LABEL : PEMBELAJARAN

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Pembelajaran Bahasa Indonesia dianggap mengalami problematika ketika di dalam pelaksanaannya terjadi berbagai anomali dan instabilitas. Bahasa Indonesia saja sebagai sebuah penggunaan praktis komunikasi dalam kehidupan sehari-hari mengalami gejala kebahasaan yang terkait aspek fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantiknya, diperparah ketika dibawa ke ranah pembelajaran yang mengalami kedangkalan mutu dan kualitas.

Pembelajaran Bahasa Indonesia merupakan sarana untuk meningkatkan  kemampuan berkomunikasi efektif peserta didik, mengembangkan kreativitasnya dan daya kritisnya, serta memberikannya ruang untuk berkolaborasi sehingga peserta didik dapat menumbuhkan kepribadian yang positif. Kompetensi tersebut dibutuhkan peserta didik untuk menghadapi tantangan di abad ke-21 ini (Dewayani, Subarna, & Setyowati, 2021, p. 1). Berkaitan dengan hal ini tentunya pembelajaran Bahasa Indonesia dirancang untuk menggali dan mengarahkan segenap kemampuan berbahasa dan bersastra peserta didik lewat keterampilan membaca, menulis, berbicara, dan menyimak yang keempatnya ini tidak bisa dikotak-kotakkan dalam konten yang terpisah.

Peran vital guru sebagai fasilitator pembelajaran dalam mengemas pembelajaran yang bermakna menjadi catatan penting untuk diidentifikasi semaksimal mungkin. Refleksi, umpan balik, dan tindak lanjut yang tepat sudah menjadi keniscayaan untuk diprioritaskan dalam penuntasan problematika pembelajaran.

Atas pemaparan tersebut sehingga penulis menyusun makalah yang berjudul “Identifikasi Problematika Pembelajaran Bahasa Indonesia”.

 

 

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:

Bagaimanakah konsep dasar problematika pembelajaran?Bagaimanakah tujuan mengkaji problematika pembelajaran Bahasa Indonesia?Bagaimanakah manfaat mengkaji problematika pembelajaran Bahasa Indonesia?Bagaimanakah hasil identifikasi problematika pembelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan kurikulum 2013 dan kurikulum merdeka? 

1.3  Tujuan Penulisan

Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:

Untuk memahami konsep dasar problematika pembelajaran;Untuk memahami tujuan mengkaji problematika pembelajaran Bahasa Indonesia;Untuk memahami manfaat mengkaji problematika pembelajaran Bahasa Indonesia;Untuk mengetahui hasil identifikasi problematika pembelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan kurikulum 2013 dan kurikulum merdeka. 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 IDENTIFIKASI PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

2.1.1 Konsep Dasar Problematika Pembelajaran

Problematika berakar kata dari Bahasa Inggris yakni ‘problematics’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri problematika ditautkan dengan kata ‘problem’. ‘Problematics’ dan ‘problem’ mempunyai makna harfiah sama yaitu masalah atau persoalan.

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik (Djamaluddin & Wardana, 2019, p. 13). Pembelajaran ialah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling memengaruhi mencapai tujuan pembelajaran (Nasution, Jalinus, & Syahril, 2019, p. 11). Proses pembelajaran ditandai dengan adanya interaksi edukatif yang terjadi, yaitu interaksi yang sadar akan tujuan. Interaksi ini berakar dari pihak pendidik (guru) dan kegiatan belajar secara pedagogis pada diri peserta didik, berproses secara sistematis melalui tahap rancangan, pelaksanaan, dan evaluasi (Pane & Dasopang, 2017). Berbagai pendefenisian mengenai pembelajaran tersebut bersesuaian dengan apa yang tersurat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

Problematika pembelajaran adalah kendala atau persoalan dalam proses belajar mengajar yang harus dipecahkan agar tercapai tujuan maksimal (Angranti, 2016). Problematika  pembelajaran  merupakan  sutau  hal  yang  mengganggu,  mempersulit, menghambat, dan bahkan dapat mengakibatkan kegagalan dalam  mencapai tujuan dalam pembelajaran (Syahada, Wulandari, & Stiawan, 2022).

Berangkat dari pemaparan konseptual diatas maka penulis menyimpulkan bahwa problematika pembelajaran adalah segala hal yang teridentifikasi sebagai masalah berupa hambatan, tantangan dan rintangan yang menyebabkan penyimpangan, gangguan dan kegagalan terhadap proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Faktor-faktor yang menjadi kausal primer timbulnya problematika dalam pembelajaran berasal dari guru, peserta didik, sarana dan prasarana, dan lingkungan belajar. Problematika pembelajaran sendiri sebenarnya kendala utamanya bertalian erat dengan persoalan literasi yang minim. Berbagai fakta mencengangkan mengamini betapa tertinggalnya masyarakat Indonesia dalam hal literasi. ‘Indonesia menempati ranking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah. Hal ini berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019’ (Perpustakaan Kemendagri, 2021). ‘UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca (Kominfo, 2017).

 

2.1.2 Tujuan dan Manfaat Mengkaji Problematika Pembelajaran Bahasa Indonesia

Tujuan mengkaji problematika pembelajaran Bahasa Indonesia menurut hemat penulis adalah sebagai berikut:

1.    Untuk mengetahui mutu dan kualitas pembelajaran Bahasa Indonesia;

2.    Untuk memperdalam pemahaman terhadap karakteristik peserta didik;

3.    Untuk mengetahui efektifitas bahan ajar, media ajar, dan sumber belajar yang digunakan guru;

4.    Untuk merefleksi strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang digunakan guru;

5.    Untuk mengetahui gambaran minat, motivasi, dan hasil belajar peserta didik;

6.    Untuk mengidentifikasi penggunaan instrumen penilaian yang digunakan guru;

7.    Untuk merekonstruksi praktik baik dalam pembelajaran Bahasa Indonesia.

Manfaat mengkaji problematika pembelajaran Bahasa Indonesia menurut penulis adalah sebagai berikut:

1.    Memberikan refleksi, umpan balik, dan tindak lanjut terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia;

2.    Sumbangsih pemikiran terhadap studi pembelajaran dan pendidikan;

3.    Sebagai bahan komplementer rujukan instrumen evaluasi dan supervisi mata pelajaran Bahasa Indonesia;

4.    Menjadi bahan evaluasi penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan;

5.    Menjadi aspirasi dalam arah kebijakan yang dilakukan pihak sekolah.

 

2.1.3 Hasil Identifikasi Problematika Pembelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka

Berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan penulis terkait problematika pembelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka, terhadap guru Bahasa Indonesia dan peserta didik SMP Negeri 2 Wanggarasi ditemukan hasil identifikasi yang diuraikan sebagai berikut:

