BAGIAN 1 : QUO VADIR ARTIFICIAL INTELEGENCE ?

19 May 2025 23:50:54 Dibaca : 28

Pengantar 

         Dalam artikel ini penulis hanya akan merangkum point point penting dalam artikel yang berjudul Quo Vadir Artificial Inteegence yang artinya kecerdasan buatan apa yang anda miliki. Artikel ini ditulis oleh Yuche, Xiang Li, Hao Luo dan She Yin.pada halaman pertama ini, penulis akan merangkum bagian abstrak pada artikel ini, pada artikel ini khususnya pada bagian abstrak menguaikan bahwa AI telah menjadi pengejaran berkelanjutan para ilmuan dn insiyur selama lebih dari 65 tahun. Premise sederhanya adalah bahwa mesin yang diciptakan oleh manusia dapat melakukan lebih dari sekedar pekerjaan padat karya.

Dalam hal ini AI merupakan mesin yang berfikir seperti manusia. Tanpa kita sadari bahwa AI telah terlibat atau memainkan peran di segala lini bidang seperti industri, kesehatan, keperawatan, pendididkan dan bidang umum lainnya. IA berkontribusi pada kemajuan tehnologierkini di berbagai bidang studi. Adapun kesimpulan atau point penting yang bisa di ambil pada bagian awal ini adalah bahwa AI menjadi pembahasan selama 65 tahun, AI merupakan mesin yang berfikir/mesin yang memiliki kecerdasan yang dirancang oleh manusia, dan AI telah masuk di segala bidang.

 

Kisah ini saya tuliskan untuk temanku yang sedang jatuh cinta, cinta kepada seseorang yang enggan untuk Ia ungkapkan. Yang Ia cintai belum tentu mencintainya kembali. Kecintaanya dibatasi oleh ruang harapan yang hampa. Ketahuilah bahwa kau bisa mencintainya sesuai versimu. Memiliki dengan seutuhnya akan membuatmu luka. Secara umum, kata CINTA banyak definisinya, soal memiliki dan menyatunya dua insan juga bisa di katakan dengan cinta. Tapi apakah cinta harus dengan memiliki..? Ini adalah hipotesis yang harus dipecahkan. Banyak filsuf kuno mendefinisikan berbagai pengertian soal cinta.

Plato pernah mengatakan “Cinta adalah dorongan jiwa untuk mencari keindahan dan kebenaran, yang mencapai puncaknya dalam cinta platonis.” Sedangkan menurut aristotles mengatakan “Cinta adalah kebajikan yang melibatkan persahabatan, saling pengertian, dan keharmonisan dalam hubungan.” Dari kedua pernyataan tersebut maka bisa dianalisis Plato melihat cinta (eros) sebagai keinginan untuk sesuatu yang lebih besar, seperti kebenaran dan keindahan.  Plato menggambarkan cinta sebagai proses transendental yang dimulai dengan ketertarikan pada keindahan fisik dan berkembang menjadi penghargaan terhadap keindahan jiwa, ide-ide, dan akhirnya kebenaran universal.   Cinta platonis, yang tidak bersifat fisik, tetapi spiritual dan intelektual, adalah puncaknya.  Hal ini mencerminkan keyakinan Plato bahwa dunia ide melebihi dunia materi.

Di lain sisi dapat dianlaisis pendefinisian cinta menurut aristotles Berbeda dengan Plato, Aristoteles menekankan aspek etika dan praktis dari cinta.  Aristoteles menganggap cinta sebagai bentuk persahabatan , atau philia, yang berdasarkan pada rasa hormat yang sama terhadap kebaikan masing-masing.  Cinta di sini adalah ekspresi dari keindahan (kebajikan) dalam hubungan antar manusia yang memerlukan pengertian, kepercayaan, dan keseimbangan.  Menurut Aristoteles, cinta tidak hanya bersifat spiritual tetapi juga mencakup realitas sehari-hari dan sosial, dan berkontribusi pada eudaimonia (kebahagiaan hidup yang utuh).

Tentang Keindahan dan Hasrat Memiliki

08 May 2025 08:02:39 Dibaca : 27

Jika kau mencintai pantai karena debur ombak dan senja yang memerah di cakrawala, maka jangan tergoda untuk membangun rumah dan menetap di sana. Jika kau jatuh hati pada gagahnya gunung, hijaunya lereng, dan bisu kabut pagi yang menyelimuti, maka jangan buru-buru mendirikan pondok untuk tinggal selamanya. Jika hatimu terpikat oleh tempat-tempat yang menakjubkan, maka berhati-hatilah untuk tidak mengikat dirimu terlalu lama di sana.

