjak dari fungsi otak. Berfungsinya otak adalah interaksi dari cetak biru (blue print) genetis danpengaruh lingkungan. (Husamah, 2018)
Pembelajaran Bahasa Indonesia memiliki karakteristiknya tersendiri. Menurut Harsiati, dkk(2017:3) menyebutkan bahwa Kurikulum 2013 mata pelajaran Bahasa Indonesia secara umum bertujuan agar siswa mampu mendengarkan, membaca, memirsa, berbicara, dan menulis. Kompetensi dasar dikembangkan berdasarkan tiga hal yang saling berhubungan dan saling mendukung mengembangkan pengetahuan siswa, memahami, dan memiliki kompetensi mendengarkan, membaca, memirsa, berbicara, dan menulis. Ketiga hal tersebut adalah bahasa (pengetahuan tentang Bahasa Indonesia); sastra (memahami, mengapresiasi, menanggapi, menganalisis, dan menciptakan karya sastra; literasi (memperluas kompetensi berbahasa Indonesia dalam berbagai tujuan khususnya yang berkaitan dengan membaca dan menulis). Lebih lanjut Harsiati, dkk(2017:4) menuliskan bahwa Pembelajaran Bahasa Indonesia dikembangkan berdasarkan pendekatan komunikatif, pendekatan berbasis teks, pendekatan CLIL (content language integrated learning), pendekatan pendidikan karakter, dan pendekatan literasi. Pengembangan kurikulum (Bahasa Indonesia) tidak dapat dipisahkan dari perkembangan teori belajar (dan pengajaran) bahasa. Pengembangan kurikulum 2013 didasarkan pada perkembangan teori belajar bahasa terkini. Fondasi teoretik Kurikulum 2013 adalah pengembangan pendekatan komunikatif, pendekatan genre-based, dan CLIL (content language integrated learning). Pada perkembangannya saat ini di era Kurikulum Merdeka, pembelajaran bahasa Indonesia dikembangkan tujuannya berdasarkan fase tingkatan pembelajaran. Khusus fase D untuk jenjang SMP memiliki tujuan yang termaktub dalam capaian pembelajaran yang dirumuskan Kemdikbud seperti berikut:
“peserta didik memiliki kemampuan berbahasa untuk berkomunikasi dan bernalar sesuai dengan tujuan, konteks sosial, dan akademis. Peserta didik mampu memahami, mengolah, dan menginterpretasi informasi paparan tentang topik yang beragam dan karya sastra. Peserta didik mampu berpartisipasi aktif dalam diskusi, mempresentasikan, dan menanggapi informasi nonfiksi dan fiksi yang dipaparkan; Peserta didik menulis berbagai teks untuk menyampaikan pengamatan dan pengalamannya dengan lebih terstruktur, dan menuliskan tanggapannya terhadap paparan dan bacaan menggunakan pengalaman dan pengetahuannya. Peserta didik mengembangkan kompetensi diri melalui pajanan berbagai teks untuk penguatan karakter”.
Capaian pembelajaran tersebut dituangkan lebih rinci ke dalam empat aspek capaian elemen menyimak, membaca dan memirsa, berbicara dan mempresentasikan, dan menulis. Elemen-elemen tersebut bertalian erat dengan kecakapan berpikir siswa yang tentunya sangat terbuka peluang rekonstruksi dan pengembangan model pembelajaran berbasis neurosains. Tujuan pembelajaran model neurosains itu sendiri berusaha untuk mempelajari dasar-dasar biologis dari setiap perilaku. Artinya, tugas utama dari neurosains adalah menjelaskan perilaku manusia dari sudut pandang aktivitas yang terjadi di dalam otaknya.
Menurut Wijaya (2018) implikasi perkembangan otak dalam pendidikan berhubungan dalam kegiatan pembelajaran, yakni:
1. Optimalisasi kecerdasan pendidikan.
Sebaiknya mengembangkan kecerdasan, bukan hafalan, yaitu melalui stimulasi otak untuk berpikir. Otak yang cerdas meningkatkan kreativitas dan daya cipta baru untuk menemukan hal yang baru yang tidak pernah terpikirkan.
2. Keseimbangan fungsi otak kanan dan kiri. otak kanan dan otak kiri memiliki fungsi yang berbeda. Otak kanan lebih bersifat intuitif, acak, tak teratur, divergen. Otak kiri bersifat linier, teratur, dan konvergen. Pendidikan hendaknya mengembangkan kedua belahan otak itu secara seimbang. Pembelajaran yang bersifat eksploratori dan divergen, lebih dari satu kemungkinan jawaban benar akan mengembangkan kedua belahan otak tersebut.
3. Keseimbangan Otak Triune.
Pendidikan harus mengembangkan secara seimbang fungsi otak atas, tengah dan bawah (logika, emosi, dan motorik) yang sering disebut juga head, heart, and hands. Hal itu sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu mengambangkan manusia yang cerdas, terampil, dan beakhlak mulia.
4. Pengembangan motorik tangan
Stimulasi melalui motorik tangan perlu dilakukan sejak dini. Koordinasi tangan ini sifatnya berkebalikan, di mana tangan kiri dikendalikan otak bagian kanan. Oleh karena itu tidak selayaknya kita melarang anak menggunakan tangan kirinya karena hal itu justru sedang mengembangkan otak kanannya.
Selanjutnya berdasarkan hasil kajian analisis Kushartanti (2018) menyatakan:
1. Otak Rasional dan Pembelajaran.
Otak kiri dengan cara berpikir yang linier dan sekuensial, dan otak kanan dengan kreativitasnya akan bekerjasama untuk memahami dan memecahkan permasalahan secara holistik. Sistem pendidikan yang baik harus dapat menyediakan model pembelajaran untuk optimalisasi kedua belah otak.
2. Otak Emosional dan Pembelajaran.
Warisan genetik memberi kita serangkaian muatan emosi tertentu yang menentukan temperamen kita, namun pelajaran emosi yang kita peroleh pada saat anak-anak baik di rumah maupun di sekolah dapat membentuk sirkuit emosi dan meningkatkan kecerdasan emosional kita. Kecerdasan emosional pada dasarnya terdiri atas lima wilayah yaitu: a) mengenali emosi diri; b) mengelola emosi; c) memotivasi diri; d) mengenali emosi orang lain, dan e) membina hubungan. Pembelajaran dengan model diskusi kelompok memungkinkan peserta didik mengembangkan kelima wilayah kecerdasan emosionalnya.
3. Otak Spiritual dan Pembelajaran.
Otak spiritual, empat terjadinya kontak dengan Tuhan, hanya akan berperan jika otak rasional dan pancaindra telah difungsikan secara optimal. Sistem pendidikan harus membuka kesempatan lebar bagi pemenuhan rasa rindu untuk menemukan nilai dan makna dari apa yang diperbuat dan dialami, sehingga orang dapat memandang kehidupan dalam konteks yang lebih bermakna. pada dasarnya otak spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai. Dapat diambil kesimpulan hasil menyatakan bahwa kemampuan otak dalam kegiatan pembelajaran dapat dilakukan dengan mengembangkan kemampuan otak kanan dan kiri secara seimbang yakni dengan melakukan kegiatan diskusi, pemberian masalah, kegiatan interaktif berupa : gerak tubuh, membangun kreatifitas dan pemberian emosi (motivasi) pada setiap kegiatan pembelajaran.
Penelitian terkait penerapan model neurosains dalam pembelajaran Bahasa Indonesia telah banyak dilakukan dewasa ini. Seperti penelitian yang dilakukan Wikanengsih (STKIP Siliwangi Bandung) pada tahun 2017 yang dimuat di Jurnal Pendidikan Jilid 19 Nomor 2 tahun 2013, penenlitian itu mengangkat judul “Model Pembelajaran Neurolinguistic Programming Berorientasi Karakter untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Siswa”. Abstrak penelitian tersebut tergambarkan sebagai berikut:
“Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan model pem[1]belajaran neurolinguistik programming berorientasi karakter (MPNLPBK) terhadap kemampuan menulis siswa. Metode penelitian yang digunakan metode penelitian kombinasi (mixed method) jenis sequential exploratory strategy. Hasil penelitian tahap pertama (penelitian kualitatif) menghasilkan model pembelajaran hipotetik. Penelitian tahap kedua merupakan uji coba penerapan model hipotetik (penelitian kuantitatif). Hasil pengujian menunjukkan bahwa pembelajaran menulis dengan menggunakan MPNLPBK dapat meningkatkan kemampuan menulis siswa kelompok eksperimen. Selain itu, berdasarkan hasil pengamatan terhadap aspek karakter komunikatif, toleran, tanggungjawab dan kreatif siswa, terdapat perkembangan pada diri siswa untuk setiap aspek tersebut”.
Dari penelitian tersebut terbukti bahwa model pembelajaran neurosains efektif digunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia untuk mengembangkan aspek kognitif, psikomotorik dan afektif siswa. Penelitian lain yang berkaitan dengan penerapan model neurosains dalam pembelajaran yaitu penelitian yang disusun oleh Agus Setiyoko (IAIN Salatiga) pada 2018 yang dimuat di Jurnal Inspirasi. Penelitian yang mengangkat judul “PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS NEUROSAINS DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BERPIKIR KREATIF DAN KERJASAMA” tersebut digambarkan dalam abstrak berikut:
Penelitian ini berjudul penerapan model pembelajaran berbasis neurosains dalam pembentukan karakter berpikir kreatif dan kerjasama (Studi pada SD Muhammadiyah Plus, dan MI Ma`arif Mangunsari Kota Salatiga) tahun 2017/2018. Penelitian ini bertujuan mengungkap bagaimana penerapan model pembelajaran berbasis neurosains pada SD/MI Kota Salatiga (SD Muhammadiah Plus dan MI Ma`arif Mangunsari Kota dan bagaimana pembentukan karakter berpikir kreatif dan kerjasama dalam pembelajaran berbasis neurosains pada sekolah tersebut. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian inia dalah penelitian kualitatif untuk mendiskripsikan dan menganalisis tentang fenomena, peristiwa proses pembelajaran di tiga sekolah tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran berbasis neurosains pada SD Muhammadiyah Plus Kota Salatiga ada beberapa macam antara lain: (1) Model belajar anak dengan bermain, (2) Model Pembelajaran Fun Learning, (3) Pembelajaran Quantum Teaching, (4) Pembelajaran Multiple Intelegensi, (5) Pembelajaran berbasis masalah, di MI Ma`arif Mangunsari dalam penerapan pembelajaran adalah menggunakan (1) Neuro Language Program, (2) Media musik dalam belajar, (3) Pergantian warna/suasana. Sedangkan penerapan model pembelajaran kerjasama dan berpikir kreatif pada tiga sekolah tersebut adalah melalui kegiatan ekstra kurikuler yaitu: (1) Club Bahasa, Hizbul Waton/pramuka, (2) Kepanduan untuk menumbuhkan jiwa pemberani, sedangkan, di MI Ma`arif Mangunsari Kota Salatiga dengan cara anak dilatih agar mampu membuat lirik lagu.
Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran berbasis neurosains pada SD Muhammadiyah Plus Kota Salatiga ada beberapa macam antara lain : a) Model belajar anak dengan bermain, yaitu dengan permainan tepuk, anak diajak untuk tepuk di sela sela pembelajaran misalnya tepuk konsentrasi, tepuk satu, dua, tiga dan seterusnya. b) Model pembelajaran konstruktivistik (membangun belajar siswa aktif), pembelajaran yang mengarahkan pada keaktifan siswa hampir sama dengan model cara belajar siswa aktif (CBSA) dengan melibatkan siswa untuk terlibat secara aktif dalam setiap pembelajaran. c) Model Pembelajaran fun learning, pembelajaran yang menyenangkan, apapun mata pelajarannya di SD Muhammadiyah Plus selalu memiliki prinsip bahwa dalam setiap pembelajaran harus didesain sebaik mungkin untuk menciptakan lingkungan yang menyenangkan dalam pembelajaran. d) Pembelajaran quantum teaching, Penerapan pembelajaran pada SD Muhammadiyah Plus adalah seorang guru membawa peserta didik dengan apa yang mereka pelajari kedalam dunia mereka.
