TEORI BELAJAR KOGNITIF

03 November 2022 06:58:42 Dibaca : 6996

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Secara bahasa kognitif berasal dari bahasa latin ”Cogitare” artinya berfikir. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kognitif berarti segala sesuatu yang berhubungan atau melibatkan kognisi, atau berdasarkan pengetahuan faktual yang empiris. Dalam pekembangan selanjutnya, istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi, baik psikologi perkembangan maupun psikologi pendidikan. Dalam psikologi, kognitif mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental manusia yang berhubungan dengan masalah pengertian, pemahaman, perhatian, menyangka, mempertimbangkan, pengolahan informasi,pemecahan masalah, kesengajaan, membayangkan, memperkirakan, berpikir, keyakinan dan sebaganya.

Bagi  penganut aliran  ini,  belajar  tidak  sekedar  melibatkan  hubungan  antar  stimulus dan respons. Namun lebih dari itu, belajar melibatkan proses berpikir yang  sangat  kompleks.  Belajar melibatkan prinsip-prinsip  dasar  psikologi,  yaitu  belajar aktif,  belajar  lewat  interaksi  sosial  dan  lewat  pengalaman  sendiri.   Teori belajar kognitif muncul dilatarbelakangi oleh ada  beberapa  ahli  yang  belum  merasa  puas  terhadap penemuan-penemuan  para  ahli  sebelumnya  mengenai  belajar,  sebagaimana dikemukakan oleh teori Behavior, yang menekankan pada  hubungan  stimulus-responsreinforcement. Munculnya teori kognitif merupakan wujud nyata dari kritik terhadap teori Behavior yang dianggap terlalu naïf, sederhana, tidak masuk akal dan sulit dipertanggungjawabkan secara psikologis.

Menurut paham kognitif,  tingkah  laku  seseorang  tidak  hanya  dikontrol oleh reward  (ganjaran)  dan  reinforcement  (penguatan).  Tingkah laku  seseorang  senantiasa  didasarkan  pada  kognisi,  yaitu tindakan  untuk mengenal  atau  memikirkan  situasi  di mana  tingkahlaku  itu terjadi.  Dalam  situasi  belajar,  seseorang  terlibat  langsung  dalam situasi  itu  dan  memperoleh  pemahaman atau insight  untuk  pemecahan  masalah.  Paham kognitifis  berpandangan  bahwa, tingkahlaku  seseorang  sangat tergantung  pada pemahaman atau insight  terhadap  hubungan-hubungan yang ada di dalam suatu situasi.

Pada makalah ini akan diurai sejumlah teori kognitif mulai dari Tolman hingga Chomsky.

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:

Bagaimanakah teori belajar kognitif?Bagaimanakah teori teori behaviorisme purposif dari Tolman?Bagaimanakah teori medan gestalt dari Wertheimer?Bagaimanakah teori medan dari Lewin?Bagaimanakah teori perkembangan kognitif dari Piaget?Bagaimanakah teori genetik kognitif dari Chomsky? 

1.3  Tujuan Penulisan

Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:

Untuk memahami teori belajar kognitif

Untuk memahami teori behaviorisme purposif dari Tolman

Untuk memahami medan gestalt dari Wertheimer

Untuk memahami medan dari Lewin

Untuk memahami perkembangan kognitif dari Piaget

Untuk memahami genetik kognitif dari Chomsky 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 TEORI BELAJAR KOGNITIF

Monita (2019) memaparkan bahwa kognitivisme terkait kognisi (knowing) yaitu kegiatan untuk mengetahui sesuatu yang mencakup perolehan, pengorganisasian dan pemakaian pengetahuan. Artinya, kognisi fokus pada memori, atensi, persepsi, bahasa, rasio, pemecahan masalah dan kreatifitas (Elliott,et.al.,1996:238) serta peran struktur mental atau pengorganisasiannya dalam proses mengetahui sesuatu (Lefrancois,1988:55). Tekanan utama pendekatan psikologi kognitif terletak pada bagaimana informasi diproses dan disimpan; ini tentu berbeda dengan pendekatan psikologi behavioristik yang fokus pada tingkah laku dalam kontek lingkungan dan kosekuensinya. Dengan demikian, psikologi kognitif, menurut Phye&Andre, adalah studi tentang struktur kognisi dan komponennya dalam memproses informasi (Elliott,et.al.,1996:238). Konsep kognitif pembelajaran, menurut Shuell, telah berpengaruh besar pada pembelajaran berupa pemberian kesadaran yang tinggi pada pendidik betapa pentingnya pengaruh pengetahuan awal (entry behavior) siswa dan strategi penguatan memori mereka terhadap pembelajaran mereka saat ini (Elliott et.al.,1996:241).

Dalam perspektif psikologi kognitif, belajar pada dasarnya adalah peristiwa mental, bukan behavioral (jasmaniah) meskipun hal-hal bersifat bihavioral tampak nyata dalam setiap siswa belajar. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, misalnya tentu menggunakan perangkat jasmaniah, untuk menggucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi perilaku mengucapkan dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata respon atas stimulus yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya (Pahliwandari, 2016).

Teori kognitif adalah suatu proses atau usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, keterampilan,  nilai dan sikap yang bersifat relatif dan berbekas. Misalnya, seseorang mengamati sesuatu ketika dalam perjalanan. Dalam pengamatan tersebut terjadi aktifitas mental. Kemudian ia menceritakan pengalaman tersebut kepada temannya. Ketika dia menceritakan pengalamannya selama dalam perjalanan, dia tidak dapat menghadirkan objek-objek yang pernah dilihatnya selama dalam perjalanan itu, dia hanya dapat menggambarkan semua objek itu dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Maka dengan demikian, telah terjadi proses belajar, dan terjadi perubahan terutama terhadap pengetahuan dan pemahaman. Jika pengetahuan dan pemahaman tersebut mengakibatkan perubahan sikap, maka telah terjadi perubahan sikap, dan seterusnya.

Fungsi kognitif membuat seseorang bisa dengan mudah bergaul satu sama lain. Adapun fungsi kognitif sebagai berikut:

1.    Perhatian merupakan penyeleksi rangsangan yang nantinya menjadi fokus perhatian dan bisa diabaikan secara bersamaan. Rangsangan yang dimaksud bisa berupa bau, suara, maupun gambar.

2.    Memori atau Daya Ingat berkaitan dengan tingkat kefokusan seseorang. Semakin fokus, semakin baik memori atau daya ingat. Hal ini menunjukkan bagaimana suatu informasi akan ditransfer dan disimpan di dalam otak.

3.    Fungsi eksekutif merupakan fungsi yang mengarahkan manusia untuk menjadi perencana dan melaksanakan sesuatu yang telah ia rencanakan. Nah, dari sinilah seseorang terlihat bagaimana cara menyelesaikan setiap permasalahan.

4.    Kemampuan bahasa berkaitan dengan bagaimana seseorang mampu menyusun kata-kata saat berkomunikasi dengan orang lain. Setiap orang memiliki kemampuan bahasa yang berbeda-beda, bergantung dari fungsi kognitifnya.

5.    Merasakan dan mengenali, kehadiran fungsi kognitif membuat seseorang bisa merasakan dan mengenali segala sesuatu di sekitarnya. Misalnya membedakan antara jeruk dan lemon, semangka dan melon, dan seterusnya.

Teori belajar kognitif adalah teori belajar yang mementingkan proses belajar daripada hasilnya. Teori ini menyatakan bahwa pada proses belajar, seseorang tidak hanya cenderung pada hubungan antara stimulus dan respon, melainkan juga bagaimana perilaku seseorang dalam mencapai tujuan belajarnya

Prinsip teori belajar kognitif dalam pembelajaran adalah sebagai berikut.

1.    Proses belajar lebih penting daripada hasil.

2.    Persepsi dan pemahaman dalam mencapai tujuan belajar menunjukkan tingkah laku seorang individu.

3.    Materi belajar dipisahkan menjadi komponen kecil, lalu dipelajari secara terpisah.

4.    Keaktifan peserta didik saat pembelajaran merupakan suatu keharusan.

5.    Pada kegiatan belajar, dibutuhkan proses berpikir yang kompleks.

Pendekatan kognitif merupakan suatu istilah yang menyatakan bahwa melalui tingkah lakulah seorang individu akan mengalami proses mental yang nantinya bisa meningkatkan kemampuan menilai, membandingkan, atau menanggapi stimulus sebelum terjadinya reaksi. Pendekatan ini memberikan penekanan terhadap isi pikiran manusia agar manusia tersebut mendapatkan pengalaman, pemahaman, standar moral, dan sebagainya.

Teori belajar kognitif muncul dilatarbelakangi oleh ada  beberapa  ahli  yang  belum  merasa  puas  terhadap penemuan-penemuan  para  ahli  sebelumnya  mengenai  belajar,  sebagaimana dikemukakan oleh teori Behavior, yang menekankan pada  hubungan  stimulus-responsreinforcement. Munculnya teori kognitif merupakan wujud nyata dari kritik terhadap teori Behavior yang dianggap terlalu naïf, sederhana, tidak masuk akal dan sulit dipertanggungjawabkan secara psikologis.

2.1.1 Teori Behaviorisme Purposif dari Tolman

Tolman lahir di Newton, Massachusetts, dan meraih gelar B.S. di Massachusetts Institute of Technology di bidang elektrokimia pada 1911. Gelar M.A. (1912) dan Ph.D (1915) di Hardvard University untuk bidang psikologi disinilah ia belajar tentang behavioris. Pada akhir dari tahun pertama dia tinggal di Harvard, Tolman sempat pergi ke Jerman dan menghabiskan beberapa waktu dengan para ahli Gestalt yaitu terjadi pada tahun 1913 (Farnham-Diggory, 1994). Selanjutnya, dia mengajar di Northwestern University dari 1915 sampai 1918. Selain itu ia menghabiskan sebagian besar kehidupan profesinya untuk mengajar di Universitas California di Berkeley. Karya utamanya, Purposive Behaviour in Animals and Man, terbit pada tahun 1932. (Hill, 2014).

Teori belajar Tolman dapat dikatakan sebagai campuran antara Teori Gestalt dan Behaviorisme. Sepuluh tahun kemudian, setelah lulus dari Harvard Tolman pergi ke Jerman dan bekerja dengan Koffka. Keberadaan teori Gestalt terhadap proses berteorinya mempunyai pengaruh yang sangat signifikan. Sikapnya yang senang terhadap teori Gestalt tidaklah menghalangi perhatiannya terhadap behaviorisme. Ketidaksepakatannya dengan behaviorisme adalah pada soal unit perilaku yang mesti diteliti. Pemikirannya bertentangan dengan para behavioris seperti Pavlov, Guthrie, Hull, Watson, dan Skinner yang menyatakan bahwa unit perilaku bisa dipelajari sebagai unsur-unsur yang terpisah.

Tolman memandang dengan menjadikan elemen-elemen kecil, sesungguhnya behavioris telah membuang artinya secara utuh. Akan tetapi dia juga yakin bahwa hal seperti itu mungkin juga untuk dijadikan sebagai objek ketika belajar tentang molar behavior secara sistematis. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa Tolman seorang behavioris secara metodologi dan teoris kognitif dalam hal metafisik. Dengan kata lain, ia belajar behavior untuk menentukan proses kognitif (Hergenhahn dan Olson, 2009).

Teori murni Tolman disebut sebagai perilaku purposive (purposive behavior) atau perilaku yang ditujukan untuk mengarah pada suatu tujuan. Aspek ini membuat teori Tolman (purposive behavior dan Gestalt (molarmolekular) memiliki kesamaan yakni mengarah pada tujuan tertentu. Oleh karena itu, ia berusaha menjelaskan perilaku yang diarahkan untuk mendapatkan tujuan atau dengan kata lain mengkaji perilaku dalam kaitannya dengan tujuan yang hendak dicapai melalui perilaku itu. Behaviorisme purposive sering dianggap teori behavioristik maupun teori kognitif. Tolman dalam percobaannya menggunakan metode pengembangan behavioristik tapi dia meneliti atau menempatkan penelitiannya pada posisi kognitif (Safitri, 2019).

Teori behaviorisme purposif yang diperkenalkan oleh Tolman mengajarakan bahwa sesuatu rangsangan tertentu menimbulkan respons tertentu, maka akan kita lihat rangsangan itu dalam perspektif yang baru. Umpamanya, pada waktu SD atau SMP kita diajarkan untuk selalu berlaku sopan dan menghormati guru, sebagai akibatnya apabila kita berhadapan dengan dosen atau guru besar di perguruan tinggi (berupa rangsangan), maka kita juga akan berlaku sopan, hormat, atau diam mendengarkan kuliahnya (berupa respon). Namun, dosen atau guru besar itu mungkin akan marah jika kita bersikap demikian, karena masih dianggapnya sebagai kanak-kanak, bukan mahasiswa. Kita dituntut untuk lebih terbuka, lebih banyak bicara, dan tidak terlalu bersifat formal. Di sini kita melihat keadaan dalam perspektif yang baru, dan sebagai akibatmya kognisi kita akan membuat respon yang baru pula.

Tolman mengatakan bahwa tingkah laku manusia secara keseluruhan disebut tingkah laku molar. Tingkah laku molar ini terdiri dari tingkah laku-tingkah laku yang lebih kecil yang disebut molekular (Sarwono, 2020). Karakteristik utama molar behavior (perilaku molar) adalah perilaku itu purposive (memiliki tujuan); yakni ia selalu diarahkan untuk tujuan tertentu. Dalam hal ini, teori Tolman disebut sebagai purposive behaviorism (behaviorisme purposif) sebab ia berusaha menjelaskan perilaku yang diarahkan untuk mendapatkan tujuan (Hergenhahn dan Olson, 2009) atau dengan kata lain mengkaji perilaku dalam kaitannya dengan tujuan yang hendak dicapai melalui perilaku itu (Hill, 2014). Sorotan bahwa Tolman dianggap sebagai setengah behavioris atau setengah kognitif itu adalah karena sebutan dari orang lain dan itu bukan sebutan dari Tolman sendiri. Selain itu juga teori behaviorisme purposive Tolman ini merupakan teori kognitif akan tetapi kadang juga dianggap sebagai teori behavioristik, hal itu dikarenakan Tolman dalam percobaannya menggunakan metode pengembangan behavioristik tapi dia meneliti atau menempatkan penelitiannya pada posisi kognitif.

Berikut konsep utama belajar menurut Tolman:

Definisi Belajar menurut TolmanMenurut Tolman, belajar adalah mengenal tentang situasi. Organisme belajar tentang sesuatu yang ada di sekitarnya, jika ia berbalik ke kiri, ia akan menemukan sesuatu. Jika ia berbalik ke kanan, ia temukan juga sesuatu yang lain. Hal ini terjadi secara berangsur-angsur, sehingga ia dapat membuat kesimpulan sendiri. Dengan demikian, menurut Tolman, belajar itu akan sia-sia jika hanya dihafal. Sehingga dapat dikatakan bahwa belajar adalah merupakan pengorganisasian perbuatan (tingkah laku) untuk meraih maksud (Ganda, 2004)

Konfirmation versus ReinforcementTeori Belajar Edward C. Tolman – Sebagaimana Guthrie, konsep penguatan (reinforcement) adalah tidak penting bagi Tolman sebagai variabel pembelajaran. Akan tetapi, Tolman menyebutkan hal tersebut sebagai konfirmasi, di mana behavioris menyebutnya reinforcement. Selama perkembangan sebuah peta kognitif, harapan atau dugaan-dugaan dimanfaatkan oleh sebuah organisme. Dugaan adalah sebuah firasat tentang sesuatu dan fungsinya. Di mana awal sebuah dugaan bersifat sementara yang disebut hipotesis, yang berasal baik dari pengalaman maupun bukan. Hipotesis yang telah dikonfirmasikan akan dipakai. Sedangkan hipotesis yang salah akan dibuang. Yang harus diperhatikan adalah proses penerimaan maupun penolakan hipotesis merupakan sebuah proses kognitif bukan termasuk tindakan behavior (Passer dan Smith, 2004). Bisa dikatakan bahwa konfirmasi itu semacam berhipotesis, sebab dalam konfirmasi itu ada harapan menemukan apa menuju apa dengan menggunakan prinsip dasar bahwa sebenarnya tingkah laku itu memiliki tujuan.