Mengapa? Karena manusia, pada hakikatnya, mudah bosan. Apa yang dahulu memesona, lambat laun akan terasa biasa. Yang kau kira cinta, mungkin hanya hasrat untuk memiliki. Dan hasrat, ketika telah mencapai puncaknya, seringkali meninggalkan kehampaan. Keindahan yang dulunya memukau akan tampak pudar jika kau terlalu lama menatapnya tanpa jeda.

Itulah mengapa awal cerita tak pernah sama dengan akhirnya. Itulah sebabnya orang berkata, “Kau yang sekarang, tak seperti dulu.”

Ketika kau ingin memiliki keindahan sepenuhnya, kau juga membuka celah bagi kebosanan merayap masuk. Dan saat keindahan tak lagi menggugah, ia akan dibuang, diabaikan, bahkan dilupakan—seperti barang bekas, seperti sampah.

Maka belajarlah mencintai tanpa memiliki. Kagumilah keindahan tanpa perlu menggenggam erat-erat. Sebab semakin kau genggam, semakin cepat ia lenyap.

Tidak ada yang abadi di dunia ini. Dan mungkin, justru karena itulah, sesuatu menjadi indah.

Pendidikan adalah pilar utama kemajuan sebuah bangsa. Ia adalah fondasi yang menopang peradaban, mencetak generasi penerus yang cerdas, berkarakter, dan mampu menjawab tantangan zaman. Namun, sayangnya, dalam beberapa waktu terakhir, kita menyaksikan dinamika yang kurang menggembirakan dalam dunia pendidikan di negeri ini. Alih-alih menjadi ruang pengembangan potensi yang stabil dan terencana, pendidikan kita terkadang terasa seperti arena eksperimen yang terus berubah-ubah, menjadikan siswa dan guru sebagai "kelinci percobaan" dari kebijakan yang belum sepenuhnya teruji.

Salah satu isu yang paling mencolok adalah frekuensi perubahan kurikulum. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, kita telah beberapa kali mengalami pergantian kurikulum dengan berbagai justifikasi. Perubahan yang terlalu sering ini menimbulkan dampak yang signifikan. Bagi siswa, mereka dipaksa untuk terus beradaptasi dengan pendekatan dan materi yang berbeda, tak jarang menimbulkan kebingungan dan kesulitan dalam proses belajar. Guru pun demikian, mereka harus berjibaku dengan beban administrasi baru, pelatihan yang terkadang minim, dan keharusan untuk terus menyesuaikan metode pengajaran dengan kurikulum yang terus berganti. Alih-alih fokus pada peningkatan kualitas pembelajaran, energi dan waktu guru justru terkuras untuk urusan administratif dan adaptasi kurikulum. Perubahan yang terburu-buru ini juga tidak memberikan ruang yang cukup untuk mengevaluasi efektivitas kurikulum sebelumnya, sehingga kita sulit mengukur apakah perubahan yang dilakukan benar-benar membawa perbaikan yang signifikan.

Ironisnya, seringkali perubahan kebijakan pendidikan ini minim melibatkan suara dari para pelaku utama di lapangan: guru, siswa, praktisi pendidikan, dan bahkan orang tua. Keputusan strategis yang menyangkut masa depan generasi penerus bangsa seolah-olah hanya dirumuskan di ruang-ruang terbatas tanpa mendengarkan aspirasi dan pengalaman mereka yang berinteraksi langsung dengan proses pembelajaran. Padahal, perspektif dari berbagai pihak ini sangat krusial untuk menghasilkan kebijakan yang komprehensif, realistis, dan implementatif. Kebijakan yang lahir tanpa melibatkan stakeholder berpotensi besar menemui kendala di lapangan, bahkan kontraproduktif terhadap tujuan pendidikan itu sendiri.

Masalah lain yang tak kalah penting adalah implementasi kebijakan yang seringkali tergesa-gesa dan kurang persiapan. Sebuah kebijakan yang baik di atas kertas belum tentu berjalan mulus di lapangan jika tidak didukung oleh persiapan yang matang. Kita sering menyaksikan bagaimana perubahan kurikulum atau kebijakan pendidikan lainnya diumumkan dan diterapkan dalam waktu yang relatif singkat, tanpa memberikan waktu yang cukup bagi sekolah dan guru untuk memahami, mempersiapkan diri, dan mendapatkan pelatihan yang memadai. Akibatnya, implementasi menjadi setengah hati, sumber daya pendukung kurang memadai, dan tujuan dari kebijakan tersebut sulit tercapai secara optimal.