Dari berbagai penerapan model neurosains dalam pembelajaran khususnya pembelajaran Bahasa Indonesia bisa ditarik sebuah benang merah kesimpulan bahwa seluruh aspek aktivitas pembelajaran bahasa Indonesia dimulai dengan memaksimalkan pengaktualan sistem saraf otak (neurosains). Model neurosains memicu proses bernalar dan berpikir siswa, komunikatif, dan interaktif. Dalam artian khusus perilaku kerja otak dalam sajian pembelajaran Bahasa Indonesia dewasa ini mengaktifkan keseimbangan otak kiri dan kanan dalam mengelaborasi kecerdasan intelegensi, emosional, dan spiritual sehingga kadar kognitif, psikomotorik dan afektif bisa berkembang dan terukur dalam pembelajaran. Hal ini tentunya sejalan dengan semangat yang dikembangkan dalam kurikulum 2013 maupun kurikulum merdeka khusus mata pelajaran bahasa Indonesia yang bermuara pada tujuan pendidikan nasional yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
2.1.5 Kelebihan dan Kekurangan Neurosains
Winarno (1994) mengungkapkan kelebihan dan kekurangan neurosains dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
· Memberikan suatu pemikiran baru tentang bagaimana otak manusia bekerja.
· Memperhatikan kerja alamiah otak si pembelajar dalam proses pembelajaran.
· Menciptakan iklim pembelajaran dimana pembelajar dihormati dan didukung.
· Menghindari terjadinya pemforsiran terhadap kerja otak.
· Dapat menggunakan berbagai model-model pembelajaran dalam mengaplikasikan teori ini..
Adapun kelemahan-kelemahan dari teori ini adalah sebagai berikut:
· Tenaga kependidikan di Indonesia belum sepenuhnya mengetahui tentang teori ini (masih baru).
· Memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk dapat memahami (mempelajari) bagaimana otak kita bekerja.
· Memerlukan biaya yang tidak sedikit dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang baik bagi otak.
· Memerlukan fasilitas yang memadai dalam mendukung praktek pembelajaran teori ini
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Neurosains merupakan bidang kajian mengenai kesadaran dan kepekaan otak dari segi biologi, persepsi, ingatan, dan keterkaitannya terhadap pembelajaran. Kerja otak melibatkan aktivitas neuron, dimana impuls listrik mengalir dari neuron menuju dendrit melalui akson dan berhenti pada ujung akson yang membentuk sinapsis kemudian dilanjutkan oleh neutransmiter untuk diterima oleh penerima khusus pada neuron berikutnya.
Pada dasarnya belajar adalah pembentukan hubungan-hubungan baru antara neuron, ini terjadi kompleksitas peningkatan cabang-cabang dendrite dalam otak. Oleh sebab itu belajar dalam teori neurosins sangat dipengaruhi kesiapan dalam belajar dan lingkungan belajar itu sendiri.
Mekanisme mengingat informasi diantaranya ialah melakukan penyandian dengan tepat, pengulangan, dan pemrosesan makna untuk memperpanjang ingatan. Penerapan Neurosains dalam kegiatan pembelajaran dapat dilakukan dengan penggunaan peta konsep (mind map). Pembelajaran Neurosains memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya salah satunya ialah memberikan suatu pemikiran baru tentang bagaimana otak manusia bekerja. Salah satu kelemahannya adalah memerlukan waktu yang panjang untuk memahaminya dan pembelajaran ini masih tergolong baru.
3.2 Saran
Pada makalah ini kita telah diberikan pemahaman mengenai model pembelajaran neurosains dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Sangat besar harapan penyusun agar nantinya makalah ini dapat membantu pembaca untuk lebih memahami baik konsep maupun penerapan model neurosains dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Selain itu, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca agar pada penulisan makalah selanjutnya hal itu dapat diperbaiki. Tak luput penyusun menitipkan masukan agar memperkaya pengajian dan penelitian model pembelajaran neurosains dalam pembelajaran Bahasa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Dadana, Jendy Cliff, Taufik F. Pasiak, Sunny Wangko. (2013). Hubungan Kinerja Otak Dengan Spiritualitas Manusia Diukur Dengan Menggunakan Indonesia Spiritual Health Assessment Pada Pemimpin Agama Di Kota Tomohon. Jurnal e-Biomedik (eBM), Volume 1, Nomor 2, Juli 2013, hlm. 830-835.
Harsiati, Titik dkk. (2017). Buku Guru Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Perbukuan Kemdikbud.
Husamah. Pantiwati, Yuni. Restian, Arina. Sumarsono, Puji. 2018. Belajar dan Pembelajaran. Malang: UMM Press.
Kushartanti, BM Wara. (2018). Perkembangan Aplikasi Neurosains Dalam Pembelajaran Di TK. 11 Febuari 2018. www.staffnew.uny.ac.id.
Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Belajar Cerdas Belajar Berbasiskan Otak. Bandung: MLC
Resti, Vica Dian Aprelia. (2013). Kajian Neurosains Dalam Perkembangan Pembelajaran Biologi Abad 21. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi FKIP UNS 10 (2), 2013.
Wade, Carole dan Tavris, Carol. 2008. Psikologi. Jakarta: Erlangga
Wathon, Aminul. (2016). Neurosains Dalam Pendidikan. Jurnal Lentera: Kajian Keagamaan, Keilmuan Dan Teknologi, Volume 14, Nomor 1, Maret 2016.
Wijaya, Hengki. (2018). Pendidikan Neurosains Dan Implikasinya Dalam Pendidikan Masa Kini. https://researchgate.net/publiction/323114055
Winarno, E. M. 1994. Belajar Motorik. Malang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan IKIP Malang.
Referensi:
https://guru.kemdikbud.go.id/kurikulum/referensi-penerapan/capaian-pembelajaran/sd-sma/bahasa-indonesia/fase-d/ (diakses 18 Oktober 2022)
https://ejournal.undaris.ac.id/index.php/inspirasi/article/view/51/32 (diakses 18 Oktober 2022)
PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami perkembangan yang pesat, menuntut akselerasi pemanfaatan teknologi untuk mengemas pembelajaran yang berkualitas demi ketercapaian tujuan pendidikan. Penggunaan media pembelajaran harus disesuaikan dengan penyajian materi pembelajaran yang dipersiapkan pendidik. Seorang pendidik tidak lagi semata-mata hanya mengandalkan buku teks ajar atau dirinya sendiri dalam proses transformasi pembelajaran. Di tengah nuansa semangat pendidikan abad 21 ini, pendidik dituntut harus memanfaatkan dan mengembangkan media pembelajaran yang proporsional.
Penulis sendiri sebagai seorang pendidik telah melakukan upaya pemanfaatan dan pengembangan media pembelajaran. Seperti saat masa pandemi Covid-19, prioritas pembelajaran daring mengharuskan penulis memanfaatkan dan mengembangkan media pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran. Media pembelajaran yang penulis gunakan yaitu media pembelajaran berbasis digital diantaranya Whatsapp, Google Meet, Google Classroom,Prezi, Quizizz, dan Canva.
Pada masa pembelajaran saat ini, penulis banyak memanfaatkan aplikasi Canva untuk mendesain penyajian presentasi bahan ajar. Penulis juga memanfaatkan Macromedia untuk perancangan asesmen belajar dan Filmora untuk pembuatan video materi pembelajaran terkait. Selain berbagai pengembangan media berbasis digital yang penulis sebutkan di atas, penulis juga melakukan pengembangan media berbasis lingkungan. Sekolah tempat penulis mengajar yang berada di kawasan pantai, memberikan banyak kesempatan bagi penulis untuk merancang pembelajaran di luar kelas. Pembelajaran di luar kelas yang dimaksud adalah pembelajaran yang memanfaatkan media pantai sebagai tempat belajar. Pernah pula penulis memanfaatkan limbah sampah plastik makanan ringan yang berada di lingkungan sekolah, digunakan sebagai alat dan media pembelajaran sesuai materi teks pembelajaran terkait. Dengan begitu penulis melaksanakan pembelajaran sekaligus melakukan gerakan kebersihan.
Penulis menyadari dalam melakukan pengembangan media pembelajaran mesti memperhatikan berbagai aspek dan pertimbangan. Termasuk pemahaman terkait upaya pengembangan media pembelajaran. Oleh karena itu, makalah ini berupaya menguraikan secara kajian pustaka terkait pengembangan media pembelajaran.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:
Bagaimanakah hakikat pengembangan media pembelajaran?Bagaimanakah prinsip pengembangan media pembelajaran?Bagaimanakah prosedur pengembangan media pembelajaran?Bagaimanakah jenis-jenis pengembangan media pembelajaran?
1.3 Tujuan Penulisan
Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:
Untuk memahami hakikat pengembangan media pembelajaranUntuk memahami prinsip pengembangan media pembelajaranUntuk mengetahui prosedur media pembelajaranUntuk memahami jenis-jenis pengembangan media pembelajaran
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN
2.1.1 Hakikat Pengembangan Media Pembelajaran
Keterbatasan media pembelajaran yang melatarbelakangi upaya pengembangan media pembelajaran. Kebanyakan sekolah belum mampu menghadirkan beragam media pembelajaran alternatif, ditambah guru yang hanya mengandalkan media pembelajaran berbasis teks dari media cetak seperti buku, modul, poster dan surat kabar. Mengabaikan pemanfaatan media pembelajaran berbasis audio visual, media elektronik, multimedia dan lainnya.
Maka guru sebagai pendidik mesti menganggap penting asa kebermanfaatan media pembelajaran yang memberikan jalan kreativitas dan inovasi bagi guru dalam mengemas dan mengembangkan media pembelajaran yang bermuara pada terciptanya proses pembelajaran yang berkualitas.Pengembangan media pembelajaran dirancang untuk memberikan situasi pembelajaran yang bermakna bagi siswa dan menciptakan interaksi interpersonal antara guru dan siswa.
Pengembangan media pembelajaran dilaksanakan secara sistematik berdasarkan kebutuhan dan karakteristik siswa, serta di arahkan kepada perubahan tingkah laku sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Dari sini kemudian berkembang suatu konsep pengembangan media pembelajaran yang dewasa ini mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurut (Gustafson, 1991) mengatakan bahwa pengembangan merupakan aktivitas yang terdiri dari lima kategori yaitu (1) menganalisis kebutuhan pembelajaran dan kondisi yang terjadi, (2) mendesain seperangkat spesifikasi lingkungan belajar yang efektif dan efisien, (3) mengembangkan aspek-aspek yang sesuai dengan peserta didik dan pengelolaan materi, (4) implementasi materi yang dikembangkan, (5) mengevaluasi formatif dan sumatif terhadap hasil pengembangan. Dari penjelasan tersebut dipahami bahwa pengembangan sebagai konsep pelaksanaan aktivitas yang dilakukan secara sistematis sehingga mencapai hasil yang maksimal. Asumsi tersebut sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh (Bahri, 2017) yang mengatakan bahwa pengembangan merupakan aktivitas atau proses mendesain pembelajaran secara sistematis dan logis dengan memperhatikan potensi dan kemampuan peserta didik sehingga mencapai hasil yang maksimal. Asumsi tersebut menekankan pada kreativitas berlandaskan sisteamtika kerja dengan melihat kondisi peserta didik dalam belajar. Oleh karena itu, konsep pengembangan pembelajaran memberikan kontribusi pengembangan potensi dan kemampuan peserta didik.