Vicarious Trial and ErrorTolman memperhatikan karakteristik tikus dalam kebingungan (jalan simpag siur). Sehingga ia bisa memanfaatkannya sebagai pendukung untuk menafsirkan teori belajarnya. Seekor tikus sering berhenti pada suatu titik tertentu dan memandang sekelilingnya seolah-olah berpikir tentang berbagai alternatif yang ada. Kegiatan seperti ini (berhenti dan memandang sekelilingnya) yang disebut Tolman sebagai Vicarious Trial and Error, sehingga organisme itu bisa membuat kesimpulan sendiri dari berbagai kegiatan yang telah dilakukannya.

Learning Versus PerformanceHull membedakan antara learning dan performance. Pada akhir teorinya, Hull menyatakan bahwa banyaknya jumlah percobaan (trial) yang diperbuat merupakan satu-satunya variabel belajar. Sedangkan variabel-variabel lainnya, yang ada dalam sistemnya merupakan variable perantara (performance). Sehingga performance dapat dimaksudkan sebagai perwujudan belajar ke dalam prilaku. Hal seperti ini penting bagi Hull, dan lebih penting lagi bagi Tolman. Menurut Tolman, kita mengetahui banyak hal tentang lingkungan di sekitar kita, akan tetapi, kita hanya akan melaksanakan informasi atau pengetahuan itu ketika kita harus melakukannya. Dalam status kebutuhan (need), organisme memanfaatkan apa yang telah dipelajarinya hingga sampai pada real testing yang bisa mengurangi kebutuhan itu. Misalnya, ada dua kran air dalam rumah kita, dalam jangka waktu yang lama, kita tidak pernah memperhatikan atau meminumnya hingga suatu saat terasa sangat haus. Secara spontan kita akan meminum salah satu dari keduanya. Dari sini, kita akan mengetahui bagaimana menemukan air minum itu tanpa harus menunggu hingga terasa haus.

Latent LearningMenurut Wade dan Tavris (2007) mengatakan bahwa latent learning (pembelajaran laten) adalah pembelajaran yang tidak langsung dalam kinerja seseorang. Dengan kata lain, pembelajaran laten merupakan suatu jenis pembelajaran dimana hasil pembelajaran tersebut tidak langsung terlihat; hal ini terjadi tanpa suatu penguatan yang nyata. Konsep tentang latent learning sangat penting bagi Tolman, dan dia merasa sukses dalam mendemonstrasikan eksistensinya. Eksperimen terkenal yang dilakukan oleh Tolman dan Honzik (1930) melibatkan tiga kelompok tikus, yang mencoba belajar untuk memecahkan suatu kebingungan (jaringan jalan yang simpang siur). Kelompok pertama, tidak pernah mendapatkan atau menemui makanan saat melintasi jalan yang simpang siur itu. Kelompok kedua, selalu diberi makanan di ujung labirin. Sedang kelompok ketiga, tidaklah diperkuat sampai hari ke-11 mengadakan percobaan. Kelompok terakhir inilah yang menarik bagi Tolman. Teorinya tentang latent learning meramalkan bahwa kelompok ini akan belajar di simpang siur jalan itu, sama halnya dengan kelompok yang secara teratur diperkuat. Dan ketika penguatan (reinforcement) diperkenalkan pada hari ke-11, kelompok ini akan melakukan seperti halnya kelompok yang secara terus menerus diperkuat (reinforced).

Reinfocement ExpectancyMenurut Tolman, ketika kita belajar, kita menganalisa “situasi”. Term understanding selalu ada hubungannya dengan Tolman sebagaimana para behavioris. Dalam situasi problem-solving, kita belajar untuk memperoleh cara yang paling paktis. Kita belajar untuk mengharapkan terjadinya persitiwa tertentu, mengikuti peristiwa yang lain. Seekor binatang mengharapkan jika ia pergi ke suatu tempat tertentu, maka ia akan menemukan reinforcer tertentu. Manurut pada ahli teori S-R, bahwa merubah reinforcer dalam teori belajar tidak akan mengganggu prilaku sepanjang kuantitas reinforcement tidak dirubah secara drastis. Sedangkan menurut Tolman, ia memprediksikan, jika reinforcer dirubah, prilaku akan terganggu, karena reinforcement expectancy merupakan bagian dari apa yang diharapkan

Dalam artikel “There is more than one kind of learning,” Tolman (1949) mengusulkan enam jenis belajar. Ringkasnya adalah sebagai berikut:

CathexesCathexis (jamak) Cathexes adalah tendensi belajar untuk mengasosiasikan objek tertentu dengan keadaan dorongan tertentu. Misalnya, ada makanan tertentu untuk memuaskan dorongan lapar dari seseorang yang tinggal disuatu Negara. Orang yang tinggal di daerah dimana biasanya makan ikan itu sudah menjadi kebiayasaan cenderung akan mencari ikan untuk menghilangkan laparnya. Orang-orang ini mungkin tidak menyukai daging sapi atau spageti karena, menurut mereka, makanan itu tidak diasosiasikan dengan pemuasan dorongan rasa lapar.

Keyakinan ekuivalensiKetika “sub tujuan” memiliki efek yang sama dengan tujuan itu sendiri, maka sub tujuan itu dikatakan merupakan keyakinan ekuivalensi.

Ekspektasi medanField expectancies (ekspektasi medan) berkembang dengan cara yang serupa dengan perkembangan peta kognitif. Organisme belajar bahwa sesuatu akan menimbulkan sesuatu yang lain. Setelah melihat isyarat tertentu, misalnya, ia akan berharap isyarat lain akan muncul. Pengetahuan umum tentang lingkungan ini digunakan untuk menjelaskan belajar laten, belajar ruang, dan penggunaan jalan pintas.

Mode medan-kognisiField-cognition mode (mode medan kognisi), yakni strategi,suatu cara, untuk menangani situasi pemecahan problem. Ini adalah tendensi untuk mengatur bidang perseptual dalam konfigurasi tertentu. Tolman menduga bahwa tendensi ini adalah bawaan namun dapat dimodifikasi oleh pengalaman. Dalam kenyataannya, sebagian besar hal penting mengenai strategi yang berhasil dalam memecahkan problem adalah strategi itu akan di uji cobakan lagi dalam situasi yang sama di masa mendatang. Jadi, mode medan kognisi yang efektif, atau strategi pmecahan masalah yang efektif, di transfer ke problem terkait.

Diskriminasi doronganDrive discrimination (diskriminasi dorongan) berarti bahwa organisme dapat menentukan keadaan dorongan mereka sendiri dan karenanya dapat merespon dengan benar.

Pola motorTolman menunjukkan bahwa teorinya, terutama dengan asosiasi ide dan tidak terlalu berhubungan dengan cara ide-ide itu menjadi diasosiasikandengan perilaku. Belajar motor pattern (pola motor) adalah usaha untuk memecahkan kesulitan ini, Tolman menerima pendapat Gutrhie tentang bagaimana respon diasosiasikan menjadi stimuli. Sepert tampak dalam perkataannya berikut ini: “saya mencoba menerima dan sepakat dengan Guthrie bahwa kondisi dimana pola motor di dapatkan mungkin adalah kondisi dimana gerakan tertentu membuat hewan menjauhi stimuli yang hadir saat gerakanitu dimulai

Kelebihan teori Tolman yaitu jika kita memandang kemampuan Tolman memasukkan aspek-aspek terbaik behaviorisme ke dalam teori kognitif, luasnya variabel yang ia gunakan, kita bisa menyimpulkan bahwa Tolman adalah teoritisi pembelajaran terbesar. Jika melihat pembahasan belajar laten oleh Tolman dan, eksperimen jalur teka-teki melingkar oleh Tolman yang menunjukkan bahwa tikus dapat belajar relasi spasial dan respon sederhana, telah diidentifikasikan sebagai perintis studi tentang kognisi komparatif dewasa ini. Penelitian Tolman tentang belajar spasial (ruang) dan peta kognitif masih menjadi pedoman riset terhadap belajar ruang pada manusia non manusia.

Diantara hal-hal yang menjadi kekurangan dalam Teori belajar Tolman adalah teorinya tidak mudah diteliti secara empiris, teorinya banyak menggunakan variabel individual, bebas dan intervening yang sulit untuk dijelaskan semuanya. Menurut Hill (2014) menjelaskan bahwa Tolman mendiskusikan jenis hukum yang dibutuhkan psikologi, namun ia tidak pernah mengembangkan hukum-hukum ini. Ia melakukan eksperimen-eksperimen untuk menunjukkan bahwa rumusan-rumusan kognitif itu lebih baik. namun eksperimenya mengenai rumusan kognitif ini tidak cukup teliti sehingga tidak bisa digunakan untuk memprediksi. Ia menyediakan kerangka kognitif untuk menginterprestasi pembelajaran, namun ia tidak memberikan hokum-hukum pembelajaran mendetail seperti pada Skinner atau teori yang teliti seperti pada Hull, atau prinsip umum pembelajaran seperti pada Gutrhie.

Seperi  yang diungkapkan  oleh  Tolman  bahwa apabila  suatu  rangsangan  tertentu menimbulkan  respon  tertentu,  maka akan kita lihat rangsangan itu dalam perspektif   yang  baru.  Tolman menekankan  apabila  kita  ingin memahami prilaku/karakter seseorang   maka   kita   harus mengetahui  tujuan orang  tersebut. Untuk  mengetahui  tujuan  seseorang makan  harus  paham  akan  bahasa yang   digunakan,   Bukti   yang mendukung  dalam  teori  ini  adalah seorang  anak  yang  ingin  selalu berlaku sopan dan menghargai guru, maka bahasa yang ia gunakan akan sopan  dan  baik  ketika  berhadapan dengan guru. bahasa   yang   notabenenya sebagai  alat komunikasi mempunyai dampak yang besar terhadap perilaku manusia.  Hal  tersebutlah  yang meyakini   setiap   tuturan   yang diucapkan   manusia   mempunyai karakter  tersendiri. Apabila  kaum akademisi  dan  masyarakat  peka terhadap hal ini tentu saja kesusahan dalam   menanamkan   nilai-nilai pendidikan  karakter  di  lingkungan formal  dapat  teratasi (Alawiyah, 2017).

 

2.1.2 Teori Medan Gestalt dari Wertheimer

Max Wertheimer (1880-1943) dianggap sebagai pendiri psikologi Gestalt setelah dia menemukan penemuan yang dinamakan dengan phi phenomenon. Pada tahun 1923, Wertheimer mengemukakan hukum-hukum Gestalt dalam bukunya yang berjudul “Investigation of Gestalt Theory”. Hukum-hukum itu antara lain: a) Law of Proximity (Hukum Kedekatan), yaitu unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu, b) Law of Closure (Hukum Ketertutupan), yaitu orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap, c) Law of Equivalence (Hukum Kesamaan), yaitu sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki (Rohmansyah, 2017).

Dalam    perjalanan    liburan    di    awal karirnya  sambil  naik  kereta  api,  Wertheimer melihat  sinar  berkedip-kedip  (hidup  dan  mati) dengan  jarak  tertentu,  sinar  itu  memberi  kesan sebagai  satu  sinar  yang  bergerak  datang  dan pergi  tidak  putus-putus.  Dari  kejadian  tersebut Wertheimer memperoleh gagasan untuk sebuah eksperimen  yang  paling  penting  darinya.  Dia mulai mengerjakan teka-teki yang menjadi titik awal    memunculkan    serangkaian    khayalan-khayalan    gerakannya, jika    mata    melihat perangsang  dengan  cara  tertentu,makaakan memberikan ilusi gerakan. Wertheimer menyebut    gejala    ini    dengan    istilah Phi Phenomenon (Lefrancois, 1995).

Teori belajar menurut psikologi gestalt ini sering pula disebut field theory atau insight full learning. Melihat kepada nama teori ini dan kepada aliran psikologi yang mendasarinya, yakni psikologi gestalt, jelaslah kiranya bahwa pendapat teori ini berbeda dengan pendapat-pendapat teori behavioristik. Menurut para ahli psikologi gestalt, manusia bukan hanya sekedar makhluk reaksi yang hanya berbuat atau bereaksi jika ada perangsang yang mempengaruhinya. Manusia itu adalah individu yang merupakan kebulatan jasmani dan rohani. Sebagai induvidu, manusia bereaksi atau lebih tepat berinteraksi dengan dunia luar dengan kepribadiannya dan dengan caranya yang unik pula. Tidak ada dua orang yang mempunyai pengalaman yang benar-benar sama atau identik terhadap objek atau realita yang sama (Purwanto, 2007).

Kata gestalt berasal dari bahasa Jerman yang secara harfiah berarti “keseluruhan”, dalam kaitannya dengan teori psikologi di sini berarti bahwa di dalam pengamatan, pikiran tidaklah membentuk pengamatan keseluruhan dari bagain-bagain kecil benda yang diamati itu, melainkan bagian-bagian kecilnya. Psikologi gestalt ini sebenarnya merupakan salah satu bagian yang penting dari kelompok yang lebih besar yakni kelompok psikologi kognitif. Kalau kelompok teori psikologi hubungan stimulus[1]respons (S – R) mengkaji unit-unit kecil perilaku atau unit-unit kecil pembelajaran, maka kelompok psikologi kognitif mengkaji keseluruhan perilaku atau keseluruhan pembelajaran sebagai satu keseluruhan dalam peringkat yang lebih abstrak. Perbedaan lain, kalau teori hubungan Stimulus – Respons selalu mengkaji unit-unit perilaku atau pembelajaran yang dapat diamati secara langsung dan dapat diukur yaitu rangsangan (stimulus) dan gerak balas (respons) yang dapat diukur, maka teori kognitif mempunyai kecenderungan untuk menggunakan intuisi untuk menerangkan hakikat pembelajaran dan membicarakan proses-proses tersembunyi yang terjadi pada waktu belajar, yaitu proses-proses mental yang tidak dapat diamati. Jadi dapat disimpulkan bahwa, teori hubungan Stimulus – Respons mengkaji data-data seperti perilaku, kelakukan perilaku, penguatan dan pengukuhan, perilaku yang ada tetapi tidak tampak jelas, peristiwa pengukuhan, rangsangan pengukuhan, dan sebagainya. Sedangkan teori kognitif membicarakan persepsi-persepsi, pengertian-pengertian dalam (di dalam otak) dan proses-proses mental lainnya yang tidak dapat diulang, tidak dapat diukut, dan tidak dapat diobservasi secara langsung.

