Kesibukan Masyarakat Kota Gorontalo Menjelang Lebaran
Kota Gorontalo tampaknya sibuk menjelang hari raya idul fitri 1446 Hijriah, mengingat tinggal menghitung lima hari menuju hari kemenangan. Kota Gorontalo hampir bisa disorot oleh mata telanjang kesibukannya, Volume kenderaan memadati jalan dengan lampu yang khas milik kenderaan mereka menambah keindahan pada volume kenderaan itu.
Masyarakat tampak sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing seperti berjualan, nongkrong, bernyanyi, diskusi, dan lain lain hampir tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Emperan jalan yang menjadi tmpat pejalan kaki di jalan utama pusat kota menjadi tempat berdagang bagi pelaku UMKM.
Suara tadarusan dan pengajian di kota Gorontalo seperti kota ini diturunkan rahmat oleh yang maha kuasa, sebagai kota serambi madina banyak lomba-lomba yang dilakukan berbau religius. Memang sudah sepantasnya momen yang begitu tepat.
Pasar Utama di kota ini, (Kota Gorontalo) ramai bahakan dipenuhi oleh lautan manusia (Masyarakat Kota), sebelumnya tidak seramai ini. Memang setiap bulan ramadhan pasar itu menjadi tempat yang dikunjungi oleh masyarakat kota untuk mencari kebutuhan dapur dan kebutuhan menuju hari lebaran. Kemacetan di kawasan pusat perdagangan di kota itu hampir tidak terbendung, Volume kenderaan dan angkutan umum khas Provinsi Gorontalo yaitu bentor turut meramaikan kemacetan kota.
Inilah kota Gorontalo dan kesibukan masyarakat menjelang hari lebaran 1446 Hijriah.
Organisasi Kampus Hilang Arah?
Organisasi kampus, dahulu kala, adalah jantung kehidupan mahasiswa. Tempat di mana ide-ide brilian lahir, kepemimpinan ditempa, dan persahabatan abadi terjalin. Namun, belakangan ini, muncul keresahan yang mendalam. Apakah organisasi kampus kita telah kehilangan arah? Apakah kita, sebagai mahasiswa, telah membiarkan wadah pengembangan diri ini meredup?
Gejala "hilang arah" ini tampak jelas. Partisipasi mahasiswa dalam kegiatan organisasi semakin menurun. Ruang-ruang diskusi yang dulu ramai kini sunyi. Program-program yang dijalankan terasa kurang relevan dengan kebutuhan zaman. Konflik internal pun tak jarang menghantui, menggerogoti semangat kebersamaan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi ini. Pertama, perubahan minat mahasiswa. Generasi milenial dan gen Z tumbuh di era digital, di mana interaksi virtual sering kali lebih diminati daripada pertemuan tatap muka. Kedua, pengaruh teknologi. Media sosial dan platform digital lainnya menawarkan berbagai hiburan dan informasi yang mengalihkan perhatian mahasiswa dari kegiatan organisasi. Ketiga, kurangnya kaderisasi. Regenerasi kepemimpinan yang tidak berjalan dengan baik menyebabkan organisasi kehilangan arah dan semangat.
Dampak dari "hilang arah" ini sangatlah signifikan. Mahasiswa kehilangan kesempatan untuk mengembangkan soft skills yang sangat dibutuhkan di dunia kerja. Kemampuan berkomunikasi, bekerja sama, dan memimpin menjadi tumpul. Lingkungan kampus pun terkena imbasnya. Iklim akademik yang seharusnya dinamis dan progresif menjadi lesu. Tradisi-tradisi positif yang dulu dijunjung tinggi mulai pudar.
Namun, harapan tidak boleh pupus. Kita masih bisa membalikkan keadaan. Langkah pertama adalah revitalisasi program kerja organisasi. Mari kita rancang kegiatan yang relevan dengan minat dan kebutuhan mahasiswa saat ini. Pemanfaatan teknologi juga menjadi kunci. Kita bisa menggunakan platform digital untuk meningkatkan partisipasi, komunikasi, dan kolaborasi.
