resume

10 May 2016 10:54:06 Dibaca : 1051

materi Agroforestri

1. Agroforestri : sistem penggunaan tanaman dimana tanaman pohon-pohonan dan herba ditanam bercampur secara zonal dan atau berurutan menurut waktu dengan atau tanpa hewan serta memberikan keuntungan lebih besar dari pada jika hanya tanaman pertanian saja (Cannel, M. G. R ).
2. Agroforestri : bentuk pemanfaatan lahan secara optimal dalam suatu tapak yang mengusahakan produksi biologis berdaur pendek dan berdaur panjang (kombinasi) kegiatan kehutanan dengan kegiatan pertanian berdasarkan kelestarian baik secara serempak maupun berurutan di dalam dan di luar kawasan hutan untuk kesejahteraan masyarakat (Rumusan Seminar Agroforestri).

SEJARAH AGROFORESTRI
1. Sistem agroforestri awal ditandai dngan prosentase tanaman pertanian lebih besar dari pada prosentase tanaman kehutanan sebesar 25 %. Konsekuensinya prosentase
penutupan tajuk oleh tanaman kehutanan masih rendah.
2. Sistem agroforestri tengahan ditandai dngan prosentase tanaman pertanian seimbang dengan prosentase tanaman
kehutanan sebesar 50 %. Konsekuensinya perlu pengaturan jarak tanam yang baik serta efisiensi pemanfaatan ruang.
3. Sistem agroforestri akhir ditandai dengan prosentase tanaman kehutanan dominan sebesar 75% dibanding tanaman pertanian. Sistem ini hampir mirip hutan rakyat.

PERAN AGROFORESTRI
1. Menjaga kestabilan ekosistem ditandai dengan keanekaragaman hayati yang tinggi.
2. Menjaga kestabilan tanah dan ketersediaan unsur hara dalam tanah.
3. Menjaga tata air dan ketersediaan air tanah untuk proses fisiologis tanaman.
4. Mencegah terjadinya bencana alam berupa erosi dan tanah longsor.
5. Memperbaiki strukutur/agregasi tanah.
6. Meminimalisir dampak pemanasan global

A. Aspek Ekonomi
1. Sebagai sistem yg memadukan berbagai jenis tanaman
dalam satu lahan maka memungkinkan naiknya produktifitas
hasil panen.
2. Mendongkrak tingkat kesejahteraan petani.
B. Aspek Sosial Budaya
1. Terdapat pelibatan anggota rumah tangga sehingga kehidupan sosial masyarakat semakin harmonis.
2. Kesadaran pentingnya akan hutan adat semakin terpelihara.
C. Aspek Ekologi
1. Keberadaan tanaman agroforestri menjadikan sistem ekologi
tetap terjaga.
2. Meningkatkan konservasi tanah dan air suatu lahan.

Secara umum kelebihan sistem agroforestri :
1. Dengan modal dan biaya tenaga kerja yang relatif rendah bisa mempertahankan dan
meningkatkan produktifitas lahan melalui siklus unsur hara dan perlindungan tanah.
2. Meningkatkan nilai output pada suatu areal lahan tertentu memalui penanaman campuran (polikultur) berdasarkan ruang dan waktu.
3. Mendistribusikan kebutuhan input tenaga kerja secara lebih merata berdasarkan musim.
4. Menciptakan persediaan modal utk memenuhi biaya-biaya yg tdk tentu atau kemungknan2 yg tdk terduga.

Secara umum kekurangan sistem agroferestri :
1. Dominansi tanaman pohon (agroforestri) berdampak pada penurunan produksi tanaman pertanian pokok.
2. Dominansi pohon yg tdk tertata dapat meningkatkan biaya tenaga kerja pada penerapan mekanisasi.
3. Periode produksi tanaman pohon (agroforestri) yg relatif panjang menunda pendapatan di luar batas kemampuan petani.

DIAGNOSA DAN DESAIN SISTEM AGROFORESTRI
Diagnosa berarti melakukan analisa-analisa dari sebuah fakta.
Diagnosa agroforestri berarti menganalisa sistem pemanfaatan
lahan yg terdiri semua karakteristik yg mempengaruhi pengelolaan
dan performanya. Kriteria diagnosa agroforestri antara lain :
1. Lokasi
2. Karakteristik lingkungan berupa berupa posisi ketinggian tempat, topografi, kelerengan, curah hujan dll.
3. Karakteristik sosial ekonomi berupa sistem kepemilikan kelompok2, suku, adat dan pendapatan pertanian.
4. Sumber daya pendukung berupa tenaga kerja, pasar, modal, infrastruktur lainnya.
5. Kebijakan-kebijakan pemerintah terkait dgn kegiatan pengembangan.

