LABEL : ung

SUMBER BELAJAR DAN MEDIA PEMBELAJARAN DALAM PEMBELAJARAN

04 October 2022 10:15:01 Dibaca : 26494

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Pembelajaran sebagai sebuah proses merupakan rangkaian sistemik yang memiliki peranan dalam ketercapaian usaha bersama mencerdaskan anak bangsa. Keberhasilan pembelajaran melibatkan interaksi antara pendidik dan peserta didik dalam pengkondisian lingkungan belajar yang memanfaatkan perantara media pembelajaran untuk efektifitas transformasi pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan perkembangan sikap. Media pembelajaran itu sendiri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sumber belajar. Dinilai dari beragam kerangka landasan, tentunya media pembelajaran ini mengurai fakta entitasnya dalam kedudukannya terhadap pembelajaran. Sudah menjadi keniscayaan seorang guru sebagai pendidik merancang dan memanfaatkan media pembelajaran dari sumber belajar yang valid, terbarukan, kreatif, dan inovatif.

Perlu dicermati sejumlah komponen yang membentuk proses pembelajaran dan beberapa faktor yang bisa saja mempengaruhi kualitas pembelajaran. Dalam artian yang lebih jauh, pemilihan media pembelajaran dan sumber belajar harus diperhatikan dengan baik untuk penyajian pembelajaran yang efektif. Mengingat amat pentingnya hubungan sumber belajar dan media pembelajaran tersebut.

Atas dasar pemikiran tersebut, maka penulis menyusun makalah yang berjudul”Sumber Belajar dan Media Pembelajaran dalam Pembelajaran”.

 

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:

Apa itu proses pembelajaran?Faktor apa saja yang mempengaruhi proses pembelajaran?Bagaimanakah hubungan sumber belajar dan media pembelajaran dalam pembelajaran?Bagaimanakah pemilihan sumber belajar dalam pembelajaran?Apa saja landasan penggunaan media pembelajaran?Bagaimanakah prinsip penggunaan media pembelajaran?Bagaimanakah perkembangan media pembelajaran?Bagaimanakah peran guru dalam media pembelajaran? 

1.3  Tujuan Penulisan

Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:

Untuk mengetahui proses pembelajaranUntuk mengetahui faktor yang mempengaruhi proses pembelajaranUntuk memahami hubungan sumber belajar dan media pembelajaran dalam pembelajaranUntuk memahami pemilihan sumber belajar dalam pembelajaranUntuk mengetahui landasan penggunaan media pembelajaranUntuk memahami prinsip penggunaan media pembelajaranUntuk memahami perkembangan media pembelajaranUntuk memahami peran guru dalam media pembelajaran. 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 KONSEP DASAR PEMBELAJARAN

2.1.1 Proses Pembelajaran

Pembelajaran merupakan proses memanusiakan manusia secara berkelanjutan, luas, dan mendalam. Proses pembelajaran merupakan rangkaian penting interaksi pendidik dan peserta didik dalam upaya mencerdaskan bangsa. Menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 1 ayat 20 dituliskan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Terdapat aktivitas mental dan psikis dalam aktivitas interaksi tersebut dengan lingkungan belajar yang menghasilkan perubahan-perubahan pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan sikap.

Beberapa pendapat ahli yang merumuskan pengertian pembelajaran, yakni sebagai berikut:

Pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang melibatkan seseorang dalam upaya memperoleh pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai positif dengan memanfaatkan berbagai sumber untuk belajar (Rudi dan Cepi, 2008: 1),Pembelajaran merupakan upaya guru untuk menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan, potensi, minat, bakat, dan kebutuhan siswa yang amat beragam agar terjadi interaksi optimal antara guru dan siswa serta antarsiswa (Hamdani, 2011:72),Pembelajaran merupakan perencanaan sebagai upaya untuk membelajarkan siswa. Di dalam pembelajaran siswa tidak hanya berinteraksi dengan guru tetapi berinteraksi dengan keseluruhan sumber belajar yang dipakai untuk mencapai tujuan pembelajaran (Uno, 2006: 2).Sugandi (2006: 9) menyebutkan bahwa pembelajaran merupakan suatu kumpulan proses yang bersifat individual, yang mengubah stimuli dari lingkungan seseorang ke dalam sejumlah informasi, yang selanjutnya dapat menyebabkan adanya hasil belajar dalam bentuk ingatan jangka panjang.Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi pendidik dan peserta didik di dalam pengkondisian lingkungan belajar yang memanfaatkan sumber belajar dalam upaya pemerolehan dan perkembangan pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan sikap.

Pembelajaran dapat dikatakan sebagai suatu sistem jika dalam pembelajaran tersebut mengandung beberapa komponen yang saling berkaitan satu sama lain sehingga dapat mencapai suatu tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Adapun komponen sistem pembelajaran menurut Sanjaya (2009) ialah:

a.       Tujuan Pembelajaran

Dengan adanya tujuan pembelajaran yang baik maka suatu harapan atau cita[1]cita akan menjadi terarah dalam pelaksanaan suatu kegiatan.

b.      Materi Pembelajaran

Materi pembelajaran merupakan isi pelajaran yang disampaikan oleh guru dalam proses pembelajaran.

c.       Model, Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik dan Taktik Pembelajaran

Komponen ini mempunyai fungsi yang sangat menentukan. Pembelajaran yang aktif dan inovatif akan selalu menggunakan model, pendekatan, strategi, metode, teknik dan taktik pembelajaran yang bervariasi sehingga membuat peserta didik akan menjadi lebih bersemangant untuk mengikuti pembelajaran dan dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik.

d.      Media Pembelajaran

Media merupakan wahana penyalur informasi belajar atau penyalur pesan. Dengan menggunakan media pembelajaran maka akan dapat memudahkan guru (pengajar) dalam menyampaikan materi pelajaran dan memudahkan peserta didik dalam menerima dan memahami pelajaran.

e.       Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi merupakan penilaian yang dilakukan oleh guru kepada peserta didik setelah melakukan tahapan pembelajaran, evaluasi ini dilakukan diakhir proses pembelajaran (postest), namun tidak tertutup kemungkinan bahwa evaluasi dapat juga dilakukan diawal proses pembelajaran yang disebut dengan pretest. Melalui evaluasi maka guru dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan kemampuan peserta didik selama kegiatan pembelajaran. tersebut yaitu: tujuan pembelajaran, materi pelajaran, metode pembelajaran, serta hasil akhir yaitu evaluasi pembelajaran.

Dengan menentukan dan menganalilis komponen pokok proses pembelajaran tersebut dapat membantu memrprediksi dan mencapai keberhasilan pembelajaran.

2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Proses Pembelajaran

Dalam proses pembelajaran ada beberapa faktor yang saling mempengaruhi. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses sistem pembelajaran menurut Sanjaya (2012:21-26) adalah:

a.       Guru

Guru memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Peran guru tidak hanya sebagai teladan bagi peserta didiknya, namun guru juga berperan sebagai pengelola kelas, sebagai motivator dan fasilitator, karena itu kualitas pembelajaran sangat ditentukan oleh kualitas atau kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran.

b.      Peserta didik

Peserta didik merupakan subjek yang melakukan kegiatan belajar. Dari aspek peserta didik ada banyak fakor yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran, faktor tersebut antara lain: kemampuan berfikir peserta didik, sikap dan cara berperilaku peserta didik, latar belakang, jenis kelamin, lingkungan, serta jenjang usia peserta didik.

c.       Sarana dan Prasarana

Sarana merupakan alat pendukung yang secara langsung dalam kelancaran kegiatan pembelajaran, seperti: perlengkapan alat tulis pembelajaran, media pembelajaran, serta peralatan-peralatan pendukung pembelajaran. Sedangkan prasarana merupakan suatu yang secara tidak langsung dapat mendukung keberhasilan proses pembelajaran, seperti: lokasi sekolah, lingkungan sekolah, kantin sekolah, perpustakaan dan lain sebagainya.

d.      Lingkungan

Selain guru, peserta didik dan sarana prasarana, lingkungan juga dapat mempengaruhi kegiatan pembelajaran. Peserta didik akan selalu berinteraksi dengan lingkungan yang berbeda-beda baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah maupun lingkungan bermain sehingga baik atau buruknya lingkungan peserta didik akan mempengaruhi proses pembelajaran peserta didik tersebut.