SMP Negeri 2 Wanggarasi terletak di Desa Bohusami, Kecamatan Wanggarasi, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Sekolah ini berjarak 45 Km dari Marisa, ibukota kabupaten, dan berjarak 200 Km dari ibukota provinsi. SMP Negeri 2 Wanggararasi terdiri atas tiga rombongan belajar, yakni kelas 7 yang jumlah peserta didiknya sebanyak 14 orang, kelas 8 yang jumlah peserta didiknya sebanyak 11 orang, dan kelas 9 yang jumlah peserta didiknya sebanyak 24 orang. Total keseluruhan peserta didik sebanyak 49 orang. Adapun guru mata pelajaran Bahasa Indonesia diampu oleh Sriyulan Mahmud, S.Pd., guru berstatus PNS dan telah memiliki sertifikat pendidik. Beliau alumni S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Gorontalo. SMP Negeri 2 Wanggarasi menyelenggarakan kegiatan akademik sekolah sehari penuh selama 5 hari efektif (Senin-Jumat). Sekolah ini menerapkan 2 kurikulum, yakni kurikulum merdeka untuk jenjang kelas 7 dan kurikulum 2013 untuk jenjang kelas 8 dan 9.

2.1.1.1  Hasil Identifikasi Problematika Pembelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan Kurikulum 2013 di SMP Negeri 2 Wanggarasi

Adapun problematika pembelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan kurikulum 2013 di  kelas 8 dan 9 SMP Negeri 2 Wanggarasi adalah sebagai berikut:

1.      Minimnya media dan sumber belajar

2.      Metode pembelajaran tidak variatif

3.      Bahan ajar yang disajikan tidak kontekstual

4.      Peserta didik kebingungan dengan kurikulum yang direvisi terkait konten materi pembelajaran

5.      Peserta didik kurang motivasi dan minat

6.      Guru kesulitan melaksanakan pengayaan dan remedial

7.      Guru disibukkan mempersiapkan dokumen perangkat pembelajaran

8.      Dukungan akses fasilitas internet yang terbatas

9.      Karakteristik latar belakang siswa yang heterogen

10.  Partisipasi guru minim dalam kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia

2.1.1.2  Hasil Identifikasi Problematika Pembelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan Kurikulum Merdeka di SMP Negeri 2 Wanggarasi

Adapun problematika pembelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan kurikulum merdeka di kelas 7 SMP Negeri 2 Wanggarasi adalah sebagai berikut:

1.      Dukungan akses fasilitas internet yang terbatas

2.      Guru masih dalam proses memahami garis besar kurikulum merdeka

3.      Bentuk asesmen(penilaian) tidak variatif

4.      Penilaian sumatif kurang merespon proses stimulus kemampuan berpikir peserta didik

5.      Peserta didik kesulitan membuat laporan karya ilmiah terkait hasil proyek penguatan profil pelajar Pancasila

6.      Guru kesulitan menangani peserta didik yang rendah keterampilan membaca

7.      Minimnya kegiatan literasi

8.      Minimnya buku referensi di perpustakaan sekolah

9.      Faktor kesibukan guru

2.1.1.3  Solusi terhadap Problematika Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Wanggarasi

Atas berbagai problematika pembelajaran Bahasa Indonesia yang penulis identifikasi di SMP Negeri 2 Wanggarasi, maka penulis sebagai peneliti menghadirkan sejumlah solusi sebagai berikut:

1.      Memperkaya sumber belajar yang digunakan tidak sebatas hanya mengandalkan buku paket pelajaran. Kehadiran sejumlah platform pembelajaran seperti Rumah Belajar, Quizizz, Tiktok bisa menjadi alternatif penunjang bagi guru. Sumber belajar tidak semata-mata hanya terkait objek buku, namun bisa menanfaatkan lingkungan sekitar berupa tempat, benda, atau orang (terkait peran dan profesi) dan sebagainya sebagai sumber belajar.

2.      Merancang media pembelajaran yang efektif, inovatif, dan kreatif dalam tatap muka pembelajaran. Inspirasi media pembelajaran bisa dipelajari di Youtube atau memanfaatkan sumber daya sekitar.

3.      Bahan ajar yang digunakan harus sesuai konteks dimana siswa berada. Guru harus meramu bahan ajar dengan memasukkan unsur kearifan lokal dan memerhatikan perkembangan kognitif peserta didik.

4.       Guru harus meramu konten materi pembelajaran yang sederhana agar tidak menimbulkan kebingungan bagi peserta didik

5.      Motivasi dan minat belajar siswa yang minim harus menjadi perhatian serius guru dengan melakukan asesmen diagnosis kognitif  dan nonkognitif secara berkala untuk mengetahui karakteristik, latar belakang, dan perkembangan peserta didik. Guru juga harus memahami bahwasanya tidak semua siswa memiliki minat ketertarikan terhadap mata pelajaran Bahasa Indonesia, hal ini juga berkaitan dengan antusiasme dan potensi yang dimiliki siswa terhadap ketertarikan dalam mata pelajaran tertentu. Guru harus bersyukur dan semaksimal mungkin memberikan pembelajaran yang bermakna bagi peserta didik.

6.      Guru harus membangun hubungaan interpersonal dengan peserta didik dan orangtua melalui kunjungan tentatif ke rumah peserta didik atau menghadiri kegiatan di tengah masyarakat sebagai bentuk pendekatan dan pembauran guru.

7.      Pengayaan dan remedial dilaksanakan bukan untuk menghukum peserta didik atas ketidaktercapaian ketuntasan belajar, namun sebagai bentuk tindak lanjut refleksi sehingga dilaksanakan secara intensif namun tidak memberatkan.

8.      Kolaborasi guru dengan rekan sejawat mata pelajaran yang sama antar sekolah dalam mendiskusikan perangkat pembelajaran yang efektif. Guru harus mampu mengatur waktu dan tepat waktu dalam mempersiapkan perangkat pembelajaran.

9.      Karakteristik peserta didik yang heterogen latar belakang sosial budayanya ditangani dengan merancang pembelajaran secara koperatif, dan konsistensi penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar selama pembelajaran dikarenakan sebagai ruang formal.

10.  Fasilitas internet yang terbatas agar dikomunikasikan dengan kepala sekolah untuk bersama memperjuangkan dukungan fasilitas internet di sekolah. sebagai informasi tambahan, Keminfo tengah membangun fasilitas sinyal pemancar Bakti Aksi  di desa untuk memaksimalkan jaringan internet.

11.  Guru harus melibatkan diri dalam kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia baik secara daring maupun luring

12.  Guru harus bertindak proaktif dalam pemahaman garis besar kurikulum merdeka, tidak hanya sebatas menunggu pelatihan dari pemangku kebijakan terkait, namun mempelajari secara otodidak dengan memanfaatkan akses informasi teknologi dan membuka ruang diskusi nonformal dengan sesama guru mata pelajaran terkait.