Kaderisasi yang berkualitas adalah fondasi organisasi yang kuat. Mari kita cari bibit-bibit unggul dan berikan mereka pelatihan kepemimpinan yang memadai. Kita juga perlu membangun budaya organisasi yang inklusif dan transparan, di mana setiap anggota merasa dihargai dan memiliki kesempatan untuk berkontribusi.
Peran mahasiswa sangatlah krusial. Kita adalah agen perubahan. Mari kita aktif berpartisipasi dalam kegiatan organisasi, memberikan ide-ide segar, dan mengkritisi program-program yang tidak efektif. Jangan biarkan organisasi kampus kita menjadi sekadar formalitas. Mari kita jadikan wadah ini sebagai tempat untuk belajar, berkembang, dan berkontribusi bagi masyarakat.
Organisasi kampus yang sehat dan dinamis adalah cerminan dari kualitas mahasiswa dan perguruan tinggi itu sendiri. Mari kita bersama-sama mengembalikan arah organisasi kampus kita ke jalur yang benar. Mari kita jadikan organisasi kampus sebagai kawah candradimuka, tempat di mana calon-calon pemimpin bangsa ditempa.
Kepala Daerah itu Pilihan Rakyat, Bukan Pilihan Ketua Umum
Di tengah hiruk pikuk persiapan pemilihan kepala daerah (pilkada), sebuah pertanyaan mendasar kembali mengemuka: siapakah yang sebenarnya berhak menentukan pemimpin daerah? Apakah rakyat pemilih, atau segelintir elite partai politik, khususnya ketua umum? Realitasnya, praktik politik di Indonesia seringkali menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan, di mana keputusan penting terkait calon kepala daerah lebih banyak ditentukan oleh preferensi ketua umum partai, bukan aspirasi rakyat.
Praktik ini jelas bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi, yaitu kedaulatan rakyat. Dalam negara demokrasi, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Rakyatlah yang berhak menentukan siapa yang akan memimpin mereka. Pemilihan kepala daerah adalah salah satu perwujudan nyata dari prinsip ini. Namun, ketika ketua umum partai mendominasi proses pencalonan, suara rakyat seolah tereduksi menjadi formalitas belaka.
Dominasi ketua umum partai dalam pilkada juga berpotensi mengabaikan kepentingan lokal. Kepala daerah yang dipilih bukan berdasarkan aspirasi masyarakat setempat, melainkan kepentingan elite partai, cenderung tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang kebutuhan dan permasalahan daerah. Akibatnya, kebijakan yang diambil pun tidak optimal, bahkan kontraproduktif.
Selain itu, kepala daerah yang terpilih melalui mekanisme yang tidak demokratis cenderung kurang akuntabel kepada rakyat. Mereka merasa lebih berutang budi kepada ketua umum partai yang telah mengusung mereka, daripada kepada rakyat yang telah memilih mereka. Kurangnya akuntabilitas ini membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan nepotisme.
Dominasi ketua umum partai dalam pilkada juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi partai politik itu sendiri. Keputusan yang tidak populer di kalangan kader dan pemilih dapat memicu konflik internal dan perpecahan. Lebih jauh lagi, hal ini dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap partai politik secara keseluruhan.
Lalu, bagaimana seharusnya pilkada yang demokratis itu diwujudkan? Pertama, partai politik perlu menerapkan mekanisme pemilihan calon yang lebih transparan dan partisipatif. Libatkan kader dan anggota partai di tingkat daerah dalam proses pengambilan keputusan. Kedua, masyarakat sipil perlu dilibatkan secara aktif dalam proses pengawasan dan pemberian masukan terkait calon kepala daerah. Ketiga, perlu ada reformasi undang-undang yang mengatur pilkada, untuk membatasi intervensi elite partai dalam proses pencalonan.
Kepala daerah adalah pemimpin yang akan menentukan arah pembangunan daerah selama lima tahun ke depan. Oleh karena itu, sudah sepatutnya rakyatlah yang memiliki hak penuh untuk memilih mereka. Jangan biarkan segelintir elite partai merampas hak demokrasi rakyat. Mari kita wujudkan pilkada yang jujur, adil, dan demokratis, di mana kepala daerah benar-benar menjadi pilihan rakyat, bukan pilihan ketua umum.