Sedangkan menurut (Suyitno, 2014) mengatakan bahwa pengembangan sebagai aspek bahan ajar yang dikondisikan dengan pengetahuan baik secara teoritis maupun secara praktis. Konsep tersebut memberikan penekanan terhadap pengembangan strategi pembelajaran sehingga sesuai dengan perkembangan pengetahuan yang ada.
Pada makalah sebelumnya telah banyak disajikan pengertian tentang media pembelajaran. Menurut Hasan (2021:4) Media pembelajaran dapat dideskripsikan sebagai media yang memuat informasi atau pesan instruksional dan dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Media pembelajaran merupakan media yang menyampaikan pesan atau informasi yang memuat maksud atau tujuan pembelajaran. Media pembelajaran sangat penting untuk membantu peserta didik memperoleh konsep baru, keterampilan dan kompetensi.
Dari berbagai pendefenisian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pengembangan media pembelajaran adalah serangkaian proses atau kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan suatu media pembelajaran berdasarkan teori pengembangan yang telah ada. Media yang dimaksud adalah media pembelajaran sehingga teori pengembangan yang digunakan adalah teori pengembangan pembelajaran.
2.1.2 Prinsip Pengembangan Media Pembelajaran
Terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pengembangan media pembelajaran, yaitu:
a. Prinsip Efektifitas dan Efisiensi
Efektivitas yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah keberhasilan pembelajaran yang dapat diukur berdasarkan tingkat ketercapaian tujuan yang dapat dilihat setelah pembelajaran telah selesai dilakukan. Sementara itu efisiensi merupakan pencapaian tujuan pembelajaran dengan sumber daya seminimal mungkin. Materi yang disampaikan melalui media ini akan lebih mudah dipahami oleh siswa (Arsyad, 2013:75-76).
b. Prinsip Taraf Berpikir Siswa
Seperti yang kita ketahui bahwa sebenarnya media hanyalah berfungsi sebagai sebagai alat bantu di dalam kegiatan belajar mengajar. Dalam hal ini media hanya sebagai sarana yang bisa memberikan pengalaman visual pada siswa dalam upaya memotivasi dalam belajar, memperjelas materi yang disampaikan, mempermudah konsep yang masih abstrak atau kompleks menjadi suatu hal yang lebih sederhana, nyata (konkrit) dan juga nantinya dengan mudah dipahami oleh siswa (Baharun, 2015). Media pembelajaran yang dipilih oleh guru hendaknya berdasarkan prinsip taraf berfikir dari masing-masing siswa secara menyeluruh. Media pembelajaran yang sifatnya nyata lebih baik digunakan dalam pembelajaran dibandingkan dengan media yang sifatnya abstrak. Sama halnya dengan media pembelajaran kompleks yang dapat dilihat dari struktur atau tampilan, maka akan sangat sulit dipahami siswa dibandingkan dengan media pembelajaran sederhana yang mampu membuat siswa paham materi yang disampaikan.
c. Prinsip Interaktivitas Media Pembelajaran
Media pembelajaran yang dikembangkan hendaknya mempertimbangkan kemungkinan besar terciptanya interaksi, komunikasi dan partisipasi siswa sebagai subjek pembelajar.
d. Ketersediaan Media Pembelajaran
Guru hendaknya juga bisa melihat tersedia atau tidaknya media pembelajaran yang nantinya akan digunakan. Tujuan pembelajaran tidak akan tercapai manakala media pembelajaran yang akan dipakai tidak tersedia di sekolah. Dengan demikian guru juga bisa meminjam atau juga membuat sendiri media pembelajaran yang dimaksud. Apabila kegiatan pembelajaran dilaksanakan secara berkelompok, maka media pembelajaran yang tersedia pun juga harus tercukupi.
e. Kemampuan Guru menggunakan Media Pembelajaran
Penggunaan media pembelajaran diharapkan bisa merangsang siswa untuk belajar. Adapun media pembelajaaran tersebut juga bisa menjadi suatu stimulus guna meningkatkan kemauan siswa, sehingga mereka bisa mengikuti kegiatan belajar mengajar sebaik mungkin (Baharun, 2015). Media yang dipilih hendaknya disesuaikan dengan kemampuan dari guru yang bersangkutan, baik dari segi pengayaan ataupun pengoperasian medianya.
f. Alokasi Waktu
Guru seringkali dikejar dengan waktu untuk bisa menyelesaikan kegiatan pembelajaran sesuai dengan tuntuntan kurikulum yang berlaku. Oleh sebab itu, pemakaian media pembelajaran yang sebenarnya sangat efektif guna mencapai tujuan pembelajaran dan juga kelebihan lain kadang kala dengan sangat terpaksa dikesampingkan oleh guru apabila alokasi waktu tidak sesuai. Bagi seorang guru seringkali ketersediaan waktu tersebut dapat mereka siasati dengan berbagai cara berdasarkan pengalaman mereka.
g. Fleksibiltas Media Pembelajaran
Suatu media pembelajaran dapat dikatakan fleksibel manakala media tersebut bisa dipakai diberbagai situasi. Pada saat tertentu proses pembelajaran yang berlangsung terjadi perubahan situasi dan berdampak pada media pembelajaran tidak bisa digunakan. Oleh karena itulah perlunya media pembelajaran yang fleksibel di segala situasi kondisi.
h. Keamanan Penggunaan
Penggunaan media pembelajaran juga harus memperhatikan prinsip keamanan dari si pengguna. Apabila tidak hati-hati dalam penggunaan media tersebut, maka bisa menyebabkan kecelakaan tertentu contohnya siswa menjadi terluka. Dengan demikian media pembelajaran yang dipakai haruslah media yang aman, sehingga tidak terjadi hal yang tidak diinginkan selama kegiatan belajar-mengajar berlangsung.
2.1.3 Prosedur Pengembangan Media Pembelajaran
Pengembangan media pembelajaran memiliki tahapan prosedur yang mesti dilakukan oleh guru. Adapun prosedur pengembangan yang dimaksud dipaparkan dalam uraian berikut.
1. Perencanaan Media Pembelajaran
Sadiman, dkk. (2006:100) menyebutkan hal-hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam merencanakan pengembangan media pembelajaran yaitu menganalisis kebutuhan dan karakteristik siswa; merumuskan kompetensi dan indikator hasil belajar; merumuskan butir-butir materi secara terperinci yang mendukung tercapainya kompetensi; mengembangkan alat pengukur keberhasilan; menulis naskah media; dan mengadakan tes dan revisi.
2. Produksi Media Pembelajaran
Produksi media pembelajaran menempatkan naskah sebagai kebutuhan utama yang mesti dihadirkan. Naskah adalah rancangan produksi. Dengan naskah itu kita dipandu dalam mengambil gambar, merekam suara, memadukan gambar dan suara, memasukkan musik dan lainnya, serta menyunting gambar dan suara itu supaya penyajiannya sesuai dengan naskah, menarik dan mudah diterima oleh sasaran. Semua kegiatan itu disebut kegiatan produksi (Sadiman, dkk., 2006: 165).
Kegiatan produksi ini memiliki tiga kelompok personil yang terlibat, yaitu sutradara atau pemimpin produksi, kerabat kerja, dan pemain. Ketiga kelompok personil itu mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berbeda namun semuanya menuju satu tujuan yaitu menghasilkan program media yang mempunyai mutu teknis yang baik. Program produksi memiliki tingkat kerumitan yang berbeda antara media yang satu dengan media yang lainnya. Produksi audio dapat dilakukan oleh seorang sutradara dengan dibantu dua orang teknisi dan beberapa orang pemain. Dalam produksi fi lm bingkai jumlah kerabat kerja yang diperlukan sudah lebih banyak, kecuali kerabat kerja untuk merekam audionya sutradara perlu dibantu pula oleh juru kamera, dan grafi k artis. Pada produksi TV/Video dan fi lm jumlah kerabat kerja tersebut sudah menjadi lebih kompleks. Selain itu, juru audio dan grafi k artis diperlukan juga juru kamera lebih dari seorang, juru lampu, juru rias, pengatur setting, juru perlengkapan dan juru catat. Karena kompleksnya pekerjaan, sutradara perlu dibantu oleh pembantu sutradara.
3. Evaluasi Media Pembelajaran
Menurut Stufflebeam yang dikutip oleh Widoyoko (2009: 3), evaluasi pada dasarnya merupakan suatu proses menyediakan informasi yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk menentukan harga dan jasa (the word and merit) dari tujuan yang ingin dicapai, desain, implementasi, dampak untuk membantu membuat keputusan, membantu pertanggungjawaban dan meningkatkan pemahaman terhadap fenomena. Menurut pengertian ini dapat dipahami bahwa pada intinya evaluasi itu merupakan suatu proses yang sistematis dan berkesinambungan untuk mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan serta penyusunan dan penyempurnaan program/kegiatan selanjutnya. Ada dua macam bentuk evaluasi media yang dikenal, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif (Arief S. Sadiman, dkk., 2006:185). Evaluasi formatif adalah proses yang dimaksudkan untuk mengumpulkan data tentang efektivitas dan efisiensi media pembelajaran. Tujuannya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Data-data tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan media yang bersangkutan agar lebih efektif dan efisien. Evaluasi sumatif adalah kegiatan untuk mengumpulkan data dalam rangka untuk menentukan apakah media yang dibuat patut digunakan dalam situasi-situasi tertentu. Di samping itu, tujuan evaluasi sumatif adalah untuk menentukan apakah media tersebut benar-benar efektif seperti yang dilaporkan.
2.1.4 Jenis-jenis Pengembangan Media Pembelajaran
Beragam jenis pengembangan media pembelajaran yang dapat menjadi opsi bagi pendidik untuk mengembangkan media pembelajaran disesuaikan karakteristik dan kebutuhan pembelajaran. Berikut diuraikan jenis-jenis pengembangan media pembelajaran:
1. Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Audio Visual
Media audiovisual adalah media yang penyampaian pesannya dapat diterima oleh indra pendengaran dan indra penglihatan, akan tetapi gambar yang dihasilkannya adalah gambar diam atau sedikit memiliki unsur gerak. Menurut Arsyad(2011:9) media visual yang menggabungkan penggunaan suara memerlukan pekerjaan tambahan untuk memproduksinya. Salah satu pekerjaan penting yang diperlukan dalam media audio visual adalah penulisan naskah dan storyboard yang memerlukan persiapan yang banyak, rancangan dan penelitian. Beberapa kelebihan media audio visual dapat memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis (dalam bentuk kata-kata, tertulis atau lisan belaka), mengatasi perbatasan ruang, waktu dan daya indra, media audio visual bisa berperan dalam pembelajaran tutorial. Peran guru dalam inovasi dan pengembangan media pengajaran sangat diperlukan mengingat guru dapat dikatakan sebagai pemain yang sangat berperan dalam proses belajar mengajar di kelas, yang hendaknya dapat mengolah kemampuannya untuk membuat media pengajaran lebih efektif dan efisien. Hal ini disebabkan perkembangan jaman yang terus terjadi tanpa henti dengan kurun waktu tertentu.
Jenis media audio visual yang dapat dikembangkan yaitu media audio visual gerak dan media audio visual diam. Media audio visual gerak adalah media intruksional modern yang sesuai dengan perkembangan zaman (kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi) karena meliputi penglihatan, pendengaran dan gerakan, serta menampilkan unsur gambar yang bergerak. Jenis media yang termasuk dalam kelompok ini adalah televisi, video tape, dan film bergerak. Media audio visual diam yaitu media yang menampilkan suara dan gambar diam, seperti film bingkai suara (sound slides) dan film rangkai suara.