Kriteria desain agroforestri antara lain :
1.Produktifitas berupa peningkatan
efisiensi tenaga kerja, diversifikasi tanaman agroforestri guna peningkatan produksi.
2.Kelestarian berupa upaya kegiatan konservasi
3.Kemampuan adaptasi penyesuaian lokasi yg sesuai dgn kondisi sosial dan pemanfaatan lahan.

 

RESUME

22 April 2016 12:28:03 Dibaca : 3002

EKOSISTEM  PERTANIAN

 

       Ekosistem Pertanian (Agroekosistem) – Ekosistem pertanian (agroekosistem) memiliki keanekaragaman biotik dan genetik yang rendah dan cenderung semakin seragam, sehingga tidak stabil dan ini memacu terjadinya peningkatan populasi hama. Agroekosistem merupakan salah satu bentuk ekosistem binaan manusia yang dikelola semaksimal mungkin untuk memperoleh produksi pertanian dengan kualitas dan kuantitas yang sesuai kebutuhan manusia (Pedigo, 1996 : 335).

Sistem Pemantauan Agroekosistem

Sistem Pemantauan adalah salah satu bagian dari kegiatan monitoring dimana sangat erat kaitannya dengan Ambang Ekonomi. Hal ini karena nilai Ambang Ekonomi yang sudah ditetapkan tidak ada gunanya apabila tidak diikuti dengan kegiatan pemantauan yang teratur dan dapat dipercaya. Sebaliknya pemantauan untuk tujuan pengendalian tidak akan dirasakan manfaatnya apabila tidak dikaitkan dengan Aras Penentuan Keputusan Pengendalian berdasarkan penilaian Ambang Ekonomi.

Model-Model Pengendalian OPT – Sekarang ini dikenal dua istilah bahasa Inggris yang sering digunakan secara bergantian untuk Pengendalian Hama Terpadu yaitu Integrated Pest Control (IPC) yang diartikan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan Integrated Pest Management (IPM) yang diartikan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT). Sebenarnya kedua istilah ini digunakan untuk menjelaskan hal yang sama. Jika dilihat dari sejarah perkembangan konsepsi Pengendalian Hama Terpadu, maka (IPM) merupakan perkembangan lebih lanjut dari konsepsi (IPC). Iastilah IPC saat ini di dunia pergaulan ilmiah internasional sudah ditinggalkan dan yang digunakan kini adalah istilah (PHT) singkatan dari Pengelolaan Hama Terpadu (Untung, 2003 :7 ; Wigenasantana, 2001 : 201).

Konsep PHT muncul sebagai akibat kesadaran umat manusia akan bahaya pestisida sebagai bahan yang beracun bagi kelangsungan hidup ekosistem dan kehidupan manusia secara global. Melihat hal ini, muncul pemikiran para ahli untuk mencari metode baru dalam mengendalikan OPT yang dipandang aman. Mula-mula dikembangkan metode dengan memadukan dua teknik pengendalian OPT, kemudian metode ini dikembangkan lagi dengan memadukan semua atau beberapa metode pengendalian yang dianggap cocok dan kompatibel untuk daerah itu, yaitu memadukan cara fisik, mekanik, kultur teknis (bercocok tanam), biologi, kimiawi dan cara pengendalian lainnya (Untung, 2003 : 8; Wigenasantana, 2001 : 202).

Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dapat dilakukan dengan beberapa cara sesuai dengan situasi, kondisi dan keadaan faktor-faktor biotic dan abiotik setempat. Pengendalian tersebut adalah:

Pengendalian Secara Bercocok Tanam (Cultural Control)

Pengendalian OPT secara bercocok tanam bertujuan untuk mengelola lingkungan tanaman sedemikian rupa sehingga menjadi tidak cocok untuk berkembangnya OPT dan mendorong berfungsinya musuh alami (Natural enemies) secara efektif.