13.  Bentuk asesmen (penilaian) harus beragam dan menyesuaikan ketercapaian tujuan pembelajaran. Langkah ini dilakukan melalui bentuk penilaian yang tidak hanya tertulis namun juga menghadirkan penilaian secara lisan. Guru harus memperhatikan penilaian bukan hanya aspek kognitif, namun juga aspek keterampilan dan berbasis praktik dan produktifitas karya.

14.  Penilaian sumatif hendaknya memperhatikan aspek kemampuan berpikir siswa melalui rancangan bentuk soal tes berkategori HOTS (High Order Thinking Skill).

15.  Melakukan pendampingan dan pelatihan yang sistematis dan berkelanjutan terhadap peningkatan peserta didik dalam membuat karya ilmiah terkait pelaporan projek penguatan pelajar Pancasila.

16.  Guru harus menyelenggarakan pembelajaran berdiferensiasi yang melingkupi diferensiasi konten, diferensiasi proses, dan diferensiasi produk. Diferensasi konten mengenai materi ajar yang disampaikan hendaknya bersifat beragam sumber dan aktual (kekinian). Diferensiasi proses mengenai strategi dan metode pembelajaran yang variatif yang memperhatikan tujuan pembelajaran dan aspek tingkat kemampuan pemahaman peserta didik yang berbeda-beda. Diferensiasi produk mengenai hasil produk karya dan keterampilan siswa yang tidak monoton pada satu jenis, harus memperhatikan minat peserta didik dan menerima berbagai cara peserta didik dalam presentasi yang tanggap terhadap teknologi dan media sosial yang beragam jenis.

17.  Guru harus memberikan perhatian serius dan porsi waktu tambahan di luar jam pembelajaran kepada peserta didik yang diidentifikasi memiliki kemampuan membaca yang terbatas.

18.  Guru harus menggiatkan kegiatan literasi di sekolah dengan berkomunikasi dengan pimpinan dan rekan sejawat dikarenakan membutuhkan sumber daya dan sumber dana untuk menggiatkan literasi sekolah. Kegiatan literasi dapat dilakukan melalui kegiatan pembiasaan pada hari-hari tertentu dalam bentuk membaca dan mendiskusikan bacaan di pagi hari sebelum pembelajaran di kelas dimulai. Kegiatan lainnya dalam bentuk bedah karya, kelompok menulis, pameran literasi, dan sebagainya.

19.  Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia yang juga menjabat sebagai kepala perpustakaan SMP Negeri 2 Wanggarasi harus berkomunikasi dengan kepala sekolah terkait pengadaan buku referensi bacaan di perpustakaan khususnya buku referensi literatur dan sastra, ilmu pengetahuan, keterampilan, dan buku lainnya yang menunjang pembelajaran Bahasa Indonesia.

20.  Guru harus bersikap profesional mengemban tugas sebagai pendidik dengan memanajemen urusan sekolah dan urusan di luar sekolah.

21.  Guru senantiasa menghadirkan apersepsi dalam tatap muka pembelajaran guna mempersiapkan konsentrasi dan antuasiasme peserta didik dalam proses pembelajaran. Guru juga harus memahami bahwa ruang pembelajaran tidak melulu di kelas, akan tetapi dapat memanfaatkan tempat lainnya yang menunjang seperti perpustakaan, gazebo, di bawah pohon yang rindang, dan tempat di sekitar sekolah lainnya yang dirasa efektif.

22.  Guru harus bermitra dengan pihak profesi lain yaitu perorangan maupun kelompok organisasi untuk diundang secara daring maupun tatap muka di kelas dalam rangka memberikan motivasi, berbagi wawasan, dan pengalaman baru untuk peserta didik.

23.  Guru harus memahami karakteristik pembelajaran Bahasa Indonesia abad 21. Karakteristik pembelajaran Bahasa Indonesia abad 21, yakni: (1) membangun rasa ingin tahu dan pertanyaan pemandu; (2) membaca dan mendiskusikan jawaban atas pertanyaan; (3) mengubah genre teks (Malabar, 2017).

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Simpulan

Problematika pembelajaran adalah segala hal yang teridentifikasi sebagai masalah berupa hambatan, tantangan dan rintangan yang menyebabkan penyimpangan, gangguan dan kegagalan terhadap proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Faktor-faktor yang menjadi kausal primer timbulnya problematika dalam pembelajaran berasal dari guru, peserta didik, sarana dan prasarana, dan lingkungan belajar.

Tujuan dan manfaat mengkaji problematika pembelajaran Bahasa Indonesia pada intinya merupakan bahan introspeksi guru yang berperan sebagai fasilitator pembelajaran. Identifikasi problematika pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Wanggarasi menyajikan sekelumit persoalan yang tidak bisa dipandang remeh dan membutuhkan segera penanganan yang holistik.

3.2  Saran

Pada makalah ini kita telah diberikan pemahaman mengenai problematika pembelajaran Bahasa Indonesia. Sangat besar harapan penyusun agar nantinya makalah ini dapat membantu pembaca untuk lebih memahami permasalahan dan solusi yang dapat menangani problematika pembelajaran. Selain itu, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca agar pada penulisan makalah selanjutnya  hal itu dapat diperbaiki. Tak luput penyusun menitipkan masukan sebagai berikut:

3.2.1        Bagi linguis, dosen, peneliti

a.       Memperkaya multi penafsiran kajian problematika pembelajaran

b.      Memproduksi teori problematika pembelajaran

c.       Mendokumentasikan penelitian bidang problematika pembelajaran secara kontinuitas

3.2.2        Bagi guru dan mahasiswa bahasa

a.       Mendalami kajian problematika pembelajaran dengan sumber beragam dan terbaru

b.      Melakukan penelitian dan mempublikasikan hasil penelitian terkait problematika pembelajaran

c.       Berkolaborasi dengan dosen dan peneliti dalam berkarya

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Angranti, W. (2016). Problematika Kesulitan Belajar Siswa (Studi Kasus di SMP Negeri 5 Tenggarong). Jurnal Gerbang Etam, 10(1) , 28-37.

Dewayani, S., Subarna, R., & Setyowati, C. E. (2021). Buku Panduan Guru Bahasa Indonesia untuk SMP Kelas VII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Djamaluddin, A., & Wardana. (2019). Belajar dan Pembelajaran: 4 Pilar Peningkatan Kompetensi Pedagogis. Pare-Pare: Penerbit Kaaffah Learning Center.

Kominfo. (2017, October 10). Teknologi Masyarakat Indonesia: Malas Baca Tapi Cerewet di Medsos. Retrieved February 25, 2023, from kominfo.go.id: https://www.kominfo.go.id/content/detail/10862/teknologi-masyarakat-indonesia-malas-baca-tapi-cerewet-di-medsos/0/sorotan_media#:~:text=Fakta%20pertama%2C%20UNESCO%20menyebutkan%20Indonesia,1%20orang%20yang%20rajin%20membaca!

