Perempuan dalam Bayang Malam
Fenomena perempuan yang bekerja di dunia malam merupakan isu kompleks yang melibatkan berbagai aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Di balik gemerlap kehidupan malam, terdapat realitas yang sering kali tersembunyi dari pandangan publik, seperti tekanan ekonomi, keterbatasan pendidikan, hingga stereotip sosial yang melekat pada perempuan di sektor ini. Menurut Hatty (1989), perempuan yang terlibat dalam dunia malam kerap menghadapi berbagai bentuk kekerasan, baik secara fisik maupun psikologis. Kekerasan ini tidak hanya berasal dari lingkungan kerja mereka, tetapi juga dari stigma sosial yang mengakar kuat di masyarakat. Sementara itu, penelitian oleh Kao et al. (1997) menunjukkan bahwa perempuan di sektor ini juga berisiko tinggi terhadap masalah kesehatan, seperti infeksi virus hepatitis G yang kemungkinan besar ditularkan melalui kontak seksual.
Dalam konteks historis, Paik (2022) menyoroti bagaimana perempuan yang bekerja di dunia malam di India sering kali dikaitkan dengan sistem kasta yang memperburuk kondisi sosial dan ekonomi mereka. Selain itu, Lubove (1962) mencatat bahwa gerakan progresif di Amerika Serikat pernah berupaya untuk merehabilitasi perempuan dalam dunia malam melalui berbagai program sosial dan pendidikan. Dari perspektif religius dan budaya, Leite (1996) mengungkapkan bahwa di Brasil, perempuan yang bekerja di dunia malam memiliki keterkaitan erat dengan nilai-nilai budaya dan religius tertentu yang dapat memengaruhi persepsi masyarakat terhadap mereka. Chase & Teasley (1995) bahkan mengaitkan perempuan dalam dunia malam dengan simbolisme dalam cerita rakyat, seperti dongeng "Little Red Riding Hood," yang mencerminkan bagaimana masyarakat membentuk persepsi tentang perempuan dalam konteks seksualitas. Dari sisi psikologis, perempuan dalam dunia malam dihadapkan pada tekanan emosional yang signifikan. Ketidakstabilan jam kerja, ekspektasi sosial yang tinggi, serta risiko kesehatan fisik dan mental menjadi tantangan yang kerap dihadapi. Hal ini menunjukkan pentingnya dukungan sosial dan kebijakan yang inklusif untuk melindungi hak-hak mereka.
Oleh sebab itu, perlu adanya pendekatan yang lebih holistik dalam memahami fenomena ini. Dukungan berupa pelatihan keterampilan, akses terhadap pendidikan, serta perlindungan hukum yang memadai merupakan langkah penting dalam meningkatkan kesejahteraan perempuan yang bekerja di dunia malam. Dengan demikian, kebijakan yang inklusif dan berbasis pada kesetaraan gender dapat membantu mereka keluar dari bayang-bayang stigma dan memberikan peluang yang lebih baik di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Hatty, S. (1989). Violence Against Prostitute Women: Social and Legal Dilemmas. Australian Journal of Social Issues, 24(4), 235–248. doi:10.1002/j.1839-4655.1989.tb00867.x
Kao, J. H., Chen, W., Chen, P. J., Lai, M. Y., Lin, R. Y., & Chen, D. S. (1997). GB virus-C/hepatitis G virus infection in prostitutes: Possible role of sexual transmission. Journal of Medical Virology, 52(4), 381–384. doi:10.1002/(SICI)1096-9071(199708)52:4<381::AID-JMV6>3.0.CO;2-Y
THE PROBLEM OF THE PROSTITUTE. (1918). Medical Journal of Australia, 1(9), 176–176. doi:10.5694/j.1326-5377.1918.tb11382.x
Paik, S. (2022). Dr Ambedkar and the ‘Prostitute’: Caste, Sexuality and Humanity in Modern India. Gender & History, 34(2), 437–457. doi:10.1111/1468-0424.12557
Lubove, R. (1962). The Progressives and the Prostitute. Historian, 24(3), 308–330. doi:10.1111/j.1540-6563.1962.tb01725.x
Chase, R., Jr, & Teasley, D. (1995). Little Red Riding Hood: Werewolf and Prostitute. Historian, 57(4), 769–776. doi:10.1111/j.1540-6563.1995.tb01367.x
Arnett, A. A. (2024). Exploring Love and Sexuality as the Daughter of a Prostitute. Women in Higher Education, 33(6), 6–6. doi:10.1002/whe.21411
Leite, G. S. (1996). THE PROSTITUTE MOVEMENT IN BRAZIL: CULTURE AND RELIGIOSITY. International Review of Mission, 85(338), 417–426. doi:10.1111/j.1758-6631.1996.tb02748.x
Aku, Kamu, dan Malam yang Tak Bernama
MOHAMAD RIADI MUSLIM
Di antara bisik angin yang berlarian, kita berdiri dalam sunyi yang terlalu bising.