Pengendalian secara bercocok tanam merupakan usaha pengendalian yang bersifat preventif yang dilakukan sebelum serangan OPT terjadi, populasihamadiharapkan tidak melawati Aras Ambang Ekonomi (Untung, 2003 : 114 ; Wigenasantana, 2001 : 182).

Teknik pengendalian bercocok tanam didasarkan pada pengetahuan agroekosistem setempat yaitu ekologi dan perilaku OPT meliputi waktu perkawinan, habitat/inang, waktu menyerang dan lain-lain.

Pedigo (1996 : 334) menyatakan bahwa teknik pengendalian secara bercook tanam dpat dikelompokkan dalam 4 (empat) kelompok, yakni:

Mengurangi kesuaian ekosistem, yaitu dengan menciptakan agroekosistem yang tidak sesuai dengan perkembangan hidup OPT, maka perkembangannya akan terhambat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melakukan sanitasi, penghancuran inang, pengolahan tanah dan pengelolaan air.
Mengganggu kontinuitas penyediaan keperluan hidup OPT, yaitu memutuskan kontinuitas tersedianya makanan/inang dengan cara pergiliran tanaman, pemberoan lahan, penanaman serentak, penetapan jarak tanam, pengaturan lokasi penanaman dan memutuskan sinkronisasi antara tanaman dan hamadengan mengatur waktu tanam agar tidak sesuai dengan fase perkembangan hama.
Mengalihkan populasi OPT agar menjauhi pertanaman, yaitu suatu cara pengendalian OPT dengan mengalihkan OPT ke tanaman lain, cara ini tidak begitu efektif bagi serangga yang penyebarannya cepat tetapi masih dapat dilakukan beberapa cara untuk mengalihkan OPT, seperti dengan mananam tanaman perangkap dan melakukan pemanenan secara bertahap untuk menghindari pindahnya OPT secara serempak ke lahan tetangga, cara ini dapat dilakukan pada tanman tertentu.
Mengurangi dampak kerusakan OPT, yaitu menanam tanaman yang bersifat toleran terhadap kerusakan OPT, melakukan pemupukan yang seimbang sesuai kebutuhan tanaman sehingga tanaman masih dapat pulih kembali setelah terserang oleh OPT, mengubah jadwal panen untuk tanaman tertentu dapat dilakukan pemanenan lebih awal.

Pengendalian Hayati (Biologycal Control)

Pengendalian hayati pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan OPT. Musuh alami ini meliputi predator, parasitoid dan patogen sebagai pengatur dan pengendali populasi OPT yang efektif karena sifat pengaturannya yang tergantung kepadatan. Artinya peningkatan populasi OPT akan diikuti oleh peningkatan predator hal ini terlihat dari meningkatnya daya makan per predator. Peningkatan populasi OPT akan diimbangi oleh tekanan yang lebih keras dari populasi musuh alami (Untung, 2003 : 169).

Martono (2005 : 1) dan Untung (2003 : 183) menyatakan dalam praktek pengendalian yang dilakukan sampai saat ini dapat dikelompokkan 3 kategori :

Introduksi, yaitu memasukkan atau importasi musuh alami ke suatu lahan atau areal tanaman yang terserang OPT tertentu. Misalnya untuk mengendalikan OPT pada tanaman padi (di provinsi Gorontalo) yaitu penggerek batang padi telah menggunakan parsitoid telur Trichogramma sp. yang diintroduksi dari pulau Jawa. Berdasarkan laporan petugas pengamathama ternyata parasitoid ini cocok dan berhasil menekan perkembangan penggerek batang padi sehingga populasi penggerek batang padi di areal padi yang telah dilakukan pelepasan dan introduksi parasitoid menurun. Hal ini cukup membantu petani dan dari segi keamanan hayati dapat dipertanggungjawabkan. Pengendalian dengan introduksi musuh alami adalah pengendalian hayati klasik
Augmentasi, yaitu suatu teknik pengendalian dengan meningkatkan jumlah musuh alami atau pengaruhnya. Hal ini dapat tercapai melalui 2 (dua) cara yaitu, a) melepaskan sejumlah musuh alami untuk menambah jumlahnya di lapangan (agroekosistem) sehingga dengan tambahan itu dalam waktu singkat musuh alami akan mampu menurunkan populasi OPT; b) memodifikasi agroekosistem sedemikian rupa sehingga jumlah dan efektivitas musuh alami dapat ditingkatkan.