Jasa terbesar teori gestalt ini adalah dalam bidang persepsi yang oleh teori hubungan Stimulus – Respons tidak dapat dijelaskan. Pada   tahun   1910,   ketika   berusia   30 tahun,   Max   memperlihatkan   ketertarikannya untuk   meneliti   tentang   persepsi   setelah   ia melihat sebuah alat yang disebut "stroboscope" (benda  berbentuk  kotak  yang  diberi  alat  untuk melihat   ke   dalam   kotak   tersebut)   di   toko mainan anak-anak. Setelah melakukan beberapa  penelitian  dengan  alat  tersebut,  dia mengembangkan  teori  tentang  persepsi  yang sering disebut dengan teori Gestalt. Eksperimen Wertheimer mengenai Scheinbewegung   (gerak   semu)   memberikan kesimpulan,  bahwa  pengamatan  mengandung hal   yang   melebihi   jumlah   unsur-unsurnya. Inilah  gejala  gestalt.  Penelitian  dalam  bidang optic   ini   kemudian   juga   dipandang   berlaku (kesimpulan serta prinsip-prinsipnya) di bidang lain, seperti misalnya di bidang belajar (Hidayati, 2011). Persepsi merupakan satu kesadaran yang bulat yang diperleh oleh akal (mind) melalui proses pancaindra bila suatu rangsangan tertentu berhadapan dengan pancaindra. Hal ini dapat terjadi karena peranan latar belakang rangsangan dan kemampuan membuat organisasi. Menurut teori gestalt ni setiap keseluruhan gestalt lahir sebagai satu bentuk yang menggambarkan satu latar belakang dan persepsi membuat satu organisasi yang segera dari keduanya. Misalnya, dalam persepsi pendengaran kita mendengar sebuah lagu yang menggambarkan satu karya seni, maka dalam persepsi penglihatan kita melihat matahari terbenam dengan latar belakang langit yang agak samar-samar. Berdasarkan hal itu, maka teori gestalt memperkenalkan lima buah hukum organisasi, yaitu:

a.    Hukum Pragnanz

Hukum ini menyatakan bahwa organisasi psikologi cenderung bergerak ke arah keadaan pragnanz, yaitu ke arah gestalt yang sempurna. Satu gestalt yang sempurna selalu berbentuk sederhana, teratur, kukuh atau stabil, dan merupakan satu organisasi struktur yang maksimal dari peristiwa-peristiwa atau benda[1]benda. Hukum ini merupakan satu prinsip keseimbangan yang mengatakan bahwa setiap pengalaman cenderung menyempurnakan dirinya dalam keadaan sebaik mungkin, yaitu gestalt yang sempurna. Hal-hal yang tidak teratur akan dibuang untuk mencapai keteraturan. Contohnya dalam kegiatan terbatas, bercakap dengan anak-anak atau dengan teman kita sering mendengar kalimat[1]kalimat yang tidak sempurna, tidak lengkap, atau terputus-putus, namun kita selalu cenderung untuk menjadikan gestalt yang sempurna, serta membuang unsur-unsur yang merusak gestalt itu. Begitu juga dalam pemerolehan bahasa pertama, kalimat anak-anak banyak yang tidak gramatikal dan tidak lengkap, tetapi persepsinya selalu membentuk gestalt sempurna dari data-data linguistik itu untuk menuranikan tata bahasanya.

b.   Hukum Kesamaan

Hukum kesamaan atau persamaan dalam persepsi situasi rangsangan penuh menyatakan bahwa benda-benda yang sama (bentuk atau warna) cenderung membentuk atau berkelompok sebagai satu keseluruhan. Umpamanya dalam persepsi sekumpulan lingkaran yang ukurannya bermacam-macam, akan dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok menurut ukurannya. Lingkaran kecil dalam satu kelompok, lingkaran sedang dalam satu kelompok, dan lingkaran besar juga dalam satu kelompok. Oleh karena itu, dalam pembelajaran bahasa, kata-kata atau suku-suku kata yang tidak mempunya persamaan. Adanya persamaan pada data linguistik ini memudahkan proses pembelajaran bahasa, baik dalam belajar bahasa pertama maupun bahasa kedua. Jadi, bisa dikatakan hukum persamaan ini mempunyai implikasi yang sangat penting dalam pembelajaran bahasa.

c.    Hukum Proksimiti atau Kedekatan

Hukum ini menyatakan bahwa persepsi cenderung menggabungkan benda-benda, peristiwa-peristiwa, dan hal-hal yang berdekatan satu sama lain dalam satu ruang atau waktu. Umpamanya, sejumlah garis sejajar yang jaraknya berbeda-beda, maka semua garis berjarak pendek akan digabungkan oleh persepsi ke dalam satu unit, sedangkan garis-garis yang jaraknya panjang akan digabungkan ke dalam unit lain. Demikian juga peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa-masa atau waktu-waktu yang berdekatan akan digabungkan oleh persepsi, sehingga mempunyai hubungan yang lebih erat. Implikasi hukum ini dalam pembelajaran bahasa adalah kata-kata atau frasa-frasa dan ungkapan-ungkapan yang bersamaan maknanya (jadi mengikuti hukum persamaan) hendaklah muncul bersama-sama dalam masa-masa yang teratur menuruti hukum proksimiti atau kedekatan agar lebih mudah dipelajari dan diingat. Jika bahan-bahan ini sering muncul bersama-sama pada waktu-waktu yang teratur dan tidak terlalu jauh jaraknya, maka pembelajaran akan lebih mudah, lebih lancar, dan lebih cepat. d. Hukum Penutupan Hukum ini mengatakan bahwa bidang-bidang yang tertutup (maksudnya selesai dan wujud), lebih stabil dan lebih mudah untuk membentuk gambar dalam persepsi dibandingkan dengan bidang-bidang terbuka (belum selesai dan belum berwujud). Jadi, menurut hukum penutupan ini, ada satu kecenderungan nurani pada persepsi untuk mencapai satu bentuk yang berwujud dan bermakna yang pasti dari apa saja yang kita amati. Hal ini sejalan dengan hukum pragnanz, yakni pengalaman cenderung melengkapkan dirinya agar menjadi sebaik mungkin. Menurut hukum ini, kita selalu melihat sesuatu sebagai satu keseluruhan dan bukan bagian-bagian terpisah yang tidak bermakna.

d.   Hukum Kelanjutan Baik

Hukum ini juga merupakan satu hal dari hukum pragnanz, dan hampir serupa dengan hukum penutupa. Hukum ini diperkenalkan dan dikembangkan oleh Weitheimer. Hukum ini mengatakan bahwa persepsi kita cenderung melengkapkan bagian-bagian yang hilang dari peristiwa-peristiwa atau benda[1]benda yang kita amati. Jadi, persepsi cenderung bekerja sebagai garis lurus yang kelihatan berkelanjutan sebagai garis lurus, satu bagian dari lingkaran sebagai satu lingkaran, dan seterusnya. Jadi, hukum ini mengatakan bahwa kita cenderung mengingat kejadian-kejadian atau benda-benda sebagai telahs selesai, teratur, sebagai gestalt (keseluruhan) yang baik.

Rahyubi (2012: 77) dalam Pahliwandari (2016) menyatakan bahwa Kaum Gestaltis berpendapat bahwa pengalaman itu berstuktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan. Menurut pandangan Gestaltis, semua kegiatan belajar menggunakan pemahaman terhadap hubungan-hubungan, terutama hubungan antara bagian dan keseluruhan. Intinya, tingkat kejelasan dan keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan kemampuan belajar seseorang dari pada dengan hukuman dan ganjaran. Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain adalah sebagai berikut:

(1)   Pengalaman tilikan (insight), bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.

(2)   Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning), kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran;

(3)   Perilaku bertujuan (pusposive behavior), bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan tujuan yang ingin dicapai;

(4)   Prinsip ruang hidup (life space), bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana seseorang berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik; dan

(5)   Transfer dalam belajar, yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.

Abdurahman (2015) menyebutkan kelebihan teori gestalt sebagai berikut:

1.      Menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.

2.      Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh siswa. Selain itu, latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.

3.      Siswa dapat aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru berfungsi sebagai mediator, fasilitator dan teman yang membuat situasi menjadi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan dari peserta didik.

4.      Siswa dengan mudah dapat mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri.

5.      Siswa dapat dengan mudah berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif.

6.      Siswa mempunyai kesempatan untuk mencoba gagasan baru.

Adapun kekurangan teori Gestalt menurut Abdurrahman (2015) adalah selain jasa dan sumbangannya yang sangat berharga bagi belajar di sekolah dengan insight, namun terdapat juga celah-celah kelemahan dan kekurangannya. Seperti halnya teori belajar koneksionisme, terhadap teori gestaltpun dapat diajukan pertanyaan, bolehkah belajar dengan insight itu dianggap sebagai prototipe belajar? Dari satu segi, teori ini nampak menunjukkan beberapa kejadian belajar yang umum, sehingga lebih mudah menganalisisnya. Misalnya, kalau anak dibimbing untuk ”melihat ’ hubungan, seperti tambah dan kali, antara berat dan ”daya tarik” gaya berat, maka sering ia mampu memperlihatkan pemahaman. Sedangkan dari segi yang lain, memang sulit menemukan pemahaman dalam mempelajari hal-hal yang sangat beragam. Misalnya: anak tidak dapat mempelajari nama tanam-tanaman atau binatang-binatang dengan insight. Dia tidak dapat membaca dengan insight, demikian pula dia tidak tidak dapat berbicara dengan bahasa asing. Siswa Biologi tidak dapat mempelajari struktur dan fungsi hewan dengan pemahaman. Tegasnya, pemahaman itu tidak dapat menjadi prototipe untuk sejumlah belajar yang biasa dilakukan manusia. Barangkali, pemahaman barulah terjadi kalau kita belajar dengan ”pemecahan masalah”, walaupun dalam kenyataannya, tidak semua hal merupakan masalah, boleh jadi hanya merupakan fakta atau prinsip.

 

2.1.3 Teori Medan dari Lewin

Menurut Lewin bahwa masing-masing individu berada dalam medan kekuatan yang bersifat psikologis. Medan dimana individu bereaksi disebut life space. Life space mencakup perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya; orang-orang yang dijumpainya, objek material yang ia hadapi, serta fungsi kejiwaan yang ia miliki. Jadi menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan yaitu struktur medan kognisi dan kebutuhan motivasi internal individu (Anidar, 2017).

Ekawati (2019) menjelaskan bahwa Kurt Lewin mengembangkan suatu teori belajar Cognitive-Field dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan pisikologi sosial. Menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif'. Lewin berpendapat bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan bail: yang berasal dari individu seperti tujuan, kebutuhan tekanan kejiwaan maupun yang berasal dari luar individu seperti tantangan dan permasalahan. Seorang psikolog, Kurt Lewin (1935, 1936) mengkaji perilaku sosial melalui pendekatan konsep "medan" atau "field" atau "ruang kehidupan" —life space. Kurt Lewin merumuskan perilaku sebagai B = f (P, E), dimana B,P, dan E berturut-turut adalah behavior (perilaku), the person (individu), dan the environment (lingkungan). Untuk memahami konsep ini perlu dipahami bahwa secara tradisional para psikolog memfokuskan pada keyakinan bahwa karakter individual (insting dan kebiasaan). bebas - lepas dari pengaruh situasi dimana individu melakukan aktivitas. Namun Lewin kurang sepaham dengan keyakinan tersebut. Menurutnya penjelasan tentang perilaku yang tidak memperhitungkan faktor situasi tidaklah lengkap. Dia merasa bahwa semua peristiwa psikologis apakah itu berupa tindakan, pikiran, impian, harapan, atau apapun, kesemuanya itu merupakan fungsi dari "ruang kehidupan" individu, dan lingkungan dipandang sebagaisebuah konstelasi yang saling tergantung satu sama lainnya. Artinya "ruang kehidupan" juga merupakan determinan bagi tindakan, impian, harapan, pikiran seseorang. Lewin memaknai "ruang kehidupan'' sebagai seluruh peristiwa (masa Iampau, sekarang, masa datang) yang berpengaruh pada perilaku dalam situasi tertentu. Bagi Lewin, pemahaman atas perilaku seseorang senantiasa harus dikaitkan dengan konteks —lingkungan dimana perilaku tertentu ditampilkan. Intinya, teori medan berupaya menguraikan bagaimana situasi yang ada (field) di sekeliling individu bepengaruh pada perilakunya. Sesungguhnya teori medan mirip dengan konsep "gestalt" dalam psikologi yang memandang bahwa eksistensi bagian-bagian atau unsur-unsur tidak bisa terlepas satu sama lainnya. Misalnya, kalau kita melihat bangunan, kita tidak melihat batu bata, semen, kusen, kaca, secara satu persatu. Demikian pula kalau kita mempelajari perilaku individu, kita tidak bisa melihat individu itu sendiri, lepas dari konteks di mana individu tersebut berada. Contohnya seorang anak berperilaku agresif karena dia berada di lingkungan yang agresif (berisi orang-orang yang agresif pula). Ciri-ciri utama dari teori medan Lewin adalah : (1) tingkah laku adalah suatu fungsi dari medan yang ada pada waktu tingkah laku itu terjadi ; (2) analisis mulai dengan situasi sebagai keseluruhan dari mana bagian-bagian komponennya dipisahkan : dan (3) orang yang kongkrit dalam situasi yang kongkrit dapat digambarkan secara matematis. Medan didefinisikan sebagai "keseluruhan fakta-fakta yang bereksistensi yang dipandang, sebagai saling tergantung."

Teori medan (field theory) diperkenalkan oleh Kurt Lewin setelah dia meninggalkan teori medan gestalt dan lalu mengembangkan teorinya sendiri. Lewin mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap peyelidikan mengenai motivasi perilaku manusia yang menurut padangannya merupakan tenaga atau kekuatan yang berhubungan erat dengan sistem ketegangan psikologi. Proses mengembangkan teori ini, Lewin menggunakan konsep ilmu fisika yang disebut medan dinamik (dymanic field) seperti medan magnet, yakni semua partikel berinteraksi satu sama lain, dan setiap partikel dipengatuhi oleh kekuatan yang ditentukan oleh medan magnetik itu pada suatu waktu tertentu. Tampaknya, pengaruh behaviorisme terasa juga di dalam perkembangan teori ini meskipun hanya sedikit. Lewin telah mengembangkan satu konsep penting dalam teorinya yang hampir sama dengan teori medan gestalt, yakni konsep “ruang penghidupan” di mana setiap perilaku berlangsung. Menurut Lewin ruang penghidupan seseorang terdiri atas:

a.    Diri sendiri, keperluan utama sendiri, keperluan diri pada satu saat tertentu, maksud dan rencana sendiri.

b.    Lingkungan perilaku orang itu, lingkungan fisik, lingkungan sosial, lingkungan konsepsi sebagai yang ditanggapinya dalam hubungannya dengan keperluan[1]keperluan dan maksud-maksudnya.

Keadaan setiap bagian dari ruang penghidupan ini, misalnya diri sendiri, bergantung pada keadaan dan antarhubungan di antara setiap bagian lain dengan diri sendiri pada waktu tertentu itu. Setiap pengamat memandang penghidupan ini secara objektif dan tidak secara subjektif. Oleh karena itu, pendekaran ini tampak dipengaruhi oleh behaviorisme. Meskipun demikan, teori Lewin ini dimasukkan dalam kelompok teori kognitif karena peranan diri sendiri (organism) di dalam ruang penghidupan itu sangat besar, terutama dalam menentukan reaksi (respons) atas organisme individu. Di ruang penghidupan ini terdapat tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh individu itu sesuai dengan keperluan-keperluan individu tersebut. Tujuan-tujuan yang ingin dicapai inilah yang membangkitkan kekuatan penarik atau kekuatan positif dan kekuatan penolak atau kekuatan negatif yang menimbulkan sistem-sitem ketegangan yang akan menentukan arah pergerakan individu itu di dalam ruang penghidupannya.

Menurut Lewin, sistem-sistem ketegagan inilah yang menjadi dasar perilaku, sehingga dalam menentukan sifat-sifat ketegangan ini organisme itu sendiri memegang peranan yang sangat penting. Umpamanya, seseorang setelah mengamati ruang penghidupannya berdasarkan keperluan-keperluannya telah merasa tertarik pada sesuatu tujuan tertentu yang berkaitan dengan keperluannya itu, tetapi dalam usahanya untuk mencapai tujuan itu muncul suatu halangan yang menghambat tercapainya tujuan itu, maka halangan ini akan membangkitkan bebagai ketegangan yang bisa menimbulkan berbagai pengaruh atau akibat sesuai dengan keadaan ruang penghidupan individu itu. Akibat dari ketegangan ini mungkin seseorang itu akan mecari jalan lain untuk mencapai tujuannya, atau mencari tujuan lain yang lebih menarik, atau juga dia akan meninggalkan tujuannya itu untuk sementara waktu atau untuk selamanya. Adanya tiga buah konsep penting dalam teori Lewin, yaitu tujuan, pengamatan atau persepsi, dan motivasi untuk mencapai tujuan itu. Ke dalam teori ruang penghidupan ini dimasukkan juga ganjaran dan hukuman. Ganjaran ini memiliki konotasi kognitif sebab Lewin percaya bahwa setiap orang dapat menilai ganjaran dan hukuman itu berkesan atau tidak.

