Part 2 Cinta yang Abadi di Tengah Waktu yang Terbatas
Part 2
Keesokan Harinya.....
Mentari pagi menyinari seisi ruangan dengan lembut, membawa harapan baru dan semangat baru. Cahaya pagi itu menyapu wajah Arini yang terbaring di ranjang rumah sakit, membuatnya terbangun dari tidurnya. Di sampingnya, Bima tertidur pulas, wajahnya terlihat lelah namun damai.
Arini menatap Bima dengan penuh kasih sayang dan rasa bersalah. "Kamu terlalu lelah, Bima. Aku minta maaf jika merepotkanmu. Aku hanya ingin kau melupakan semua tentangku," ucap Arini dengan suara lirih, sembari menatap Bima yang masih tertidur.
Tak lama kemudian, Bima terbangun dengan menggosok-gosok matanya. "Eh, Rin, baru bangun ya? Maaf aku ketiduran," katanya sambil tersenyum manis, menyambut sang pujaan hati.
"Iya, kamu kelihatan capek banget. Nanti kamu istirahat aja dulu di rumah, kan ada ayah sama bunda, mereka sebentar lagi sampai," pinta Arini lembut.
"Nggak papa kok, aku nggak capek," balas Bima sambil mencoba meyakinkan Arini.
"Tidak, Bima. Kamu harus balik. Kalau kamu sakit nanti orang tua kamu yang repot, terus kalau kamu sakit aku gimana?" jelas Arini penuh makna.
"Iya, manis..." jawab Bima sambil tersenyum.
Akhirnya, senyum kembali terukir di wajah Arini. Selang beberapa menit, kedua orang tua Arini pun tiba di ruangan.
"Apa kabar anak ayah? Maaf lama ya," sapa ayah Arini sambil memeluk anaknya dengan penuh rindu, bersamaan dengan ibunya yang ikut memeluk.
"Eh, Bima, gimana Arini, nggak rewel kan?" tanya ibu Arini kepada Bima.
"Eh, tante, aman kok, tante," jawab Bima sambil tersenyum.
"Apaan sih, Mah, emangnya aku anak kecil," ujar Arini dengan muka cemberut.
"Heh, anak ayah jangan cemberut dong, malu sama Bima, hahaha," kata ayah yang membuat suasana ruangan kembali terhibur.
"Nggak kok, anak ayah tetap cantik," sambung ayah sambil tersenyum.
"Tante, aku pamit dulu ya, kasihan ibu sendiri di rumah. Ayah belum balik dari kota sebelah," kata Bima sambil bersalaman dengan ibu Arini.
"Oh iya, makasih ya, Bima, sudah menjaga Arini," kata ibu Arini dengan tulus.
"Sama-sama, tante, Om. Kalau begitu, saya pamit dulu ya. Rin, aku pamit," kata Bima sambil tersenyum kepada Arini, kemudian perlahan meninggalkan ruangan itu.
SECANGKIR KOPI
Malam ini ditemani dengan secangkir kopi.
Setiap seruputnya memiliki makna yang mendalam, syarat akan filosofi.
Malam yang tenang membawa aku berpikir dan mempertengkarkan pikiran-pikiran dengan petanyaan-pertanyaan yang terlintas pada ruang naluri.
Ingin segera agar petanyaan-pertanyaan tadi segera dijawab.
Seruut Kopi.....
Membawa kehangatan dan kedamaian.
Duduk menatapi bintang dan rembulan di langit yang gelap.
Sesuatu akan terjadi kah ?
Rokok yang ingin sekali untuk segera disantap
Nganggur. Dan tak berdaya.
Nyataya aku masih memikirkan pertanyaan-ppertanyaan tada henti.
Karena kopi malam ini membuatku terhipnotis
Oleh kesempurnaan minumn kopi ini
BERSEMBUNYI DI BALIK GELAP
Gelap selalu menjadi tempat bagi orang-orang yang suka akan kesendirian.
terlihat senyap, tenang dan bisu.
membayangkan sesuatu yang telah dilewati,
dan bahkan belum pernah dilewati.
Semua langah menuju pada koridor yang sunyi.
tanpa siapapun yang menngetahuinya
runagan ini gelap, dan bahkan hanya ada satu sumber cahaya
yag kecil dan kadangg merdup.
Cahaya itu seakan redup dengan sendirinya.
hanya ada ketakutan yang menghantui di malam iu.
menghayalkan segala kemungkinan terjadi
dan cepat sesuatu itu terjadi.
Gelap adalah hal yang Ku takutkan,
temani aku dalam dekapan kasih sayang
Pelukanmu yang hangat seakan ada kehangatan yang membuatku tenang
kembalilah, aku tetap disini, menunggu kedatanganmu menemanku di kegelapan.
Lembar Teka teki
Aku telah membaca sebuah buku yang aku tak tahu apa judulnya.
Samar dan sulit untuk di tebak, lembar demi lembar telah kebaca dan bahkan ku telaah apa maksud dari tiap baitnya.
Semua mengandung makna yang mendalam, seakan penuh teka teki yang harus dipecahkan.
Tulisan dalam buku ini membuatku gila
Seakan aku ingin memecahkan apa maksud dari semua itu
Sang Pujangga Menari Dalam Aksaranya
Wahai Sang Pujangga, aksara apa yang akan Engkau Tulis dalam kertas itu?
Apakah Engkau akan memerangkap seseorang dalam tulisanmu? Kuperhatikan bait demi bait hampir semua melukiskan seseorang Siapakah itu Sang Pujangga?
Sang pujangga menjawab "Tidak Saudaraku, Aku hanya bisa melukiskan lewat aksaraku dengan begitu kertas itu akan menjadi saksi dan jika pena ini ku patahkan maka berakhirlah tulisanku."