Pelepasan musuh alami secara teknik augmentasi hampir sama dengan cara introduksi, bedanya adalah teknik augmentasi yang kita harapkan adalah populasi hamadalam satu musim tanam dengan cepat dapat ditekan sehingga tidak merugikan, sedangkan teknik introduksi bertujuan dalam jangka panjang dapat menurunkan aras keseimbangan populasi OPT sehingga tetap berada di bawah aras ambang ekonomi. Teknik augmentasi menggunakan musuh alami yang sudah berfungsi di ekosistem, sedangkan introduksi menggunakan musuh alami dari luar ekosistem.

Konservasi Musuh Alami, yaitu suatu teknik untuk mempertahankan kehidupan musuh alami dengan memanipulasi ekosistem seperti menyediakan tanaman inang sementara(inang alternatif) bagi herbivora dan musuh alami.

Keberadaan inang alternatif sangat penting dalam mendukung kelestarian parasitoid dan predator terutama yang bersifat polifag dan oligofag (Laba, et al., 2000 : 207). Adanya vegetasi yang tumbuh dipinggiran sawah sangat berperan dalam menyediakan tempat sebagai inang alternatif bagi predator dan parasitoid (Herlinda et al., 2000 : 163), dan ini perlu dipertahankan karena menguntungkan bagi pelestarian musuh alami pada ekosistem persawahan karena tanaman liar yang tumbuh di dipinggiran sawah tersebut mampu menyediakan bunga follen, nectar yang dibutuhkan oleh musuh alami.

Ekosistem persawahan yang intensif umumnya adalah monokultur sehingga kurang memberikan habitat yang sesuai bagi musuh alami karena terbatasnya nektar dan inang alternatif. Hal ini dapat diatasi dengan memanfaatkan tepian lahan, pematang yang ditumbuhi tumbuhan liar sebagai koridor yang berfungsi dalam menyediakan pollen, nektar yang diperlukan oleh musuh alami, sehingga berfungsi dalam menekan populasihama(Buchori dan Sahari, 2000 : 127).

Pengendalian Fisik dan Mekanik (Fysical and Mechanical Control)

Pengendalian secara fisik adalah tindakan pengendalianhama dengan menggunakan faktor fisik seperti menaikkan suhu dengan cara pembakaran, menurunkan suhu dengan penggenangan, solarisasi tanah, lampu perangkap, pengaturan cahaya dan suara. Beberapa perlakuan fisik adalah sebagai berikut :

Pemanasan dan Pembakaran, yaitu teknik pengendalian dengan perlakuan panas. Perlu diketahui dalam aplikasi teknik ini adalah pengetahuan tentang batas toleransi OPT sasaran terhadap fakor fisik yang digunakan. Teknik ini mempunyai kelemahan apabila dilakukan di lapangan, yaitu apabila petani melakukan pembakaran maka yang terbakar bukan saja OPT tetapi musuh alami dan organisme lain ikut terbunuh (Wigenasantana, 2001 : 189).
Pemasangan Lampu Perangkap, yaitu ditujukan untuk memantau populasi OPT yang tertarik dengan cahaya terutama serangga dewasa (imago) yang aktif terbang malam hari, teknik ini dapat menekan populasi OPT dewasa. lampu yang digunakan bisa menggunakan Petromak (Wigenasantana, 2001 : 190).
Memasang Barier, yaitu memasng penghalang, menanam tanaman pagar yang bersifat menghalangi dan membatasi pergerakan OPT agar tidak dapat memasuki dan mendatangi tanaman utama sehingga tidak menimbulkan kerusakan yang berarti pada tanaman. Barier ini seperti pematang yang ditinggikan, lubang jebakan dan selokan (Wigenasantana, 2001 : 190).
Solarisasi Tanah, adalah suatu cara mensterilkan tanah dari OPT (mikroorganisme tanah penyebab penyakit layu pada tanaman) dengan menggunakan plastik transparan sebagai mulsa penutup tanah pada saat sebelum tanam. Berdasarkan hasil penelitian Lihawa Mohamad (1994) tentang “Pengaruh Periode Solarisasi Tanah Terhadap Serangan Jamur Fusarium Oxysporum Schlecht Penyebab Penyakit Layu Pada Tanaman Tomat”, ternyata perlakuan solarisasi tanah selama 6 (enam) minggu efektif untuk menekan serangan jamur F. oxysporum Schlecht pada tanaman tomat di lapangan.