Mustapid (2021) menjelaskan bahwa teori belajar menurut Kurt Lewin adalah teori medan yang dipelajari sebagai sekumpulan konsep dengan dimana seseorang dapat menggambarkan kenyataan psikologis. Konsep konsep ini harus cukup luas untuk dapat diterapkan dalam semua bentuk tingkah laku, dan sekaligus juga cukup spesifik untuk menggambarkan orang tertentu dalam suatu situasi. konkret. Lewin juga menggolongkan teori medan sebagai “suatu metode untuk menganalisis hubungan hubungan kausal dan untuk membangun konstruk-konstruk ilmiah.”

 

 

2.1.4 Teori Perkembangan Kognitif dari Piaget

 

Pada tahun 1969, Sinclair de Zwart menyatakan bahwa sebenarnya Piaget belum pernah memperkenalkan secara eksplisit suatu teori pemerolehan (akuisisi) dan pembelajaran bahsa. Teori pembelajaran yang digariskannya dilakukan berdasarkan teori perkembangan kognitif atau perkembangan intelek yang dikembangkannya. Oleh karena itu, Simanjuntak (1987) memasukkan teori Piaget ini ke dalam kelompok teori kognitif. Upaya memperkenalkan teori perkembangan kognitif, Piaget terlebih dahulu menjelaskan apa yang dimaksud dengan kecerdasan. Menurut Piaget kecerdasan adalah satu bentuk keseimbangan atau penyeimbangan kea rah mana semua fungsi kognitif bergerak. Penyeimbangan ini tidak berlaku secara tepat dan otomatis seperti yang dirumuskan oleh teori Gestalt, melainkan merupakan suatu “imbuhan” untuk satu gangguan luar. Jika terdapat satu gangguan luar, maka individu akan melakukan satu kegiatan untuk mengimbuhkan gangguan ini. Imbuhan ini merupakan satu usaha untuk membatalkan satu transformasi, yaitu gangguan dengan cara membangkitkan satu transformasi berbalik. Jadi, imbuhan yang mencampuri penyeimbangan ini merupakan satu ide pembalikan yang penting dan pembalikan inilah yang menggambarkan dengan tepat operasi-operasi kecerdasan.

Jean Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme, sedangkan teori pengetahuannya dikenal dengan teori adaptasi kognitif. Sama halnya dengan setiap organisme harus bcradaptasi secara fisik dengan lingkungan untuk dapat bertahan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Manusia bcrhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapinya secara kognitif (mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkan skema pikiran lebih umum, atau perlu perubahan. menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut. Kaitannya dengan perkembangan kognitif, Jean Piaget mengemukakan tahap-tahap yang harus dilalui seorang anak dalam mencapai tingkatan perkembangan proses berpikir formal (Ekawati, 2019).

Teori ini tidak hanya diterima secara luas dalam bidang psikologi tetapi juga sangat besar pengaruhnya di bidang pendidikan. Tahapan tersebut adalah :

(1)   Tahap Sensori Motor/Deria Motor (0-2 tahun)

Anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui perubahan fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indera). Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari objek yang asalnya terlihat kemudian menghilang dari pandangannnya, atau perpindahan terlihat. Contoh : Anak mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan.

(2)   Tahap Pra Operasi (2- 6 tahun)

Pada tahap ini adalah tahap pengorganisasian operasi kongkrit. lstilah operasi yang digunakan disini adalah berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek. menata benda-benda menurut Lyman tertentu dan membilang. Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pengalaman konkrit dari pada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat objek-objek yang kelihatan berbeda, maka ia mengatakan berbeda pula. Contoh : Jika ada lima kelereng yang sama besar di atas meja, lalu kelereng itu diubah letaknya menjadi agak berjauhan maka anak pada tahap ini akan mengatakan letak kelereng yang jauh lebih banyak.

(3)   Tahap Operasi Konkrit (6- 12 tahun)

Anak-anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada di sekolah dasar. Ditahap ini anak: telah memahami operasi logis dengan bantuan benda- benda kongkrit. Kemampuan ini tenwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasikan dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang bcrbeda secara objektif dan berfikir ireversibel. Contoh : seorang anal: diberi 20 bola kayu, 15 buah diantaranya berwarna merah. Apabila ditanyakan manakah yang lebih banyak bola kayu atau bola benvarna merah? Anak pada tahap pra operasional menjawab bawa bola merah lebih banyak, sedangkan anak pada operasi kongkrit menjawab bola kayu lebih banyak dari pada bola rnerah.

(4)   Tahap Operasi Formal (12 tahun ke atas)

Tahap ini rnerupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitas. Anak pada tahap ini sudah mampu mengadakan penalaran dengan menggunakan hal-hal abstrak. Penalaran yang terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu menggunakan simbol-simbo atau ide.

Piaget berpendapat bahwa pemerolehan bahsa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan kognitif secara keseluruhan dan khususnya sebagai bagian dari kerangka fungsi simbolik. Bagi Piaget, bahasa merupakan hasil dari perkembangan intelek secara keseluruhan dan sebagai lanjutan pola-pola perilaku yang sederhana. Perkembangan kosa kata yang sangat pesat dialami anak-anak ketika berumur antara satu setengah sampai dua tahun, dijelaskan oleh Piaget sebagai hasil dari peralihan intelek kepada representasi akal (mental).

Teori kognitif Piaget telah memberikan dampak besar pada teori dan praktik pendidikan. Dan telah mengilhami dunia pendidikan untuk merancang lingkungan, kurikulum, materi, dan pengajaran yang sesuai dengan perkembangan berpikir anak-anak (Ninawati, 2012). Teori perkembangan kognitif Piaget berimplikasi dalam dalam pembelajaran, sebagai berikut:

1.    Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.

2.    Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.

3.    Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.

4.    Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.

5.    Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.

Teori Piaget tidak luput dari kritikan. Beberapa pertanyaan muncul tentang estimasi terhadap kompetensi anak di level perkembangan yang berbeda-beda; tentang tahap-tahap perkembangan dan pelatihan anak untuk melakukan penalaran pada level yang lebih tinggi. Mengenai estimasi kompetensi anak, beberapa kemampuan kognitif muncul lebih awal ketimbang yang diyakini Piaget. Misalnya pada aspek objeck permanence, anak usia 2 tahun dalam beberapa konteks tertentu bersifat non-egosentris. Ketika mereka menyadari bahwa orang lain tidak melihat suatu objek, mereka meneliti apakah orang itu buta atau sedang mengarahkan perhatian pada tempat yang lain. Konservasi angka telah muncul sejak usia 3 tahun, sementara Piaget berpendapat bahwa kemampuan ini baru muncul pada usia 7 tahun. Kemampuan kognitif lain dapat muncul lebih lambat ketimbang yang dianggap Piaget. Banyak remaja masih berpikir dalam tahap opersional konkret atau baru saja akan menguasai opersional formal. Bahkan banyak orang dewasa bukan pemikir operasional formal. Piaget juga memandang bahwa tahap perkembangan kognitif sebagai struktur pemikiran yang seragam. Akan tetapi beberapa konsep operasional konkret tidak muncul secara sinkron atau serempak. Para teoritisi developmental kontemporer sepakat bahwa perkembangan kognitif anak tidak bertahap seperti yang diyakini oleh Piaget. Kritikan juga mengarah pada pandangan Piaget tentang “melatih anak untuk menalar pada level yang lebih tinggi”. Beberapa anak yang pada tahap perkembangan kognitif (seperti pra-opersional) dapat dilatih untuk menalar seperti tahap kognitif yang lebih tinggi (misalnya opersional konkret). Ini menimbulkan problem pada Piaget. Dia mengatakan bahwa pelatihan seperti itu tidak efektif dan dangkal, kecuali si anak berada dalam titik transisi kedewasaan antara tahapan tersebut.

2.1.5 Teori Genetik Kognitif dari Chomsky

Seperti halnya dengan Piaget, Chomsky juga tidak pernah memperkenalkan teori pemerolehan dan pembelajaran bahasa secara khusus. Namun, karena teori linguistik yang diperkenalkannya pada tahun 1957, 1965, dan 1968, serta artikel ulasannya mengenai buku Skinner yang berjudul “Verbal Behavior” tahun 1957 dalam Language tahun 1959 telah mengubah secara drastis perkembangan psikolingustik, maka satu teori pemerolehan dan pembelajaran bahasa telah dapat disimpulkan dari teori generatif transformasinya yang kini dikenal dengan nama teori genetik kognitif. Teori ini digolongkan ke dalam kelompok teori kognitif karena teori ini menekankan pada otak (akal dan mental) sebagai landasan dalam proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa. Teori genetik dan kognitif ini dikemukakan oleh Avram Noam Chomsky, yang merupakan seorang ahli psikolinguistik  Amerika serikat. Metode Chomsky sangat menaruh perhatian terhadap aspek akal. Ia membahas masalah-masalah bahasa dan psikologi, kemudian membingkainya menjadi satu bingkai dengan bentuk bahasa kognitif.

Teori generatif-transformatif yang diletakkan oleh Chomsky adalah teori modern paling menonjol yang mencerminkan kemampuan akal, membicarakan masalah kebahasaan dan pemerolehannya, serta hubungannya dengan akal dan pengetahuan manusia . Menurut teori ini, kapasitas genetik manusia sejak lahir juga memengaruhi kemampuannya untuk memahami bahasa di sekitar sehingga hasilnya adalah sebuah kontruksi sistem bahasa yang tertanam dalam diri (Permata, 2015).

Chaer (2011) menjelaskan bahwa Pada tahun 1959 Chomsky dengan keras menentang teori pembiasaan operan dalam bahasa yang dikemukakan Skinner. Menurut Chomsky tidaklah ada gunanya sama sekali untuk menjelaskan proses pemerolehan bahasa tanpa mengetahui dengan baik apa sebenarnya bahasa sebagai benda yang diperoleh itu. Agar dapat menerangkan hakikat proses pemerolehan bahasa, di samping memahami apa sebenarnya bahasa itu, kita tidak boleh menyampingkan pengetahuan mengenai struktur dalam organisme (manusia), yakni bagaimana cara-cara orang (organisme) memproses masukan informasi, dan bagaimana cara-cara perilaku berbahasa itu diatur. Semua cara ini ditentukan oleh struktur awal yang dibawa sejak lahir yang sangat rumit, dan proses perkembangannya diatur menurut proses pematangan genetik dan pengalaman-pengalamn yang telah lalu. Teori genetik kognitif ini didasarkan pada satu hipotesis yang disebut hipotesis nurani. Hipotesis ini mengatakan bahwa otak manusia dipersiapkan secara genetik untuk berbahasa. Oleh karena itu, otak manusia telah dilengkapi dengan struktur bahasa universal dan apa yang disebut Language Acquisition Devive (LAD).

Di dalam proses pemerolehan bahasa, LAD ini menerima ucapan-ucapan dan data-data lain yang berkaitan melalui pancaindra sebagai masukan dan membentuk rumus[1]rumus linguistik berdasarkan masukan itu yang kemudian dinuranikan sebagai keluaran. Menurut Chomsky, teori behaviorisme (S – R) sangat tidak memadai untuk menerangkan proses-proses pemerolehan bahasa sebab masukan data linguistiknya sangat sedikit untuk dapat membangkitkan rumus-rumus linguistik. Chomsky berpendapat tidak mungkin seorang kanak-kanak mampu menguasai bahasa ibunya dengan begitu mudah yaitu tanpa diajar dan begitu cepat dengan masukan yang sedikit tanpa adanya struktur universal dan LAD itu di dalam otaknya secara genetik. Di dalam proses pemerolehan bahasa, tugas anak-anak dengan alat yang dimilikinya yaitu LAD adalah menentukan bahasa masyarakat manakah masukan kalimat[1]kalimat yang didengarnya itu akan dimasukkan. Struktur awal atau skema nurani yang dimilikinya semakin diperkaya setelah “bertemu” dengan masukan dari bahasa masyrakatnya, dan anak-anak akan membentuk teori tata bahasanya berdasarkan itu. Tata bahasa itu terus-menerus disempurnakan berdasarkan masukan yang semakin banyak, dan sesuai dengan proses pematangan otaknya. Setelah mencapai umur tiga atau empat tahun, tata bahasa sudah hampir sama baikya dengan tata bahasa yang dimiliki orang dewasa. Keadaan ini merupakan hal yang luar biasa mengingat betapa rumitnya bahasa yang sedang diperolehnya.

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Kesimpulan

Teori belajar kognitif adalah teori belajar yang mementingkan proses belajar daripada hasilnya. Teori ini menyatakan bahwa pada proses belajar, seseorang tidak hanya cenderung pada hubungan antara stimulus dan respon, melainkan juga bagaimana perilaku seseorang dalam mencapai tujuan belajarnya.

Teori belajar kognitif muncul dilatarbelakangi oleh ada  beberapa  ahli  yang  belum  merasa  puas  terhadap penemuan-penemuan  para  ahli  sebelumnya  mengenai  belajar,  sebagaimana dikemukakan oleh teori Behavior, yang menekankan pada  hubungan  stimulus-responsreinforcement. Munculnya teori kognitif merupakan wujud nyata dari kritik terhadap teori Behavior yang dianggap terlalu naïf, sederhana, tidak masuk akal dan sulit dipertanggungjawabkan secara psikologis.

 

3.2  Saran

Makalah ini telah membahas mengenai hakikat teori belajar kognitif. Penulis sangat berharapan masukan dan saran yang berarti demi diskursus wacana yang lebih kompleks terkait materi. Penulis berharap semakin bervariasi dalam pengkajian tentang teori belajar kognitif serta menjadi pemicu dalam produktifitas penelitian terkait.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdurrahman, A. (2015). Teori belajar aliran psikologi Gestalt serta implikasinya dalam proses belajar dan pembelajaran. Jurnal Al-Taujih: Bingkai Bimbingan dan Konseling Islami, 1(2), 14-21.

Alawiyah, T. (2017). Pengaruh Bahasa Lingkungan Formal terhadap Pendidikan Karakter Siswa TK Al-Ma’arif Rangkui Jaya KecamatanPedamaran Kabupaten Ogan Komering Ilir. Dialektologi, 2(2), 203-209.

Anidar, J. (2017). Teori belajar menurut aliran kognitif serta implikasinya dalam pembelajaran. Jurnal Al-Taujih: Bingkai Bimbingan dan Konseling Islami, 3(2), 8-16.

Chaer, Abdul. 2011. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

Ekawati, M. (2019). Teori belajar menurut aliran psikologi kognitif serta implikasinya dalam proses belajar dan pembelajaran. E-TECH: jurnal ilmiah teknologi pendidikan, 7(2), 1-12.

Farnham-Diggory, S. (1994). Paradigms of knowledge and instruction. Review of Educational Research, 64(3), 463-477..

Ganda, Y. (2004). Petunjuk praktis cara mahasiswa belajar di perguruan tinggi. Jakarta: Grasindo.

Hergenhahn, B. R., & Olson, M. H. (2009). Theories of Learning (Teori Belajar). terjemahan Tri Wibowo BS Jakarta: Kencana.

Hidayati, T. N. (2011). Implementasi Teori belajar gestalt pada proses pembelajaran. Jurnal Falasifa, 2(1), 1-19.

Hill, Winfred F. pengarang; Khozim, M. penerjemah; Agung Prihatmoko penyunting. (2014). Theories of learning : teori-teori pembelajaran/ Winfred F. Hill ; penerjemah, M. Khozim ; penyunting, Agung Prihatmoko. Bandung: Nusa Media.