Aku menatap langit tanpa nama, sementara kau mencari arti dalam diam.
Malam ini, waktu merayap tanpa permisi, menguraikan rindu dalam garis-garis cahaya.
Bintang-bintang bertanya tanpa suara, tentang kita, yang entah di mana jalannya.
Kau hadir seperti bayang yang tak sepenuhnya nyata, membawa sejumput kenangan yang tak ingin pulang.
Aku menggenggamnya erat dalam dada, meski tahu, perlahan ia akan menghilang.
Di sudut kota yang asing dan samar, jejak langkah kita berbisik pada trotoar, tentang janji-janji yang tak pernah terucap, tentang harapan yang menggantung di angan.
Namun malam ini, kita hanyalah cerita, tanpa judul, tanpa akhir yang pasti. Aku, kamu, dan malam yang tak bernama, sekadar kisah yang terlupa oleh waktu.
Terjebak dalam Dua Cinta
Fenomena mencintai dua orang sekaligus merupakan topik yang kompleks dan sering kali menimbulkan dilema emosional maupun moral. Dalam konteks psikologi, perasaan cinta yang terbagi kepada dua individu dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kebutuhan emosional yang berbeda, keterikatan yang tumbuh dari pengalaman bersama, dan kondisi psikologis individu yang memungkinkan keterbukaan terhadap lebih dari satu hubungan. Menurut Hanson (2022), konsep cinta ganda dapat dipahami melalui perspektif etika cinta sesama manusia yang menekankan pada spiritualisasi cinta romantis sebagai bentuk cinta yang lebih luas. Dalam karyanya, Hanson menyoroti bahwa perasaan cinta kepada dua orang tidak selalu bermakna ketidaksetiaan, melainkan dapat diinterpretasikan sebagai ekspresi cinta yang kompleks dan multidimensional.
Dari perspektif historis, Luskin (2023) dalam studinya tentang karya seni Renaissance, seperti "Titian's Bacchus and his Two Loves," mengungkapkan bahwa fenomena cinta segitiga telah lama menjadi subjek eksplorasi budaya. Ia berargumen bahwa kecenderungan manusia untuk mencintai lebih dari satu orang sering kali terkait dengan pencarian identitas dan pemenuhan diri. Secara akademik, teori psikologi cinta dari Sternberg (1986) yang dikenal dengan "Triangular Theory of Love" menjelaskan bahwa cinta terdiri dari tiga komponen utama: keintiman, gairah, dan komitmen. Dalam beberapa kasus, individu dapat merasakan keintiman dengan satu orang, tetapi gairah dengan yang lain, sehingga menciptakan kompleksitas dalam hubungan interpersonal.
Dalam bidang filsafat moral, Cladis (2000) meneliti bagaimana konsep cinta dalam pemikiran moral abad ke-18, seperti yang diungkapkan oleh Rousseau, dapat memberikan wawasan tentang dilema yang dihadapi oleh individu yang terjebak dalam dua cinta. Rousseau menekankan bahwa cinta bukan hanya soal kepemilikan tetapi juga tentang kebebasan dan keautentikan diri dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Dampak dari terjebak dalam dua cinta dapat mencakup konflik internal, stres emosional, dan ketidakpastian dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang matang dalam memahami perasaan tersebut serta mencari solusi yang tidak merugikan semua pihak yang terlibat.
Dalam penelitian terbaru, beberapa studi menunjukkan bahwa komunikasi yang terbuka dan kejujuran dalam hubungan menjadi kunci dalam mengelola situasi ini. Hal ini didukung oleh temuan dari jurnal-jurnal psikologi yang menekankan pentingnya keterbukaan emosional dalam hubungan yang sehat.