Wigenasantana (2001 : 190) menyatakan bahwa pengendalian secara mekanik adalah tindakan mematikanhama secara langsung dengan menggunakan tangan atau alat. Teknik mekanik ini seperti :

Pengambilan dengan Tangan, cara ini murah dan sederhana tetapi memerlukan tenaga kerja yang banyak. OPT yang ditemukan seperti telur, larva, pupa, jika memungkinkan imago dikumpulkan dengan tangan lalu langsung dibunuh, misalnya kelompok telur penggerek batang.
Gropyokan, yaitu untuk mengendalikanhamatikus dengan membunuh tikus yang ada di dalam maupun di luar sarang dengan menggunakan alat bantu seperti pentungan/alat pemukul lainnya dan cangkul.
Memasang Perangkap, yaitu untuk menangkap OPT dengan memasang alat perangkap di tempat yang sering dilalui oleh OPT, alat perangkap ini sering diberi zat kimia baik sebagai perekat maupun penarik OPT.
Pemasangan Umpan, misalnya untuk mengendalikan hamawalang sangit (Leptocorixa acuta) dengan menggunakan umpan daging busuk atau ikan asin yang ditancapkan di tengah-tengah sawah. Jikahama walng sangit ini sudah terkumpul pada umpan maka dapat langsung dibunuh dengan cara di bakar. Pada waktu membakar hindari tanaman ikut terbakar.
Pengusiran, yaitu memasang orang-orangan/patung di tengah lahan sawah, atau memasang alat (kaleng-kaleng kosong) yang dapat mengeluarkan bunyi-bunyian, sehingga OPT lari menjauhi pertanaman. [mm]

RESUME

22 April 2016 12:12:33 Dibaca : 960

KONDISI PERTANIAN SAAT INI

 

        Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional khususnya daerah-daerah. Sektor ini merupakan sektor yang tidak mendapatkan perhatian secara serius dari pemerintah dalam pembangunan bangsa. Mulai dari proteksi, kredit hingga kebijakan lain tidak satu pun yang menguntungkan bagi sektor ini.

Pembangunan pertanian di Indonesia dianggap penting dari keseluruhan pembangunan nasional. Ada beberapa hal yang mendasari mengapa pembangunan lahan pertanian di Indonesia mempunyai peranan penting, antara lain: potensi Sumber Daya Alam yang besar dan beragam terhadap pendapatan nasional yang cukup besar. Besarnya terhadap ekspor nasional dibandingkan besarnya penduduk Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini.

Perannya dalam penyediaan pangan masyarakat dan menjadi basis pertumbuhan di pedesaan. Potensi pertanian Indonesia yang besar namun pada kenyataannya sampai saat ini sebagian besar dari petani kita masih banyak yang termasuk golongan miskin dan tidak mampu. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah pada masa lalu bukan saja kurang memberdayakan petani tetapi juga terhadap sektor pertanian keseluruhan. Pembangunan pertanian pada masa lalu mempunyai beberapa kelemahan, yakni hanya terfokus pada usaha tani, lemahnya dukungan kebijakan makro, serta pendekatannya yang sentralistik.

Akibatnya usaha pertanian di Indonesia sampai saat ini masih banyak didominasi oleh usaha dengan:

  1. modal yang terbatas
  2. penggunaan teknologi yang masih sederhana,
  3. dipengaruhi oleh musim, wilayah pasarnya lokal,
  4. umumnya berusaha dengan tenaga kerja keluarga sehingga menyebabkan terjadinya involusi pertanian (pengangguran tersembunyi),
  5. akses terhadap kredit, teknologi dan pasar sangat rendah,
  6. pasar komoditi pertanian yang sifatnya mono/oligopsoni yang dikuasai oleh pedagang-pedagang besar sehingga terjadi eksploitasi harga yang merugikan petani.