Malabar, S. (2017). Karakteristik Rancangan Pembelajaran Bahasa Indonesia Abad 21. Prosiding Seminar Internasional Riksa Bahasa XI "Penguatan Pendidikan Bahasa Indonesia pada Abad ke-21" (pp. 773-778). Bandung: Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Nasution, N., Jalinus, N., & Syahril. (2019). Buku Model Blended Learning. Pekanbaru: Unilak Press.

Pane, A., & Dasopang, M. D. (2017). Belajar dan Pembelajaran. FITRAH Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Keislaman, 3(2) , 333-352.

Perpustakaan Kemendagri. (2021, March 23). Tingkat Literasi Indonesia di Dunia Rendah, Ranking 62 Dari 70 Negara. Retrieved February 25, 2023, from perpustakaan.kemendagri.go.id: https://perpustakaan.kemendagri.go.id/?p=4661

Syahada, N. L., Wulandari, I., & Stiawan, A. (2022). Problematika Peserta Didik dalam Pembelajaran dan Alternatif Solusi pada Peserta Didik di SDN Kowel 3. Jurnal Elementer: Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, 1(1) , 49-57.

 

INOVASI DAN TEKNOLOGI DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

28 November 2023 19:25:11 Dibaca : 14

ISU PEMBELAJARAN DAN SISTEM EVALUASI KURIKULUM MERDEKA

28 November 2023 19:22:57 Dibaca : 7

Dapat dilihat melalui tautan: 

https://docs.google.com/presentation/d/14UFW5JfhyTtrB6ibIgAM-Kve1XNqN8oF/edit?usp=sharing&ouid=113875016540080144011&rtpof=true&sd=true

 

MEDIA DAN EVALUASI PEMBELAJARAN BIPA

28 November 2023 19:14:00 Dibaca : 332

MEDIA DAN EVALUASI PEMBELAJARAN BIPA

 

Fungsi media pembelajaran?

Fungsi media pembelajaran secara garis besar dapat disimpulkan sebagai perantara informasi, pencegah terjadinya hambatan dalam proses pembelajaran, penstimulus motivasi siswa dan guru dalam proses pembelajaran, dan memaksimalkan proses pembelajaran (Hasan, et al., 2021, p. 41).

 

Manfaat media pembelajaran?

Secara umum manfaat media pembelajaran adalah memperlancar interaksi antara guru dengan siswa sehingga kegiatan pembelajaran lebih efektif dan efisien (Kristanto, 2016, p. 12). Secara rinci, manfaat media pembelajaran adalah sebagai berikut:

1.        Menyaksikan benda yang ada atau peristiwa yang terjadi pada masa lampau.

2.        Mengamati benda/peristiwa yang sukar dikunjungi, baik karena jaraknya jauh, berbahaya, atau terlarang.

3.        Memperoleh gambaran yang jelas tentang benda/hal-hal yang sukar diamati secara langsung karena ukurannya yang tidak memungkinkan, baik karena terlalu besar atau terlalu kecil.

4.        Mendengar suara yang sukar ditangkap dengan telinga secara langsung.

5.        Mengamati dengan teliti binatang-binatang yang sukar diamati secara langsung karena sukar ditangkap.

6.        Mengamati peristiwa-peristiwa yang jarang terjadi atau berbahaya untuk didekati.

7.        Mengamati dengan jelas benda-benda yang mudah rusak/sukar diawetkan.

8.        Dengan mudah membandingkan sesuatu.

9.        Dapat melihat secara cepat suatu proses yang berlangsung secara lambat.

10.    Dapat melihat secara lambat gerakan-gerakan yang berlangsung secara cepat.

11.    Mengamati gerakan-gerakan sesuatu yang sukar diamati secara langsung.

12.    Melihat bagian-bagian yang tersembunyi dari suatu alat.

13.    Melihat ringkasan dari suatu rangkaian pengamatan yang panjang/lama.

14.    Dapat menjangkau audien yang besar jumlahnya dan mengamati suatu obyek secara serempak.

15.    Dapat belajar sesuai dengan kemampuan, minat, dan temponya masing-masing (Kristanto, 2016, p. 13).

 

Peran media dalam pembelajaran BIPA?

Media mempunyai manfaat besar dalam pembelajaran BIPA agar pembelajaran dapat menarik dan memotivasi pembelajar. Motivasi akan menjadikan pembelajar bersemangat dan senang belajar. Motivasi akan menjadikan hidupnya interaksi karena pembelajar terangsang untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran di kelas. Media juga bermanfaat untuk mempermudah pembelajar dalam memahami materi. Media dapat berupa gambar, realia, suara, atau stimulus lainnya yang dapat memudahkan pemahaman materi bagi pembelajarnya. Media dapat dimanfaatkan sebagai jembatan pemahaman lintas budaya juga. Melalui media pembelajaran akan budaya yang berbeda dapat diberikan dan pembelajar dapat lebih mengerti akan hal itu. Pembelajaran akan menjadi lebih efektif dan sesuai dengan sasarannya.

Pengajaran BIPA diselenggarakan dalam iklim pembelajaran multikultural. Oleh karena itu, media pembelajaran tidak hanya berfungsi sebagai penyampai materi kebahasaan namun juga sebagai sarana pengantar pemahaman budaya Indonesia. Dengan demikian, peran media pembelajaran BIPA antara lain: (1) penyampai materi kebahasaan; (2) penstimulus ide bagi pembelajar untuk memproduksi bahasa lisan dan tulis, (3) penumbuh minat dan motivasi belajar, media yang interaktif akan menambah semangat pembelajar untuk terlibat dalam segala proses pembelajaran baik individu maupun kelompok; dan (4) pendukung pemahaman lintas budaya (Kusmiatun, 2018, p. 99).

 

Media dalam Pembelajaran BIPA?

Berbagai media yang dapat digunakan dalam pembelajaran BIPA selama ini berupa gambar, karikatur, foto, teks otentik, rekaman audio, rekaman audiovisual, media berbasis HP, media berbasis komputer, sosial media (facebook, twitter, skype, dan lainnya), lingkungan, permainan tradisional, lagu, dan sebagainya. Pengajar juga merupakan media langsung yang potensial. Pengajar merupakan media yang berupa visual dan verbal. Pengajar menjadi model dalam berbahasa. Apa yang diucapkan dan bagaimana cara mengucapkan bahasa Indonesia oleh guru dapat menjadi model bagi pembelajar. Pengajar yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia juga mempunyai gaya berbicara yang sesuai daerahnya. Logat dan gaya berbahasa para pengajar ini menjadi cerminan budaya yang menjadi bagian dalam pembelajaran BIPA. Pembelajaran BIPA yang diselenggarakan di Indonesia akan lebih mudah menemukan media belajar daripada BIPA yang diselenggarakan di luar negeri. Ada banyak pilihan dalam memilih media yang sesuai materi yang diberikan. Lingkungan penutur asli bahasa Indonesia menjadi sebuah media, terutama dengan adanya interaksi langsung dengan para penutur asli bahasa Indonesia. Media dalam pembelajaran BIPA digunakan pengajar untuk membantu terlaksananya pembelajaran yang menarik dan tepat guna. Namun demikian, tiap media memiliki kelemahan dan kelebihan dalam praktik (Kusmiatun, 2018, p. 101).