Pendidikan Masa Kini: Antara Tantangan dan Peluang di Dunia Serba Cepat
Pendidikan masa kini menghadapi berbagai tantangan dan peluang di tengah dinamika dunia yang serba cepat. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi dan globalisasi, sistem pendidikan dituntut untuk beradaptasi dengan perubahan agar tetap relevan dan efektif.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ampah-Mensah et al. (2024), implementasi kebijakan pendidikan sangat bergantung pada keterlibatan struktur pendidikan berbasis komunitas dan distrik. Keterlibatan aktor-aktor lokal ini menjadi kunci dalam menjamin efektivitas kebijakan yang diterapkan di tingkat nasional. Oleh karena itu, penting bagi sistem pendidikan untuk membangun sinergi antara pemerintah, institusi pendidikan, dan komunitas setempat guna meningkatkan kualitas pendidikan secara holistik. Di sisi lain, tekanan akademik dan kejenuhan menjadi tantangan yang signifikan, terutama bagi mahasiswa pendidikan jarak jauh, sebagaimana yang diungkapkan oleh Maison (2024). Studi ini menunjukkan bahwa tekanan akademik yang tinggi dapat menyebabkan kelelahan yang berdampak pada performa akademik mahasiswa. Hal ini menyoroti perlunya strategi manajemen stres yang efektif serta dukungan psikologis bagi para peserta didik agar mereka dapat mencapai hasil belajar yang optimal.
Selain itu, pendidikan inklusif menjadi fokus utama dalam upaya menciptakan sistem yang lebih adil dan merata. Ali et al. (2024) menyoroti pentingnya sikap guru dalam mendukung pendidikan inklusif di sekolah dasar. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa penerapan pendidikan inklusif yang berhasil sangat bergantung pada kesiapan guru dalam memahami dan menerapkan model pendidikan yang inklusif dan adaptif terhadap kebutuhan siswa berkebutuhan khusus. Lebih lanjut, penelitian oleh Cao (2024) menekankan pentingnya pengembangan sumber daya manusia melalui klaster pendidikan yang melibatkan universitas dan pemangku kepentingan regional di Tiongkok. Pendekatan ini menunjukkan bagaimana keterlibatan universitas dalam ekosistem lokal dapat mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Di tingkat pendidikan tinggi, tantangan dalam penerapan pembelajaran jarak jauh selama pandemi telah memberikan wawasan berharga mengenai inovasi pendidikan. Zani (2024) meneliti pengalaman mahasiswa teknik dalam menghadapi pembelajaran jarak jauh darurat dan menemukan bahwa meskipun terdapat tantangan teknis, ada pula peluang untuk meningkatkan keterampilan digital serta adaptabilitas dalam lingkungan pembelajaran yang dinamis.
Berdasarkan berbagai penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan masa kini berada di persimpangan antara tantangan dan peluang. Dengan memanfaatkan inovasi teknologi, membangun sinergi dengan komunitas, serta memperkuat pendekatan inklusif, sistem pendidikan dapat menjadi lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan zaman.
SOLIDARITAS PERTEMANAN KELAS B
SOLIDARITAS PERTEMANAN KELAS BMohamad Riadi Muslim
Kelas B di Perguruan Tinggi Jurusan Bimbingan dan Konseling Angkatan 2022 (Conzztan) adalah kelompok mahasiswa yang sangat beragam dalam hal karakter, minat, dan latar belakang. Meskipun memiliki perbedaan yang jelas, solidaritas mereka terjalin dengan sangat erat. Anggota kelas B yang terdiri dari Fikri, Ayu, Dinda, Idul, Riadi, Jibran Adrian, Yanwar, Widya, Yunda, Chusnul, Alfi, Zidan, Elda, Feltia, Acin, dan Mitra menunjukkan bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan justru kekuatan yang membuat mereka saling mendukung dan bekerja sama.
Adrian, yang cenderung pendiam, memiliki pemikiran yang mendalam tentang banyak hal, meskipun terkadang merasa sesat dalam kehidupannya. Meskipun terlihat tenang, ia sering kali merasa kesulitan untuk menyampaikan perasaannya. Yunda, mantan pacarnya, meskipun dikenal dengan mulutnya yang kadang tajam, tetap menjadi orang yang selalu memberikan perhatian kepada Adrian. Yunda adalah contoh nyata dari seseorang yang bisa bersikap tegas sekaligus penuh perhatian.
