Makna di Balik Tanda Tangan: Sebuah Perjuangan Akademik
Siapa yang menganggap tanda tangan itu tidak penting? Bagi penulis, tanda tangan justru sangatlah penting. Mengapa demikian? Karena tanda tangan adalah simbol atau lambang identitas seseorang yang digunakan pada dokumen, baik dalam bentuk tanda tangan basah maupun elektronik. Tanda tangan berfungsi sebagai bukti bahwa seseorang telah menyetujui atau mengesahkan isi dari suatu dokumen.
Dari pengertian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa tanda tangan merupakan simbol legalitas yang memperkuat keabsahan dokumen. Dalam konteks akademik, keberadaan tanda tangan menjadi penentu apakah sebuah karya sudah sah dan siap untuk diproses lebih lanjut.
Melalui tulisan ini, penulis ingin berbagi pengalaman pribadi. Beberapa hari terakhir, penulis disibukkan dengan tanggung jawab menyusun proposal penelitian sebagai bagian dari tugas akademik mahasiswa semester 6. Meski hanya terdiri dari tiga bab, prosesnya tidak bisa dianggap sepele. Ini adalah proposal penelitian, bukan sekadar makalah biasa. Waktu yang dibutuhkan lebih dari satu bulan untuk menyelesaikannya.
Setelah selesai, penulis mulai melakukan bimbingan dengan dosen pembimbing kedua. Banyak catatan dan koreksi yang diberikan, namun semua itu membawa ilmu dan wawasan baru. Setelah perbaikan, pada bimbingan kedua, proposal penelitian dinyatakan layak untuk diuji dan ditandatangani oleh dosen pembimbing kedua. Tanda tangan itu terasa sangat berarti, terukir indah di lembar pengesahan.
Namun perjuangan belum selesai. Penulis masih harus bimbingan dengan dosen pembimbing pertama. Beruntung, proposal langsung disetujui dan mendapat tanda tangan tanpa banyak revisi. Kini, lembar pengesahan lengkap dengan dua tanda tangan dosen, menjadi bukti bahwa proposal sudah siap untuk diuji.
Sejak tadi penulis menyebutkan “lembar pengesahan”, apakah itu penting? Tentu saja penting. Lembar tersebut adalah halaman kedua setelah sampul, yang menandakan bahwa proposal telah melewati proses koreksi dan revisi, serta telah diakui secara resmi oleh para dosen pembimbing. Tanpa tanda tangan mereka, proposal masih dianggap belum final.
Kesimpulannya, tanda tangan bukan sekadar coretan. Ia memiliki makna besar sebagai simbol legalitas, pengesahan, dan pencapaian. Tidak heran bila teman-teman penulis pun sedang berjuang keras demi mendapat tanda tangan tersebut. Meskipun terlihat sederhana, tanda tangan itu sangat berarti bagi kami. Tetap semangat, teman-teman. Perjuangan belum usai, tapi kita sudah semakin dekat dengan garis akhir.
Pesan Dosen Itu Kepada Saya
Dosen saya pernah mengatakan seperti ini : "Kita Ini berangkat dari ketidaktahuan, oleh karena itu kita harus mencari tau. Jangan sudah tidak tau, tidak mau mencari tau.
Bukan soal Mencintai
Pada dasarnya, jika kau menyukai laut
Tidak harus mengarungi lautan hanya untuk membuktikan bahwa kau menyukai laut
Cinta bukan soal memiliki tapi keikhlasan
Jika kau menyukai bunga mawar, maka
Pandangi lah ia dengan hati yang teduh
Tanpa harus memetiknya.