Lefrancois, G. R. (1995). Theories of human learning: kro's report. Pacific Grove, Calif.; Toronto: Brooks/Cole Publishing Company.

Mu'min, S. A. (2013). Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Al-TA'DIB: Jurnal Kajian Ilmu Kependidikan, 6(1), 89-99.

Ninawati, M. (2012). Kajian dampak bilingual terhadap perkembangan kognitif anak sekolah dasar. Jurnal Ilmiah Widya, 218706.

Pahliwandari, R. (2016). Penerapan Teori Pembelajaran Kognitif dalam Pembelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Jurnal Pendidikan Olah Raga, 5(2), 154-164.

Passer, M. W., & Smith, R. E. (2004). Psychology: The science of mind and behavior. McGraw-Hill.

Permata, B. A. (2015). Teori generatif-transformatif Noam Chomsky dan relevansinya dalam pembelajaran bahasa Arab. EMPIRISMA: Jurnal Pemikiran Dan Kebudayaan Islam, 24(2).

Purwanto, Ngalim, 2007, Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosda Karya

Rohmansyah, N. A. (2017). Implikasi Teori Gestalt Dalam Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar. Malih Peddas (Majalah Ilmiah Pendidikan Dasar), 7(2), 195.

Safitri, V. N. (2019, November). Analisis Perilaku Molar Molekular Tokoh Utama dalam Novel Karena Aku Tak ButaKarya Redy Kuswanto. In Prosiding Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia (SENASBASA), 3(2).

Sarwono, S. W. (2020). Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang.

Tolman, E. C. (1949). There is more than one kind of learning. Psychological review, 56(3), 144.

Wade, C., & Tavris, C. (2007). Psikologi Jilid I, terjemahan Benedictine Wydyasinta dan Darma Juono. Jakarta: Erlangga.

PERANCANGAN PUSAT SUMBER BELAJAR

24 October 2022 16:21:25 Dibaca : 3707

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Pendidikan masa kini berorientasi pada partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran. Bentuk partisipasi aktif siswa akan lebih muda teraktualisasikan jika didukung oleh sarana dan prasarana pembelajaran. Guru sebagai fasilitator pembelajaran perlu menghadirkan dan memanfaatkan pusat sumber belajar sebagai fitur pendukung utama proses pembelajaran. Pusat sumber belajar pada hakikatnya dirancang untuk efisiensi dan pemaksimalan kualitas pembelajaran dalam artian variasi keberagaman muara sumber belajar dan kebaruannya memperkaya pembelajaran.

Pusat sumber belajar sebagai sebuah sistem atau wadah tentunya mempunyai fungsi, tujuan dan manfaat bagi dunia pendidikan khususnya proses pembelajaran. Pemahaman akan komponen pengembangan pusat sumber belajar harus diketahui seorang guru dalam rangka inovasi pembelajaran. Atas asumsi di atas yang melatarbelakangi penulis menyususn makalah yang berjudul “Perancangan Pusat Sumber Belajar”.

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:

Bagaimanakah pengertian pusat sumber belajar?Bagaimanakah fungsi pusat sumber belajar?Bagaimanakah tujuan pusat sumber belajar?Bagaimanakah manfaat pusat sumber belajar?Bagaimanakah pengembangan pusat sumber belajar?Bagaimanakah pusat sumber belajar di lembaga pendidikan? 

1.3  Tujuan Penulisan

Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:

Untuk mengetahui pengertian pusat sumber belajarUntuk memahami fungsi pusat sumber belajarUntuk memahami tujuan pusat sumber belajarUntuk memahami manfaat pusat sumber belajarUntuk memahami pengembangan pusat sumber belajarUntuk memahami pusat sumber belajar di lembaga pendidikan 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 PERANCANGAN PUSAT SUMBER BELAJAR

2.1.1  Pengertian Pusat Sumber Belajar

Kehadiran pusat sumber belajar atau disingkat PSB sebagai manifestasi pengembangan sebuah sistem yang merangkul segenap sumber belajar, media pembelajaran, instruksi dan pelatihan yang dimaksudkan menggenapi efisiensi dan pencapaian kualitas proses pembelajaran. Hakikat pusat sumber belajar yang berpedoman pada student centered learning atau berorientasi pada peran aktif siswa. Student centered learning menurut Priyatmojo (2010) adalah adalah pendekatan pembelajaran yang menempatkan siswa di pusat kegiatan pembelajaran dimana siswa berperan aktif mengembangkan kemampuannya untuk berpikir kreatif dan inovatif.

Pusat sumber belajar dalam bahasa Inggris resources centre atau learning resources centre adalah suatu unit dalam suatu lembaga (khususnya sekolah/universitas/perusahaan) yang berperan mendorong efektifitas serta optimalisasi proses pembelajaran melalui penyelenggaraan berbagai fungsi yang meliputi fungsi layanan (seperti layanan media, pelatihan, konsultansi pembelajaran, dan lain-lain), fungsi pengadaan/pengembangan (produksi) media pembelajaran, fungsi penelitian dan pengembangan, dan fungsi lain yang relevan untuk peningkatan efektifitas dan efisiensi pembelajaran (Gafur, 1999).

PSB merupakan bentuk bangunan mulai dari yang sederhana sampai yang rumit dan lengkap, yang dirancang dan diatur secara khusus dengan tujuan menyimpan,  merawat, mengembangkan, dan memanfaatkan koleksi sumber belajar dalam berbagai bentuknya baik secara individual maupun kelompok (Ferd Persifal dan H. Ellington dalam Rahadi, 2005: 190). PSB ini dirancang untuk memberikan kemudahan kepada peserta didik baik secara individu maupun kelompok atau guru untuk memanfaatkan sumber belajar yang tersedia sehingga proses belajar terjadi.

PSB disebut juga dengan media center, artinya suatu departemen yang memberikan fasilitas pendidikan, pelatihan, dan pengenalan melalui produksi bahan media (seperti slide, transparansi OHP, filmstrip, video, film, dan lain-lain) dan pemberian pelayanan penunjang seperti sirkulasi peralatan audiovisual, penyajian program-program video, pembuatan catalog, dn pemanfaatan pelayanan sumber-sumber belajar pada perpustakaan (Ricard N. Tunker dalam Rahadi, 2005: 190). Definisi ini mencerminkan fungsi dan isi dari PSB. Suatu PSB terdiri dari bagian-bagian sirkulasi media cetak dan non cetak, bagian produksi dan pelatihan media cetak dan non cetak, dan bagian pengembangan pembelajaran.

Sedangkan menurut Irving R. Merril dan Harold A. Drob PSB dalam Warsita (2008: 215) adalah

“an organized activity consisting of a director, staff, and equipment housed in one or more specialized facilities for the production, procurement, and presentation of instructional material and the provision of developmental and planning services related to the curriculum and teachimg on a general university campus”.   

 

PSB dipandang sebagai suatu kegiatan yang terorganisasi, terdiri dari Direktur PSB, staf, peralatan dan bahan-bahan pembelajaran yang ditempatkan dalam suatu lokasi yang mempunyai fasilitas khusus untuk perencanaan, pembuatan, penyajian, pengembangan, dan pelayanan perencanaan yang berhubungan dengan kurikulum dan pengajaran pada satuan pendidikan.

Berdasarkan beberapa penjabaran definisi pusat sumber belajar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pusat sumber belajar adalah lembaga/portal/platform dimana terdapat suatu kegiatan yang terorganisir yang memberikan fasilitas pendidikan, pelatihan, pengenalan melalui berbagai media, serta pemberian layanan penunjang pembelajaran, dengan maksud dan tujuan yaitu mengembangkan dan memanfaatkan berbagai sumber belajar untuk keperluan belajar mandiri atau kelompok agar menghasilkan pembelajaran yang efektif, efisien, dan menyenangkan sehingga tujuan dari belajar tersebut dapat tercapai.

2.1.2 Fungsi Pusat Sumber Belajar

Fungsi PSB meliputi (Mudhofir, 1992):

1.    Fungsi Pengembangan Sistem Instruksional

PSB membantu membuat rancangan dan memilih sumber belajar yang dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran. PSB juga menyediakan layanan konsultasi pengembangan kurikulum, penyusunan rencana pembelajaran, revisi program, dan lain-lain.

2.    Fungsi Pelayanan Media

PSB membantu memprogram media dan layanan dukungan yang dibutuhkan, baik oleh pendidik maupun peserta didik. Contohnya seperti menyediakan layanan perpustakaan cetak dan digital, konsultasi media pembelajaran, sistem media untuk kelompok kelas, serta pelayanan pembelian bahan dan peralatan.

3.    Fungsi Produksi

PSB menyediakan materi dan bahan instruksional yang tidak dapat diperoleh melalui sumber-sumber yang diperjual-belikan. Contohnya seperti memproduksi program audio, video, multimedia, media cetak, dan media sederhana. Fungsi ini juga meliputi penyiapan karya seni asli dan memelihara sistem.

4.    Fungsi Administrasi

Fungsi ini berhubungan dengan cara mencapai tujuan dan prioritas program. PSB membantu merencanakan program yang akan dilaksanakan dan akan melibatkan orang banyak. Fungsi ini meliputi perencanaan pengadaan sumber belajar, inventarisasi peralatan, evaluasi, monitoring, dan lain-lain.

5.    Fungsi Pelatihan

PSB berupaya meningkatkan kemampuan SDM, baik untuk pengelola maupun pengguna PSB. Fungsi ini meliputi pelatihan pengembangan kompetensi pembelajaran, pelatihan pengembangan SDM, dan lain-lain

 

2.1.3 Tujuan Pusat Sumber Belajar

Tujuan umum PSB adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran melalui pengembangan sistem instruksional. Adapun tujuan khusus dari PSB meliputi (Mudhofir, 1992):

1.        Menyediakan berbagai macam pilihan komunikasi untuk mendukung kegiatan kelas tradisional yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan tujuan pembelajaran. Contohnya seperti penggunaan majalah dinding untuk menampilkan karya, beep test untuk menguji ketahanan fisik, dan sebagainya.

2.        Mendorong penggunaan cara-cara belajar baru sesuai dengan tujuan program akademis dan kewajiban institusional.

3.        Memberikan layanan dalam perencanaan produksi, operasional, dan tindakan lanjutan. Contoh tindakan lanjutan yang dimaksud dapat berupa evaluasi.

4.        Melaksanakan latihan mengenai pengembangan sistem instruksional dan integrasi teknologi.

5.        Memajukan penelitian yang perlu tentang penggunaan media pendidikan. PSB dapat membantu penguasaan materi peserta didik karena tersedianya contoh konkret.

6.        Menyebarkan informasi yang akan membantu memajukan penggunaan berbagai macam sumber belajar. Contohnya seperti whatsapp group untuk komunikasi dan diskusi kelompok.

7.        Menyediakan layanan produksi bahan belajar. PSB harus dapat memproduksi berbagai bentuk bahan belajar, seperti video, audio, modul, dan sebagainya.

8.        Memberikan konsultasi untuk modifikasi dan desain fasilitas. Seiring berjalannya waktu, dibutuhkan adanya modifikasi dan desain fasilitas. Ahli dari PSB harus dapat memberikan konsultasi pemilihan dan perubahan fasilitas tersebut.

9.        Membantu mengembangkan standar penggunaan sumber belajar. Contohnya seperti pengadaan manual book.

10.    Menyediakan layanan pemeliharaan atas berbagai macam peralatan media. Contohnya seperti mengecek komputer secara berkala, serta merapikan buku sesuai dengan topik dan judul.

11.    Membantu dalam pemilihan dan pengadaan bahan-bahan media kelas dan peralatan. Contohnya seperti saat membantu instruktur memilih media apa yang dapat digunakan untuk belajar bahasa asing secara menyenangkan, PSB membantu mengadakan flash card.

12.    Menyediakan pelayanan penilaian untuk membantu menentukan efektivitas berbagai cara pembelajaran. Contohnya seperti membantu pembuatan instrumen penilaian program.

 

2.1.4 Manfaat Pusat Sumber Belajar

Dengan dikembangkannya PSB dalam suatu sekolah atau lembaga pemerintah (Balai Tekkom dan SKB), maka PSB akan memiliki manfaat antara lain untuk:

1.        memperluas dan meningkatkan kesempatan belajar;

2.        melayani kebutuhan perkembangan informasi bagi masyarakat;

3.        mengembangkan kreativitas dan produktivitas tenaga pendidikdan kependidikan;

4.        meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran, baik secara individu maupun kelompok;

5.        menyediakan berbagai macam pilihan komunikasi untuk menunjang kegiatan kelas tradisional;

6.        mendorong cara-cara belajar baru yang paling cocok untuk mencapai tujuan pembelajaran;

7.        memberikan pelayanan dalam perencanaan, produksi, operasional, dan tindakan lanjutan untuk pengembangan sistem pembelajaran;

8.        melaksanakan latihan bagi para tenaga pengajar mengenai pengembangan sistem pembelajaran dan pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi untuk pembelajaran;

9.        memajukan usaha penelitian yang perlu tentang penggunaan media pembelajaran;

10.    memberikan alasan dan memfasilitasi dengan sumber belajar di luar pusat sumber belajar;

11.    menyebarkan berbagai informasi pembelajaran yang akan membantu memajukan penggunaan berbagai macam sumber belajardengan lebih efektif dan efisien;

12.    menyediakan pelayanan produksi bahan pengajaran;

13.    memberikan konsultasi untuk modifikasi dan desain fasilitas sumber belajar;

14.    membantu mengembangkan standar penggunaan berbagai sumber belajar;

15.    menyediakan pelayanan pemeliharaan atas berbagai macam peralatan;

16.    membantu dalam pemilihan dan pengadaan bahan-bahan media dan peralatannya;

17.    menyediakan pelayanan evaluasi untuk membantu menentukan efektivitas berbagai cara/ metode pembelajaran (Rahadi, 2005: 192).

 

2.1.5 Pengembangan Pusat Sumber Belajar

Pusat Sumber Belajar sangat bermanfaat bagi kegiatan pembelajaran. PSB memberikan fasilitas belajar bagi siswa. pengembangan dan pengelolaan pusat sumber belajar (PSB). Pengembangan PSB didasarkan atas tiga pokok pikiran, yaitu:

a.    Pusat Sumber Belajar merupakan penunjang utama kegiatan pembelajaran.

b.    Maksud utama PSB adalah untuk memberikan pelayanan kepada tenaga pengajar (guru), siswa, tenaga administrai dan orang tua siswa dalam memilih, mengevaluasi, meneliti, mengembangkan dan memanfaatkan media, termasuk media dan teknologi komunikasi mutakhir.

c.    Program PSB meningkatkan efektivitas pembelajaran melalui usaha perencanaan yang sistematis.

Sesuai dengan pokok – pokok pikiran tersebut, maka komponen utama pengembangan PSB hendaknya mencerminkan pengorganisasian dan pengadministrasian PSB di bidang pendanaan, ketenagaan, fasilitas, penyusunan program, pengelolaan koleksi, teknologi, penyebarluasaan/pemanfaatan dan evaluasi. Jadi, paling tidak, ada delapan komponen yang perlu diperhatikan dalam rangka pengembangan PSB, yaitu:

1.    Dana

Dana perlu disediakan untuk mengembangkan PSB. Dana diperlukan untuk semua kegiatan PSB mulai dari kegiatan administrasi, produksi, pemeliharaan, pengadaan fasilitas kantor, pengadaan koleksi media, gaji karyawan, dan sebagainya.

2.    Staf

Staf yang akan bertugas di PSB perlu ditentukan baik mengenai jumlah maupun kualifikasinya. Setelah staf ditunjuk, kemudian ditempatkan atau diorganisasikan sesuai dengan keahliannya. Untuk suatu PSB, hendaknya diangkat sejumlah tenaga yang mencukupi. Tenaga itu hendaknya meliputi para ahli media, tata usaha, ahli pembelajaran, ahli pustaka media, pemelihara peralatan media, ahli komunikasi, dan sebagainya.