Contoh media pembelajaran yang diterapkan dalam pembelajaran BIPA, tergambar dalam beberapa jurnal penelitian berikut:

1.      Pengembangan Media Pembelajaran BIPA Tingkat Menengah Melalui E-Book Interaktif di Program in country Universitas Negeri Malang Tahun 2014 (Megawati, 2014).

2.      Media Wayang Mini dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara Bagi Pemelajar BIPA A1 Universitas Ezzitouna Tunisia (Widianto, 2017).

3.      Pengembangan Film Seri Animasi 3D “Cerita Made” sebagai Media Pembelajaran BIPA di Universitas Pendidikan Ganesha (Widiatmika, Darmawiguna, & Putrama, 2019).

4.      Pengembangan Media Pembelajaran Dadu Bergambar untuk Keterampilan Berbicara Mahasiswa BIPA Tingkat Menengah (Violensia, 2020).

5.      Pengembangan Kamus Bergambar Berwawasan Cinta Indonesia Berbasis Aplikasi Android Sebagai Media Pembelajaran Bagi Mahasiswa Penutur Asing (Putri & Yuniawan, 2017).

6.      Pemanfaatan Lagu Daerah Nusantara sebagai Media Pembelajaran BIPA Berbasis Local Indigenous (Wulandari, Zamzani, & Nurhadi, 2022).

7.      Pemanfaatan Media Digital G Suite For Education dalam Pembelajaran BIPA Jarak Jauh di University of Vienna (Septriani, 2022).

 

Evaluasi Pembelajaran BIPA?

Tujuan pengajaran BIPA sebagaimana tujuan pengajaran lainnya meliputi ranah pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Oleh sebab itu, model evaluasi yang diterapkan dalam BIPA juga harus mengacu pada ketiga ranah tersebut. Bila tidak demikian, pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan dari pebelajar tidak dapat diketahui dengan pasti. Padahal, kepastian hasil evaluasi inilah yang dijadikan titik tolak untuk menentukan kebijakan selanjutnya. Bentuk alat ukur evaluasi dapat berupa tes dan nontes. Bentuk alat ukur yang berupa tes dapat digunakan untuk menguji kompetensi (1) struktur dan ekspresi tulis, (2) kosakata dan membaca, serta (3) menyimak. Nontes digunakan untuk menguji kompetensi (1) berbicara dan (2) menulis dengan bentuk penugasan. Melalui pengamatan, pengukuran kompetensi berbicara dan menulis dilakukan. Untuk melakukan penskoran digunakan lembar pengamatan yang dilengkapi skala berjenjang. Semua bentuk evaluasi tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan pembelajaran BIPA (Muliastuti, 2010, p. 2).

Tes dalam pengajaran BIPA juga dapat dikelompokkan atas tes kebahasaan dan tes keterampilan berbahasa. Bidang kebahasaan terdiri dari sub-bidang ucapan/ejaan, kosakata, dan struktur. Bidang kecakapan berbahasa meliputi: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Pemisahan tersebut dalam praktiknya tidak mutlak sebab di dalam keempat kecakapan berbahasa itu diterapkan ucapan, kosakata, dan struktur (Muliastuti, 2010, p. 3).

1.    Evaluasi Kebahasaan

a)    Tes Ucapan dan Ejaan

Untuk siswa BIPA, tes ucapan dan ejaan merupakan bagian tes penting mengingat tanpa penguasaan dua hal tersebut komunikasi akan terhambat. Kendala yang dialami para siswa BIPA pada kedua aspek ini biasanya adalah kebiasaan dalam B1 yang akan terbawa ke dalam bahasa Indonesia yang sering kita sebut dengan istilah interferensi. Namun demikian, pengajar BIPA hendaknya tetap melakukan tes tersebut untuk dapat mengetahui kompetensi siswa dalam ucapan dan ejaan (Muliastuti, 2010, p. 4).

b)   Tes Kosakata

Dalam pengajaran BIPA, tes kosakata tentu harus disesuaikan dengan tematema yang telah dikuasai siswa. Setiap kosakata terkait dengan tema-tema tertentu. Tes kosakata yang tidak relevan dengan tema yang telah dikuasai siswa akan menimbulkan frustasi pada siswa. Jika siswa telah menguasai tema hukum, maka kosakata yang terkait dengan bidang hukum dapat diujikan. Namun, untuk siswa BIPA tingkat dasar yang tentunya masih berhubungan dengan tema-tema yang dekat dengan kehidupannya (tema konkret) akan sulit mengerjakan tes kosakata tersebut (Muliastuti, 2010, p. 5).

c)    Tes Struktur (Tata Bahasa)

Bagi siswa BIPA, keterkaitan konteks dengan tes akan memudahkan siswa berpikir untuk memilih kosakata atau kalimat yang tepat. Tanpa hal tersebut, siswa akan sangat sulit mengerjakan tes tersebut. Di samping itu, terintegrasinya tes bahasa dengan keterampilan berbahasa akan sangat membantu siswa dalam berkomunikasi lisan maupun tulisan, mengingat tujuan siswa BIPA adalah belajar berbahasa bukan bertata bahasa (Muliastuti, 2010, p. 5).

2.    Evaluasi Keberbahasaan

a)    Tes Menyimak/ Mendengarkan

Pada umumnya, tes menyimak selalu dilakukan dengan media audio atau audiovisual. Yang harus diingat oleh para pengajar BIPA adalah pembicara yang terekam pada media tersebut harus jelas baik suara, lafal, dan intonasinya. Rekaman yang buruk akan menyebabkan hasil tes tidak valid. Sebelum tes, pengajar harus terlebih dahulu menyiapkan perangkat tes dengan baik sehingga tes dapat berjalan lancar (Muliastuti, 2010, p. 6).

b)   Tes Berbicara

Tes berbicara dapat dilakukan dengan berbagai cara di antaranya : tes jawaban terbatas, teknik terbimbing, dan wawancara.Tentu saja semua itu dilaksanakan secara lisan dan individual. Namun, dapat juga tes berbicara dilaksanakan secara tertulis dengan bentuk objektif yang dapat menunjukkan bukti-bukti tidak langsung mengenai kemampuan berbicara seseorang (Muliastuti, 2010, p. 7).

c)    Tes Membaca

Bentuk soal tes dapat berupa soal tes objektif dengan jawaban benar-salah, jawaban singkat, dan pilihan ganda dengan berbagai variasinya. Karena tes ini berlaku untuk membaca pemahaman, secara umum teknik mengetesnya adalah memberikan kutipan yang berisi masalah kepada peserta dan mengetes ketepatan pemahaman mereka. Semua tes tentu saja dilaksanakan secara tertulis; dengan demikian, ketepatan ucapan, intonasi, dan kelancaran tidak diperhitungkan (Muliastuti, 2010, p. 8).

d)   Tes Menulis

Bagi pengajar BIPA, kedua bentuk tes hendaknya digunakan untuk dapat mengukur kemampuan menulis siswa. Tes essai maupun tes objektif dapat digunakan baik untuk siswa BIPA tingkat dasar, menengah, maupun mahir. Yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya adalah tes harus mengukur sesuai tujuan. Jika pengajar akan mengukur kemampuan menulis narasi siswa, tentunya tes bentu essai yang lebih tepat digunakan. Sedangkan tes objektif akan sulit mengukur ranah psikomotor untuk kemampuan menulis (Muliastuti, 2010, p. 9).