 

2.1.3 Hubungan Sumber Belajar dan Media Pembelajaran dalam Pembelajaran

Media pembelajaran merupakan cara, alat, dan wadah tercerapnya sumber belajar. Sehingga dapat dikatakan bahwa media pembelajaran merupakan bagian tak terpisahkan dari sumber belajar. Media pembelajaran itu sendiri merupakan komponen penting yang mempengaruhi proses pembelajaran. Kedudukan media dalam pembelajaran memiliki peran penting dalam proses penyampaian pesan dari pengajar kepada peserta didik. Hal ini sejalan dengan pengertian media menurut Munadi (2013) yang yaitu segala sesuatu yang dapat memberikan informasi dan kemudian menyampaikan informasi tersebut secara terencana sehingga tercipta suasana belajar yang kondusif, dan baik pengajar maupun peserta didk dapat melaksanakan pembelajaran efektif dan efisien.

Peningkatan produktivitas pembelajaran dapat terpacu dengan kedudukan sumber belajar yang memiliki fungsi dan peranannya dalam penyajian pembelajaran yang lebih mendalam dan luas. Sumber belajar juga memberikan opsi keberterimaan pembelajaran dalam beragam situasi baik secara individu maupun kelompok, baik secara seketika maupun berkesinambungan. Wallington dalam bukunya Job in Instruction Media Study menyatakan bahwa "peran utama sumber belajar adalah membawa atau menyalurkan stimulus dan informasi kepada siswa" (Sudjana dan Rivai, 2003: 78).

Menjadi sebuah kesimpulan hubungan sumber belajar dan media pembelajaran dalam proses pembelajaran merupakan sebuah kesatuan sistem yang menempatkan media pembelajaran sebagai bagian integral dari sumber belajar, adalah komponen penting dalam ketercapaian pembelajaran yang lebih bermakna.

 

2.1.4 Pemilihan Sumber Belajar dalam Pembelajaran

Sebelum melakukan pemilihan sumber belajar yang tepat dalam konteks pembelajaran, perlu diidentifikasi terlebih dahulu mengenai klasifikasi sumber belajar. Sudjana dan Rivai (2003, 80) mengklasifikasikan sumber belajar sebagai berikut:

1.    Sumber belajar tercetak: buku, majalah, brosur, koran, ensiklopedi, kamus, dan lain-lain.

2.    Sumber belajar non cetak: film, slides, video, transparansi, dan sebagainya.

3.    Sumber belajar yang berbentuk fasilitas: perpustakaan, ruang belajar, lapangan olah raga, dan lain-lain.

4.    Sumber belajar berupa kegiatan: wawancara, kerja kelompok, observasi, permainan, dan lain-lain.

5.    Sumber belajar berupa lingkungan di masyarakat: teman, terminal, pasar, toko, pabrik, museum, dan lain-lain.

Selanjutnya dalam pemilihan sumber belajar, harus memperhatikan beberapa kriteria. Menurut Sudjana dan Rivai (2003: 84) ada dua kriteria sumber belajar, yaitu kriteria umum dan kriteria berdasarkan tujuan yang hendak dicapai. Adapun kriteria-kriteria tersebut sebagai berikut:

1)      Kriteria umum

Kriteria umum merupakan ukuran kasar dalam memilih berbagai sumber belajar, misalnya: a) ekonomis dalam pengertian murah, b) praktis dan sederhana, c) mudah diperoleh, d) bersifat fleksibel, e) komponen-komponennya sesuai dengan tujuan.

2)      Kriteria berdasarkan tujuan

Beberapa kriteria sumber belajar berdasarkan tujuan antara lain adalah: a) sumber belajar untuk memotivasi, b) sumber belajar untuk tujuan pengajaran, c) sumber belajar yang digunakan untuk tujuan sumber belajar, c) sumber belajar untuk penelitian, d) sumber belajar untuk memecahkan masalah, e) sumber belajar presentasi (Sudjana dan Rivai, 2003: 84-86).

 

2.2  LANDASAN DAN PRINSIP PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN

2.2.1 Landasan Penggunaan Media Pembelajaran

Ada beberapa tinjauan tentang landasan penggunaan media pembelajaran, antara lain landasasan psikologis, historis, teknologis, empirik, filosofis, dan sosiologis.

a.    Landasan psikologis media pembelajaran

Kondisi psikologis setiap individu berbeda, karena perbedaan tahap perkembanganya, latar belakang sosial budaya, juga karena perbedaan faktor-faktor yang dibawa dari kelahirannya. Kondisi yang berbeda ini juga bergantung pada konteks, peranan, dan status individu diantara inidividu-individu lainnya. Interaksi yang tercipta dalam situasi pembelajaran seharusnya sesuai dengan kondisi psikologis para peserta didik maupun kondisi pendidikannya.

Peserta didik adalah individu yang sedang berada dalam proses perkembangan. Tugas utama yang sesungguhnya dari para pendidik adalah membantu perkembangan peserta didik secara optimal. Sejak kelahiran sampai menjelang kematian,anak selalu berada dalam proses perkembangan, perkembangan seluruh aspek kehidupannya. Tanpa pendidikan disekolah, anak tetap berkembang, tetapi dengan pendidikan disekolah tahap perkembangannya menjadi lebih tinggi dan lebih luas.

Perkembangan atau kemajuan-kemajuan yang dialami anak sebagian besar terjadi karena usaha belajar, baik berlangsung melalui proses peniruan, pengingatan , pembiasaan, pemahaman, penerapan, Ataupun pemecahan masalah. Menurut Bruner (1966: 10-11) ada tiga tingkatan utama modus belajar, yaitu pengalaman langsung (enactive), pengalaman piktorial/gambar (icnonic), dan pengalaman abstrak (symbolic), (Arsyad,  2007:7).

Dengan memperhatikan kompleks dan uniknya proses belajar, maka ketepatan pemilihan media dan metode pembelajaran akan sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Di samping itu, persepsi siswa juga sangat mempengaruhi hasil belajar. Oleh sebab itu, dalam pemilihan media, di samping memperhatikan kompleksitas dan keunikan proses belajar, memahami makna persepsi serta factor-faktor yang berpengaruh terhadap penjelasan persepsi hendaknya diupayakan secara optimal agar proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif. Untuk maksud tersebut perlu diadakan pemilihan media yang tepat sehingga dapat menarik perhatian siswa serta memberikan kejelasan objek yang diamatinya. Bahan pembelajaran yang kana diajarkan disesuaikan dengan pengalaman siswa. (Arif, 2007: 35)

Pendidik atau guru melakukan berbagai upaya dan menciptakan berbagai kegiatan dengan dukungan berbagai media pembelajaran agar anak-anak belajar. Cara belajar mengajar mana yang dapat memberikan hasil secara optimal serta bagaimana proses pelaksanaannya membutuhkan studi yang sistematik dan mendalam studi yang demikian merupakan bidang pengkajian dan psikologi belajar.

Jadi, minimal ada dua bedang psikologi yang mendasari media pembelajaran. Yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Keduanya sangat diperlukan, baik didalam merumuskan tujuan, memilih, dan menerapkan media serta teknik-teknik evaluasi.(Musfiqon, 2011:58-59)

b.    Landasan historis media pembelajaran

Yang dimaksud dengan landasan historis media pembelajaran ialah rasional penggunaan media pembelajaran yang ditinjau dari sejarah konsep istilah media digunakan dalam pembelajaran. Untuk mengetahui latar belakang sejarah penggunaan konsep media pembelajaran marilah kita ikuti penjelasan berikut ini.

Perkembangan konsep media pembelajaran sebenarnya bermula dengan lahirnya kon-sepsi pengajaran visual atau alat bantu visual sekitar tahun 1923.Yang dimaksud dengan alat bantu visual dalam konsepsi pengajaran visual ini adalah setiap gambar, model, benda atau alat yang dapat memberikan pengalaman visual yang nyata kepada pebelajar.

Kemudian konsep pengajaran visual ini berkembang menjadi “audio visual instruction” atau “audio visual education” yaitu sekitar tahun 1940. Sekitar tahun 1945 timbul beberapa variasi nama seperti “audio visual materials”, “audio visual methods”, dan “audio visual devices”. Inti dari kosepsi ini adalah digunakannya berbagai alat atau bahan oleh guru untuk memindahkan gagasan dan pengalaman pebelajar melalui mata dan telinga. Pemanfaat-an konsepsi audio visual ini dapat dilihat dalam “Kerucut Pengalaman” dari Edgar Dale.