Ketidakstabilan dalam sistem pendidikan ini tentu berdampak pada psikologis dan akademik siswa. Mereka yang seharusnya belajar dalam lingkungan yang aman, nyaman, dan terprediksi, justru dihadapkan pada ketidakpastian dan keharusan untuk terus beradaptasi. Perubahan yang terus-menerus dapat menimbulkan stres, kebingungan, dan demotivasi, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi hasil belajar dan perkembangan karakter mereka. Pendidikan seharusnya menjadi wahana untuk menumbuhkan potensi secara optimal, bukan menjadi sumber kecemasan dan ketidakpastian.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menyadari bahwa pendidikan bukanlah arena untuk coba-coba. Setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada kajian yang mendalam, melibatkan seluruh pemangku kepentingan, dan diimplementasikan dengan persiapan yang matang. Proses evaluasi yang komprehensif dan berkelanjutan terhadap setiap kebijakan pendidikan juga menjadi krusial. Perubahan seharusnya didorong oleh hasil evaluasi yang valid dan terukur, bukan sekadar oleh gagasan baru yang belum teruji dampaknya.

Sudah saatnya kita berhenti menjadikan pendidikan sebagai "kelinci percobaan". Masa depan bangsa ini terlalu berharga untuk dipertaruhkan oleh kebijakan yang terburu-buru dan kurang terencana. Mari kita bersama-sama mengawal kebijakan pendidikan agar lebih stabil, terukur, dan benar-benar berpihak pada kepentingan terbaik siswa dan guru, demi kemajuan generasi penerus bangsa yang kita cintai.

Semoga artikel ini sesuai dengan harapan Anda. Anda dapat menyesuaikannya lebih lanjut dengan menambahkan contoh-contoh spesifik atau data pendukung jika diperlukan.

Mentari pagi menyapa wajah-wajah penuh antusiasme mahasiswa baru Universitas Negeri Gorontalo (UNG) angkatan 2024. Mereka datang dengan segudang harapan dan semangat untuk menimba ilmu serta mengukir pengalaman di lingkungan kampus. Di tengah hiruk pikuk adaptasi dengan ritme akademik dan dinamika sosial yang baru, sebuah momentum penting tengah menanti: Pemilihan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNG untuk periode 2025. Lebih dari sekadar memilih pemimpin organisasi kemahasiswaan tertinggi, proses ini menyimpan potensi besar sebagai fondasi awal pendidikan politik yang krusial bagi para mahasiswa baru.

BEM UNG, sebagai representasi suara dan aspirasi mahasiswa, memiliki peran sentral dalam kehidupan kampus. Ia menjadi jembatan antara mahasiswa dan pihak rektorat, sekaligus menjadi garda terdepan dalam mengadvokasi kepentingan mahasiswa. Pemilihan Presiden BEM adalah peristiwa penting yang tidak hanya menentukan arah gerak organisasi ini, tetapi juga menjadi cerminan dari kehidupan politik kampus secara keseluruhan. Artikel ini berargumen bahwa proses dan hasil Pemilihan Presiden BEM UNG 2025 dapat menjadi landasan yang kokoh dalam memberikan pendidikan politik yang praktis dan relevan bagi mahasiswa baru angkatan 2024. Melalui pengamatan dan partisipasi dalam proses ini, mahasiswa baru dapat memperoleh pemahaman awal tentang mekanisme demokrasi, pentingnya visi dan misi, strategi komunikasi politik, serta tanggung jawab sebagai pemilih.

Pemilihan Presiden BEM UNG 2025 dapat diibaratkan sebagai laboratorium politik mini bagi mahasiswa baru. Proses pendaftaran calon, kampanye dengan berbagai metode, debat kandidat yang mempertajam gagasan, hingga akhirnya pemungutan suara, semuanya merefleksikan mekanisme demokrasi dalam skala kampus. Mahasiswa baru memiliki kesempatan emas untuk menyaksikan secara langsung bagaimana konsep-konsep politik seperti partisipasi aktif, representasi aspirasi, dan akuntabilitas kepemimpinan diwujudkan dalam praktik. Mereka dapat mengamati bagaimana para calon berusaha meyakinkan pemilih melalui argumentasi dan program kerja yang ditawarkan.