 

Kriteria tes BIPA?

Untuk dapat menyusun tes BIPA yang baik, ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan pengajar. Dalam ilmu pendidikan,kriteria tersebut disebut dengan istilah validitas dan reliabilitas. Dalam tes BIPA, hal tersebut pun wajib menjadi perhatian pengajar. Sebagai alat ukur, tes harus memenuhi beberapa syarat, di antaranya validitas, reliabilitas, dan kepraktisan. Validitas menunjukkan apakah suatu alat ukur benar-benar mengukur sesuatu yang harus diukur dengan hasil yang tepat. Reliabilitas adalah ketetapan sampel. Reliabilitas dapat diuji dengan berbagai cara; salah satu di antaranya yang paling mudah adalah tes-ulang (retest); cara yang lain adalah tes bentuk lain (alternate form) dan belah-dua (split-half). Kepraktisan menyangkut segi ekonomi, kemudian administrasi, penyekoran, dan interpretasi (Muliastuti, 2010, pp. 9-10).

 

Hal-hal yang perlu dipersiapkan untuk penyusunan tes BIPA?

1.    Analisis tujuan siswa belajar BIPA;

2.    Persiapkan silabus, materi, dan media sesuai tujuan belajar

3.    Susun kisi-kisi tes sesuai tujuan pokok bahasa yang telah ada pada silabus

4.    Siapkan tes dengan jenis yang sesuai dengan aspek yang akan diukur

5.    Menulis soal sesuai dengan kisi-kisi tes;

6.    Uji coba soal agar valid dan reliabel (Muliastuti, 2010, p. 10).

 

DAFTAR PUSTAKA

Hasan, M., Milawati, Darodjat, Harahap, T. K., Tahrim, T., Anwari, A. M., et al. (2021). Media Pembelajaran. Klaten: Tahta Media Group.

Kristanto, A. (2016). Media Pembelajaran. Surabaya: Penerbit Bintang Surabaya.

Kusmiatun, A. (2018). Mengenal BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) dan Pembelajarannya. Yogyakarta: Penerbit K-Media.

Megawati, C. (2014). Pengembangan Media Pembelajaran BIPA Tingkat Menengah Melalui E-Book Interaktif di Program in country Universitas Negeri Malang Tahun 2014. NOSI, 2(1) , 62-70.

Muliastuti, L. (2010). Evaluasi Pembelajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing. Semiloka Nasional Pengujian Bahasa Pusat Bahasa (pp. 1-13). Jakarta: Pusat Bahasa Kemendiknas.

Putri, N. A., & Yuniawan, T. (2017). Pengembangan Kamus Bergambar Berwawasan Cinta Indonesia Berbasis Aplikasi Android Sebagai Media Pembelajaran Bagi Mahasiswa Penutur Asing. Lingua, 13(1) , 60-67.

Septriani, H. (2022). Pemanfaatan Media Digital G Suite For Education dalam Pembelajaran BIPA Jarak Jauh di University of Vienna. Jurnal Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing (JBIPA), 3(2) , 70-77.

Violensia, I. (2020). Pengembangan Media Pembelajaran Dadu Bergambar untuk Keterampilan Berbicara Mahasiswa BIPA Tingkat Menengah. BASINDO: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya, 4(1) , 87-93.

Widianto, E. (2017). Media Wayang Mini dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara Bagi Pemelajar Bipa A1 Universitas Ezzitouna Tunisia. Kredo: Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra, 1(1) , 120-143.

Widiatmika, M., Darmawiguna, I., & Putrama, I. (2019). 3. Pengembangan Film Seri Animasi 3D “Cerita Made” sebagai Media Pembelajaran BIPA di Universitas Pendidikan Ganesha . KARMAPATI (Kumpulan Artikel Mahasiswa Pendidikan Teknik Informatika), 8(1) , 22-32.

Wulandari, A., Zamzani, & Nurhadi. (2022). Pemanfaatan Lagu Daerah Nusantara sebagai Media Pembelajaran BIPA Berbasis Local Indigenous. Jurnal Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (JBIPA), 4(2) , 156-167.

 

PEMBELAJARAN MULTILITERASI DALAM KONTEKS PENDIDIKAN ABAD 21

28 November 2023 19:11:58 Dibaca : 344

A.  PEMBELAJARAN MULTILITERASI

Multiliterasi adalah konsep pendidikan dan pembelajaran yang bersifat multibudaya, multikonteks, dan multimedia yang dapat digunakan dalam kurikulum apapun yang berlaku di Indonesia. Melalui implementasi pembelajaran multiliterasi, siswa diajarkan sehingga mereka akan beroleh multikompetensi. Hal ini ditunjang pula oleh kenyataan bahwa pembelajran multiliterasi bukan sekedar bertemali dengan pembelajran literasi bahasa melainkan dengan pembelajaran literasi bidang ilmu lainnya, seperti literasi sains, literasi matematis, literasi seni, literasi teknologi, dan literasi-literasi lainnya (Abidin, 2015, p. 1).

Model pembelajaran multiliterasi adalah model pembelajaran yang dikaitkan dengan penggunaan berbagai macam sumber pembelajaran serta menempatkan keempat keterampilan berbahasa seefisien mungkin dan diintegrasikan dengan ilmu pengetahuannya (Rahman & Damaianti, 2019, p. 29).

Model multiliterasi merupakan pembelajaran yang menempatkan kemampuan membaca, menulis, menyimak, dan berbicara seefisien mungkin untuk meningkatkan kemampuan berpikir meliputi kemampuan mengkritisi, menganalisis, dan mengevaluasi informasi dari berbagai sumber dalam berbagai ragam disiplin ilmu dan kemampuan mengkomunikasikan informasi tersebut. keterampilan yang harus dikuasai agar tercipta pembelajaran multiliterasi adalah kemampuan membaca pemahaman yang tinggi, kemampuan menulis yang baik, keterampilan berbicara, dan keterampilan menguasai berbagai media digital. Keterampilan-keterampilan tersebut tidak akan terlepas dari penguasaan literasi dan integrasi bahasa (Abidin, 2015, p. 247).