3.    Fasilitas

PSB harus memiliki fasilitas berupa kantor, mebeler dan koleksi media. Fasilitas kantor PSB dan pengaturan tata letak fasilitas dan peralatan memegang peranan penting dalam memperlancar ruang gerak pegawai maupun pengguna PSB. Program kegiatan PSB banyak ditentukan oleh bentuk, ukuran gedung dan pengaturan perlengkapan serta kecukupan fasilitas yang dimiliki. Pimpinan PSB perlu melengkapi dan mengatur program media sesuai dengan fasilitas dan perlengkapan yang tersedia. Kelancaran lalu lintas kerja ditentukan oleh pengaturan mebelair. Interaksi atau diskusi kelompok mudah dilaksanakan jika meja kursi diatur secara melingkar. Sedangkan untuk kegiatan klasikal, mudah dilaksanakan jika meja kursi diatur secara berbanjar dari depan ke belakang. PSB perlu dilengkapi ruang yang dapat digunakan untuk kegiatan pengajaran baik secara klasikal, kelompok kecil, maupun individual.

4.    Penyusunan Program

Program kegiatan PSB hendaknya disusun bersama para Dosen/Guru dan tenaga lain yang terkait. Ahli media perlu mengatur jadwal penggunaan fasilitas dan ruang PSB untuk kegiatan klasikal, kelompok, maupun individual.

5.    Pengaturan Koleksi Media

Pengelolaan koleksi media dalam PSB merupakan kegiatan administrasi yang paling utama. Ahli media bertanggung jawab terhadap pemilihan, pengadaan, pemrosesan/katalogisasi dan pemeliharaan koleksi media pembelajaran yang dimiliki PSB.

a.       Pemilihan Media

Menentukan berbagai jenis media yang akan dibeli atau diadakan untuk membantu pelaksaan kurikulum dan pembelajaran di sekolah yang bersangkutan, baik untuk keperluan murid maupun guru merupakan proses yang berkelanjutan yang harus dilaksanakan oleh pengelola PSB/ahli media. Dalam menentukan media hendaknya bekerja sama dengan guru, petugas administrasi, siswa dan wali murid. Pemilihan media noncetak perlu mendapatkan perhatian sehubungan dengan berkembangnya kemajuan teknologi komunikasi yang memungkinkan informasi disimpan dalam bentuk kaset, video, film, disket, CD-ROM, dan sebagainya.

b.      Pengadaan dan Penerimaan Barang

Ahli media bertugas mengadminitrasikan pengadaan dan penerimaan barang. Begitu media dipilih untuk di beli, ahli media perlu mengidentifikasikan sumber dan tempat di mana media dapat di beli. Beberapa media dapat di beli dari toko atau penjual yang telah mengadakan penawaran. Beberapa media harus di beli langsung dari pabrik pembuatannya. Cara pembelian dapat menggunakan formulir pemesanan, membeli langsung ke toko atau pabrik, atau menggunakan sarana modern seperti faximile dan e-mail.

c.       Pemrosesan dan Katalogisasi

Ada media yang telah di beri katalog oleh pabrik pembuatannya. Namun banyak pula yang tidak disertai katalog. Ahli media perlu membuat katalog koleksi bahan atau media yang dimiliki PSB. Pemberian nomor katalog, pengklaifikasian, isi singkat, durasi (panjang program). Pendataan setiap jenis media tersebut sangat diperlukan untuk sirkulasi peminjaman dan penyimpanan.

d.      Pemeliharaan Koleksi Media

Mengusahakan agar koleksi media tetap aktual tidak ketinggalan jaman dan lengkap juga merupakan tanggungjawab ahli media di PSB. Koleksi media yang telah ketinggalan jaman, kuno dan tidak lagi digunakan perlu di keluarkan dari daftar koleksi agar tidak membebani tugas administrasi dan tidak menghabiskan tempat penyimpanan. Pengeluaran koleksi biasanya dilakukan pada saat pendaftaran ulang inventaris barang pada akhir tahun. Kegiatan mengeluarkan suatu barang dari koleksi biasa disebut penghapusan barang – barang inventaris. Ahli media bertanggung jawab menentukan jumlah yang harus ada pada setiap jenis koleksi, menentukan barang yang harus tetap dipertahankan keberadaannya, jumlah yang harus ditambahkan dan jumlah koleksi yang harus dikeluarkan atau dihapus. Bekerja sama dengan para guru, ahli media dapat membuat peta koleksi media yang dimiliki oleh PSB. Pemeliharaan mngandung pula pengertian menjaga agar media tidak rusak sehingga tetap dapat digunakan. Karena itu perlu diidentifikasi media yang rusak atau aus untuk diperbaiki baik bagian-bagiannya maupun keseluruhan media tersebut. Misalnya head tape recorder perlu dibersihkan atau diganti, lampu OHP perlu penggantian, kaca lensa perlu dibersihkan, kabel putus perlu diganti, dan sebagainya.

6.    Teknologi

Sehubungan dengan kemajuan teknologi komunikasi, koleksi media pada PSB banyak didominasi oleh peralatan elektronika mulai dari peralatan yang sederhana sampai media mutakhir. Peralatan media sederhana termasuk kelompok media kecil, misalnya tape recorder, pesawat radio, OHP, proyektor film bingkai. Sedangkan media mutakhir termasuk media besar, seperti televise, telpon, faximile, video recorder, CD-ROM player/recorder, komputer dan sebagainya. Ahli media lazimnya dipandang sebagai orang yang menguasai keterampilan di bidang teknologi komunikasi. Sehubungan dengan itu beberapa tugas dan tanggungjawab yang harus dilaksanakan antara lain: 1) Mengoperasikan, memelihara dan memperbaiki perangkat teknologi dalam PSB. 2) Memberikan pelatihan kepada guru dan murid dalam mengoperasikan dan pemeliharaan peralatan media. 3) Merancang pembelian peralatan media. 4) Memasang jaringan teknologi komunikasi seperti pesawat telepon, jaringan komputer, CCTV, dan sebagainya.

7.    Pemanfaatan/Penyebarluasan

Konsep teknologi media dan PSB merupakan hal baru. Karena itu agar pemanfaatan media membudaya dan dikenal secara luas, maka perlu usaha promosi atau penyebarluasan konsep pemanfaatan media dalam PSB. Pengelolaan PSB perlu memiliki keterampilan kehumasan untuk memasyarakatkan penggunaan media. Ahli media perlu menyebarluaskan informasi tentang pelayanan, kegiatan dan hubungan kerja antara PSB dengan kegiatan pembelajaran di sekolah dan masyarakat. Sasaran kampanye penggunaan media antara lain murid, guru, orang tua murid, pejabat pemerintah, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Promosi tentang PSB perlu dilakukan terus menerus. Promosi atau kampanye tentang PSB dapat dilakukan dengan kunjungan, ceramah, mengundang tamu untuk datang, menggunakan poster, leaflet, brosur, iklan di media massa seperti Koran, radio, TV, dan sebagainya. Jika dipandang perlu PSB dapat membentuk semacam badan atau komisi yang mengurusi PSB yang terdiri dari pejabat pemerintah, pejabat depdikbud, murid dan orang tua murid.

8.    Evaluasi

Kegiatan PSB perlu dievaluasi efektivitasnya. Evaluasi perlu dilakukan secara terus menerus. Ahli media perlu menyusun rancangan dan instrumen evaluasi. Sasaran yang perlu di evaluasi antara lain kegiatan pemilihan koleksi media, pelayanan media, hasil pemanfaatan media dan hasil pembelajaran dengan menggunakan media di PSB. (Suartama, 2013:55-59).

 

2.1.6 Pusat Sumber Belajar di Lembaga Pendidikan

Pada hakikatnya, PSB bertugas untuk memberikan fasilitas dan kemudahan bagi proses pembelajaran dengan berpusat pada peserta didik. Meskipun tujuan utamanya adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembelajaran, PSB di setiap tingkat pendidikan memiliki karakteristik yang berbeda. Idealnya, PSB memenuhi seluruh fungsi di atas (pengembangan sistem instruksional, pelayanan media, produksi, administrasi, dan pelatihan).

Pada tingkat sekolah dasar, PSB harus siap menawarkan berbagai pengalaman kinetik dan sentuhan yang melatih kebebasan bergerak, berbicara, dan melakukan penelitian. Pengalaman tersebut diberikan melalui alat bantu sederhana, bentuk geometris, model hewan, dan sejenisnya. Intinya, PSB harus menunjang peserta didik untuk belajar sambil bermain. PSB di tingkat SMP dan SMA memiliki lebih banyak siswa yang datang secara individu. Koleksi materi harus mencerminkan kedalaman subjek yang lebih dalam dan detail (daripada buku materi yang disajikan di kelas). Media yang digunakan di PSB harus memberikan pengalaman dalam berbagai mode komunikasi (visual, audio, audio-visual, dan seterusnya).

Untuk SMA, penting untuk diberikan keterampilan sosial yang dibutuhkan dalam masyarakat dan kompetensi yang dibutuhkan untuk masuk ke perguruan tinggi. Semakin tinggi jenjang pendidikan, maka semakin tinggi kebutuhan belajar dan kemandirian peserta didiknya. Mahasiswa membutuhkan lebih banyak sumber belajar untuk tambahan pembelajaran di kelas. Diperlukan semua keterampilan dari para profesional media untuk mengkoordinasikan penggunaan media agar pembelajaran maksimal. Secara keseluruhan, karakteristik jenjang sekolah sebelumnya juga diperhatikan di jenjang universitas. Hanya saja, semuanya menjadi lebih kompleks dan beragam. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, PSB melebarkan sayapnya. Kini pusat sumber belajar tidak hanya berbentuk fisik, namun juga virtual.

Berikut beberapa contoh pusat sumber belajar (baik yang dikelola sekolah maupun pemerintah).

1.    Perpustakaan Nasional RI

Perpustakaan Nasional RI sebagai PSB terbesar dan tertinggi di Indonesia menyediakan berbagai macam koleksi, di antaranya ada buku, monograf, kartografis, majalah, karya seni, audiovisual, dan multimedia.

2.    Portal Rumah Belajar Kemdikbud

Portal Rumah Belajar Kemdikbud sebagai PSB virtual menyediakan berbagai macam fitur yang dapat mendukung pembelajaran daring, seperti kelas maya, sumber belajar, laboratorium maya, dan bank soal.

3.    Odessa College Learning Resources Center

PSB milik Odessa College, United States ini menyediakan berbagai macam fitur dan layanan untuk memfasilitasi pembelajaran mahasiswa.

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Kesimpulan

Pusat sumber belajar adalah lembaga/portal/platform dimana terdapat suatu kegiatan yang terorganisir yang memberikan fasilitas pendidikan, pelatihan, pengenalan melalui berbagai media, serta pemberian layanan penunjang pembelajaran, dengan maksud dan tujuan yaitu mengembangkan dan memanfaatkan berbagai sumber belajar untuk keperluan belajar mandiri atau kelompok agar menghasilkan pembelajaran yang efektif, efisien, dan menyenangkan sehingga tujuan dari belajar tersebut dapat tercapai. Pusat sumber belajar memiliki lima fungsi utama yaitu fungsi pengembangan sistem instruksional, fungsi pelayanan media, fungsi produksi, fungsi administrasi,  dan fungsi pelatihan.

Tujuan umum PSB adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran melalui pengembangan sistem instruksional. Pusat sumber belajar memiliki beragam manfaat bagi dunia pendidikan dalam kehadirannya sebagai penyedia media dan sumber belajar maupun pusat pelatihan dan pembelajaran. Komponen utama pengembangan PSB hendaknya mencerminkan pengorganisasian dan pengadministrasian PSB di bidang pendanaan, ketenagaan, fasilitas, penyusunan program, pengelolaan koleksi, teknologi, penyebarluasaan/pemanfaatan dan evaluasi. Contoh  pusat sumber belajar di dunia pendidikan yaitu Perpustakaan Nasional Republik Indonesi, Portal Rumah Belajar, dan Odessa College Learning Resources Center.

 

 

3.2  Saran

Pada makalah ini kita telah diberikan pemahaman mengenai perancangan pusat sumber belajar. Sangat besar harapan penyusun agar nantinya makalah ini dapat membantu pembaca untuk lebih memahami baik konsep maupun penerapan penerapan pusat sumber belajar. Selain itu, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca agar pada penulisan makalah selanjutnya  hal itu dapat diperbaiki. Tak luput penyusun menitipkan masukan agar lebih variatif lagi kajian tentang pusat sumber belajar dan semakin banyak kehadiran pusat sumber belajar terutama yang berbasis digital.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Gafur. (1999). Pengembangan PSB dan Kelompok Belajar. Jakarta: Universitas Terbuka.

Mudhofir. (1992). Prinsip-Prinsip Pengelolaan Pusat Sumber Belajar. Jakarta: Rosda Karya.

Priyatmojo, Achmadi., dkk. (2010). Buku Panduan Pelaksanaan Students Centered Learning (SCL) dan Teacher Aesthethic Role-Sharing (STAR). Yogyakarta: Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Gadjah Mada.

Rahadi, A. (2005). Menuju Kelembagaan Pusat Sumber Belajar (Learning Resources Center). In Purwanto (ed). Jejak langkah perkembangan teknologi pendidikan di Indonesia. Jakarta: Depdiknas Pustekkom.

Suartama, I Kadek. (2013). Buku Ajar Pengelolaan Pusat Sumber Belajar. Denpasar: Jurusan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Ganesha.

Warsita, Bambang. (2008). Teknologi Pembelajaran landasan dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta.

CARA MEMPELAJARI STATISTIK DAN PROSES PENERAPAN STATISTIKA

24 October 2022 16:17:18 Dibaca : 84

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Statistik adalah sekempulan fakta yang berbentuk angka yang disusun dalam tabel atau daftar yang menggambarkan suatu persoalan (Subana, dkk., 2000). Sedangkan menurut Heryanto (2007) Statistik adalah kumpulan angka-angka mengenai suatu masalah, sehingga dapat memberikan gambaran mengenai masalah tersebut. Secara etimologis kata statistik berasal dari kata status (bahasa Latin), state (bahasa Inggris), staat (bahasa Belanda), yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi Negara. Pada mulanya, kata statistik diartikan sebagai kumpulan bahan keterangan yang mempunyai arti penting dan berguna bagi suatu negara (Sudijono, 2000).

Statistik sebagai bagian integral dari statistika merupakan hal yang sangat dekat dalam keseharian manusia. Oleh karena itu perlu mengetahui tentang pengertian statistik maupun statistika lebih mendalam serta cara mempelajari statistik. Pada bagian selanjutnya, mesti pula diuraikan proses penerapan statistika yang tentunya memiliki langkah-langkah kegiatan sistematis. Atas dasar asumsi tersebut maka penulis menyusun makalah ini.

 

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:

Bagaimanakah pengertian statistik dan statistika?Bagaimanakah karakteristik statistik?Bagaimanakah cara mempelajari statistik?Bagaimanakah pengertian data?Bagaimanakah jenis-jenis data?Bagaimanakah skala pengukuran data?Bagaimanakah pengumpulan data?Bagaimanakah penyajian dan pengolahan data?Bagaimanakah penarikan kesimpulan? 

1.3  Tujuan Penulisan

Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:

Untuk memahami pengertian statistik dan statistikaUntuk memahami karakteristik statistikUntuk memahami cara mempelajari statistikUntuk memahami pengertian dataUntuk memahami jenis-jenis dataUntuk memahami skala pengukuran dataUntuk memahami pengumpulan dataUntuk memahami penyajian dan pengolahan dataUntuk memahami penarikan kesimpulan 

 

 

 

UNTUK MEMBACA LENGKAP MAKALAH SILAHKAN KLIK TAUTAN BERIKUT: 

https://docs.google.com/document/d/1-5i2HDFB9tnnCk6X03_xnRWq63VT6lWl/edit?usp=sharing&ouid=113875016540080144011&rtpof=true&sd=true

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Perkembangan pembelajaran pada deawa ini menuntut pengaplikasian model pembelajaran yang tepat demi ketercapaian tujuan pembelajaran. Pembelajaran Bahasa Indonesia yang menitikberatkan aspek kemampuan menyimak, membaca dan memirsa, berbicara dan mempresentasikan dan menulis perlu memanfaatkan model yang tepat.