Sumber: http://ssussanti.blogspot.co.id/2015-2016

 

Tugas Ke 2 manejemen dan teknologi pupuk

21 April 2016 12:09:45 Dibaca : 1982

Nama : Sartin Ladiku
Nim : 613413012
Kelas : A_Agroteknologi 2013
Tugas M.K : Manajemen Dan Teknologi Pupuk

1. Kandungan Hara Pupuk Kandang (%)
No Sumber
Kotoran hewan N P K Ca Mg Na Fe Cu Zn H2O
1 Kelelawar 8-13 5-12 1,5-2,5 0,5-1
2 merpati 1,76 1,78 1,00
3 Kerbau 0,60 0,30 0,34 85 85
4 Babi 0,90 0,35 0,40 80
5 Ayam 1,72 1,82 2,18 9,23 0,68 3475 160 501
6 Kelinci 2,72 1,1 0,5 55,3
7 Kambing 2,43 0,73 1,73 1,95 0,56 2891 42 291
8 Itik 0,83 1,80 0,43
9 Kascing 0,63 0,35 0,20 0,20 0,26 0,07 17,59 17,58 0,007
10 Angsa 0,55
1,40 0,95

2. Dosis Pemupukan berbagai Jenis Tanaman. minimal 15 jenis tanaman yang berbeda.
1. Tanaman Padi
Dosis pemupukan
Urea : 185 – 250 kg/Ha
NPK Phonska : 200 – 300 kg/Ha
SP36 : 50 kg/Ha+ 5 ton jerami padi
2. Tanaman Jagung
Urea : 350 kg/Ha
ZA : 50 kg/Ha
SP36 : 200 kg/Ha
KCL : 100 kg/Ha
3. Tanaman Sorgum
Urea (200 kg)
TSP/SP36 (100 kg)
KCl (30 Kg/Ha).
4. Tanaman Kacang Tanah
SP-36 (100 kg/ha), ZA (1 00 kg/ha) dan KCl (50 kg/ha)
5. Tanaman Kakao
Urea 200 g / phn (4 zak / Ha)
SP 36 150 g / phn (3 zak / Ha)
KCL 150 g / phn (3 zak / Ha)
TSP 400 g / phn (8 zak / Ha)
6. Tanaman Kentang
Kotoran ayam 10 ton/ha,
kotoran kambing 15 ton/ha
kotoran sapi 20 ton/ha
Pupuk anorganik berupa SP-36=400kg/ha.
7. Tanaman Ubi Kayu
160 kg pupuk urea,
100 kg SP-36
160 kg KCL per hektar.
8. Tanaman Ubi Jalar
Dosis pupuk yang dianjurkan secara umum adalah
100-200 kg urea/ha
50 kg TSP/ha
100 kg KCl/ha.
9. Tanaman Tomat
pupuk kandang 30 ton/ha
pupuk majemuk NPK dosis 1.000-1.200 kg/ha atau menggunakan pupuk tunggal pupuk Urea 125 kg/ha, ZA.300 kg/ha, TSP 250 kg/ha dan KCl 200 kg/ha.
10. Tanaman Cabe
Pupuk kandang 20-30 ton
Pupuk kimia : ZA dengan dosis 650 kg/ha,
Urea dengan dosis 250 kg/ha,
Sp 36 dengan dosis 500 kg/ha
KCI dengan dosis 400 kg/ha.
11. Tanaman kedelei
Urea 50 kg/ha,
SP-18 75 kg/ha
KCl 50 kg/ha.

12. Tanaman Kacang Panjang
Dosis ZA = 50 kg/ha,
SP-36 = 100 kg/ha,
KCL = 50 kg/ha.

13. Tanaman Kubis
Urea : 100 kg,
ZA : 250 kg,
SP-36 :250 kg
KCl : 200 kg/ha.

14. Tanaman Wortel
Dosis pupuk yang digunakan adalah
urea 100 kg/ha
ZA 200 kg/ha.
TSP ± 400 kg (± 200 kg P2 O5/ha)
KCl 150 kg (± 75 kg K2O/ha).