Morocco dalam Yunus Abidin (2015:182) menyatakan bahwa dalam abad ke dua puluh satu ini kemampuan terpenting yang harus dimiliki oleh manusia adalah kompetensi abad ke-21. Kompetensi belajar dan berkehidupan dalam abad ke-21 ini ditandai dengan empat hal penting yakni:

1.    Kompetensi pemahaman yang tinggi

Merupakan kompetensi yang berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk memiliki pemahaman tentang berbagai ilmu pengetahuan.

2.    Kompetensi berpikir kritis

Merupakan kemampuan mendayagunakan daya pikir dan daya nalar seseorang sehingga mampu mengkritisi berbagai fenomena yang terjadi disekitarnya.

3.    Kompetensi berkolaborasi dan berkomunikasi

Merupakan kemampuan yang berhubungan dengan kesanggupan seseorang untuk berkerja sama dan berinteraksi dengan orang lain.

4.    Kompetensi berpikir kreatif

Merupakan kemampuan yang berhubungan dengan kesanggupan seseorang untuk menghasilkan gagasan, proses maupun produk yang bernilai lebih, unik dan memiliki sifat kebaruan.

Berdasarkan paparan diatas, terdapat keterhubungan keempat kompetensi abad ke-21 tersebut. Dan multilitersi merupakan daerah inti kompetensi yang mendukung pengembangan dan penggunaan empat kompetensi lainnya. Berkenaan dengan hal tersebut, agar mampu terlibat dalam berbagai kegiatan inkuiri kritis dan pengembangan keempat kompetensi abad ke-21 yang lain diperlukan keterampilan multiliterasi.

Secara lebih lanjut Marocco dalam Yunus Abidin (2015:184) menyatakan bahwa keterampilan-keterampilan multiliterasi yang harus dikuasai agar mampu mendukung dan mengembangkan keempat kompetensi abad ke-21 meliputi empat keterampilan yang menunjukkan bahwa penguasaan literasi apapun tidak bisa lepas dari konsep literasi dalam bidang ilmu keterampilan berbahasa. Keempat keterampilan tersebut yaitu sebagai berikut:

1.    Keterampilan membaca pemahaman yang tinggi

Sejalan dengan esensi keterampilan membaca yang berfungsi sebagai salah satu jalan dalam meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan. Sehingga lebih lanjut, keterampilan ini berhubungan erat dengan kemampuan menyerap berbagai informasi dri berbagai sumber sehingga seseorang yang memiliki keterampilan ini akan secara tepat memahami informasi tersebut dan akan berujung pada berkembangnya khazanah keilmuan yang dimilikinya.

2.    Keterampilan menulis yang baik untuk membangun dan mengekspresikan makna

Keterampilan ini bertujuan untuk menghasilkan gagasan kritis kreatif atas pengetahuan yang sudah dimiliki. Kegiatan menulis tidak hanya berfungsi sebagai sarana menyalurkan ide orang lain melainkan sarana untuk menyalurkan ide siswa sendiri sehingga pemahamannya atas sesuatu hal akan semakin meningkat.

3.    Keterampilan berbicara secara akuntabel

Keterampilan ini merupakan kemampuan memproduksi ide secara lisan dengan isi yang berbobot dan saluran penyampaian yang tepat. Sangat berguna untuk berbagai kepentingan baik dalam hal menyampaikan ide, memengaruhi dan meyakinkan orang lain, maupun menghibur orang lain.

4.    Keterampilan menguasai berbagai media digital

Keterampilan ini berhubungan dengan kesanggupan menguasai berbagai teknologi digitl yang berkembang pesat dan telah menjadi kebutuhan sehari-hari dalam kehidupan. Melalui media digital ini, informasi dapat secara cepat dan akurat disajikan. Selain itu, media digital ini memberikan berbagai pengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Sehingga melalui penguasaan keterampilan ini diharapkan berbagai pengaruh buruk dapat diantisipasi dan pengaruh positifnya dapat dimanfaatkan secara tepat guna dan tepat sasaran.

Keempat keterampilan yang mendukung kompetensi multiliterasi diatas merupakan keterampilan berbahasa yang difungsikan sebagai sarana menguasai berbagai disiplin ilmu dan bukan semata-mata untuk menguasai disiplin ilmu bahasa saja. Hal ini harus disadari bahwa apapun yang dipahami melalui membaca, yang dimaknai dan diekspresikan melalui menulis, dan dikomunikasikan melalui berbicara bisa berupa pengetahuan apa saja di luar pengetahuan tentang bahasa. Oleh karena itu, kemampuan multiliterasi ini dikenal dengan istilah kemampuan literasi lintas bidang ilmu atau kemampuan literasi interdisiplin ilmu.

Bertemali dengan kenyataan bahwa kompetensi multiliterasi merupakan inti kompetensi yang dapat digunakan untuk mendukung dan mengembangkan keempat kompetensi lainnya, konsep literasi bahasa dapat digunakan sebagai kerangka kerja pembelajaran berbagai bidang ilmu. Sejalan dengan hal ini, muncullah istilah dukungan literasi yang dapat disejajarkan dengan istilah pembelajaran multiliterasi.

B.  KONSEP PEMBELAJARAN ABAD 21

Peserta didik yang hidup pada abad 21 harus menguasai keilmuan, berketerampilan metakognitif, mampu berpikir kritis dan kreatif, serta bisa berkomunikasi atau berkolaborasi yang efektif, keadaan ini menggambarkan adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan (Greenstein, 2012).

Untuk mengembangkan pembelajaran abad 21, pendidik harus memulai satu langkah perubahan yaitu merubah pola pembelajaran tradisional yang berpusat pada pendidik menjadi pola pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Pola pembelajaran yang tradisional bisa dipahami sebagai pola pembelajaran dimana pendidik banyak memberikan ceramah sedangkan peserta didik lebih banyak mendengar, mencatat dan menghafal.

Konsep Pembelajaran Abad 21 adalah membuat lulusan memiliki kompetensi dalam menguasai keterampilan berpikir, komunikasi yang kompleks dan menyelesaikan masalah yang sangat penting sesuai dengan kebutuhan dinamika global saat ini. Selain itu keterampilan kolaborasi dan kreatifitas juga dibutuhkan anak-anak muda untuk menghadapi kompleksnya perkembangan dunia yang pesat. Pendidikan abad 21 merupakan pendidikan yang mengintegrasikan antara kecakapan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta penguasaan terhadap teknologi informasi dan komunikasi (Chairunnisak, 2019).