            Model pembelajaran neurosains dianggap sebagai salah satu model yang efektif digunakan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia karena perancangan aktivitas belajar yang memaksimalkan peran sentral kerja otak dalam menemukenali pengaktualan otak kiri dan otak kanan secara maksimal demi potensi pengembangan kecerdasan intelegensi, emosional dan spiritual.

Seorang guru mesti menyajikan model pembelajaran neurosains ini demi keterukuran kada kualitas pembelajaran yang menuntut perkembangan dan kemajuan aspek kognitif, psikomototrik dan afektif siswa. Atas dasar asumsi tersebut maka penulis menyajikan makalah ini.

 

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:

Bagaimanakah definisi neurosains?Bagaimanakah mekanisme kerja otak terkait kecakapan belajar?Bagaimanakah mekanisme mengingat suatu informasi ?Bagaimanakah model pembelajaran neurosains dalam pembelajaran bahasa Indonesia?Bagaimanakah kelebihan dan kekurangan neurosains?1.3  Tujuan Penulisan

Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:

Untuk memahami definisi neurosains?Untuk memahami mekanisme kerja otak terkait kecakapan belajar?Untuk memahami mekanisme mengingat suatu informasi ?Untuk memahami model pembelajaran neurosains dalam pembelajaran bahasa Indonesia?Untuk memahami kelebihan dan kekurangan neurosains? 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 MODEL PEMBELAJARAN NEUROSAINS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

2.1.1 Definisi Neurosains

Neurosains adalah ilmu yang mempelajari tentang sel saraf atau neuron (Dadana, 2013). Tujuan utama dari ilmu ini adalah mempelajari dasar-dasar biologis dari setiap perilaku. Artinya, tugas utama dari neurosains adalah menjelaskan perilaku manusia dari sudut pandang aktivitas yang terjadi di dalam otaknya (Wijaya, 2018). Neurosains adalah suatu bidang penelitian saintifik tentang sistem saraf, utamanya otak. Neurosains merupakan penelitian tentang otak dan pikiran. Studi tentang otak menjadi landasan dalam pemahaman tentang bagaimana kita merasa dan berinteraksi dengan dunia luar dan khususnya apa yang dialami manusia dan bagaimana manusia mempengaruhi yang lain (Schneider, 2011).

Dalam pembelajaran model neurosains sangat berperan dalam mengembangkan kemampuan otak untuk melakukan beberapa tindakan atau upaya untuk meningkatkan kemampuan mengingat, kesadaran dan kepekaan.  Menurut  Konsep neuorosains yang dijelaskan oleh Harun merupakan suatu bidang kajian mengenai sistem saraf yang terdapat di dalam otak manusia yang berhubungan dengan kesadaran dan kepekaan otak dari segi biologi, persepsi, ingatan, dan kaitannya dengan pembelajaran (Resti, 2013). Selanjutnya menurut Wathon (2016) tujuan utama dari ilmu ini adalah mempelajari dasar-dasar biologis dari setiap perilaku. Artinya, tugas utama dari neurosains adalah menjelaskan perilaku manusia dari sudut pandang aktivitas yang terjadi di dalam otaknya.

 

 

 

2.1.2 Mekanisme Kerja Otak Terkait Kecakapan Belajar

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Profesor Marian Diamond dalam Rakhmat (2005) dapat diketahui bahwa medulla mampu mengatur detak jantung dan proses respirasi. Panjang medulla hanya beberapa inci, dan sama panjang yang dimiliki oleh otak simpanse, namun kapasitas medulla pada manusia berkembang tiga kali lipat daripada simpanse. Serebelum (otak kecil) berada di sebelah medulla.

Rakhmat (2005) mengungkapkan bahwa serebelum ini bertanggung jawab dalam proses koordinasi dan keseimbangan serta kemampuan dalam proses belajar dan berbicara. Otak mengalami evolusi yang salah satunya dapat dicontohkan dengan peristiwa melipatnya korteks dan bagian otak yang terakhir berevolusi ialah lobus frontal. Lobus frontal inilah yang memberikan peranan penting dalam pembentukan kepribadian anda, perencanaan masa depan, serta penataan ide-ide.

Rakhmat (2005) mengungkapkan bahwa bagian otak yang memegang peranan lainnya ialah area pengendali ucapan (motor speech area), korteks visual, area yang menggerakkan lengan, tungkai, jari-jari, bagian yang mengendalikan perasaan, rasa sakit, temperatur, sentuhan, tekanan, pendengaran, serta adanya sistem limbik. Pada sistem ini dapat diketahui adanya bagian otak yang berkaitan dengan ketakutan, kemarahan, emosi, seksualitas, cinta, gairah. Kelenjar pituitari yang memproduksi hormon. Kemampuan otak untuk menunjukkan dan menghentikan rasa sakit. Cara otak dalam mengirim pesan-pesan dalam dirinya di seluruh tubuh, pesan yang secara terus-menerus mengubah impuls-impuls listrik menjadi aliran-aliran kimiawi.

Profesor Marian Diamond dalam Rakhmat (2005) mengungkapkan bahwa betapa dinamisnya otak manusia, otak mampu berubah pada usia berapa pun, sejak lahir sampai akhir kehidupan. Otak dapat berubah secara positif jika dihadapkan pada lingkungan yang diberi rangsangan, dan otak akan dapat menjadi negatif jika tidak diberi rangsangan. Pernyataan Profesor Marian Diamond ini menumbangkan mitos-mitos yang selama berabad-abad dipercayai para ilmuwan dan orang awam sekaligus. Mitos yang pertama ialah otak sepenuhnya ditentukan secara genetis, karena keturunan. Mitos kedua mengatakan bahwa otak kita mengerut dalam perjalan waktu, karena ketuaan.

Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi dan banyaknya penemuan-penemuan baru dalam teknologi otak maka para ilmuwan mulai meragukan mitos-mitos yang dahulu mereka percayai. Beberapa penemuan terkait dengan teknologi otak diantaranya ialah computerized tomography, scanner yang menggunakan sinar X untuk memperoleh gambar bagian struktur otak secara terperinci, positron emission tomography (PET), magnetic resonance imaging (MRI),dan penemuan neurotransmitter yang merupakan zat kimia yang menjalankan beberapa fungsi otak.

 

2.1.3 Mekanisme Mengingat Informasi

Wade (2008) mengungkapkan bahwa memori bukanlah duplikat murni dari suatu pengalaman. Informasi sensorik seperti gambar atau kata-kata kemudian dirangkum dan disandikan sesegera mungkin setelah kita mendeteksi hal-hal tersebut. Agar kita dapat mengingat suatu informasi dengan baik, kita harus melakukan proses penyandian dengan tepat. Pada beberapa jenis informasi tertentu, proses penyandian yang akurat berjalan otomatis, tanpa memerlukan usaha.

Wade (2008) mengungkapkan bahwa pengulangan merupakan salah satu teknik penting agar kita mampu menyimpan informasi memori jangka pendek dan mengingat kembali informasi yang telah disimpan dalam memori jangka panjang, dengan cara mempelajari kembali atau mempraktekkan material yang sedang kita pelajari. Peterson dalam Wade (2008) mengungkapkan bahwa apabila seseorang dicegah dari melakukan pengulangan, informasi pada memori jangka pendek akan menghilang dengan cepat. Memori jangka pendek menyimpan berbagai jenis informasi, termasuk di dalamnya informasi visual dan pemahaman abstrak.

Wade (2008) mengungkapkan bahwa terdapat berbagai strategi pengulangan yang lebih efektif dibandingkan strategi lainnya, satu strategi yang lazim digunakan adalah maintenance rehearsal (pengulangan pemeliharaan) yakni metode pengulangan yang melibatkan penghafalan harafiah secara berulang-ulang, pengulangan ini berguna untuk menyimpan suatu informasi di memori jangka pendek, dan tidak akan menjamin informasi tersebut pasti akan dipindahkan ke memori jangka panjang.

Wade (2008) mengungkapkan bahwa apabila akan mengingat suatu informasi yang telah lama, strategi pengulangan yang lebih baik adalah elaboration rehearsal (pengulangan elaboratif). Elaborasi melibatkan pengasosiasian informasi-informasi baru dengan materi yang telah terlebih dahulu tersimpan atau dengan fakta-fakta baru lainnya. Metode ini juga dapat melibatkan proses analisis berupa fisik, sensorik, atau kategori semantik dari sebuah objek. 

Craik dan Lockhart dalam Wade (2008) mengungkapkan bahwa Deep processing (pemrosesan mendalam) adalah strategi untuk memperpanjang ingatan yang kita miliki mengenai sesuatu, strategi ini terkait dengan pemrosesan makna. Apabila kita hanya memproses elemen fisik atau indrawi dari suatu stimulus, pemrosesan yang terjadi akan dangkal, terlepas dari apakah kita melakukan elaborasi atau tidak. Shallow processing (pemrosesan mendangkal) terkadang memiliki kegunaan khusus.

Wade (2008) mengungkapkan bahwa saat kta sedang berusaha menghafal sebuah puisi, misalnya kita seharusnya memperhatikan (dan melakukan penyandian secara elaboratif) pengucapan kata dan pola ritme puisi tersebut; tidak semata-mata memperhatikan makna puisi tersebut. Meski demikian, seringkali deep processing lebih efektif. Inilah alasan yang menyebabkan saat kita berusaha mengingat sesuatu yang tidak bermakna atau tidak penting, biasanya ingatan tersebut hilang dengan cepat. 

Wade (2008) mengungkapkan bahwa hormon-hormon yang dilepaskan oileh kelenjar adrenal selama stres dan selama periode rangsangan emosi yaitu mencakup epinephrine (adrenalin) dan beberapa jenis steroid yang akan meningkatkan kemmapuan memori kita. Adanya ketertarikan (arousal) terhadap stimulus memberikan petunjuk pada otak bahwa suatu peristiwa atau potongan informasi merupakan hal yang penting, yang harus disandikan dan disimpan sehingga dapat digunakan kembali pada masa depan. Namun arousal yang ekstrim bukanlah merupakan sesuatu yang baik.

Hormon yang diproduksi dalam kelenjar adrenal dapat mempengaruhi proses penyimpanan informasi yang terdapat di otak karena epinephrine mampu meningkatkan kadar glukosa dalam darah. Gold dalam Wade (2008) mengungkapkan bahwa, walaupun epinephrine tidak memasuki bagian otak secara langsung, glukosa akan memasuki bagian otak. Saat memasuki bagian otak, glukosa meningkatkan kemampuan memori, baik secara langsung atau tidak langsung, yakni dengan mempengaruhi efek neurotransmiter. Dalam berbagai kasus, glukosa sepertinya berlaku sebagai bahan bakar untuk otak kita, di saat area-area otak berada dalam keadaan aktif, area-area tersebut akan mengkonsumsi glukosa lebih banyak.

Berdasarkan penelitian Saputro (2017) menjelaskan bahwa pendekatan neurosains melalui keterampilan mengingat berpengaruh terhadap hasil belajar. Dimaksudkan dalam keteremapilan mengingat berdasarkan penelitian tersebut adalah pemberian pembelajaran yang terus dilakukan berulang agar para mahasiswa didalam pembelajarannya dapat mengasosiasikan materi membuat suasana belajar lebih aktif dan kerja otak dapat berjalan secara maksimal sehingga ketika mendapatkan evaluasi, mahasiswa dapat mengerjakan dengan baik. Selanjutnya berdasarkan hasil kajian Hanafi berkaitan dengan kemampuan spiritual yang dipengaruhi oleh otak (2016), yakni : a. Pertama, cortex prefrontal. Bagian ini dalam kajian neurosains diangggap sebagai penghubung utama antara emosi dan kognisi manusia, melalui cortex ini emosi dan kognisi manusia dikelola. Artinya bahwa cortex prefrontal yaitu pembentuk kepribadian manusia yang berkaitan dengan motivasi, sosial, moralitas, rasionalitas dan kesadaran manusia. Kedua, area asosiasi. Area asosiasi bisa disebut juga dengan serebrum atau otak besar. Komponen ini berfungsi sebagai fungsi kognitif, emosi, dan pencarian makna hidup, artinya pada area asosiasi inilah tempat kesadaran di proses. Berhubungan dengan spiritualiatas, kemudian area ini lebih spesifik lagi membagi kepada area asosiasi visual, asosiasi atensi, asosiasi orientasi, serta asosiasi konseptual verbal. Ketiga, operator neurospiritual ialah lymbic system. Sistem limbik ini dibangun oleh sejumlah struktur, yaitu hypotalamus, amygdala, dan hippocampus.

Dari pendapat tersebut dapat diambil simpulan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model neurosains adalah pembelajaran yang mengutamakan kemampuan antar neuron atau saraf yang saling terhubung berpusat pada otak sebagai koordinasi berpikir kognitif dan afektif. Simpulan pendapat tersebut menjelaskan bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia menekankan kepada kemampuan untuk melakukan pengkoordinasian antara kemampuan kognitif, psikomotorik digabung kedalam kemampuan afektif berupa spritual yang saling berkoordinasi sehingga menghasilkan kemampuan yang diharapkan.

 

2.1.4        Model Pembelajaran Neurosains dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia

            Setiap anak dilahirkan dengan bakat(potensi kemampuan) yang berbeda-beda dan terwujud dengan interaksi yang dinamis antara keunikan individu dan pengaruh lingkungan. Berbagai kemampuan yang teraktualisasikan beranjak dari fungsi otak. Berfungsinya otak adalah interaksi dari cetak biru (blue print) genetis danpengaruh lingkungan. (Husamah, 2018)

Pembelajaran Bahasa Indonesia memiliki karakteristiknya tersendiri. Menurut Harsiati, dkk(2017:3) menyebutkan bahwa Kurikulum 2013 mata pelajaran Bahasa Indonesia secara umum bertujuan agar siswa mampu mendengarkan, membaca, memirsa, berbicara, dan menulis. Kompetensi dasar dikembangkan berdasarkan tiga hal yang saling berhubungan dan saling mendukung mengembangkan pengetahuan siswa, memahami, dan memiliki kompetensi mendengarkan, membaca, memirsa, berbicara, dan menulis. Ketiga hal tersebut adalah bahasa (pengetahuan tentang Bahasa Indonesia); sastra (memahami, mengapresiasi, menanggapi, menganalisis, dan menciptakan karya sastra; literasi (memperluas kompetensi berbahasa Indonesia dalam berbagai tujuan khususnya yang berkaitan dengan membaca dan menulis). Lebih lanjut Harsiati, dkk(2017:4) menuliskan bahwa Pembelajaran Bahasa Indonesia dikembangkan berdasarkan pendekatan komunikatif, pendekatan berbasis teks, pendekatan CLIL (content language integrated learning), pendekatan pendidikan karakter, dan pendekatan literasi. Pengembangan kurikulum (Bahasa Indonesia) tidak dapat dipisahkan dari perkembangan teori belajar (dan pengajaran) bahasa. Pengembangan kurikulum 2013 didasarkan pada perkembangan teori belajar bahasa terkini. Fondasi teoretik Kurikulum 2013 adalah pengembangan pendekatan komunikatif, pendekatan genre-based, dan CLIL (content language integrated learning). Pada perkembangannya saat ini di era Kurikulum Merdeka, pembelajaran bahasa Indonesia dikembangkan tujuannya berdasarkan fase tingkatan  pembelajaran. Khusus fase D untuk jenjang SMP memiliki tujuan yang termaktub dalam capaian pembelajaran yang dirumuskan Kemdikbud seperti berikut:

“peserta didik memiliki kemampuan berbahasa untuk berkomunikasi dan bernalar sesuai dengan tujuan, konteks sosial, dan akademis. Peserta didik mampu memahami, mengolah, dan menginterpretasi informasi paparan tentang topik yang beragam dan karya sastra. Peserta didik mampu berpartisipasi aktif dalam diskusi, mempresentasikan, dan menanggapi informasi nonfiksi dan fiksi yang dipaparkan; Peserta didik menulis berbagai teks untuk menyampaikan pengamatan dan pengalamannya dengan lebih terstruktur, dan menuliskan tanggapannya terhadap paparan dan bacaan menggunakan pengalaman dan pengetahuannya. Peserta didik mengembangkan kompetensi diri melalui pajanan berbagai teks untuk penguatan karakter”.