Perkembangan besar berikutnya adalah munculnya gerakan yang disebut “audio visual communication” pada tahun 1950-an. Dengan diterapkannya konsep komunikasi dalam pembelajaran, peekanan tidak lagi diletakkan pada benda atau bahan yang berupa bahan audio visual untuk pembelajaran, tetapi dipusatkan pada keseluruhan proses komu-nikasi informasi atau pesan dari sumber (guru, materi atau bahan) kepada penerima (pebelajar). Gerakan komunikasi audio visual memberikan penekakan kepada proses komunikasi yang lengkap dengan menggunakan sistem pembelajaran yang utuh. Jadi konsepsi audio visual berusaha mengaplikasikan konsep komunikasi, sistem, disain sistem pembelajaran dan teori belajar dalam kegiatan pembelajaran.

Perkembangan berikutnya terjadi sekitar tahun 1952 dengan munculnya konsepsi “instructional materials” yang secara kosepsional tidak banyak berbeda dengan konsepsi sebelumnya. Karena pada intinya konsepsi ini ialah mengaplikasikan proses komunikasi dan sistem dalam merencanakan dan mengembangkan materi pembelajaran. Beberapa istilah yang merupakan variasi penggunaan konsepsi “instructional materials” adalah “teaching/ learning materials”, “learning resources”.

Dalam tahun 1952 ini juga telah digunakan istilah “educational media” dan “instructional media”, yang sebenarnya secara konsepsional tidak mengalami perubahan dari konsepsi sebelumnya, karena di sini dimaksudkan untuk menunjukkan kegiatan komunikasi pendidikan yang ditimbulkan dengan penggunaan media tersebut. Puncak perkembangan konsepsi ini terjadi sekitar tahun 1960-an. Dengan mengaplikasikan pendekatan sistem, teori komunikasi, pengembangan sistem pembelajaran, dan pengaruh psikologi Behaviorisme, maka muncullah konsep “educational technology” dan/ atau “instructional technology” di mana media pendidikan atau media pembelajaran merupakan bagian dari padanya.

c.    Landasan teknologis media pembelajaran

Sasaran akhir dari teknologi pembelajaran adalah memudahkan pebelajar untuk belajar. Untuk mencapai sasaran akhir ini, teknolog-teknolog di bidang pembelajaran mengembangkan berbagai sumber belajar untuk memenuhi kebutuhan setiap pebelajar sesuai dengan karakteristiknya.

Dalam upaya itu, teknolog berkerja mulai dari pengembangan dan pengujian teori-teori tentang berbagai media pembelajaran melalui penelitian ilmiah, dilanjutkan dengan pengembangan disainnya, produksi, evaluasi dan memilih media yang telah diproduksi, pembuatan katalog untuk memudahkan layanan penggunaannya, mengembangkan prosedur penggunaannya, dan akhirnya menggunakan baik pada tingkat kelas maupun pada tingkat yang lebih luas lagi (diseminasi).

Semua kegiatan ini dilakukan oleh para teknolog dengan berpijak pada prinsip bahwa suatu media hanya memiliki keunggulan dari media lainnya bila digunakan oleh pebelajar yang memiliki karakteristik sesuai dengan rangsangan yang ditimbulkan oleh media pembelajaran itu. Dengan demikian, proses belajar setiap pebelajar akan amat dimudahkan dengan hadirnya media pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik belajarnya.

d.   Landasan empirik media pembelajaran

Berbagai temuan penelitian menunjukkan bahwa ada interaksi antara penggunaan media pembelajaran dan karakteristik pebelajar dalam menentukan hasil belajar siswa. Artinya bahwa pebelajar akan mendapat keuntungan yang signifikan bila ia belajar dengan menggunakan media yang sesuai dengan karakteristiknya. Pebelajar yang memiliki gaya visual akan lebih mendapat keuntungan dari penggunaan media visual, seperti film, video, gambar atau diagram; sedangkan pebelajar yang memiliki gaya belajar auditif lebih mendapatkan keuntungan dari penggunaan media pembelajaran auditif, seperti rekaman, radio, atau ceramah guru.

Atas dasar ini, maka prinsip penyesuaian jenis media yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran dengan karakteristik individual pebelajar, menjadi semakin mantap. Pemilihan dan penggunaan media hendaknya jangan didasarkan pada kesukaan atau kesenangan guru, tetapi dilandaskan pada kecocokan media itu dengan karakteristik pebelajar, di samping sejumlah kriteria lain yang dijelaskan pada bagian lain buku ini.

e.    Landasan filosofis media pembelajaran

Seorang guru dalam menggunakan media pembelajaran perlu memperhatikan landasan filosofis. Artinya, penggunaan media semestinya didasarkan pada nilai kebed=naran yang telah ditemukan dan disepakati banyak orang baik kebenaran akademik maupun kebenaran sosial.

Misalnya, isi pesan (materi pelajaran) yang disampaikan kepada siswa seharusnya sudah merupakan kebenaran yang teruji secara obyektif, radikal dan empiris. Jangan sampai materi pelajaran masih salah, tidak baik, dan tidak indah yang disampaikan kepada peserta didik. Misalnya, guru mengajarkan tentang sejarah kebudayaan islam (SKI) dengan materi silsilah Nabi. Seorang guru perlu mengecek unsur kebenaran historis silsilah tersebut sebelum disampaikan kepada peserta didik. Proses inilah yang disebut penggunaan landasan filosofis dalam memilih isi dan media pembelajaran.

Media yang digunakan guru juga perlu dicek kembali kebenaran dan ketepatannya. Guru yang memilih media belum sesuai dengan materi yang akan disampaikan berarti media tersebut tidak benar. Tidak bagus, dan tidak indah artinya penggunaan media yang tidak tepat belum mempertimbangkan landasan filosofis (Musfiqon, 2011:57-58).

f.     Landasan sosiologis media pembelajaran

Dalam menggunakan media, guru perlu mempertimbangkan latar belakang sosial anak didik dalam sekolah. Sebab jika media yang digunakan tidak sesuai latar belakang sosial anak didik maka materi pelajaran atau pesan yang dikirim tentunya tidak bisa tersampaikan secara optimal. Bahkan pembelajaran akan menjadi biasa karena media yang digunakan guru tidak sesuai dengan kondisi sosial anak didik.

Misalnya, seorang guru yang mengajar disekolah yang rata-rata siswanya berasal dari keluarga dengan latar belakang sosial kurang maju secara tegnologi. Mereka belum pernah melihat tampilan slide berbaris komputer, lalu sang guru menyampaikan materi dengan menggunakan CD dan disiasi dengan berbagai animasi gambar, maka siswa akan lebih memperhatikan kecanggihan media dan animasi yang ditampilkan. Sementara itu, materi pelajarannya tidak diperhatikan sehingga pembelajaran menjadi bias karena media yang dipilih tidak sesuai kondisi sosial anak didik. Begitu sebaliknya, guru yang mengajar disekolah yang anak didiknya berasal dari keluarga yang kondisi sosialnya lebih maju dan sehari-hari telah berinteraksi dengan komputer serta jenis media berbasis komputer lainnya. Maka saat guru memilih media yang tradisional siswa akan makin menurun motivasi belajarnya dan tidak fokus pada materi yang disampaikan guru. Padahal diantara fungsi dan manfaat media pembelajaran adalah untuk meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa dalam pembelajaran.

Untuk itu, landasan sosiologis perlu dipertimbangkan guru dalam memilih dan menggunakan media pembelajaran guru perlu menganalisis latar belakang sosial anak didik dalam menggunakan media pembelajaran. Keberhasilan pembelajaran sangat dipengaruhi kesesuaian media dengan kondisi sosial anak didik. (Musfiqon, 2011:66-67).

 

2.2.2 Prinsip Pemilihan Media Pembelajaran

Prinsip-prinsip pemilihan media pembelajaran merujuk pada pertimbangan seorang guru dalam memilih dan menggunakan media pembelajaran untuk digunakan atau dimanfaatkan dalam kegiatan belajar[1]mengajar. Hal ini disebabkan adanya beraneka ragam media yang dapat digunakan atau dimanfaatkan dalam kegiatan belajar-mengajar.