Dalam pengaplikasian media audio visual ada hal-hal yang harus dipersiapkan misalnya; guru harus tau cara pengoprasian media tersebut, guru harus terlebih dahulu tahu konten alat bantu yang akan digunakan, dan yang pasti harus sesuai dengan indikator pencapaian yang akan dicapai. Dari beberapa penjelasan mengenai media pembelajaran berbasis audio visual di atas, maka dapat diambil benang merah bahwa karakteristik media audio visual: bersifat linier; menyajikan visual yang dinamis; digunakan dengan cara yang telah ditetapkan sebelumnya oleh perancang/pembuatnya; merupakan representasi fisik dari gagasan real atau gagasan abstrak; dikembangkan menurut prinsip psikologis behaviorisme dan kognitif; serta berorientasi kepada guru dengan tingkat pelibatan interaktif murid yang rendah.
2. Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Grafis (Visual)
Media grafis adalah media visual yang menyajikan fakta, ide atau gagasan melalui penyajian kata-kata, kalimat, angka-angka, dan simbol/gambar. Grafis biasanya digunakan untuk menarik perhatian, memperjelas sajian ide, dan mengilustrasikan fakta-fakta sehingga menarik dan diingat orang. Media grafis merupakan media pembelajaran yang sangat penting karena dengan menggunakan media grafis siswa dapat menghubungkan hal[1]hal yang saling berkaitan misalnya adanya perubahan dalam pergaulan sehari-hari, kebudayaan-kebudayaan daerah yang telah unjuk gigi di dunia internasional, mudahnya akses informasi dan lain-lain. Manfaat media grafis dalam proses pembelajaran adalah membantu dalam penyampaian dan penjelasan mengenai informasi, pesan, ide dan sebagainya dengan tanpa banyak menggunakan bahasa-bahasa verbal, tetapi dapat lebih memberi kesan. Indriana (2011: 64) menjelaskan bahwa media grafis merupakan media visual yang menyajikan fakta, ide, dan gagasan melalui kata-kata, kalimat, angka-angka, dan berbagai simbol atau gambar.
Karakteristik media grafis dapat dilihat menurut kemampuan membangkitkan rangsangan indera penglihatan, pendengaran, perabaan, pengecapan, maupun penciuman atau kesesuaiannya dengan tingkatan hierarki belajar. Jenis-jenis media grafis yang dapat dikembangkan adalah diagram, poster, kartun, foto, sketsa, bagan, dan komik.
Secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut, bahwa media grafis mempunyai kebaikan yang dapat mengatasi kekurangan daya mampu panca indera manusia yaitu : 1) Media grafis dapat menarik perhatian. 2) Media grafis dapat menjelaskan sajian ide. 3) Media grafis dapat mengilustrasikan atau menghiasi fakta. 4) Media grafis murah harganya dan mudah didapat serta digunakan, tanpa memerlukan peralatan khusus. 5) Siswa mendapatkan pengalaman secara langsung yang tidak mudah dilupakan atau diabaikan bila tidak digrafiskan. Namun media grafis juga mempunyai kelemahan yaitu : 1) Media grafis hanya menekankan persepsi indera mata sehingga kegiatan pembelajaran siswa kurang. 2) Benda-benda yang komplek tidak dapat diperagakan melalui media grafis karena media grafis belum dapat mewakili.
3. Pengembangan Media Pembelajaran Interaktif Berbasis Multimedia
Anitah (2010) berpendapat bahwa multimedia diartikan sebagai penggunaan berbagai jenis media secara berurutan maupun simultan untuk menyajikan suatu informasi. Multimedia saat ini bersinonim dengan format computer based yang mengkombinasikan teks, grafis, audio, bahkan video ke dalam satu penyajian digital tunggal dan koheren. Di sisi lain, tujuan penggunaan multimedia dalam pembelajaran adalah melibatkan siswa dalam pengalaman multisensoris untuk meningkatkan hasil belajar. Lebih lanjut diutarakan tentang konsep multimedia dengan lebih konkret dengan menyebutkan kompenen-komponen yang ada dalam multimedia.
Multimedia merupakan perpaduan antara berbagai media (format file) yang berupa teks, gambar (vector atau bitmap), grafik, suara, animasi, video, interaksi, dan lain-lain yang telah dikemas dalam file digital (komputerisasi), digunakan untuk menyampaikan pesan kepada publik (Niken dan Ariyani, 2010). Berdasarkan pendapat tersebut maka yang disebut multimedia tidak lagi hanya sebatas pada penggabungan beberapa media saja, tetapi yang dimaksud multimedia di sini lebih mengarah pada penggabungan berbagai unsur, seperti teks, gambar, dan yang lain yang sudah diolah dengan program tertentu dengan bantuan komputer.
Multimedia pembelajaran dapat diartikan sebagai aplikasi multimedia yang digunakan dalam proses pembelajaran, dengan kata lain untuk menyalurkan pesan (pengetahuan, keterampilan dan sikap) serta dapat merangsang piliran, perasaan, perhatian dan kemauan yang belajar sehingga secara sengaja proses belajar terjadi, bertujuan dan terkendali. Multimedia pembelajaran harus dibuat semenarik mungkin agar dalam penggunaannya tidak hanya dapat menyalurkan pesan dan pengetahuan, tetapi juga dapat membuat siswa tertarik dan termotivasi untuk belajar. Dengan demikian, apabila multimedia pembelajaran dipilih, dikembangkan, dan digunakan secara tepat pembelajaran akan lebih menarik dan kualitas belajar siswa pun dapat ditingkatkan. Jenis-jenis mutimedia yang dapat dikembangkan menurut Smaldino dalam Anita(2010) yaitu:
a) Multimedia kits
Multimedia kits merupakan kumpulan bahan-bahan yag berisi lebih dari satu jenis media yang diorganisasikan untuk satu topik. Jenis ini termasuk CD-ROM, slides, audiotape, videotape, gambar diam, model, media cetak, OHT, lembar kerja, gambar, grafis, dan objek.
b) Hypermedia
Hypermedia merupakan media yang memiliki komposisi materi-materi yang tidak berurutan. Hypermedia mengacu pada software komputer yang menggunakan unsur-unsur teks, grafis, video, dan audio yang dihubungkan dengan cara yang dapat mempermudah pemakai untuk beralih ke suatu informasi. Hypermedia didasarkan pada teori kognitif tentang bagaimana seseorang menstruktur pengetahuannya dan bagaimana ia belajar
c) Media interkatif
Media interaktif adalah media yang meminta pebelajar mempraktikan suatu keterampilan dan menerima balikan. Media interaktif berbasis komputer menciptakan lingkungan belajar multimedia dengan ciri-ciri baik video maupun pembelajaran berbasis komputer. Ini merupakan suatu sistem penyajian pelajaran dengan visual , suara, dan materi video, disajikan dengan kontrol komputer, sehingga pebelajar tidak hanya dapat mendengar dan melihat gambar dan suara, tetapi juga memberi respon aktif.
d) Virtual reality
Media ini melibatkan pengalaman multisensoris dan berinteraksi dengan fenomena sebagaimana yang ada di dunia nyata. Virtual reality merupakan suatu aplikasi teknologi komputer yang relatif baru. Virtual Reality adalah teknologi yang digunakan oleh pengguna untuk berinteraksi dengan lingkungan simulasi komputer baik berdasarkan objek nyata maupun animasi. Lingkungan realitas maya terkini umumnya menyajikan pengalaman visual, yang ditampilkan pada sebuah layar komputer atau melalui sebuah penampil stereokopik, tapi beberapa simulasi mengikutsertakan tambahan informasi hasil penginderaan, seperti suara melalui speaker atau headphone. Virtual reality disingkat dengan VR yang dapat menciptakan sebuah simulasi dunia tiga dimensi.
e) Expert system
Expert system merupakan paket software yang mengajarkan pada pebelajar bagaimana memecahkan masalah yang kompleks dengan menerapkan kebijakan para ahli secara kolektif di lapangan. Setelah komputer menjadi kenyataan, para ahli tergugah oleh apa yang dilihat sebagi paralel bagaimana otak manusia bekerja dan bagaimana komputer dapat belajar sebaik mengulang dan menyusun informasi. Eksperimen para ahli tersebut membawa ke permainan komputer, sampai akhirnya pada apa yang disebut expert system
4. Pengembangan Media Pembelajaran Interaktif Bahasa dengan Piranti Lunak Presentasi
Piranti lunak pengembangan materi pembelajaran yang ada saat ini seperti Course Builder, Visual Basic, atau Dream Weaver cukup rumit sehingga hanya dikuasai oleh para pemrogram komputer sedangkan pengelola bahasa asing pada umumnya hanya menguasai pembelajaran bahasa. Jadi pengembangan materi pembelajaran interaktif dengan komputer kurang optimal. Pembuatan media pembelajaran bahasa asing interaktif akan menggunakan piranti lunak presentasi Microsoft Powerpoint, sebuah piranti lunak yang memberikan banyak sekali manfaat bagi pembelajaran bahasa.
Meskipun piranti lunak ini mudah dan sederhana namun dapat memberikan manfaat yang besar bagi pembelajaran bahasa. Piranti lunak ini dapat menampilkan teks, gambar, suara, dan video. Dengan demikian, piranti lunak ini bisa mengakomodasi semua kegiatan pembelajaran bahasa interaktif seperti mendengarkan, membaca, menulis dan juga bermain language games. Tampilan yang dihasilkan dari piranti lunak ini bisa semenarik program yang dibangun dengan piranti lunak yang canggih
5. Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Animasi Interaktif 2D
Animasi adalah rangkaian gambar yang disusun berurutan atau dikenal dengan istilah frame. Satu frame terdiri dari satu gambar jika susunan gambar tersebut ditampilkan bergantian dengan waktu tertentu maka akan terlihat bergerak. Satuan yang dipakai adalah frame per second (FPS). Misalkan animasi diset 25 frame per second berarti animasi tersebut terdiri dari 25 gambar dalam satu detik. Menurut definisi yang dikemukakan oleh Seels and Glasgow dalam Purnasiwi (2013) animasi interaktif adalah proses penyampaian yang disajikan dalam bentuk video, atau gambar yang dapat bergerak dengan pengendalian yang dilakukan oleh komputer kepada penonton dengan tidak hanya menonton namun juga ada audio yang dapat didengar, sekaligus efek grafik yang timbul untuk menarik respon yang aktif. Secara kompleks, animasi interaktif dapat ditarik kesimpulan dengan alat perantara yang diciptakan dengan mudah melalui komputer mengggunakan unsur audio, gambar, teks untuk menyampaikan pesan secara menarik. Selain animasi 2D interaktif, dapat pula dikembangan media pembelajaran edukasi permainan dalam bentuk quiz game, simulator game, puzzle game, role playing game dan adventure game.
6. Pengembangan Media Pembelajaran berbasis Animasi 3D
Animasi 3D adalah pengembangan dari animasi 2D. Dengan animasi 3D, karakter yang diperlihatkan semakin hidup dan nyata, mendekati wujud aslinya. Disebut tiga dimensi karena jenis ini memiliki sifat kedalaman/ruang pada objeknya. Secara sepintas kita akan mudah mengenali film animasi dengan jenis tiga dimensi ini. Karena bentuknya yang halus, pencahayaannya yang lebih nyata dan kesan ruang yang lebih terasa. Semua itu bisa dilakukan karena dibantu dengan teknologi komputer saat ini yang sudah sangat canggih. Objek dibuat secara digital dengan menggunakan software 3D khusus.