Lebih lanjut, visi dan misi para calon Presiden BEM menjadi materi pembelajaran yang berharga. Mahasiswa baru dapat belajar menganalisis isu-isu krusial yang dihadapi oleh komunitas mahasiswa dan kampus secara keseluruhan. Dengan mencermati tawaran-tawaran program kerja dan menelusuri rekam jejak para kandidat (jika ada), mahasiswa baru akan terlatih untuk berpikir kritis dalam mengidentifikasi platform politik yang paling sesuai dengan nilai dan kepentingan mereka. Proses ini secara tidak langsung mengajarkan mereka tentang pentingnya informasi yang akurat dan kemampuan untuk membedakan antara retorika dan substansi.

Strategi kampanye dan komunikasi politik yang digunakan oleh para calon juga menawarkan pelajaran yang berharga. Mahasiswa baru dapat mengamati bagaimana para calon membangun citra diri, menyampaikan pesan, dan meraih dukungan dari berbagai kelompok mahasiswa. Mereka dapat belajar tentang pentingnya komunikasi yang efektif, persuasi yang argumentatif, dan mobilisasi dukungan yang terorganisir. Namun, yang tak kalah penting adalah belajar untuk mengidentifikasi dan menghindari praktik-praktik kampanye negatif yang tidak etis. Pengalaman ini akan membekali mereka dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang dinamika opini publik dan potensi pengaruh media.

Partisipasi aktif dalam Pemilihan Presiden BEM adalah esensi dari pendidikan politik praktis. Bagi mahasiswa baru, ini adalah kesempatan pertama untuk merasakan secara langsung hak dan tanggung jawab sebagai pemilih dalam konteks komunitas. Menggunakan hak pilih secara bertanggung jawab, setelah mempertimbangkan informasi yang relevan dan visi misi para calon, adalah langkah awal yang penting dalam menumbuhkan kesadaran politik. Partisipasi ini bukan hanya tentang memilih, tetapi juga tentang memahami bahwa setiap suara memiliki kontribusi dalam menentukan arah organisasi dan, secara lebih luas, kehidupan kampus.

Dalam beberapa kasus, dinamika koalisi antar organisasi mahasiswa dalam mendukung calon tertentu juga dapat menjadi pelajaran berharga. Mahasiswa baru dapat mengamati bagaimana aliansi dibangun berdasarkan kesamaan visi atau kepentingan, serta bagaimana representasi dari berbagai kelompok mahasiswa diakomodasi. Hasil akhir pemilihan, dengan terpilihnya seorang presiden dan kemungkinan tim kabinet yang beragam, mencerminkan preferensi dan aspirasi mayoritas mahasiswa. Ini adalah pelajaran tentang bagaimana suara kolektif membentuk kepemimpinan.

Pemilihan Presiden BEM UNG 2025 bukan sekadar agenda rutin organisasi kemahasiswaan. Lebih dari itu, ia adalah momentum emas yang dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai fondasi pendidikan politik yang kokoh bagi mahasiswa baru angkatan 2024. Melalui pengamatan dan partisipasi aktif dalam setiap tahapan prosesnya, mahasiswa baru memiliki kesempatan unik untuk belajar tentang mekanisme demokrasi, pentingnya visi dan misi, strategi komunikasi politik, serta tanggung jawab sebagai pemilih.

Pemahaman yang diperoleh dari proses ini akan memiliki implikasi jangka panjang bagi keterlibatan mahasiswa baru tidak hanya dalam kehidupan kampus, tetapi juga dalam masyarakat luas di masa depan. Oleh karena itu, pihak universitas dan organisasi kemahasiswaan perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk memaksimalkan nilai edukatif dari Pemilihan Presiden BEM. Diskusi pasca-pemilihan, forum refleksi, atau bahkan pengintegrasian studi kasus pemilihan BEM dalam kegiatan orientasi mahasiswa baru dapat menjadi cara untuk memperkuat pembelajaran politik ini.

Mari kita sambut Pemilihan Presiden BEM UNG 2025 bukan hanya sebagai pesta demokrasi kampus, tetapi juga sebagai gerbang awal bagi mahasiswa baru angkatan 2024 untuk menjadi warga negara yang cerdas, partisipatif, dan memiliki kesadaran politik yang tinggi. Pendidikan politik di tingkat kampus adalah investasi berharga yang akan membentuk pemimpin masa depan bangsa yang bertanggung jawab dan berintegritas.