Sumantri dan Permana (1999) dalam Fikri dan Madona(2018:20), prinsip-prinsip pemilihan media adalah:

1.    Memilih media harus berdasarkan pada tujuan pengajaran dan bahan pengajaran yang akan disampaikan

2.    Memilih media harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa.

3.    Memilih media harus disesuaikan dengan kemampuan guru, baik dengan pengadaan dan penggunaannya..

4.    Memilih media harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi atau pada waktu, tempat dan situasi yang tepat.

5.    Memilih media harus memahami karakteristik dari media itu sendiri

Rahardjo (1986) dalam Cahyadi (2019:32) memaparkan bahwa Secara umum beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemilihan media pembelajaran, yakni:

1.    Harus ada kejelasan tentang maksud dan tujuan pemilihan media pembelajaran. Apakah pemilihan media itu untuk pembelajaran, untuk informasi yang bersifat umum, ataukah sekedar hiburan saja mengisi waktu kosong. Lebih khusus lagi, apakah untuk pembelajaran kelompok atau individu dan apakah sasarannya siswa masyarakat pedesaan ataukah masyarakat perkotaan.

2.    Karakteristik Media Pembelajaran (familiaritas media), Setiap media pembelajaran mempunyai karakteristik tertentu, baik dilihat dari keunggulannya, cara pembuatan maupun cara penggunaannya.

3.    Alternatif Pilihan, yaitu adanya sejumlah media yang dapat dibandingkan atau dikompetisikan. Dengan demikian guru bisa menentukan pilihan media pembelajaran mana yang akan dipilih, jika terdapat beberapa media yang dapat dibandingkan

Prosedur pemilihan media dimulai dari menganalisis kebutuhan. Analisis kebutuhan ini didasarkan pada faktor-faktor yang menjadi dasar pemilihan media. Prosedur pemilihan media terdiri atas mengidentifikasi karakteristik peserta didik, tujuan pembelajaran, dan karakteristik bahan ajar.

 

2.2.3 Perkembangan Media Pembelajaran

Pada mula perkembangannya, guru merupakan satu- satunya sumber belajar yang mutlak di kelas pada proses belajar dan mengajar. Namun pada tahap perkembangan selanjutnya, tepatnya pada tahun 1657 seorang yang bernama Johan Amos Comenius membuat sebuah buku yang berjudul Orbis Sensualiun Pictus. Penulisan buku ini kemudian menjadi dasar penggunaan buku pada proses belajar mengajar. Pada tahap ini guru mulai megadari bahwa perlu adanya sarana belajar yang mampu merangsang pengalaman belajar peserta didik. Pada awalnya, media pembelajaran hanya dipandang sebagai alat bantu mengajar (teaching aids). Media yang digunakan seperti alat bantu visual misalnya permodelan, objek maupun alat- alat yang mempresentativekan sebuah objek pada materi pengajaran. Namun, pada tahap ini media tersebut kurang memperhatikan pengembangan proses belajar dan evaluasinya.

Pada awal abad ke-20, dunia mulai mengenal teknologi audio yang kemudian pada dunia pendidikan dikenal sebagai audio visual atau audio visual aids (AVA) yang mulai dikenalkan oleh Edgar Dale yang kemudian mengemukakan kerucut pengalaman Edgar Dale (Edgar Dale cone of experience).

Teori komunikasi mulai dikenal pada tahun 1950. Pada saat ini guru mulai memahami bahwa peserta didik sebagai salah satu komponen yang penting pada proses belajar di dalam kelas. Pada masa ini juga teori behaviorism mulai mempengaruhi pengembangan media pembelajaran. Hal ini yang dipengaruhi oleh pemahaman mengenai tujuan utama mendidik bukan lagi untuk mentransfer ilmu, namun juga mengubah tingkah laku peserta didik. Sekitar pertengahan abad ke-20, mulai diperkenalkan IPTEK, pada masa ini pengembangan media pembelajaran sudah mulai luas dan interaktif dengan pengadaan komputer dan internet, hal ini berlangsung hingga sekarang. Pengaruh teknologi tersebut sangat memberikan dampak yang luar biasa terhadap dunia pendidikan masa kini, apalagi pada masa pandemi covid-19 yang memaksa guru dan siswa terbiasa dengan sistem kegiatan pembelajaran yang tidak biasa.

Pandemi covid-19 membuat terjadinya transformasi media pembelajaran yang tadinya tatap muka menjadi beralih ke pembelajaran online atau lebih dikenal dengan daring. Satuan pendidikan berlomba- lomba mengembangkan sistem pembelajaran sendiri, namun ada juga yang memilih untuk menggunakan flatfom yang sudah ada sebelumnya (Aji, 2020). Berikut beberapa media pembelajaran yang lebih dikenal semenjak pandemi covid-19 merebak:

a.    Media WA Group: Media ini merupakan yang paling banyak digunakan. Baik pada tingkat satuan pendidikan dasar hingga tinggi. Hal ini karena flatfom ini dinilai dimiliki oleh banyak orang dan mudah diakses dimana saja.

b.    Media buatan Google seperti Google Classroom dan Google Suite for Education: Media ini dikembangkan oleh google sejak lama, namun baru dikenal untuk dunia pendidikan sejak pembelajaran daring menjadi sebuah kewajiban.

c.    Media Zoom: Media ini cukup dikenal karena dapat menyajikan proses pembelajaran selayaknya interaksi didalam kelas. Guru dan siswa dapat berinteraksi secara daring menggunakan video call yang menjadi salah satu fitur andalan dari Zoom.

 

 

2.2.4 Peran Guru dalam Media Pembelajaran

Guru pada proses belajar mengajar memiliki urgensi yang sangat besar. Selain mentransfer pengetahuan kepada peserta didik, guru juga memiliki peran sebagai melopor perubahan tingkah laku peserta didik menjadi pribadi yang lebih baik. Guru dibantu oleh media pembelajaran dapat mewujudkan hal tersebut menjadi lebih efektif (Lestari, 2018). Berikut peran guru didalam media pembelajaran.

a.    Guru Sebagai Mediator

Peran sebagai mediator diperlihatkan guru dari bagaimana guru memberikan atmosfer belajar yang kondusif bagi siswanya. Pembelajaran dikelas bukan hanya berpusat pada guru namun juga berorintasi kepada aktifitas- aktifitas yang melibatkan siswa secara langsung. Dalam hal ini guru juga sebagai penjelas atau pemberi komando pada proses belajar mengajar sehingga jalannya sebuah proses belajar mengajar menjadi lebih terarah.

b.    Guru Sebagai Fasilitator

Sebagai fasilitator, guru dalam hal ini berkaitan dengan pelayanan kepada peserta didik dalam upaya perubahan tingkah laku mereka. Dalam menjalani perannya sebagai fasilitator guru diharuskan mendengarkan dan bersikap sabar terhadap pola tingka laku peserta didik. Dalam hal media pembelajaran, guru disini berperan sebagai yang mengembangkan dan memilih media pembelajaran yang sesuai dengan topik dan kebutuhan peserta didik. Berikut beberapa kriteria yang perlu diperhatikan guru dalam memilih media:

1)      Kesesuaian media dengan tujuan pembelajaran (instructional goals) Dalam memilih media yang akan dikembangkan, guru perlu mengidentifikasi terlebih dahulu tujuan umum dan tujuan khusus setiap pembelajaran. Hal ini kemudian disesuaikan dengan kurikulum yang digunakan pada satuan pendidikannya.

2)      Kesesuaian media dengan materi pembelajaran (instructional content) Selain disesuaikan dengan tujuan, yang tak kalah penting adalah menyesuaikan media yang digunakan dengan materi yang ingin diajarkan. Misalnya guru ingin memberikan pemahaman yang kompleks, guru lebih disarankan menggunakan media yang memberikan pengalaman belajar dengan presentasi tinggi kearah konkrit.

3)      Kesesuaian media dengan karakteristik peserta didik Kebutuhan, keinginan, dan kekurangan peserta didik juga harus dijadikan tolak ukur dalam pemilihan media. Pada tahap awal, guru disarankan untuk mengetahui terlebih dahulu karakteristik peserta didiknya. Dengan demikina, media yang digunakan pemanfaatannya lebih tepat sasaran. Karena setiap media pembelajaran tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan pada subjek atau objek tertentu.

4)      Kesesuaian media dengan teori yang ada. Media pembelajaran yang digunakan guru haruslah media yang sudah teruji dan dibuktikan oleh teori para ahli. Media bukanlah fanatisme atau imajinasi guru terhadap sesuatu, melainkan harus dikembangkan dan dipilih berdasarkan dengan konsep yang telah ada.