Animasi Tiga dimensi (3D) adalah teknik pembuatan animasi pada sebuah bidang yang menggunakan tiga sumbu X, Y, dan Z sebagai sumbu kedalaman. Objek yang dihasilkan bisa diputar berdasarkan ke tiga sumbunya. Umumnya animasi 3D dikerjakan di dalam komputer yakni sudah berupa file digital. Background dalam 3D dapat dibuat dengan modeling bagunan, hutan, gunung, dan lainnya. Sebagai langkah terakhir agar hasil animasinya lebih sempurna ditambahkan efek gambar lainnya seperti debu, angin, hujan, petir, dan air. Metodologi yang paling umum dipakai pada proses produksi multimedia adalah yang biasa disebut dengan alur produksi tiga tahap. Dalam pembuatan animasi 3D ada beberapa tahap yang harus dilakukan yaitu:
a. Pra Produksi, dalam tahap pra produksi ini ada beberapa hal yang harus kita lakukan terlebuh dahulu seperti menyiapkan ide, konsep, sketsa model/karakter, storyboard, pengambilan suara ataubacksound.
b. Produksi, dalam proses produksi animasi 3D ada beberapa tahap yang perlu dilakukan yaitu modeling, teksturing, lighting, environment effect, pergerakan animasi, rendering.
c. Pasca Produksi, dalam tahap pasca produksi animasi 3D hal yang harus dilakukan yaitu mengedit animasi dan suara, menambah audio, menambah efek visual, dan pratinjau akhir.
Adapun aplikasi pendukung yang digunakan adalah Skecth up, Adobe premiere pro, dan lumion. Dalam perancangan animasi 3D sangat membutuhkan konsep yang baik agar animasi 3D yang dihasilkan lebih maksimal, terutama pada pembuatan animasi dibutuhkan kemampuan modeling dan arahan kamera yang sangat baik agar menghasilkan objek yang realistis atau nyata. Untuk merancang animasi 3D yang digunakan sebagai media pembelajaran, diperlukan riset tentang pembelajaran yang akan diajarkan dan bagaimana mengaplikasikannya ke dalam hasil jadi yaitu berupa animasi 3D sehingga memperkaya model pembelajaran.
7. Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Film Dokumenter
Film Dokumenter adalah Film yang menyajikan cerita nyata, dilakukan pada lokasi yang sesungguhnya. Juga sebuah gaya dalam memfilmkan dengan efek realitas yang diciptakan dengan cara penggunaan kamera, sound, dan lokasi(Muslimin, 2017:174). Film dokumenter memiliki karakter tersendiri di mana audiensi menyaksikannya antara serius dan rileks. Sehingga produser dokumenter dapat melakukan beberapa alternative gaya seperti: humoris, puitis, satire (sindiran), anekdot, serius, dan semi serius. Hal tersebut disesuaikan dengan peristiwa serta genre dokumenter yang akan dikembangkan. Melalui sebuah media film dokumenter maka dapat disampaikan gagasan kepada audiens dengan cara kreatif. Sebuah fakta disampaikan melalui cerita yang menarik dengan sudut pandang yang berbeda, dapat menjadi cerminan penonton tentang berbagai hal-hal kecil yang ada di sekitar namun memiliki sebuah makna yang besar.Dalam proses pembuatannya menggunakan tiga tahapan yaitu proses pra produksi, produksi dan pasca produksi.
8. Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Motion Comic
Motion comic adalah perpaduan antara komik cetak dengan animasi dengan memberikan efek suara dan panel bergerak dari karya asli. Motion comic dipilih sebagai media karena melihat dari psikologi anak pada umumnya yang memiliki ketertarikan lebih pada gambar dan cerita, sehingga nantinya dalam penyampaian pesan tidak bersifat menggurui sekaligus memberikan gambaran yang mudah dicerna oleh anak. Motion comic berkembang tidak hanya sebagai komik yang berdiri sendiri melainkan bisa dipakai juga sebagai media pendukung, seperti bumper event, opening film, info grafis, dan ilustrasi dalam sebuah film dokumenter. Media Motion Comic sendiri merupakan percampuran dari animasi, dalam kasus ini teknis motion graphic dengan komik. Komik menyediakan cerita serta karakter dan aset visual, sedangkan motion graphic memberikan dampak baru bagi para pembacanya.
Sedangkan untuk variabel balon kata, yang dalam beberapa kasus digantikan oleh suara manusia seperti animasi, masih diperdebatkan dalam arti baik atau tidaknya, Ada pendapat yang menyatakan bahwa Motion Comic haruslah menggunakan balon kata, namun dalam beberapa kasus komik konvensional pun tidak menggunakan balon kata seperti yang diperdebatkan. Sehingga khusus untuk penyampaian dialog masih belum bisa dipastikan untuk menggunakan suara atau pun balon kata. Hal yang ditekankan disini adalah unsur gerakan yang ditambahkan di dalam komik merespon dengan kemajuan teknis pengerjaan komik konvensional yang menyediakan gambar-gambar yang diurutkan dalam panel, Motion Comic menggerakkan gambar di dalam panel tersebut sehingga satu panel dapat merangkum beberapa sekuens cerita.(Pradinta:2014.)
Selain berbagai macam jenis penembangan media yang dikemukakan di atas, menurut hemat penulis saat ini guru dimudahkan dengan berbagai macam aplikasi yang ddapat digunakan sebagai media pembelajaran. Aplikasi tersebut tentunya dirancang untuk menuntun pembelajaran dalam berbagai situasi, kondisi, ruang dan waktu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengembangan media pembelajaran adalah serangkaian proses atau kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan suatu media pembelajaran berdasarkan teori pengembangan yang telah ada. Media yang dimaksud adalah media pembelajaran sehingga teori pengembangan yang digunakan adalah teori pengembangan pembelajaran. Terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pengembangan media pembelajaran, yaitu:a) prinsip efektifitas dan efisiensi, b) prinsip taraf berpikir siswa, c) prinsip interaktivitas media pembelajaran, d) ketersediaan media pembelajaran, e) kemampuan guru menggunakan media pembelajaran, f) alokasi waktu, g) fleksibiltas media pembelajaran, h) keamanan penggunaan.
Pengembangan media pembelajaran memiliki tahapan prosedur yang mesti dilakukan oleh guru. Adapun prosedur pengembangan yang dimaksud adalah perencanaan media pembelajaran, produksi media pembelajaran, dan evaluasi media pembelajaran. Beragam jenis pengembangan media pembelajaran yang dapat menjadi opsi bagi pendidik untuk mengembangkan media pembelajaran disesuaikan karakteristik dan kebutuhan pembelajaran yaitu: audio visual, grafis(visual), multimedia interaktif, interaktif bahasa dengan piranti lunak, animasi 2D/3D, film dokumenter, dan motion comic.
3.2 Saran
Pada makalah ini kita telah diberikan pemahaman mengenai pengembangan media pembelajaran.. Sangat besar harapan penyusun agar nantinya makalah ini dapat membantu pembaca untuk lebih memahami baik konsep maupun penerapan pengembangan media pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dan kampus. Selain itu, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca agar pada penulisan makalah selanjutnya hal itu dapat diperbaiki. Tak luput penyusun menitipkan masukan sebagai berikut:
3.2.1 Bagi linguis, dosen, peneliti
a. Memperkaya multi penafsiran kajian pengembangan media pembelajaran Bahasa Indonesia.
b. Memproduksi teori pengembangan media pembelajaran Bahasa Indonesia
c. Mendokumentasikan penelitian bidang pengembangan media pembelajaran Bahasa Indonesia
3.2.2 Bagi guru dan mahasiswa bahasa
a. Mendalami kajian pengembangan media pembelajaran Bahasa Indonesia dengan sumber beragam dan terbaru
b. Melakukan penelitian kajian pengembangan media pembelajaran Bahasa Indonesia
c. Berkolaborasi dengan dosen dan peneliti dalam berkarya.
DAFTAR PUSTAKA
Bahri, S. (2017). Pengembangan Kurikulum Dasar dan Tujuannya. Jurnal Ilmiah Islam Futura, 11(1), 15–34.
Gustafson, K. L. (1991). Survey of Instructional Development Models. ERIC Clearinghouse on Information & Technology
Suyitno, I. (2014). Pengembangan Bahan Ajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) berdasarkan Hasil Analisis Kebutuhan Belajar. Wacana, Journal of the Humanities of Indonesia, 9(1)
Hasan, Muhammad dkk. (2021). Media Pembelajaran. Klaten: Penerbit Tahta Media Group.
Baharun, Hasan. (2015). Penerapan Pembelajaran Active Learning Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Di Madrasah. Jurnal Pendidikan Pedagogik 1, 34–46.
Arsyad, Azhar. (2013). Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers.
Sadiman, Arief S. (2006). Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Widoyoko, S. Eko Putro. (2009). Evaluasi Program Pembelajaran: Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Arsyad , Azhar. (2011). Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Indriana, Dina. (2011). Ragam Alat Bantu Pengajaran, Mengenal, Merancang dan Mempraktikannya . Yogyakarta: DIVA Press.
Niken dan Dany Haryanto Ariani, Pembelajaran Multimedia di Sekolah ( Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2010), h. 11.
Anitah, Sri. (2010). Media Pembelajaran . Surakarta: Yuma Pustaka.
Purnasiwi, Rona Guines., dan Kurniawan, Mei P. (2013). Perancangan dan Pembuatan Animasi 2D “Kerusakan Lingkungan” Dengan Teknik Masking. (Ilmiah DASI 14, 2013). h. 4:54 – 57.
Pradinta, Rangga. (2014). Perancangan Motion Comic Thandara dan Arsip Gundala. Jurnal Tingkat Sarjana Bidang Seni Rupa dan Desain, ITB,http://jurnals1.fsrd.itb.ac.id/index.php/viscom/a rticle/view/431, (diakses tanggal 12 Oktober 2022).
Muslimin, Nurul. (2017). Bikin Film, Yuk!. Tutorial Asyik Bikin Film Kamu Sendiri. Yogyakarta: Araska.
KONSEP DASAR KURIKULUM
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa dampak perubahan pada dunia pendidikan. Perubahan tersebut berupa perubahan konsep pendidikan yang berimplikasi pada proses pendidikan yang disesuaikan dengan kemajuan zaman. Proses pencapaian tujuan pendidikan yang tepat guna bagi siswa mengedepankan pentingnya aspek kurikulum.
Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran pada semua jenis dan jenjang pendidikan. Untuk kurikulum pendidikan di Indonesia harua berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945 sebagai falsafah dan dasar negara. Pada perkembangannya, kurikulum nasional telah mengalami beberapa kali perubahan sejak negara kesatuan ini berdiri, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 1999, 2004, 2006, 2013, dan teranyar 2022.
Terdapat banyak definisi kurikulum yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat dipahami karena dasar filsafat yang dianut oleh penulis berbeda-beda. Meskipun demikian, terdapat kesamaan dari definisi-definisi tersebut yang berupa satu fungsi kurikulum, yaitu kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Di Indonesia, tujuan kurikulum tertera pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 yang menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggara kegiatan belajar mengajar.
Kurikulum merupakan bagian integral dari proses pembelajaran secara khusus dan pendidikan pada umumnya. Kurikulum dipedomani untuk seluruh aktivitas kegiatan pendidikan di satuan pendidikan. Oleh karena itu kurikulum sudah menjadi keniscayaan mesti dipahami dengan baik oleh berbagai elemen yang terlibat di dalam pengelolaan pendidikan. Kurikulum memegang peranan vital yang berkedudukan strategis yang menyelimuti segenap kegiatan pendidikan di sekolah. sehingga penyusunan dan pengembangan kurikulum membutuhkan pemahaman yang menyeluruh terhadap konsep dasar kurikulum demi terlaksananya pengimplementasian kurikulum di sekolah. Termasuk mata pelajaran Bahasa Indonesia yang menjadi salah satu podasi struktur kurikulum.