15. Tanaman terong
Pemupukan 1 : Phonska 120 kg/Ha
Za 150 kg/Ha
Phospat 100 kg/Ha
Pemupukan ke 2: NPK 280 kg/Ha
Za 300 kg/Ha

 

Klasifikasi Agroforestri

23 March 2016 13:55:22 Dibaca : 3999


KLASIFIKASI AGROFORESTRI


Pengklasifikasian agroforestri dapat didasarkan pada berbagai aspek sesuai dengan perspektif dan kepentingannya yang akan sangat membantu dalam menganalisis setiap bentuk implementasi agroforestri yang dijumpai di lapangan secara lebih mendalam, guna mengoptimalkan fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat atau para pemilik lahan.
a. Klasifikasi Berdasarkan Komponen Penyusunnya
Komponen penyusun utama agroforestri adalah komponen kehutanan (atau tanaman berkayu/woody plants), pertanian (atau tanaman non-kayu), dan peternakan (atau binatang ternak/pasture).
1. Agrisilvikultur (Agrisilvicultural systems), sistem agroforestri yang mengkombinasikan komponen kehutanan dengan komponen pertanian.
2. Silvopastura (Silvopastural systems), sistem agroforestri yang meliputi komponen kehutanan dengan komponen peternakan.
3. Agrosilvopastura (Agrosilvopastural systems), pengkombinasian komponen kehutanan dengan pertanian sekaligus peternakan pada unit manajemen lahan yang sama.
b. Klasifikasi Berdasarkan Istilah Teknis Yang Digunakan
Sistem agroforestri, didasarkan pada komposisi biologis serta pengaturannya, tingkat pengelolaan teknis atau ciri-ciri sosial-ekonominya. Contoh : agrisilvikultur, silvopastura, agrosilvopastura.
Sub-sistem agroforestri, memiliki ciri-ciri yang lebih rinci dan lingkup yang lebih mendalam. Contoh: tanaman lorong (alley cropping), tumpangsari dan lain-lain.
Praktek agroforestri, lebih menjurus kepada operasional pengelolaan lahan yang khas dari agroforestri yang murni didasarkan pada kepentingan/kebutuhan ataupun juga pengalaman dari petani lokal atau unit manajemen yang lain yang di dalamnya terdapat komponen-komponen agroforestri.
Teknologi agroforestri, inovasi atau penyempurnaan melalui intervensi ilmiah terhadap sistem-sistem atau praktek-praktek agroforestri yang sudah ada untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar.
c. Klasifikasi Berdasarkan Masa Perkembangannya
1. Agroforestri tradisional/klasik (traditional/classical agroforestry), umumnya tata tanam dan pola tanam tidak teratur.
2. Agroforestri modern (modern atau introduced agroforestry), umumnya hanya melihat pengkombinasian antara tanaman keras atau pohon komersial dengan tanaman sela terpilih dan teratur.
d. Klasifikasi Berdasarkan Zona Agroekologi
Menurut Nair (1989), klasifikasi agroforestri dapat juga ditinjau dari penyebarannya atau didasarkan pada zona Agroekologi, yaitu:
(1)Agroforestri pada di wilayah tropis lembab dataran rendah (lowland tropical humid tropic);
(2)Agroforestri pada wilayah tropis lembab dataran tinggi (high-land tropical humid tropic);
(3)Agroforestri pada wilayah sub-tropis lembab dataran rendah (lowland humid sub-tropic);
(4)Agroforestri pada wilayah sub-tropis dataran tinggi (highland humid sub-tropic).
Didasarkan pada zona klimatis utama di Indonesia, terdapat 5 wilayah yaitu:
(a) Zona Monsoon (Jawa dan Bali),
(b) Zona Tropis Lembab (Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi),
(c) Zona Kering atau Semi Arid (Nusa Tenggara)
(d) Zona Kepulauan (Kepuluan Maluku),
(e) Zona Pegunungan (Jawa, Sumatera, atau di Papua).
e. Klasifikasi Berdasarkan Orientasi Ekonomi
1. Agroforestri skala subsisten (Subsistence agroforestry), diusahakan oleh pemilik lahan sebagai upaya mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
2. Agroforestri skala semi-komersial (Semi-commercial agroforestry)
3. Agroforestri skala komersial (Commercial agroforestry), kegiatan ditekankan untuk memaksimalkan produk utama, yang biasanya hanya dari satu jenis tanaman saja dalam kombinasi yang dijumpai.
f. Klasifikasi Berdasarkan Sistem Produksi
1. Agroforestri berbasis hutan (Forest Based Agroforestry)
2. Agroforestri berbasis pada pertanian (Farm based Agroforestry)
3. Agroforestri berbasis pada keluarga (Household based Agroforestry)
4. Agroforestri pada tingkat tapak (skala plot)
5. Agroforestri pada tingkat bentang lahan