5)      Kesesuaian media dengan kondisi lingkungan, fasilitas, pendukung,dan waktu yang tersedia. Yang tidak kalah penting adalah penyesuaian media dengan fasilitas yang ada di sekolah, guru tidak perlu menyiapkan media audio visual apabila sarana prasarana di sekolah tidak mendukung untuk menggunakan itu. Selain itu, waktu persiapan dan penggunaan media tersebut juga harus menjadi aspek yang diperhatiak oleh guru.

c.    Guru Sebagai Pembimbing

Dalam memenuhi perannya sebagai pembimbing dalam pemanfaatan media pembelajaran guru memberikan arahan bagaimana penggunaan media yang telah dikembangkan dan dipilih dalam proses pembelajaran.

 

 

  

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Kesimpulan

Pembelajaran adalah proses interaksi pendidik dan peserta didik di dalam pengkondisian lingkungan belajar yang memanfaatkan sumber belajar dalam upaya pemerolehan dan perkembangan pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan sikap. Adapun faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran yakni: guru(pendidik), peserta didik, sarana dan prasarana, dan lingkungan. Hubungan sumber belajar dan media pembelajaran dalam proses pembelajaran merupakan sebuah kesatuan sistem yang menempatkan media pembelajaran sebagai bagian integral dari sumber belajar, adalah komponen penting dalam ketercapaian pembelajaran yang lebih bermakna. Pemilihan sumber belajar harus memperhatikan kriteria umum dan kriteria berdasarkan tujuan.

Ada beberapa tinjauan tentang landasan penggunaan media pembelajaran, antara lain landasasan psikologis, historis, teknologis, empirik, filosofis, dan sosiologis. Prinsip-prinsip pemilihan media pembelajaran merujuk pada pertimbangan seorang guru dalam memilih dan menggunakan media pembelajaran untuk digunakan atau dimanfaatkan dalam kegiatan belajar[1]mengajar.

Pengaruh teknologi sangat memberikan dampak yang luar biasa terhadap dunia pendidikan masa kini, apalagi pada masa pandemi covid-19 yang memaksa guru dan siswa terbiasa dengan sistem kegiatan pembelajaran yang tidak biasa. Guru pada proses belajar mengajar memiliki urgensi yang sangat besar. Selain mentransfer pengetahuan kepada peserta didik, guru juga memiliki peran sebagai melopor perubahan tingkah laku peserta didik menjadi pribadi yang lebih baik. Guru dibantu oleh media pembelajaran dapat mewujudkan hal tersebut menjadi lebih efektif.

 

 

3.2  Saran

Pada makalah ini kita telah diberikan pemahaman mengenai sumber belajar dan media pembelajaran dalam pembelajaran. Sangat besar harapan penyusun agar nantinya makalah ini dapat membantu pembaca untuk lebih memahami baik konsep maupun penerapan pengembangan media pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dan kampus. Selain itu, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca agar pada penulisan makalah selanjutnya  hal itu dapat diperbaiki. Tak luput penyusun menitipkan masukan sebagai berikut:

3.2.1        Bagi linguis, dosen, peneliti

a.       Memperkaya multi penafsiran kajian pengembangan media pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya sumber belajar dan media pembelajaran

b.      Memproduksi teori pengembangan media pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya sumber belajar dan media pembelajaran

c.       Mendokumentasikan penelitian bidang pengembangan media pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya sumber belajar dan media pembelajaran secara kontinuitas

3.2.2        Bagi guru dan mahasiswa bahasa

a.       Mendalami kajian pengembangan media pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya sumber belajar dan media pembelajaran dengan sumber beragam dan terbaru

b.      Melakukan penelitian kajian pengembangan media pembelajaran Bahasa Indonesia

c.       Berkolaborasi dengan dosen dan peneliti dalam berkarya.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Aji, R. H. (2020). Dampak Covid-19 pada Pendidikan di Indonesia: Sekolah, Keterampilan, dan Proses Pembelajaran. SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-i. 7(5), 395- 402

Arsyad, Azhar. (2007). Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Cahyadi, Ani. (2019). Pengembangan Media dan Sumber Belajar: Teori dan Prosedur. Jakarta: Penerbit Laksita Indonesia.

Fikri, Hasnul dan Ade Sri Madona. (2018). Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Multimedia Interaktif. Yogyakarta: Samudra Biru.

Hamdani. (2011). Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia.

Lestari, I. D. (2018). Peranan Guru Dalam Penggunaan Media Pembelajaran Berbasis Information and Communication Technology (ICT) di SDN RRI Cisalak. Jurnal SAP, 3(2), 137-142

Munadi, Yudhi. (2013). Media Pembelajaran: Sebuah Pendekatan Baru. Jakarta: Referensi

Musfiqon. (2011). Pengembangan Media & Sumber Pembelajaran. Jakarta: Prestasi Pustaka

Rudi, S., & Cepi, R. (2008). Media Pembelajaran. Bandung: FIP UPI.

Sadiman, Arif. (2007). Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sanjaya, Wina. (2009). Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Sanjaya, Wina. (2012).  Media Komunikasi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Sudjana, Nana dan Ahmad Rivai. (2003). Teknologi Pengajaran. Bandung: Sinar Baru

Sugandi, Achmad. (2006). Teori Pembelajaran. Semarang: Unnes Press.

Uno, Hamzah. 2009. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

KONSEP DASAR SOSIOLINGUISTIK DAN MASYARAKAT BAHASA

30 September 2022 13:59:56 Dibaca : 6147

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Kemunculan sosiolinguistik sebagai sebuah disiplin ilmu tak lepas dari perkembangan sosial masyarakat yang menumbuhkembangkan bahasa sebagai identitas sosial kemasyarakatannya. Sosiolinguistik adalah ilmu antardisiplin. Secara istilah, sosiolinguistik berakar dari rumpun sosiologi dan linguistik.

Pengistilahan itu merujuk pada aspek sosial dan aspek bahasa yang berfusi dikarenakan bahasa dan strukturnya berkembang dalam pranata masyarakat. Hubungan mesra antara masyarakat dan linguistik dalam tataran sosiolinguistik memiliki kompleksitasnya tersendiri. Hal ini menunjukkan betapa berperannya sosiolinguistik.

Sosiolinguistik memaparkan tentang cara penggunaan bahasa dalam aspek sosial tertentu. Pemahaman sosiolinguistik dapat menunjang interaksi dan komunikasi dalam masyarakat. Hubungan antara bahasa dan masyarakat maupun berbagai fungsi bahasa dalam masyarakat dikenal sebagai masyarakat bahasa dalam kajian sosiolinguistik. Malabar (2015:12) menegaskan bahwa masyarakat bahasa yang dimaksudkan di sini tidak hanya berdasarkan pada perkembangan bahasa, tetapi berdasarkan pada sejarah, budaya, dan politik.

Hadirnya sosiolinguistik memperkaya pedoman dalam berkomunikasi dengan menampilkan bahasa, ragam bahasa, atau gaya bahasa yang sesuai digunakan dalam masyarakat penutur bahasa tertentu. Dengan demikian, kehadiran sosiolinguistik meredam pelbagai persoalan bahasa dalam masyarakat penutur.

Atas rasionalitas seluk-beluk sosiolinguistik tersebut, maka penulis menyegarkan pemahaman pengetahuan melalui penyajian makalah yang mengangkat judul “Konsep Dasar Sosiolinguistik dan Masyarakat Bahasa”.

 

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:

Bagaimanakah hakikat sosiolinguistik?Apa saja objek kajian sosiolinguistik?

Bagaimana relevansi sosiolinguistik dengan cabang ilmu lain

Apa manfaat sosiolinguistik?

Bagaimanakah relevansi bahasa dan masyarakat?

Bagaimanakah pengertian masyarakat bahasa? 