Atas dasar uraian tersebut, makalah ini disusun untuk mengkaji secara deskriptif mengenai konsep dasar kurikulum pendidikan bahasa dan sastra Indonesia
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:
Bagaimanakah pengertian kurikulum?Bagaimanakah dimensi?Bagaimanakah karakteristik kurikulum?Bagaimanakah komponen kurikulum?Bagaimanakah fungsi kurikulum?Bagaimanakah peranan kurikulum?1.3 Tujuan Penulisan
Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:
Untuk memahami pengertian kurikulumUntuk memahami dimensi kurikulumUntuk memahami karakteristik kurikulumUntuk memahami komponen kurikulumUntuk memahami fungsi kurikulumUntuk memahami peranan kurikulum
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 KONSEP DASAR KURIKULUM
2.1.1 Pengertian Kurikulum
Secara etimologis, istilah kurikulum (curriculum) berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya “pelari” dan curere yang berarti “tempat berpacu”. Pada awalnya, istilah kurikulum berasal dari dunia olah raga, terutama dalam bidang atletik pada zaman Romawi Kuno di Yunani. Dalam bahasa Latin, kurikulum berasal dari kata currere yang berarti berlari (running) sebagai suatu pengalaman hidup (Marsh, 2009: 3). Dalam bahasa Prancis, istilah kurikulum berasal dari kata courier yang berarti berlari (to run). secara terminologis istilah kurikulum (dalam pendidikan) adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan peserta didik di sekolah untuk memperoleh ijazah. Ragan (dalam Arifin, 2011: 3) mengemukakan bahwa “The curriculum has mean the subject taught in school or the course of study.”
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan tuntutan masyarakat, perkembangan seni-budaya, peledakan informasi dan penduduk, mengakibatkan tugas dan tanggung jawab sekolah semakin kompleks. Hal ini juga berdampak terhadap perubahan pengertian kurikulum secara luas. Terdapat banyak definisi kurikulum yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat dipahami karena dasar filsafat yang dianut oleh penulis berbeda-beda. Meskipun demikian, terdapat kesamaan dari definisi-definisi tersebut yang berupa satu fungsi kurikulum, yaitu kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan (Dakir, 2010: 1).
Ornstein & Hunkins (2009: 10-11) memberikan lima pokok pengertian kurikulum. Kelima pokok pengertian kurikulum tersebut meliputi: 1) kurikulum dapat didefinisikan sebagai sebuah rencana yang disusun untuk mencapai tujuan-tujuan;2)definisi secara luas, kurikulum berhubungan dengan pengalaman-pengalaman belajar peserta didik; 3) kurikulum adalah sebuah sistem yang berhubungan dengan orang banyak; 4) kurikulum dapat didefinisikan sebagai suatu bidang studi yang terdiri dari dasar, bidang ilmu pengetahuan, penelitian, teori, prinsip, dan ahli-ahli di dalamnya; dan 5) kurikulum didefinisikan sebagai dengan istilah mata pelajaran (Matematika, IPA, Bahasa Inggris, Sejarah, dan lain-lain) atau materi (bagaimana cara yang ditempuh untuk mengorganisasi dan mengasimilasi informasi).
Berikut definisi kurikulum dari berbagai ahli yang disadur dari Longstreet & Shane dalam Ruhimat, dkk.(2011: 3-5):
Nama AhliTahunKurikulumJohn Dewey1916….education consistes primarily in transmission through comunication. …. As societes become more complex in structure and resources, the need for formal or intentional teaching and learning increases.Wiliam C. Bagley1907[The curriculum]… is a storehouse of organized race experience, conserved [until] needed in the constructive solution of new and untried problemsFrederi ck G. Bonser1920…experiences in which pupils are expected to enganged in school, and the general…..sequence in which these experiences are to come.Franklin Bobbitt1924...the series of things which children and youth must do and experience by way of developing abilities to do the things well that make up the affairs of adult life; and to be in all respect what adult should beHollis L. Caswell and Doak S. Campbell1935...all of experinces choldren have under the guidances of teachersRobert M. Hutchins1936The curriculum should include grammar, reading, rhetoric and logic, and mathematics, and in addition at the secondary level introduce the great books of Western worldPickens E. Harris1937...real curriculum development is individual. It is also multiple in the sense that there are teachers and separate children....there will be a curriculum for each child.Henry C. Marrison1940...the content of instruction without reference to instructional ways or means.Dorris Lee and Murray Lee1940...those experiences of the child which the school in any way utilizes or attempts to influence.L. Thomas Hopkins1941The curriculum [is a design made] by all of those who are most intimately concerned with the activities of the life of the children while they are in school... a curriculum must be as flexibel as life and living. It cannot be made beforehand and given to pupils and teachers to install. [also it]...represent those learning each child select, accepts, and incorporetes into himself to act with, in, and upon in subsequent experiences.H. H. Giles, S. P. McCutchen, and A. N. Zechiel1942...the curriculum is...the total experiences with which the school deals in educating young peopleHarold Rugg1947[the curriculum is] the...stream of guided activities that constitutes the life of young people and theirs elders. [in a much earlier book, Rugg disapprovingly spoke of the traditional curriculum as one”...passing on descriptions of earlier cultures and to perpetuating dead languages nad abstract techniques which were useful to no more than a negligible fraction of our population.”]Ralph Tyler1949...learning take place through the experinces the learner has...”learning experinces”...[the curriculum consist of]...all of the learning of students which is planned by and directed by the school to attain its educational goals.Edward A. Krug1950...all learning experiences under the direction of the school.B Othanel Smith, W.O. Stanley, and J. Harlan Shores1950...a sequences of potential experinces...set up in school for the purpose of disciplining children and youth in group ways of thinking and actingRoland B. Faunce and Nelson L. Bossing1951...those learning experiences that fundamental for all learners because they derive from (1) our common, individual drivers and needs and (2) our civil and social needs as participating members of a democratic society.Authur E. Bestor1953The economic, political, and spiritual health of democratic state,,,requires of every man and women a variety of complex skill which rest upon sound knowledge of science, history, economic, philosophy, and other fundamental discplines...the fundamental discplines...have become, in the jargon of educationists, “sunject matter fields.” But a discpline is by no means the same as a subject matter field. The one is a way of thinking, the other a mere aggregation of facts.Harold Alberty1953All of the activities that are provided for students by the school constitute its curriculumGeorge Beauchamp1956...the design of a social group for the educational experiences of their children in school. [Dr. Beauchamp reflects growing emphasis on group processes by the 1950s]Philip H. phenix1962The curriculum should consist entirely of knowledge which comes from the disciplines [while] education should be conceived as guided recapitulation of the processes of inquiry which gave rise to the fruitful bodies of organized knowledge comprising the established disciplines.Hilda Taba1962A curriculum is a plan for learning; therefore, what is known about the learning process and the development of the individual has beating on the shaping of a curriculumJohn I. Goddlad1963A curriculum consists of all those learning intended for a student or group of studentHarry S. Broudy, B. Othanel Smith, and Joe R. Burnett1964...modes og teaching are not, strictly speaking, a part of the curriculum [which] consist primarily of certain kinds of content organized into categories of instructionJ. Galen saylor and William M. Alexander1966 and 1974[the curriculum is]...all learning opportunities provided by the school...a plan for providing sets of learning opportunities to achieve broad educational goals and related specific objectives for an identifiable population served by single school center.The Plowden Report (British)1967The curriculum, in the narrow sense, [consist of] the subjects studied,,,in the period 1898 to 1944...Mauritz Johnson, Jr.1967...a structured series of intended learning outcomesW.J. Popham and Eva L. Baker1970...alll planned learning outcomes for which the school is responsibleDaniel Tanner and laurel Tenner1975...the planned and guided learning experiences and intended learning outcomes, formulated through the systematic reconstruction of knowledge and experiences under the auspices of the school, for the learner’s continuous and will full growth in personal-social competenceDonald E. Orlosky and B. Othanel Smith1978Curriculum is the substances of the school program, it is the content pupils are expected to learnPeter F. Oliva1982Curriculum [is] the plan or program for all experiences which the learner encounters under the direction of the school.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan para ahli tersebut, terdapat perbedaan pandangan dari para ahli. Beberapa ahli mendefinisikan kurikulum dalam makna sempit dan beberapa ahli lainnya mendefinisikan kurikulum dalam makna luas. Kurikulum bermakna sempit memandang bahwa kurikulum hanya merupakan materi-materi pelajaran yang harus diberikan kepada siswa. Selain itu, kurikulum dipandang sebagai seperangkat rencana pelajaran yang harus diberikan kepada siswa. Dalam pandangan yang lebih luas lagi, kurikulum dipandang sebagai seluruh ativitas yang berpengaruh terhadap pembentukan pribadi peserta didik, baik di sekolah maupun di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan.
Di Indonesia sendiri, pengertian kurikulum diterjemahkan pada Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 19 adalah sebagai berikut. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pengertian kurikulum ini lebih banyak berhubungan dengan fungsi dan kegiatan guru sebagai pengembang kurikulum di sekolah, baik dalam dimensi rencana, dimensi kegiatan, maupun dimensi hasil. Implikasi dari pengetian ini adalah: 1) kurikulum harus memiliki rencana; 2) kurikulum memuat tujuan, isi, materi pelajaran, dan cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran; dan 3) kurikulum harus ada hasil sesuai dengan tujuan pendidikan, baik yang berbentuk pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai sebagai akibat terjadinya kegiatan belajar.
2.1.2 Dimensi Kurikulum
Pengertian kurikulum senantiasa berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan. Dengan beragamnya pendapat para ahli tentang pengertian kurikulum, maka secara teoretis satu pengertian yang dapat merangkum semua pendapat agak sulit untuk ditentukan. Berdasarkan hasil kajian, diperoleh beberapa dimensi pengertian kurikulum.
R. Ibrahim (dalam Ruhimat, dkk., 2011: 5) mengelompokkan kurikulum menjadi tiga dimensi, yaitu kurikulum sebagai subtansi, kurikulum sebagai sistem, dan kurikulum sebagai bidang studi. Dimensi pertama, kurikulum sebagai substansi, memandang kurikulum sebagai rencana kegiatan belajar bagi siswa di sekolah atau sebagai perangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum dapat juga merujuk pada suatu dokumen yang berisi rumusan tujuan, bahan ajar, kegiatan pembelajaran, jadwal, dan evaluasi. Suatu kurikulum juga dapat digambarkan sebagai dokumen tertulis sebagai hasil persetujuan bersama antara penyusun kurikulum dan pemegang kebijakan pendidikan dan masyarakat.
Dimensi kedua, kurikulum sebagai sistem, memandang kurikulum sebagai bagian dari sistem persekolahan, sistem pendidikan, bahkan sistem masyarakat. Suatu sistem kurikulum mencakup struktur personalia dan prosedur kerja bagaimana cara menyusun kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi, dan menyempurnakannya. Hasil dari suatu sistem adalah tersusunnya suatu kurikulum dan fungsi dari sistem kurikulum adalah memelihara kurikulum agar tetap dinamis.
Dimensi ketiga memandang kurikulum sebagai bidang studi, yaitu bidang studi kurikulum. Kurikulum merupakan hasil kajian dari para ahli kurikulum dan ahli pendidikan dan pengajaran. Mereka yang mendalami bidang kurikulum mempelajari konsep-konsep dasar tentang kurikulum, melalui studi kepustakaan, dan berbagai kegiatan penelitian dan percobaan, sehingga menemukan hal-hal baru yang dapat memperkaya dan memperkuat bidang studi kurikulum.
Sukmadinata (dalam Ruhimat, 2011: 6) mengemukakan pengertian kurikulum ditinjau dari tiga dimensi, yaitu sebagai ilmu, sebagai sistem dan sebagai rencana. Kurikulum sebagai ilmu dikaji konsep, asumsi, teori-teori, dan prinsip-prinsip dasar tentang kurikulum. Kurikulum sebagai sistem dijelaskan kedudukan kurikulum dalam hubungannnya dengan sistem-sistem lain, komponen-komponen kurikulum, kurikulum dalam berbagai jalur, jenjang, jenis pendidikan, manajemen kurikulum, dan sebagainya. Kurikulum sebagai rencana diungkap beragam rencana dan rancangan atau desain kurikulum. Rencana bersifat menyeluruh untuk semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan atau khusus untuk jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Demikian pula, dengan rancangan atau desain, terdapat desain berdasarkan konsep, tujuan, isi, proses, masalah, dan kebutuhan siswa.