Memetiknya hanya akan membuatnya layu dan mati
Biarlah dia tumbuh dan bermekar dengan keindahan yang khas
Risalah pada malam hari ini mengajariku banyak arti
Mari berdamai dengan keadaan
Tidak ada yang menginginkan ini terjadi
PERAN KELUARGA DALAM MEMBERIKAN SOSIALISASI POLITIK BAGI PEMILIH PEMULA PADA PEMILIHAN UMUM TAHUN 2024
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peran keluarga dalam sosialisasi politik terhadap pemilih pemula pada Pemilu 2024. Fenomena masalah yang melatarbelakangi penelitian ini adalah rendahnya partisipasi politik di kalangan pemilih pemula, yang sering kali disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai pentingnya hak suara serta minimnya pengalaman dalam proses pemilihan umum. Dalam konteks ini, keluarga sebagai agen sosialisasi pertama berperan vital dalam memberikan pengetahuan politik awal kepada pemilih pemula. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur, yang berfokus pada pengumpulan, analisis, dan evaluasi berbagai sumber informasi yang diterbitkan, seperti buku, artikel ilmiah, jurnal, dan laporan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran keluarga dalam sosialisasi politik kepada pemilih pemula meliputi pemberian informasi dasar mengenai pilihan politik serta pentingnya partisipasi dalam pemilu untuk keberlanjutan demokrasi. Selain itu, keluarga juga memberikan pertimbangan dalam menentukan pilihan politik serta memotivasi pemilih pemula untuk menghindari golput dan berpartisipasi aktif dalam proses politik.
Untuk membaca lebih lanjut kunjungi Link berikut dibawah ini :
https://drive.google.com/file/d/11ukRwOM08hO1CtybFXLb8_t6LCAXrClR/view?usp=drivesdk
Fenomena Perempuan Merokok: Antara Ekspresi Diri dan Tanda Tanya Sosial
Fenomena perempuan merokok kini bukan lagi hal yang langka di ruang publik. Kita bisa menyaksikan perempuan merokok di berbagai tempat seperti kafe, kampus, hingga media sosial. Cara merokok pun bervariasi ada yang menggunakan metode konvensional, ada pula yang memilih vape. Bagi sebagian orang, ini dianggap sebagai bentuk kebebasan dan ekspresi diri.
Namun, muncul pertanyaan mendasar: apakah ini benar-benar simbol kemajuan, atau justru menyimpan tanda tanya besar mengenai arah kesehatan, budaya, dan nilai sosial kita?
Dulu, melihat perempuan merokok adalah sesuatu yang aneh, bahkan dianggap tabu. Banyak perempuan enggan merokok karena norma sosial pada saat itu masih sangat membatasi. Kini, anggapan itu mulai bergeser. Sebagian menganggap perilaku tersebut keren atau "edgy". Tak bisa dipungkiri, media sosial, iklan vape, dan budaya pop turut berperan dalam membentuk dan menormalisasi fenomena ini.
Bagi sebagian perempuan, merokok adalah bentuk pilihan hidup. Setiap orang tentu berhak menentukan jalan hidupnya. Namun, kebebasan ini tidak sepenuhnya lepas dari pengaruh tren sosial dan arus globalisasi yang semakin kuat. Implikasinya jelas baik dari segi kesehatan fisik, mental, maupun sosial baik itu dari rokok konvensional maupun vape.
Jika rokok telah menjadi bagian dari gaya hidup, lalu di mana posisi edukasi kesehatan? Di sinilah pentingnya pendekatan edukatif yang tidak menghakimi, melainkan membuka ruang dialog. Upaya pencegahan seharusnya tidak hanya menyasar laki-laki, tetapi juga perempuan, dengan pendekatan yang lebih relevan secara kultural dan sosial.
Pada akhirnya, tulisan ini bukan soal siapa yang boleh atau tidak merokok. Ini tentang bagaimana budaya membentuk kebiasaan, dan bagaimana perempuan dalam upayanya untuk merdeka dan mandiri, berhak mendapat informasi, ruang diskusi, dan perlindungan dari bahaya terselubung yang kerap dibungkus dalam nama kebebasan.
Merokok bukan hanya soal pilihan personal, tapi juga soal masa depan generasi.