1.3  Tujuan Penulisan

Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:

Untuk mengetahui tentang hakikat sosiolinguistik

Untuk memahami tentang objek kajian sosiolinguistik

Untuk mengetahui relevansi sosiolinguistik dengan cabang ilmu lain

Untuk mengetahui manfaat sosiolinguistik

Untuk memahami relevansi bahasa dan masyarakat

Untuk mengetahui pengertian masyarakat bahasa 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 KONSEP DASAR SOSIOLINGUISTIK

2.1.1 Hakikat Sosiolinguistik

Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik. Chaer dan Agustina (2010: 2) menjelaskan bahwa untuk memahami sosiolingusitik perlu dipahami terlebih dahulu sosiologi dan linguistik itu. Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari manusia di dalam masyarakat, menyangkut di dalamnya mengenai proses interaksi sosial manusia di dalam masyarakat. Sementara itu, linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajarai bahasa. Linguistik mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik merupakan bidang ilmu antardisiplin yang mempelajarai bahasa dalam kaitan penggunaan bahasa tersebut di dalam masyarakat.

Terkait dengan definisi sosiolinguistik, Soemarsono (2012: 1) mendefinisikan sosiolinguistik merupakan kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan. Beberapa pakar (melalui Chaer dan Agustina (2010: 3) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai berikut.

1.    Sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan pelbagai variasi bahasa, serta hubungannya di antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat (Kridalaksana, 1978).

2.    Pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan disebut sosiolinguistik (Nababan, 1984).

3.    Sociolinguistics is the study of characteristics of languange varieties, the characteristics of their functions, and the characteristics of their speakers as these three constantly interact, change, ang change one another within a speech comunity (J.A. Fishman, 1972).

4.    Sociolinguistics is developing subfield of linguistics which takes speech variation as it’s focus, viewing variation or it social content. Sociolinguistics is concerned with the corelation between such social factor and linguistics variation (Hickerson, 1980).

 

2.1.2 Objek Kajian Sosiolinguistik

Chaer dan Agustina (2010: 3) menjelaskan bahwa dalam sosiolinguistik bahasa tidak dilihat sebagai bahasa sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melaikan dilihat sebagai sarana interaksi sosial di dalam masyarakat. Soemarsono (2012: 8) menjelaskan bahwa sosiolinguistik melihat bahasa sebagai suatu sistem yang berkaitan dengan masyarakat, bahasa dilihat sebagai sistem yang tidak terlepas dari ciri-ciri penutur dan dari nilai-nilai sosiobudaya yang dipatuhi oleh penutur itu. Lebih lanjut, konferensi sosiolinguistik pertama yang berlangsung di University of California, LA, tahun 1964, telah merumuskan adanya tujuh dimensi dalam penelitian sosiolinguistik. Ketujuh dimensi tersebut yaitu (1) identitas sosial penutur, (2) identitas sosial pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan tenpat peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis penelitian sosiolingusitk (Dittmar, 1976).

 

2.1.2 Relevansi Sosiolinguistik dengan Cabang Ilmu Lain

Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mengkaji linguistik yang dihubungkan dengan faktor sosiologi. Dengan demikian, sosiolinguistik tidak meninggalkan linguistik. Apa yang dikaji dalam linguistik dijadikan dasar bagi sosiolinguistik untuk menunjukkan perbedaan penggunaan bahasa yang dikaitkan dengan faktor sosial. Apa yang dikaji dalam linguistik, meliputi apa yang ditelaah De Saussure, kaum Bloomfieldien (Bloomfield, Charles Fries, dan Hocket) serta kaum Neo Bloomfieldien dengan deep structure dan surface structurenya, dipandang oleh sosiolinguis sebagai bentuk bahasa dasar yang ketika dikaitkan dengan pemakai dan pemakaian bahasa akan mengalami perubahan dan perbedaan.

Kajian mengenai fonologi, morfologi, struktur kalimat, dan semantik leksikal dalam linguistik dipakai oleh sosiolinguistik untuk mengungkap struktur bahasa yang digunakan oleh tiap-tiap kelompok tutur sesuai dengan konteksnya. Karenanya, tidaklah mungkin seorang sosiolinguis dapat mengkaji bahasa dengan tanpa dilandasi pengetahuan mengenai linguistik murni itu. Sosiolinguistik mengkaji wujud bahasa yang beragam karena dipengaruhi oleh faktor di luar bahasa (sosial), yang dengan demikian makna sebuah tuturan juga  ditentukan oleh faktor di luar bahasa. Untuk dapat mengungkap wujud dan makna  bahasa sangat diperlukan pengetahuan tentang linguistik murni (struktur bahasa), supaya kajian yang di lakukan dengan dasar sosiolinguistik tidak meninggalkan objek bahasa itu sendiri (Sumarsono dan Partana, 2004: 7-9).

Sosiolinguistik membantu sosiologi dalam mengklasifikasi strata sosial. Sumarsono dan Partana (2004: 5-7) mengemukkan persamaan sosiolinguistik dengan sosiologi sebagai berikut.

1.  Sosiolinguistik memerlukan data atau subjek lebih dari satu orang individu.

2.  Menggunakan metode kuantitaif dengan teknik sampling random atau acak

3.  Menggunakan metode wawancara, rekaman, dan pengumpulan dokumen

4.  Pengolahan data menggunakan metode deskriptif.

5.  Keduanya memiliki hubungan simbiosis mutualisme (timbal balik) sebagai berikut:

a. Data sosiolinguistik yang memberikan ciri-ciri kehidupan sosial, menjadi barometer untuk sosiologi.

b. Aspek sikap berbahasa mempengaruhi budaya material dan spiritual suatu masyarakat.

c. Bahasa yang diteliti secara sosiolinguistik adalah alat utama dari perkembanagan penegetahuan mengenai sosiologi.

Antropologi merupakan kajian mengenai masyarakat, seperti asal usul budaya, adat istiadat, dan kepercayaan. Antropologi memandang bahwa budaya yang dimiliki masyarakat memiliki kaitan dengan bahasa. Jika kita menengok linguistik bandingan historis yang di dalamnya mengkaji asal usul bahasa menyebutkan bahwa suatu daerah yang mempunyai persamaan bahasa pasti memiliki kesamaan budaya atau terletak dalam daerah yang tidak saling berjauhan. Misalnya antara Indonesia dengan Malaysia yang mempunyai bahasa yang sama, yakni bahasa melayu austronesia.

Sosiolinguistik mengkaji ulang apa yang ditemukan oleh antropologi adanya kaitan antara budaya dan bahasa. Sehingga muncullah berbagai pandangan yang juga mempengaruhi penggunaan bahasa seperti hipotesis Saphir-Whorf. Kemudian melalui budaya yang dikaji oleh antropologi akan diketahui sistem kekerabatan yang kemudian diambil alih oleh sosiolinguistik dalam kaitannya dengan terms of addres atau kata sapaan. Selain itu, antropologi juga memberikan pengetahuan yang cukup bagaimana seorang penutur dari daerah lain berkomunikasi dengan warga yang berasal dari daerah yang berbeda. Hal tersebut merupakan kajian sosiolinguistik (Sumarsono dan Partana, 2004: 13-14).

 

2.1.3 Manfaat Sosiolinguistik

Kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis sangat banyak, sebab bahasa merupakan alat komunikasi verbal manusia. Dalam penggunaannya, sosiolinguistik memberi pengetahuan bagaimana menggunakan bahasa di dalam masyarakat. Sosiolinguistik memberikan pengetahuan tentang berbagai variasi bahasa yang ada di masyarakat. Kita sebagai manusia yang hidup di dalam masyarakat, sosiolinguistik memberikan pengetahuan tentang bagaimana kita dapat menempatkan diri dalam penggunaan bahasa kita ketika berada pada masyrakat tertentu. Sosiolinguistik juga memberikan deskripsi variasi bahasa dalam kaitannya dengan pengguna maupun kegunaannya. Selain itu, sosiolingusitik memungkinkan kita mengkaji fenomena dan gejala bahasa yang ada di dalam masyarakat melalui sosiolinguistik.

Sebagai ilmu yang mengkaji bahasa di dalam masyarakat, sosiolingusitik mampu membaur dengan bidang-bidang ilmu yang lain. Hal ini karena bahasa merupakan alat verbal manusia yang ada di berbagai bidang ilmu lain. Sebagai alat komunikasi, tentu bahasa tidak mungkin terlepas dari ilmu-ilmu lain sebagai sarana untuk mengungkapkan hasil pemikiran. Selain itu, objek kajian sosiolinguistik adalah bahasa di dalam masyarakat. Tentu hal tersebut sangat memungkinkan sosiolinguitik untuk saling terkait dengan bidang-bidang ilmu yang lain seperti politik, budaya, ekonomi, dan lain sebagainya.