Hasan (dalam Ruhimat, dkk., 2011: 6) mengemukakan bahwa istilah kurikulum memiliki empat dimensi pengertian, di mana satu dimensi dengan dimensi lainnya saling berhubungan. Keempat dimensi kurikulum tersebut, meliputi: 1) kurikulum sebagai suatu ide atau konsepsi; 2) kurikulum sebagai suatu rencana tertulis yang merupakan perwujudan dari kurikulum sebagai ide; 3) kurikulum sebagai suatu kegiatan (proses) yang merupakan bentuk implementasi kurikulum sebagai suatu rencana tertulis; dan 4) kurikulum sebagai suatu hasil belajar yang merupakan konsekuensi dari kurikulum sebagai suatu kegiatan.
2.1.3 Karakteristik Kurikulum
Terdapat beberapa karakteristik atau konsep dalam kurikulum yang perlu dipahami. Walker (dalam Marsh, 2009: 9) mengemukakan tiga konsep dasar dalam kurikulum, meliputi isi, tujuan, dan organisasi.
Longstreet dan Shane (dalam Marsh, 2009: 9-10) mengemukakan empat konsep utama dalam kurikulum, yaitu: 1) society-oriented curriculum, yaitu tujuan sekolah adalah untuk melayani masyarakat; 2) student-centred curriculum, yaitu siswa adalah sumber daya atau input yang sangat penting dalam kurikulum; 3) knowledge-centred curriculum, yaitu ilmu pengetahuan adalah jantung dalam kurikulum; dan 4) eclectic curriculum.
Arifin (2011: 7) mengemukakan bahwa dalam studi tentang kurikulum dikenal beberapa konsep kurikulum, meliputi kurikulum ideal, kurikulum nyata, kurikulum tersembunyi, dan kurikulum dan pembelajaran. Berikut akan diuraikan lebih lanjut tentang keempat konsep dalam kurikulum tersebut.
1. Kurikulum ideal (ideal curriculum), yaitu kurikulum yang berisi susuatu yang baik, yang diharapkan atau dicita-citakan, sebagaimana dimuat dalam buku kurikulum.
2. Kurikulum nyata (real curriculum or actual curriculum), yaitu kegiatan-kegiatan nyata yang dilakukan dalam proses pembelajaran atau yang menjadi kenyataan dari kurikulum yang direncanakan, sebagaimana dimuat dalam buku kurikulum. Kurikulum aktual ini seyogyanya sama dengan kurikulum ideal, atau sekurang-kurangnya mendekati kurikulum ideal, meskipun tidak mungkin sama dengan kenyataannya.
3. Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), yaitu segala esuatu yang mempengaruhi peserta didik secara positif ketika sedang mempelajari sesuatu. Pengaruh ini mungkin dari pribadi guru, peserta didik itu sendiri, suasana pembelajaran, dan sebagainya. Kurikulum tersembunyi terjadi ketika berlangsungnya kurikulum ideal atau dalam kurikulum nyata. Kurikulum tersembunyi sangat kompleks, sukar diketahui, dan sukar dinilai. Gordon, orang pertama yang memperkenalkan istilah hidden curriculum, berpendapat bahwa sikap sebaiknya diajarkan di lingkungan pendidikan formal (keluarga) melalui hidden curriculum.
4. Kurikulum dan pembelajaran (curriculum and instruction), yaitu dua istilah yang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Perbedaannya hanya terletak pada tingkatannya. Kurikulum menunjuk pada suatu program yang bersifat umum, untuk jangka lama, dan tidak dapat dicapai dalam waktu seketika, sedangkan pembelajaran bersifat realitas atau nyata, bersifat khusus dan harus dicapai saat itu juga. Pembelajaran adalah implementasi kurikulum secara nyata dan bertahap yang menuntut peran aktif peserta didik.
2.1.4 Komponen Kurikulum
Kurikulum sebagai suatu program pendidikan yang direncanakan dan akan direncanakan mempunyai komponen-komponen pokok tujuan, isi, organisasi, dan strategi (Surahmad dalam Nurgiyantoro, 2008:9-11), penjelasannya sebagai berikut:
1. Tujuan Kurikulum adalah suatu program yang dimaksudkan untuk mencapai sejumlah tujuan pendidikan. Tujuan inilah yang dijadikan arah atau acuan segala kegiatan pendidikan yang dijalankan. Berhasil atau tidaknya program pengajaran di sekolah dapat diukur dari seberapa jauh dan banyak pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Dalam setiap kurikulum sekolah, pasti dicantumkan tujuan-tujuan pendidikan yang akan atau harus dicapai oleh sekolah yang bersangkutan.
2. Isi program kurikulum adalah segala sesuatu yang diberikan kepada anak dalam kegiatan belajar-mengajar dalam rangka mencapai tujuan. Isi kurikulum meliputi jenis-jenis bidang studi yang diajarkan dan isi program masing-masing bidang studi tersebut. Jenis-jenis bidang studi ditentukan atas dasar tujuan institusional sekolah yang bersangkutan. Jadi, ia berdasarkan kriteria apakah suatu bidang studi menopang tujuan itu atau tidak. Berdasarkan kriteria itu maka jenis bidang studi yang diberikan pada suatu sekolah misalnya SMA, akan berbeda dengan sekolah lain misalnya SMK. Isi program suatu bidang studi yang diajarkan sebenarnya adalah isi kurikulum itu sendiri., atau ada juga yang menyebutkan sebagai silabus. Silabus biasanya dijabarkan ke dalam bentuk pokok-pokok bahasan dan sub-sub pokok bahasan, serta uraian bahan pelajaran. Uraian bahan pelajaran inilah yang dijadikan dasar pengambilan bahan dalam setiap kegiatan belajar mengajar di kelas oleh pihak guru. Penentuan pokok-pokok dan sub pokok bahasan didasarkan pada tujuan instruksional.
3. Organisasi kurikulum adalah struktur program kurikulum yang berupa kerangka program-program pengajaran yang akan disampaikan kepada siswa. Organisasi kurikulum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu srtuktur horisontal dan struktur vertikal. Struktur horisontal berhubungan dengan masalah pengorganisasian kurikulum dalam bentuk penyusunan bahan-bahan pengajaran yang akan disampaikan. Bentuk-bentuk penyusunan mata pelajaran itu dapat secara terpisah (separate subject), kelompok-kelompok mata pelajaran (correlated), atau penyatuan seluruh pelajaran (integrated). Tercakup pula di sini adalah jenis-jenis program pendidikan umum, akademis, keguruan, keterampilan, dan lain-lain. Struktur vertikal berhubungan dengan masalah pelaksanaan kurikulum di sekolah. Misalnya apakah kurikulum dilaksanakan dengan sistem kelas, tanpa kelas, atau gabungan antara keduanya, dengan sistem unit semester atau caturwulan. Termasuk dalam hal ini adalah juga masalah pembagian waktu untuk masing-masing bidang studi untuk tiap tingkat. Misalnya bidang studi bahsa indonesia, diberikan selama berapa jam tiap minggu pada SMP/SMA kelas I, II, dan III. Demikian pula halnya dengan bidang-bidang studi yang lain.
4. Strategi kurikulum dimaksudkan strategi pelaksanaan kurikulum di sekolah. Masalah strategi pelaksanaan itu dapat dilihat dalam cara yang ditempuh dalam melaksanakan pengajaran, penilaian, bimbingan dan konseling, pengaturan kegiatan sekolah secara keseluruhan, pemilihan metode pengajaran, alat atau media pengajaran, dan sebagainya. Dalam pelaksanaan pengajaran misalnya dilakukan dengan pendekatan PPSI (berlaku untuk seluruh bidang studi) atau dengan cara lain seperti sistem pengajaran modul, paket pelajaran, dan sebagainya.
2.1.5 Fungsi Kurikulum
Berkaitan dengan fungsi kurikulum, terdapat enam fungsi kurikulum((Ruhimat,dkk., 2011: 9-10), yaitu:
1. Fungsi penyesuaian (the adjustive or adaptive function)
Fungsi penyesuaian mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mengarahkan siswa agar memiliki sifat well adjusted yaitu mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Lingkungan itu sendiri senantiasa mengalami perubahan dan bersifat dinamis. Oleh karena itu, siswa pun harus memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya.
2. Fungsi integrasi (the integrating function)
Fungsi integrasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh. Siswa pada dasarnya merupakan anggota dan bagian integral dari masyarakat. Oleh karena itu, siswa harus memiliki kepribadian yang dibutuhkan untuk dapat hidup dan berintegrasi dengan masyarakatnya.
3. Fungsi diferensiasi (the differentiating function)
Fungsi diferensiasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan pelayanan terhadap perbedaan individu siswa. Setiap siswa memiliki perbedaan, baik dari aspek fisik maupun psikis yang harus dihargai dan dilayani dengan baik.
4. Fungsi persiapan (the propaedeutic function)
Fungsi persiapan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mempersiapkan siswa untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan berikutnya. Selain itu kurikulum juga diharapkan dapat mempersiapkan siswa untuk dapat hidup dalam masyarakat seandainya karena sesuatu hal, tidak dapat melanjutkan pendidikannya
5. Fungsi pemilihan (the selective function)
Fungsi pemilihan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih program-program belajar yang sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Fungsi pemilihan ini sangat erat hubungannya dengan fungsi diferensiasi, karena pengakuan atas adanya perbedaan individual siswa berarti pula diberikan kesempatan bagi siswa tersebut untuk memilih apa yang sesuai dengan minat dan kemampuannya. Untuk mewujudkan kedua fungsi tersebut, kurikulum perlu disusun secara lebih luas dan bersifat fleksibel.
6. Fungsi diagnostik (the diagnistic function)
Fungsi diagnosik mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu membantu dan mengarahkan siswa untuk dapat memahami dan menerima kekuatan (potensi) dan kelemahan yang dimilikinya. Apabila siswa sudah mampu memahami kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya, maka diharapkan siswa dapat mengembangkan sendiri potensi kekuatan yang dimiliknya atau memperbaiki kelemahan-kelemahannya.
2.1.6 Peranan Kurikulum
Kurikulum dalam pendidikan formal di sekolah/madarasah memiliki peranan yang sangat strategis dan menentukan pencapaian tujuan pendidikan. Apabila dirinci secara lebih mendetail terdapat tiga peranan yang dinilai sangat penting, yaitu peranan konservatif, peranan kreatif, dan peranan kritis/evaluatif (Hamalik, 1990 dalam Ruhimat, 2011:10-12).
1. Peranan Konservatif
Peranan konservatif menekankan bahwa kurikulum dapat dijadikan sebagai sarana untuk mentransmisikan nilai-nilai warisan budaya masa lalu yang dianggap masih relevan dengan masa kini kepada generasi muda, dalam hal ini para siswa. Peranan konservatif ini pada hakikatnya menempatkan kurikulum yang berorientasi ke masa lampau. Peranan ini sifatnya menjadi sangat mendasar, disesuaikan dengan kenyataan bahwa pendidikan pada hakikatnya merupakan proses sosial. Salah satu tugas pendidikan yaitu mempengaruhi dan membina perilaku siswa sesuai dengan nilai-nilai sosial yang hidup di lingkungan masyarakatnya.
2. Peranan Kreatif
Perkembangan ilmu pengetahuan dan aspek-aspek lainnya senantiasa terjadi setiap saat. Peranan kreatif menekankan bahwa kurikulum harus mampu mengembangkan sesuatu yang baru selesai dengan perkembangan yang terjadi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada masa sekarang dan masa mendatang. Kurikulum harus mengandung hal-hal yang dapat membantu setiap siswa mengembangkan semua potensi yang ada pada dirinya untuk memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru, kemampuan-kemampuan baru serta cara berfikir baru yang dibutuhkan dalam kehidupannya.