Ketika Pena Tak Lagi Menuliskan Tentangmu?
Aku pernah menulis betapa indahnya alam ini
aku juga pernah mengukir aksara dengan penaku
bahkan tanpa melihat secarik kertas pun aku bisa menuliskan aksaraku.
bait utama yang mulai aku goreskan adalah tentang mu
menuliskan tentangmu yang membawa kedamaian,
akhirnya aku mematahkan penaku dan tinta habis sebelum tulisanku selesai
maka izinkanlah aku menuliskan dan mengukir keindahannmu melalui doa yang aku panjatkan
untuk menggantikan bahwa aku tidak akan menulis lagi semua tentangmu
maka abdilah dirimu dalam hati dan Doa ku
meski begitu aku sudah berhenti untuk menulis kembali..
KELURGA : PONDASI UTAMA PENDIDIKAN ANAK SEBELUM MENGINJAK SEKOLAH ?
KELURGA : PONDASI UTAMA PENDIDIKAN ANAK SEBELUM MENGINJAK SEKOLAH ?
By Safrin Lamusrin
Sumber Gambar : https://depositphotos.com
Pasti kita selalu menganggap bahwa sekolah merupakan bagian dari instrumen pendidikan, dan menganggap sekolah adalah pendidikan utama dan yang terakhir bagi kita. Seperti kita ketahui bersama, bahwa sekolah memainkan peran dalam pendidikan yang mengajarkan kita berbagai macam materi dan yang bermanfaat, kedisiplinan dan rasa tanggung jawab telah dibentuk selama kita duduk di bangku sekolah. Akan tetapi dari semua hal yang telah diuraikan di atas maka dalam pembentukan karakter dan tanggung jawab sebelum sekolah, maka keluarga menjadi pendidikan utama bagi anak sebelum menginjak sekolah mengapa demikian?
Pendidikan merupakan suatu alur budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia melalui proses yang panjang dan berlangsung terus menerus sepanjang hayat. Menurut (Mashup, Dkk : 2023) dalam buku Telaah Kurikulum dan Buku Teks pada halaman pertama mengungkapkan “Pendidikan itu terjadi melalui interaksi insani tanpa batasan rung dan waktu”.
Maka dengan itu, berdasarkan uraian tersebut yang mengatakan bahwa pendidkan tidak mengenal batasan ruang dan waktu memberikan dukungan bahwa keluarga layak dikatakan sebagai pendidikan atau pondasi anak sebelum menginjak sekolah. Sebagai contoh, Sejak kita lahir sampai masanya kita berumur 3 sampai 6 tahun kita diajari cara berdiri melangkah demi langkah hingga bisa berjalan, belajar mengucapkan kalimat pendek demi kalimat hingga kita bisa berbicara, mengenal angka dan huruf sehingga kita mengenal angka dan huruf tersebut dan bahkan berinteraksi melalui pertanyaan yang mereka tidak ketahui.
Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa keluarga menjadi pendidikan utama bagi anak, pera keluarga dalam pembentukan karakter dimana seorang anak akan belajar nilai dasar seperti kejujuran, tanggung jawab dan rasa hormat. Di samping itu pembentukan kasih sayang dan dukungan dan emosional. Anak akan diajarkan pendidikan dasar dalam berbagai aspek seperti moral, sosial, dan budaya.
Hal ini menandakan bahwa keluarga menjadi pondasi utama sebelum anak menginjak sekolah, pengenalan huruf, angka dan nilai akan dimatangkan dalam proses pendidikan ke dua yaitu sekolah. Menurut Umar Tirtaraharja, Dkk dalam buku ilmu pendidikan menyebutkan bahwa adanya tri pusat pendidikan yaitu dimulai dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu tidak dapat dipungkiri lagi bahwa keluarga menjadi pendidikan dasar sebelum sekolah.
Kesimpulnnya, berdasarkan uraian demi uraian di atas maka keluarga-lah yang menjadi pendidikan dasar utama bagi anak sebelum menginjak sekolah. Oleh karena itu, peran orang tua dan keluarga sangat sentral dalam mendidik anak apalagi dalam hal pembentukan karakter, nilai, moral dan rasa hormat menghormati.