 

2.2 MASYARAKAT BAHASA

2.2.1 Relevansi Bahasa dan Masyarakat

Menurut Ferdinand de Saussure (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:30-34) membedakan antara yang disebut langage, langue, dan parole. Ketiga istilah yang berasal dari bahasa Prancis itu, dalam bahasa Indonesia secara tidak cermat, lazim dipadankan dengan satu istilah, yaitu bahasa. Padahal ketiganya mempunyai pengertian yang sangat berbeda, meskipun ketiganya memang sama-sama bersangkutan dengan bahasa.

Dalam bahasa Prancis istilah langage digunakan untuk menyebutkan bahasa sebagai lambang bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama. Jadi, penggunaan langage pada istilah bahasa tersebut tidak mengacu pada bahasa tertentu melainkan mengacu pada bahasa secara umum sebagai alat komunikasi manusia.

Istilah kedua yang digunakan oleh Ferdinand De Saussure yakni langue. langue dimaksud sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya. langue mangacu pada suatu sistem lambang bunyi tertentu yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu.

Istilah ketiga yaitu parole. parole bersifat konkret, karena parole merupakan pelaksanaan dari langue dalam bentuk ujaran dan tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat dalam berinteraksi dan berkomunikasi antara sesamanya.

Dalam studi linguistik yang menjadi kajiannya adalah langue, sebagai suatu sistem bahasa tertentu tetapi dilakukan dengan parole karena parole dapat diamati secara empiris sedangkan langue tidak bisa diamati. Dari ketiga istilah di atas, langage, langue, dan parole terlihat bahwa kata atau istilah bahasa dalam bahasa Indonesia menanggung beban konsep yang amat berat, karena istilah itu berasal dari bahasa Prancis maka dapat dipadankan dengan satu kata bahasa meski harus dalam konteks yang berbeda.

Sebagai langage bahasa itu bersifat universal, sebab dia adalah satu sistem lambang bunyi yang digunakan manusia pada umumnya, bukan manusia pada suatu tempat atau suatu masa tertentu. Tetapi sebagai langue bahasa itu, meskipun ada ciri-ciri keuniversalannya, bersifat terbatas pada satu masyarakat tertentu. Satu masyarakat tertentu ini memang agak sukar rumusannya; namun adanya ciri saling mengerti (mutual intelligible) barangkali bisa dipakai batasan adanya satu bahasa. Jadi, misalnya, penduduk yang ada di Popayato dengan yang ada di Atinggola dan di Suwawa, masih berada dalam satu masyarakat bahasa dan dalam satu bahasa, karena mereka masih dapat mengerti dengan alat verbalnya. Mereka dapat berkomunikasi atau berinteraksi secara verbal. Begitu juga penduduk yang berada di Yogyakarta dengan yang berada di Semarang dan yang berada di Surabaya, masih berada dalam satu bahasa dan satu masyarakat bahasa karena masih ada saling mengerti di antara mereka sesamanya.

Adanya saling mengerti itu disebabkan karena adanya kesamaan sistem dan subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik) di antara parole-parole yang mereka gunakan. Begitu juga dengan penduduk yang ada di Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya, mereka bisa saling mengerti tentunya karena adanya kesamaan-kesamaan sistem dan subsistem dalam parole-parole yang mereka gunakan. Tetapi antara penduduk di Popayato dengan penduduk di Yogyakarta tidak ada saling mengerti secara verbal di antara mereka sesamanya. Hal ini terjadi karena parole-parole yang digunakan di antara penduduk di kedua tempat itu tidak mempunyai kesamaan sistem maupun subsistem. Ketiadaan kesamaan sistem dan subsistem di antara kedua masyarakat bahasa ini yang menyebabkan tidak terjadinya saling mengerti, menandai adanya dua sistem langue yang berbeda. Maka dalam kasus parole yang digunakan penduduk di Popayato dan di Yogyakarta itu, kita menyebutnya ada dua buah sistem langue, yaitu bahasa Gorontalo di Popayato dan bahasa Jawa di Yogyakarta.

Dengan demikian kita menyebut dua parole dari dua masyarakat yang berbeda sebagai dua buah bahasa yang berbeda adalah karena tiadanya saling mengerti secara verbal. Penamaan ini adalah berdasarkan kriteria linguistik. Namun, dalam berbagai kasus ditemui adanya dua masyarakat bahasa yang saling mengerti, tetapi mengaku menggunakan dua bahasa yang berbeda dengan nama yang berbeda. Misalnya, penduduk Malaysia dapat saling mengerti dengan penduduk Indonesia karena secara linguistik ada persamaan sistem dan subsistem di antara kedua parole yang digunakan. Tetapi penduduk Malaysia menyatakan dirinya berbahasa Malaysia, sedangkan penduduk Indonesia menyatakan dirinya berbahasa Indonesia. Maka dalam kasus ini penamaan bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia bukanlah berdasarkan kriteria linguistik, melainkan berdasarkan kriteria politik. Bahasa yang digunakan di Malaysia adalah bahasa Malaysia dan yang digunakan di Indonesia adalah bahasa Indonesia.

Kasus yang agak berbeda terjadi di daratan Cina. Suku-suku bangsa yang ada di daratan Cina itu tidak dapat berkomunikasi verbal secara lisan karena secara linguistik bahasa-bahasa mereka berbeda. Tetapi secara tertulis mereka dapat berkomunikasi dengan baik, karena sistem tulisan mereka sama, yaitu bersifat ideografis. Artinya, setiap huruf melambangkan sebuah konsep atau makna, meskipun wujud bunyinya tidak sama. Dalam kasus bahasa Inggris dewasa ini sudah tampak adannya usaha untuk memberi nama berbeda pada bahasa Inggris yang digunakan penduduk di Inggris, di Amerika, dan di Australia dengan munculnya nama British English, American English, dan Australian English.

Sudah dikemukan bahwa parole yang digunakan penduduk di Garut Selatan, di Karawang, dan di Bogor adalah berbeda, meskipun mereka saling mengerti, karena masih terdapatnya kesamaan sistem atau subsistem di antara parole di ketiga tempat tersebut. Jadi, di dalam “keberbedaan” mereka masih terdapat “kesaling-mengertian”. Dalam kasus ini, parole-parole yang digunakan di ketiga tempat itu disebut sebagai dialek-dialek dari sebuah bahasa yang sama. Irwan (2011:22) menjelaskan bahwa dialek merupakan variasi dari sebuah bahasa menurut pemakaiannya. Oleh karena itu, secara konkret lazim dikatan sebagai: bahasa Sunda dialek Garut, bahasa Sunda dialek Karawang, dan bahasa Sunda dialek Bogor. Begitu juga di Minang, ada bahasa Minang dialek Sungai Tarab, Minang dialek Lima Kaum, atau Minang dialek Padang Luar, dan lain-lain

Setiap orang secara konkret memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam berbahasa (berbicara atau menulis). Kekhasan ini dapat mengenai volume suara, pilihan kata, penataan sintaksis, dan penggunaan unsur-unsur bahasa lainnya. Itulah sebabnya, kalau kita akrab dengan seseorang, kita akan dapat mengenali orang itu hanya dengan mendengar suaranya saja (orangnnya tidak tampak), atau hanya dengan membaca tulisannya saja (namanya tidak disebutkan dalam tulisan itu). Ciri khas bahasa seseorang disebut dengan istilah idiolek. Jadi, kalau ada 1000 orang, maka akan ada 1000 idiolek.

Dari pembicaraan di atas, secara linguistik dapat disimpulkan bahwa setiap bahasa sebagai langue dapat terdiri dari sejumlah dialek, dan setiap dialek terdiri dari sejumlah idiolek. Namun perlu juga dicatat bahwa dua buah dialek yang secara linguistik adalah sebuah bahasa, karena anggota dari kedua dialek itu bisa saling mengerti; tetapi secara politis bisa disebut sebagai dua buah bahasa yang berbeda.

Stephen Ulimann (dalam Mahliana, 2011:2) menjelaskan perbedaan bahasa dan tutur itu sebagai berikut:

1.    Bahasa adalah wahana komunikasi (untuk semua orang dalam suatu masyarakat), dan tutur adalah penggunaan wahana itu oleh seseorang pada suatu kejadian tertentu. Jelasnya, bahasa adalah sandi (kode) sedangkan tutur adalah  penyandian (enkode), yaitu penggunaan sandi dengan isi makna tertentu, oleh penutur, yang kemudian didekodekan (ditafsirkan maknannya) oleh pendengar.