Ayu dan Fiki, meskipun memiliki hubungan masa lalu sebagai HTS (Hubungan Tanpa Status), tetap menjaga hubungan profesional dan saling mendukung dalam studi mereka. Ayu, yang memiliki kemampuan analitis yang tajam, sering kali membantu Fiki dalam memahami materi kuliah, sementara Fiki, dengan kemampuan teknisnya, selalu siap membantu Ayu saat ada tugas yang memerlukan keterampilan tertentu.
Elda dan Feltia adalah dua mahasiswa ambisius yang selalu berkompetisi dalam pencapaian akademik. Namun, di balik persaingan tersebut, mereka saling menghargai dan mendukung satu sama lain. Mereka mengerti bahwa ambisi mereka tidak akan menghalangi mereka untuk menjadi teman yang saling membantu dan mendukung.
Riadi dan Jibran adalah sumber keceriaan di kelas B. Keduanya dikenal sebagai pribadi yang humoris dan seringkali membuat teman-temannya tertawa. Mereka memiliki kemampuan untuk meringankan suasana di kelas yang kadang bisa terasa tegang atau penuh tekanan, terutama saat ujian atau presentasi.
Widya, yang dikenal sebagai "Jenderal" kelas B, selalu memimpin dengan bijak. Sebagai ketua pelindung wanita, ia bertanggung jawab dalam mengatur segala urusan administrasi dan kegiatan akademik kelas. Namun, yang lebih penting adalah cara ia membimbing teman-temannya untuk bekerja sama. Kepemimpinannya selalu mengedepankan kolaborasi dan saling mendukung.
Zidan dan Idul, dua mahasiswa yang rajin dan selalu disiplin, menjadi contoh bagi teman-temannya dalam hal ketekunan dan dedikasi terhadap studi. Mereka adalah individu yang selalu siap membantu, terutama saat teman-temannya mengalami kesulitan dalam memahami materi kuliah.
Yanwar, seorang mahasiswa yang alim dan tenang, seringkali menjadi tempat berbagi bagi teman-temannya yang membutuhkan pendapat atau nasihat. Meskipun tidak banyak bicara, kehadirannya memberi rasa damai dan menenangkan bagi teman-temannya yang tengah mengalami kecemasan atau kebingungan.
Mitra dan Dinda, dua mahasiswa asal Limboto, memiliki ikatan yang kuat sebagai teman dan pendukung satu sama lain. Mereka selalu bekerja sama dalam setiap tugas kelompok, selalu saling membantu untuk mencapai hasil yang terbaik. Kekuatan mereka terletak pada komunikasi dan pemahaman yang mendalam satu sama lain.
Chusnul dan Acin, meskipun memiliki ketertarikan terhadap K-pop, yang kadang dianggap sebagai hal yang kurang relevan dengan jurusan mereka, tetap memiliki tempat di hati teman-temannya. Keduanya dengan terbuka berbagi minat mereka tanpa merasa dihakimi, dan ini menciptakan suasana inklusif dalam kelas yang memandang perbedaan sebagai kekayaan.
Kelas B di jurusan Bimbingan dan Konseling mengajarkan bahwa perbedaan karakter, minat, dan pandangan hidup bukanlah hambatan, melainkan kekuatan yang memperkaya hubungan antar anggotanya. Masing-masing dari mereka memiliki peran yang sangat berarti, baik dalam mendukung pencapaian akademik maupun dalam menjaga solidaritas dan keharmonisan di dalam kelas.
Solidaritas yang terjalin antara anggota kelas B bukan hanya tampak dalam hal studi, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Mereka selalu hadir satu sama lain dalam suka dan duka, mendukung teman yang kesulitan, dan merayakan keberhasilan bersama. Mereka saling berbagi beban dan memberikan motivasi, membuat kelas ini bukan hanya tempat belajar, tetapi juga rumah kedua yang penuh dukungan dan kebersamaan.
Melalui perbedaan yang ada, kelas B menunjukkan bahwa dalam solidaritas, tidak ada ruang untuk rasa egois. Semua bekerja sebagai satu kesatuan, membangun hubungan yang kuat berdasarkan saling pengertian dan rasa hormat. Di sinilah nilai persahabatan yang sesungguhnya ditemukan: di tempat di mana setiap individu merasa diterima, dihargai, dan didorong untuk menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.