Perbedaan pembelajaran abad 21 dengan pembelajaran sebelumnya:

PEMBELAJARAN SEBELUMNYA PEMBELAJARAN ABAD 21

v  Berpusat pada guru

v  Pembelajaran langsung

v  Menekankan Pengetahuan

v  Berorientasi pada Isi/materi

v  Berkaitan dengan Ketrampilan dasar

v  Penekanan  pada Teori

v  Akademik

v  Individual

v  Berlangsung di Ruang kelas

v  Penilaian sumatif

v  Belajar demi sekolah

v  Berpusat pada siswa

v  Pembelajaran kolaboratif

v  Menekankan ketrampilan

v  Berorientasi pada proses

v  Berpikir tingkat tinggi

v  Menekankan Praktik

v  Life Skills

v  Kelompok

v  Berlangsung dalam komunitas

v  Penilaian formatif

v  Belajar demi hidup

Adapun keterampilan abad 21 yang dibutuhkan siswa:

1.      Kualitas karakter

2.      Kompetensi

3.      Keterampilan literasi dasar

C.  PEMBELAJARAN MULTILITERASI DALAM KONTEKS PENDIDIKAN ABAD 21

Model pembelajaran multiliterasi merupakan model pembelajaran yang mengoptimalkan keterampilan-keterampilan multiliterasi dalam mewujudkan situasi pembelajaran saintifik proses. Keterampilan-keterampilan multiliterasi yang digunakan yakni keterampilan membaca, keterampilan menulis, keterampilan berbicara dan keterampilan penguasaan media informasi dan komunikasi. Bertemali dengan definisi ini, perlu diketahui dimensi apa yang terkandung dalam keempat keterampilan tersebut yang bisa difungsikan untuk mengembangkan kemampuan belajar siswa. Berdasarkan aspek tersebut barulah akan terbentuk kerangka dasar multiliterasi.

Keterampilan membaca sebagai salah satu keterampilan multiliterasi menuntut pembelajaran hendaknya dilakukan dengan berdasarkan pada pengembangan kemampuan untuk berpikir tingkat tinggi. Upaya ini bermaksudkan agar keterampilan membaca yang dikembangkan dapat sesuai dengan isi materi pelajaran lain yang memang dikemas secara lebih terpola dan sistematis. Guna mencapai kondisi ini, ada beberapa sub keterampilan membaca yang harus diperhatikan agar keterampilan membaca berfungsi bagi penguasaan materi berbagai mata pelajaran. Beberapa subketerampilan membaca tersebut sebagai berikut:

1.    Keterampilan memilih strategi membaca yang tepat

Subketerampilan membaca ini menyatakan siswa agar menggunakan berbagai strategi pembelajaran membaca yang sesuai dengan is materi yang akan dibacakan. Penggunaan berbagai strategi ini agar mendorong siswa memiliki kemampuan metakognisi sehingga nantinya siswa mampu menemukan strategi membaca yang paling tepat sesuai dengan isi materi pelajaran yang dibacanya.

2.    Keterampilan memahami organisasi teks

Subketerampilan membaca ini menuntut siswa agar terampil memahami struktur berbagai jenis tulisan yang dibacanya. Subketerampilan membaca ini dapat dikembangkan melalui pelibatan siswa secaralangsung dalam dalam membangdingkan pola-pola organisasi berbagai jenis wacana sehingga mereka mengetahui bagaimana teks sains dikemas, teks ilmu sosial diorganisasikan, dan teks matematika disajikan.

3.    Keterampilan mengkritisi teks

Subketerampilan membaca ini menuntut siswa agar terbiasa menguji dan mengkritisi kebenaran sebuah teks, akurasi sumber bacaan, dan kelengkapan teks dalam mata pelajaran sains, subketerampilan dapat terbentuk jika siswa secara langsung melakukan penelitian atau eksperimen sehingga berdasarkan eksperimen tersebut siswa mengetahui kebenaran, keakuratan, dan kelengkapan tersebut.

4.    Keterampilan membangun makna kata.

Subketerampilan membaca ini menuntut pemahaman siswa atas makna kata-kata tertentu yang biasanya digunakan dalam mata pelajaran tertentu. Berdasarkan konsep ini, siswa harus dibiasakan menggali makna kata dan istilah sebelum mereka melakukan kegiatan membaca.

Keterampilan menulis sebagai bagian dari keterampilan multiliterasi menghendaki siswa mengekspresikan ide dan gagasannya dalam bentuk tertulis. Isi tulisan yang dibuat siswa tentu saja akan sangat beragam sesuai dengan isi materi yang dipelajarinya. Berdasarkan kondisi ini siswa harus memahami organisasi teks sehingga mampu menulis dengan menggunakan pola pengembangan tulisan yang benar untuk setiap materi yang berbeda.

Bertemali dengan penggunaan keterampilan menulis untuk mengembangkan empat kompetensi abad ke-21, keterampilan ini akan bermanfaat jika diterapkan dengan memerhatikan beberapa hal sebagai berikut:

1.    Kegiatan menulis harus digunakan sebagai sarana memahami teks.

2.    Keterampilan menulis harus digunakan untuk mengkritisi isi bacaan.

3.    Tulisan yang dihasilkan hendaknya jelas sesuai dengan jenis, tujuan dan sasarannya.

Penggunaan keterampilan berbicara untuk mendukung kompetensi abad ke-21 harus dilakukan melalui penggunaan berbicara sebagai sarana berpikir kritis dan rasional dalam mengungkapkan berbagai ide dan gagasan yang dimilikinya. Dalam konteks ini jenis-jenis keterampilan berbicara yang dapat digunakan antara lain debat, diskusi, presentasi, dan jenis percakapan lain yang relevan.

Berdasarkan konsep diatas, penerapan keterampilan berbicara dalam pembelajaran hendaknya memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

1.    Berbicara hendaknya digunakan sebagai sarana memaknai teks.

2.    Berbicara hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan giliran peran sehingga terjalin komunikasi efektif.

3.    Berbicara hendaknya digunakan sebagai sarana berpikir kritis melalui kegiatan berdiskusi, berdebat, dan atau kegiatan berbicara lainnya.

4.    Berbicara hendaknya tetap dilaksanakan dalam koridor etika berbicara sehingga akan terjalin komunkasi efektif.

5.    Berbicara hendaknya disertai kesempatan pascaberbicara yang bersifat terbuka, kritis, dan juga etis.

Penguasaan media dan media digital sebagai alat pendukung penguasaan kompetensi abad ke-21 dapat memainkan peran pentingnya jika berbagai media ini dijadikan alat berpikir kritis dan digunakan dalam berbagai kegiatan inkuiri yang dilakukan siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Y. (2015). Pembelajaran Multiliterasi: Sebuah Jawaban atas Tantangan Pendidikan Abad ke-21 dalam Konteks Keindonesiaan. Bandung: Refika Aditama.

Chairunnisak. (2019). Implementasi Pembelajaran Abad 21 di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pendidikan Pascasarjana UNIMED (pp. 351-359). Medan: Unimed.

Greenstein, L. (2012). Assessing 21st Century Skills:a guide to evaluating mastery and authentic learning. London: Sage Publications Ltd.

Rahman, F. A., & Damaianti, V. S. (2019). Model Multiliterasi Kritis dalam Pembelajaran Siswa Sekolah Dasar. Jurnal pendidikan dasar, 10(1), 27-34.