2.    Bahasa itu masih merupakan sesuatu yang potensial (berupa daya yang tersembunyi), merupakan sistem tanda yang tersimpan di dalam benak (memory) kita, yang siap diaktualisasikan (diwujudkan) dan diterjemahkan ke dalam bunyi-bunyi yang bersifat fisik dalam proses tutor. Jadi, sebenarnya bahasa itu tidak terdiri dari bunyi-bunyi dalam arti fisik, melainkan terdiri dari kesan-kesan bunyi yang tinggal di balik bunyi-bunyi nyata yang kita ujarkan atau kita dengar dari orang lain.

 

2.2.2 Pengertian Masyarakat Bahasa

Masyarakat bahasa atau masyarakat tutur secara teori termasuk ke dalam variasi atau ragam bahasa dalam konteks sosial. Ragam bahasa dalam konteks sosial  memiliki dua hal yang saling berkaitan yaitu verbal repertoire dan masyarakat tutur.

Berdasarkan penjelasan Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:34-35), dapat diambil kesimpulan bahwa verbal repertoire merupakan kemampuan komunikatif di mana kemampuan ini terbagi dua yaitu kemampuan komunikatif yang dimiliki oleh setiap penutur secara individu dan kemampuan komunikatif yang dimiliki oleh masyarakat tutur secara keseluruhan. Adapun kemampuan komunikatif setiap penutur ditentukan oleh masyarakat di mana ia merupakan anggotanya, dan kemampuan komunikatif suatu masyarakat tutur terjadi dari himpunan kemampuan komunikatif seluruh penutur dalam masyarakat menjadikan pengertian masyarakat tutur bukan sekedar kelompok orang yang mempergunakan bentuk bahasa yang sama. Akan tetapi, kelompok orang-orang yang juga mempunyai norma yang sama dalam memakai bentuk-bentuk bahasa.

Kalau suatu kelompok atau suatu masyarakat mempunyai verbal repertoir yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma norma pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat itu, maka dapat dikatakan kelompok orang itu atau masyarakat itu adalah sebuah masyarakat tutur. Jadi, masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk bentuk bahasa.

“Sebagai masyarakat bahasa, untuk sementara dapat berarti kelompok penutur yang berdasarkan pandangan hidup mereka membentuk kelompok berdasarkan bahasa yang sama” (Malabar, 2015:13).

Untuk dapat disebut satu masyarakat tutur adalah adanya peranan diantara para penuturnya, bahwa mereka merasa tutur yang sama.   Fishman dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:36), memberi batasan bahwa masyarakat tutur ialah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi tutur beserta norma-norma yang sesuai dengan pemakaiannya. Hal ini menjelaskan bahwa masyarakat tutur bersifat netral dalam arti dapat digunakan secara luas dan besar serta dapat pula digunakan dalam menyebut masyarakat kecil atau sekelompok orang yang menggunakan bahasa relatif sama dan mempunyai penilaian yang sama dengan pemakaian bahasanya.

Masyarakat tutur yang besar dan beragam memperoleh verbal repertoirnya dari pengalaman atau dari adanya interaksi verbal langsung di dalam kegiatan tertentu. Mungkin juga di peroleh secara referensial. Yang diperkuat dengan adanya integrasi simbolik, seperti integrasi dalam sebuah wadah yang disebut negara, bangsa, atau daerah. Jadi, mungkin saja suatu wadah negara, bangsa, atau daerah membentuk suatu masyarakat tutur dalam pengertian simbolik itu. Dalam hal ini tentu saja yang disebut bahasa nasional dan bahasa daerah jelas mewakili masyarakat tutur tertentu dalam hubungan dengan variasi kebahasaan.

Dilihat dari sempit dan luas verbal repertoirnya dapat dibedakan adanya dua macam masyarakat tutur yaitu (1) masyarakat tutur yang repertoir pemakaiannya lebih luas, dan menunjukkan verbal repertoir setiap penutur lebih luas pula, dan (2) masyarakat tutur yang sebagian anggotanya mempunyai pengalaman sehari hari dan aspirasi hidup yang sama dan menunjukkan pemilikan wilayah linguistik yang lebih sempit, termasuk juga perbedaan variasinya.

Kedua jenis masyarakat tutur ini terdapat baik dalam masyarakat yang termasuk kecil dan tradisional maupun masyarakat besar dan modern. Masyarakat modern mempunyai kecenderungan memiliki masyarakat tutur yang lebih terbuka dan cenderung menggunakan berbagai variasi dalam bahasa yang sama. Sedangkan masyarakat tradisional bersifat lebih tertutup dan cenderung menggunakan variasi dalam beberapa bahasa yang berlainan. Penyebab kecenderungan itu adalah berbagai faktor sosial dan faktor kurtural.

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Kesimpulan

Sosiolinguistik merupakan bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitan penggunaan bahasa tersebut di dalam masyarakat. Objek kajian sosiolinguistik meliputi 7 dimensi yakni (1) identitas sosial penutur, (2) identitas sosial pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan tenpat peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis penelitian sosiolinguistik.

Sosiolinguistik berhungungan erat dengan cabang ilmu lain. Kajian mengenai fonologi, morfologi, struktur kalimat, dan semantik leksikal dalam linguistik dipakai oleh sosiolinguistik untuk mengungkap struktur bahasa yang digunakan oleh tiap-tiap kelompok tutur sesuai dengan konteksnya. Sosiolinguistik membantu sosiologi dalam mengklasifikasi strata sosial. Sosiolinguistik mengkaji ulang apa yang ditemukan oleh antropologi adanya kaitan antara budaya dan bahasa. Kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis sangat banyak, sebab bahasa merupakan alat komunikasi verbal manusia. Dalam penggunaannya, sosiolinguistik memberi pengetahuan bagaimana menggunakan bahasa di dalam masyarakat.

Dalam kajian sosiolinguistik dibahas tentang masyarakat bahasa. Masyarakat bahasa adalah kelompok penutur yang berdasarkan pandangan hidup mereka membentuk kelompok berdasarkan bahasa yang sama. Setiap bahasa sebagai langue dapat terdiri dari sejumlah dialek, dan setiap dialek terdiri dari sejumlah idiolek. Namun perlu juga dicatat bahwa dua buah dialek yang secara linguistik adalah sebuah bahasa, karena anggota dari kedua dialek itu bisa saling mengerti; tetapi secara politis bisa disebut sebagai dua buah bahasa yang berbeda.

3.2  Saran

Pada makalah ini kita telah diberikan pemahaman mengenai konsep dasar sosiolinguistik, mulai dari pengertian, hubungan sosiolinguistik dengan ilmu lain, manfaat mempelajari sosiolinguistik, serta penjelasan tentang masyarakat bahasa. Sangat besar harapan penyusun agar nantinya makalah ini dapat membantu pembaca untuk lebih memahami baik konsep maupun penerapan sosiolinguistik itu sendiri di masayarakat. Selain itu, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca agar pada penulisan makalah selanjutnya  hal itu dapat diperbaiki. Tak luput penyusun menitipkan masukan sebagai berikut:

3.2.1        Bagi linguis, dosen, peneliti

a.       Memperkaya multi penafsiran kajian sosiolinguistik

b.      Memproduksi teori pengembangan sosiolinguistik

c.       Mendokumentasikan penelitian bidang sosiolinguistik secara kontinuitas

3.2.2        Bagi guru dan mahasiswa bahasa

a.       Mendalami kajian sosiolinguistik dengan sumber beragam dan terbaru

b.      Melakukan penelitian kajian sosiolinguistik di masyarakat

c.       Berkolaborasi dengan dosen dan peneliti dalam berkarya

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Chaer, Abdul & Leonie Agustina. (2004). Sosiolinguistik. Jakarta: PT Pineka Cipta.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. (2010).  Sosiolingusitik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Irwan. (2011). Pengantar Perkuliahan Sosiolinguistik. Batusangkar: STAIN Batusangkar Press.

Mahliana. (2011). Sosiolinguistik (Bahasa dan Tutur, Verbal Refertoire). Available in http://mahliana-himai.blogspot.com, retrieved on September 16, 2022..

Malabar, Sayama. (2015). Sosiolinguistik. Gorontalo: Ideas Publishing.

Soemarsono. (2012). Sosiolingusitik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumarsono & Paina Partana. (2004). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.