3. Peranan Kritis/Evaluatif
Peranan ini dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa nilai-nilai dan budaya yang hidup dalam masyarakat senantiasa mengalami perubahan, sehingga pewarisan nilai-nilai dan budaya masa lalu kepada siswa perlu disesuaikan dengan kondisi yang terjadi pada masa sekarang. Selain itu, perkembangan yang terjadi pada masa sekarang dan masa mendatang belum tentu sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Oleh karena itu, peranan kurikulum tidak hanya mewariskan nilai dan budaya yang ada atau menerapkan hasil perkembangan baru yang terjadi, melainkan juga memiliki peranan untuk menilai dan memilih nilai dan budaya serta pengetahuan baru yang akan diwariskan tersebut. Dalam hal ini, kurikulum harus turut aktif berpartisipasi dalam kontrol atau filter sosial. Nilai-nilai sosial yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan tuntutan masa kini dihilangkan dan diadakan modifikasi atau penyempurnaan-penyempurnaan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara etimologis, istilah kurikulum (curriculum) berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya “pelari” dan curere yang berarti “tempat berpacu”. Pada awalnya, istilah kurikulum berasal dari dunia olah raga, terutama dalam bidang atletik pada zaman Romawi Kuno di Yunani. Dalam bahasa Latin, kurikulum berasal dari kata currere yang berarti berlari (running) sebagai suatu pengalaman hidup. Secara terminologis istilah kurikulum (dalam pendidikan) adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan peserta didik di sekolah untuk memperoleh ijazah.
Kurikulum memiliki empat dimensi pengertian, meliputi: 1) kurikulum sebagai suatu ide atau konsepsi; 2) kurikulum sebagai suatu rencana tertulis yang merupakan perwujudan dari kurikulum sebagai ide; 3) kurikulum sebagai suatu kegiatan (proses) yang merupakan bentuk implementasi kurikulum sebagai suatu rencana tertulis; dan 4) kurikulum sebagai suatu hasil belajar yang merupakan konsekuensi dari kurikulum sebagai suatu kegiatan.
Kurikulum sebagai suatu program pendidikan yang direncanakan dan akan direncanakan mempunyai komponen-komponen pokok tujuan, isi, organisasi, dan strategi. Kurikulum memiliki karakteristik atau konsepnya tersendiri yaitu: konsep kurikulum ideal, kurikulum nyata, kurikulum tersembunyi, dan kurikulum dan pembelajaran. Kurikulum memiliki enam fungsi yaitu: fungsi penyesuaian, fungsi integrasi, fungsi diferensiasi, fungsi persiapan, fungsi pemilihan, dan fungsi diagnostik. Kurikulum memiliki tiga peranan utama yaitu peranan konservatif, pernana kreatif, peranan kritis/evaluatif
3.2 Saran
Pada makalah ini kita telah diberikan pemahaman mengenai konsep dasar kurikulum.. Sangat besar harapan penyusun agar nantinya makalah ini dapat membantu pembaca untuk lebih memahami baik konsep maupun penerapan pengembangan kurikulum Bahasa Indonesia di sekolah dan kampus. Selain itu, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca agar pada penulisan makalah selanjutnya hal itu dapat diperbaiki. Tak luput penyusun menitipkan masukan sebagai berikut:
3.2.1 Bagi linguis, dosen, peneliti
a. Memperkaya multi penafsiran kajian pengembangan kurikulum pembelajaran Bahasa Indonesia
b. Memproduksi teori pengembangan kurikulum pembelajaran Bahasa Indonesia
c. Mendokumentasikan penelitian bidang pengembangan kurikulum pembelajaran Bahasa Indonesia
3.2.2 Bagi guru dan mahasiswa bahasa
a. Mendalami kajian pengembangan kurikulum pembelajaran Bahasa Indonesia
b. Melakukan penelitian kajian pengembangan kurikulum pembelajaran Bahasa Indonesia
c. Berkolaborasi dengan dosen dan peneliti dalam berkarya.
DAFTAR PUSTAKA
Burhan Nurgiyantoro. (2008). Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah. Yogjakarta: BPFE.
Dakir. (2010). Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta.
Marsh, Colin J. (2009). Key Concept for Understanding Currculum-4th ed. Britain: Routledge.
Ornstein, Alan C. & Hunkins, Francis P. (2009). Curriculum: Foundations, Principles, and Issues – 5th ed. United States: Pearson Education, Inc.
Ruhimat, Toto dkk. (2011). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Arifin, Zainal. (2011). Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.
LAPORAN HASIL OBSERVASI LAPANGAN Tentang OBSERVASI PERALATAN/MEDIA/APLIKASI TEKNOLOGI INFORMASI DI SEKOLAH
klik link berikut untuk membaca isi laporan:
https://drive.google.com/file/d/1as-m9UnLvOoLcJx_ZotEwtKNTN6gn9Lm/view?usp=sharing
KONTAK BAHASA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai masyarakat multibahasa. Aktivitas kegiatan peri kehidupan mengharuskan masyarakat yang berpindah di satu tempat ke tempat yang lain. Dikarenakan perbedaan penggunaan bahasa penutur angota masyarakat yang satu dengan angota masyarakat lainnya di dalam interaksi komunikasi, melahirkan peristiwa kontak bahasa. Berbagai faktor yang menyebabkan peristiwa kontak bahasa tersebut perlu diuraikan lebih mendalam untuk memahami dinamika kontak bahasa tersebut sebagai bagian dari kajian sosiolinguistik.
Kontak bahasa menghasilkan berbagai dampak proses interaksi bahasa masyarakat penutur yang satu dengan masyarakat penutur lainnya. Sudah banyak pula penelitian yang mengkaji tentang kontak bahasa, salah satunya yang berjudul “Penggunaan Bahasa Transmigran Jawa di Kabupaten Gorontalo” yang diterbitkan Jurnal Humaniora. Di dalam penelitian tersebut, Malabar(2012) menyebutkan:
“Variasi pilihan bahasa transmigran Jawa di Kabupaten Gorontalo memiliki tiga jenis variasi, yaitu variasi tunggal bahasa, alih kode, dan campur kode. Variasi tunggal bahasa dalam interaksi pada setiap ranah meliputi bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Variasi tunggal bahasa ini digunakan untuk menghindari timbulnya kesalahan pada penggunaan bahasa Jawa yang memiliki tingkatan dalam bertutur. Variasi alih kode yang dilakukan adalah peralihan dari kode bahasa Indonesia ke kode bahasa Jawa, peralihan kode bahasa Jawa ke kode bahasa Indonesia, peralihan kode bahasa Jawa ke kode bahasa Melayu dialek Manado, dan peralihan kode bahasa Jawa ke kode bahasa Gorontalo. Alih kode Bahasa Indonesia ke Bahasa Jawa merupakan percakapan dengan alih kode dengan dasar BI, alih kode dapat muncul dengan pilihan kode BJ. Campur kode yang dilakukan berwujud kata, frasa dan klausa. Kode-kode yang terlibat dalam peristiwa campur kode tersebut berasal dari bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Gorontalo, dan bahasa Melayu dialek Manado”.
“
Lebih khusus penulis sebagai seorang guru ingin mengurai kontak bahasa di dalam pengajaran bahasa. Atas berbagai teorema tersebut, penulis menyajikan makalah yang mengangkat judul “Kontak Bahasa”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:
Apakah itu kontak bahasa?Faktor apa saja yang mempengaruhi kontak bahasa?Bagaimanakah akibat kontak bahasa?Bagaimanakah kontak bahasa dalam pengajaran bahasa?Bagaimanakah contoh analisis kontak bahasa berdasarkan studi kasus?
1.3 Tujuan Penulisan
Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:
Untuk mengetahui tentang kontak bahasaUntuk memahami faktor yang mempengaruhi kontak bahasaUntuk memahami akibat kontak bahasaUntuk mengetahui kontak bahasa dalam pengajaran bahasaUntuk memahami contoh analisis kontak bahasa berdasarkan studi kasus
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, Siti. (2022). Alih Kode Pada Podcast Puella Id. Jurnal Penelitian, Pendidikan, dan Pembelajaran, 17(10).
Bhatia, Tej K. (2013). The Handbook of Bilingualism and Multilingualism (Second Edition). West Sussex: Blackwell Publishing.
Budhiono, Hery R. (2014). Diglosia di Daerah Perbatasan. Jurnal Widyaparwa, 42(1), 13-22.
Chaer, Abdul. (2007). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. (2010). Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Holmes, Janet. (2012). An Introduction to Sociolinguistics: Fourth Edition. London dan New York: Routledge.
Hymes, D. (1964). On the Comunicative Competence. England : Harmondsworth, Middlesex.
Kurniati dan Budi Utama. (2015). Konvergensi Bahasa Melayu Bangka: Kajian Dialektologi Tuturan Mahasiswa Bangka di Bandung. Sirok Bastra, 3(1). 23-35.
Mackey, William Francis. (1972). The Description of Bilingualism, Readings in the Sociology of Language. Paris: Mouton.
Malabar, Sayama. (2012). Penggunaan Bahasa Transmigran Jawa di Kabupaten Gorontalo. Jurnal Humaniora, 24(3). 279-291.
Matras, Yaron. (2009). Language Contact. Cambridge : Cambridge University Press.
Mu’in, Fatchul. (2019). Sociolinguistics: a Language Study in Sosiocultural Perspectives. Banjarmasin: FKIP ULM.
Myers-Scotton, C. (2006). Multiple Voice: An Introduction to Bilingualism. Australia: Blackwell Publishing.
Normasunah, N. (2020). Analilis Penggunaan Bilingualisme dan Diglosia pada Tindak Tutur Sehari-hari Siswa SMPN 3 Kelumpang Tengah Kabupaten Kotabaru. Cendekia: Jurnal Ilmiah Pendidikan.8(1). DOI: 10.33659/cip.v8i1.151
Sahril. (2018). Pergeseran Bahasa Daerah pada Anak-Anak di Kuala Tanjung Sumatera Utara. Ranah: Jurnal Kajian Bahasa, 7(2), 210—228. doi: https://doi.org/10.26499/rnh.v7i2.571
Solehudin. (2009). Handout Sosiolinguistik. Bandung: UPI Bandung.
Solihah, Rizki Amalia. (2018). Kontak Bahasa: Kedwibahasaan, Alih Kode, Campur Kode, Interferensi, dan Integrasi. Makalah. Dalam: The 3rd Annual International Conference on Islamic Education, 24-25 Februari.
Thomason, Sarah Gray. (2001). Language Contact: an Introduction. Edinburgh : Edinburgh University Press. Ltd.
Weinrich, Uriel. (1970). Language in Contact: Finding and Problems. Paris: The Hague.
UNTUK MEMBACA LENGKAP MAKALAH SILAHKAN KLIK TAUTAN BERIKUT:https://docs.google.com/document/d/1MIWtosZqM9FWHFYBj_MGCOufgYfcTRqs/edit?usp=sharing&ouid=113875016540080144011&rtpof=true&sd=true
UNTUK MEMBACA BAHAN PRESENTASI MAKALAH KLIK TAUTAN BERIKUT:https://docs.google.com/presentation/d/125uuktTBW0JQ_FYC5-9w9NsUqmUPwG-U/edit?usp=sharing&ouid=113875016540080144011&rtpof=true&sd=true
Kategori
- ASESMEN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
- BIPA
- FILSAFAT ILMU
- ISU MUTAKHIR PENDIDIKAN
- KEMAHIRAN BERBAHASA
- METODOLOGI PENELITIAN
- MODEL PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
- PENGEMBANGAN KURIKULUM BAHASA INDONESIA
- PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
- PENULISAN ARTIKEL ILMIAH
- PROBLEMATIKA PENDIDIKAN
- PSIKOLINGUISTIK LANJUT
- SOSIOLINGUISTIK LANJUT
- STATISTIKA
- STUDI WACANA BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
- TEKNOLOGI INFORMASI
- UMUM
Blogroll
- Masih Kosong