Capaian pembelajaran tersebut dituangkan lebih rinci ke dalam empat aspek capaian elemen menyimak, membaca dan memirsa, berbicara dan mempresentasikan, dan menulis.  Elemen-elemen tersebut bertalian erat dengan kecakapan berpikir siswa yang tentunya sangat terbuka peluang rekonstruksi dan pengembangan model pembelajaran berbasis neurosains. Tujuan pembelajaran model neurosains itu sendiri berusaha untuk mempelajari dasar-dasar biologis dari setiap perilaku. Artinya, tugas utama dari neurosains adalah menjelaskan perilaku manusia dari sudut pandang aktivitas yang terjadi di dalam otaknya.

Menurut Wijaya (2018) implikasi perkembangan otak dalam pendidikan berhubungan dalam kegiatan pembelajaran, yakni:

1.    Optimalisasi kecerdasan pendidikan.

 Sebaiknya mengembangkan kecerdasan, bukan hafalan, yaitu melalui stimulasi otak untuk berpikir. Otak yang cerdas meningkatkan kreativitas dan daya cipta baru untuk menemukan hal yang baru yang tidak pernah terpikirkan.

2.    Keseimbangan fungsi otak kanan dan kiri. otak kanan dan otak kiri memiliki fungsi yang berbeda. Otak kanan lebih bersifat intuitif, acak, tak teratur, divergen. Otak kiri bersifat linier, teratur, dan konvergen. Pendidikan hendaknya mengembangkan kedua belahan otak itu secara seimbang. Pembelajaran yang bersifat eksploratori dan divergen, lebih dari satu kemungkinan jawaban benar akan mengembangkan kedua belahan otak tersebut.

3.    Keseimbangan Otak Triune.

Pendidikan harus mengembangkan secara seimbang fungsi otak atas, tengah dan bawah (logika, emosi, dan motorik) yang sering disebut juga head, heart, and hands. Hal itu sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu mengambangkan manusia yang cerdas, terampil, dan beakhlak mulia.

4.    Pengembangan motorik tangan

Stimulasi melalui motorik tangan perlu dilakukan sejak dini. Koordinasi tangan ini sifatnya berkebalikan, di mana tangan kiri dikendalikan otak bagian kanan. Oleh karena itu tidak selayaknya kita melarang anak menggunakan tangan kirinya karena hal itu justru sedang mengembangkan otak kanannya.

            Selanjutnya berdasarkan  hasil kajian analisis Kushartanti (2018) menyatakan:

1.    Otak Rasional dan Pembelajaran.

Otak kiri dengan cara berpikir yang linier dan sekuensial, dan otak kanan dengan kreativitasnya akan bekerjasama untuk memahami dan memecahkan permasalahan secara holistik. Sistem pendidikan yang baik harus dapat menyediakan model pembelajaran untuk optimalisasi kedua belah otak.

2.    Otak Emosional dan Pembelajaran.

Warisan genetik memberi kita serangkaian muatan emosi tertentu yang menentukan temperamen kita, namun pelajaran emosi yang kita peroleh pada saat anak-anak baik di rumah maupun di sekolah dapat membentuk sirkuit emosi dan meningkatkan kecerdasan emosional kita. Kecerdasan emosional pada dasarnya terdiri atas lima wilayah yaitu: a) mengenali emosi diri; b) mengelola emosi; c) memotivasi diri; d) mengenali emosi orang lain, dan e) membina hubungan. Pembelajaran dengan model diskusi kelompok memungkinkan peserta didik mengembangkan kelima wilayah kecerdasan emosionalnya.

3.    Otak Spiritual dan Pembelajaran.

Otak spiritual, empat terjadinya kontak dengan Tuhan, hanya akan berperan jika otak rasional dan pancaindra telah difungsikan secara optimal. Sistem pendidikan harus membuka kesempatan lebar bagi pemenuhan rasa rindu untuk menemukan nilai dan makna dari apa yang diperbuat dan dialami, sehingga orang dapat memandang kehidupan dalam konteks yang lebih bermakna. pada dasarnya otak spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai. Dapat diambil kesimpulan hasil menyatakan bahwa kemampuan otak dalam kegiatan pembelajaran dapat dilakukan dengan mengembangkan kemampuan otak kanan dan kiri secara seimbang yakni dengan melakukan kegiatan diskusi, pemberian masalah, kegiatan interaktif berupa :  gerak tubuh, membangun kreatifitas dan pemberian emosi (motivasi) pada setiap kegiatan pembelajaran.

Penelitian terkait penerapan model neurosains dalam pembelajaran Bahasa Indonesia telah banyak dilakukan dewasa ini. Seperti penelitian yang dilakukan Wikanengsih (STKIP Siliwangi Bandung) pada tahun 2017 yang dimuat di Jurnal Pendidikan Jilid 19 Nomor 2 tahun 2013, penenlitian itu mengangkat judul “Model Pembelajaran Neurolinguistic Programming Berorientasi Karakter untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Siswa”. Abstrak penelitian tersebut tergambarkan sebagai berikut:

“Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan model pem[1]belajaran neurolinguistik programming berorientasi karakter (MPNLPBK) terhadap kemampuan menulis siswa. Metode penelitian yang digunakan metode penelitian kombinasi (mixed method) jenis sequential exploratory strategy. Hasil penelitian tahap pertama (penelitian kualitatif) menghasilkan model pembelajaran hipotetik. Penelitian tahap kedua merupakan uji coba penerapan model hipotetik (penelitian kuantitatif). Hasil pengujian menunjukkan bahwa pembelajaran menulis dengan menggunakan MPNLPBK dapat meningkatkan kemampuan menulis siswa kelompok eksperimen. Selain itu, berdasarkan hasil pengamatan terhadap aspek karakter komunikatif, toleran, tanggungjawab dan kreatif siswa, terdapat perkembangan pada diri siswa untuk setiap aspek tersebut”.

Dari penelitian tersebut terbukti bahwa model pembelajaran neurosains efektif digunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia untuk mengembangkan aspek kognitif, psikomotorik dan afektif siswa. Penelitian lain yang berkaitan dengan penerapan model neurosains dalam pembelajaran yaitu penelitian yang disusun oleh Agus Setiyoko  (IAIN Salatiga) pada 2018 yang dimuat di Jurnal Inspirasi. Penelitian yang mengangkat judul “PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS NEUROSAINS DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BERPIKIR KREATIF DAN KERJASAMA” tersebut digambarkan dalam abstrak berikut:

Penelitian ini berjudul penerapan model pembelajaran berbasis neurosains dalam pembentukan karakter berpikir kreatif dan kerjasama (Studi pada SD Muhammadiyah Plus, dan MI Ma`arif Mangunsari Kota Salatiga) tahun 2017/2018. Penelitian ini bertujuan mengungkap bagaimana penerapan model pembelajaran berbasis neurosains pada SD/MI Kota Salatiga (SD Muhammadiah Plus dan MI Ma`arif Mangunsari Kota dan bagaimana pembentukan karakter berpikir kreatif dan kerjasama dalam pembelajaran berbasis neurosains pada sekolah tersebut. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian inia dalah penelitian kualitatif untuk mendiskripsikan dan menganalisis tentang fenomena, peristiwa proses pembelajaran di tiga sekolah tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran berbasis neurosains pada SD Muhammadiyah Plus Kota Salatiga ada beberapa macam antara lain: (1) Model belajar anak dengan bermain, (2) Model Pembelajaran Fun Learning, (3) Pembelajaran Quantum Teaching, (4) Pembelajaran Multiple Intelegensi, (5) Pembelajaran berbasis masalah, di MI Ma`arif Mangunsari dalam penerapan pembelajaran adalah menggunakan (1) Neuro Language Program, (2) Media musik dalam belajar, (3) Pergantian warna/suasana. Sedangkan penerapan model pembelajaran kerjasama dan berpikir kreatif pada tiga sekolah tersebut adalah melalui kegiatan ekstra kurikuler yaitu: (1) Club Bahasa, Hizbul Waton/pramuka, (2) Kepanduan untuk menumbuhkan jiwa pemberani, sedangkan, di MI Ma`arif Mangunsari Kota Salatiga dengan cara anak dilatih agar mampu membuat lirik lagu.

 

Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran berbasis neurosains pada SD Muhammadiyah Plus Kota Salatiga ada beberapa macam antara lain : a) Model belajar anak dengan bermain, yaitu dengan permainan tepuk, anak diajak untuk tepuk di sela sela pembelajaran misalnya tepuk konsentrasi, tepuk satu, dua, tiga dan seterusnya. b) Model pembelajaran konstruktivistik (membangun belajar siswa aktif), pembelajaran yang mengarahkan pada keaktifan siswa hampir sama dengan model cara belajar siswa aktif (CBSA) dengan melibatkan siswa untuk terlibat secara aktif dalam setiap pembelajaran. c) Model Pembelajaran fun learning, pembelajaran yang menyenangkan, apapun mata pelajarannya di SD Muhammadiyah Plus selalu memiliki prinsip bahwa dalam setiap pembelajaran harus didesain sebaik mungkin untuk menciptakan lingkungan yang menyenangkan dalam pembelajaran. d) Pembelajaran quantum teaching, Penerapan pembelajaran pada SD Muhammadiyah Plus adalah seorang guru membawa peserta didik dengan apa yang mereka pelajari kedalam dunia mereka.

            Dari berbagai penerapan model neurosains dalam pembelajaran khususnya pembelajaran Bahasa Indonesia bisa ditarik sebuah benang merah kesimpulan bahwa seluruh aspek aktivitas pembelajaran bahasa Indonesia dimulai dengan memaksimalkan pengaktualan sistem saraf otak (neurosains). Model neurosains memicu proses bernalar dan berpikir siswa, komunikatif, dan interaktif. Dalam artian khusus perilaku kerja otak dalam sajian pembelajaran Bahasa Indonesia dewasa ini mengaktifkan keseimbangan otak kiri dan kanan dalam mengelaborasi kecerdasan intelegensi, emosional, dan spiritual sehingga kadar kognitif, psikomotorik dan afektif bisa berkembang dan terukur dalam pembelajaran. Hal ini tentunya sejalan dengan semangat yang dikembangkan dalam kurikulum 2013 maupun kurikulum merdeka khusus mata pelajaran bahasa Indonesia yang bermuara pada tujuan pendidikan nasional yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

2.1.5        Kelebihan dan Kekurangan Neurosains

Winarno (1994) mengungkapkan kelebihan dan kekurangan neurosains dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:

·         Memberikan suatu pemikiran baru tentang bagaimana otak manusia bekerja.

·         Memperhatikan kerja alamiah otak si pembelajar dalam proses pembelajaran.

·         Menciptakan iklim pembelajaran dimana pembelajar dihormati dan didukung.

·         Menghindari terjadinya pemforsiran terhadap kerja otak.

·         Dapat menggunakan berbagai model-model pembelajaran dalam mengaplikasikan teori ini..

Adapun kelemahan-kelemahan dari teori ini adalah sebagai berikut:

·         Tenaga kependidikan di Indonesia belum sepenuhnya mengetahui tentang teori ini (masih baru).

·         Memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk dapat memahami (mempelajari) bagaimana otak kita bekerja.

·         Memerlukan biaya yang tidak sedikit dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang baik bagi otak.

·         Memerlukan fasilitas yang memadai dalam mendukung praktek pembelajaran teori ini

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Kesimpulan

Neurosains merupakan bidang kajian mengenai kesadaran dan kepekaan otak dari segi biologi, persepsi, ingatan, dan keterkaitannya terhadap pembelajaran. Kerja otak melibatkan aktivitas neuron, dimana impuls listrik mengalir dari neuron menuju dendrit melalui akson dan berhenti pada ujung akson yang membentuk sinapsis kemudian dilanjutkan oleh neutransmiter untuk diterima oleh penerima khusus pada neuron berikutnya.

Pada dasarnya belajar adalah pembentukan hubungan-hubungan baru antara neuron, ini terjadi kompleksitas peningkatan cabang-cabang dendrite dalam otak. Oleh sebab itu belajar dalam teori neurosins sangat dipengaruhi kesiapan dalam belajar dan lingkungan belajar itu sendiri.

Mekanisme mengingat informasi diantaranya ialah melakukan penyandian dengan tepat, pengulangan, dan pemrosesan makna untuk memperpanjang ingatan. Penerapan Neurosains dalam kegiatan pembelajaran dapat dilakukan dengan penggunaan peta konsep (mind map). Pembelajaran Neurosains memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya salah satunya ialah  memberikan suatu pemikiran baru tentang bagaimana otak manusia bekerja. Salah satu kelemahannya adalah memerlukan waktu yang panjang untuk memahaminya dan pembelajaran ini masih tergolong baru.

 

3.2  Saran

Pada makalah ini kita telah diberikan pemahaman mengenai model pembelajaran neurosains dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Sangat besar harapan penyusun agar nantinya makalah ini dapat membantu pembaca untuk lebih memahami baik konsep maupun penerapan model neurosains dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Selain itu, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca agar pada penulisan makalah selanjutnya  hal itu dapat diperbaiki. Tak luput penyusun menitipkan masukan agar memperkaya pengajian dan penelitian model pembelajaran neurosains dalam pembelajaran Bahasa Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Dadana, Jendy Cliff, Taufik F. Pasiak, Sunny Wangko. (2013). Hubungan Kinerja Otak Dengan Spiritualitas Manusia Diukur Dengan Menggunakan Indonesia Spiritual Health Assessment Pada Pemimpin Agama Di Kota Tomohon. Jurnal e-Biomedik (eBM), Volume 1, Nomor 2, Juli 2013, hlm. 830-835.

Harsiati, Titik dkk. (2017). Buku Guru Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Perbukuan Kemdikbud.

Husamah. Pantiwati, Yuni. Restian, Arina. Sumarsono, Puji. 2018. Belajar dan Pembelajaran. Malang: UMM Press.

Kushartanti, BM Wara. (2018). Perkembangan Aplikasi Neurosains Dalam Pembelajaran Di TK. 11 Febuari 2018. www.staffnew.uny.ac.id.

Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Belajar Cerdas Belajar Berbasiskan Otak. Bandung: MLC

Resti, Vica Dian Aprelia. (2013). Kajian Neurosains Dalam Perkembangan Pembelajaran Biologi Abad 21. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi FKIP UNS 10 (2), 2013.

Wade, Carole dan Tavris, Carol. 2008. Psikologi. Jakarta: Erlangga

Wathon, Aminul. (2016). Neurosains Dalam Pendidikan. Jurnal Lentera: Kajian Keagamaan, Keilmuan Dan Teknologi, Volume 14, Nomor 1, Maret 2016.

 

Wijaya, Hengki. (2018). Pendidikan Neurosains Dan Implikasinya Dalam Pendidikan Masa Kini. https://researchgate.net/publiction/323114055

Winarno, E. M. 1994. Belajar Motorik. Malang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan IKIP Malang.

Referensi:

https://guru.kemdikbud.go.id/kurikulum/referensi-penerapan/capaian-pembelajaran/sd-sma/bahasa-indonesia/fase-d/ (diakses 18 Oktober 2022)

 

https://ejournal.undaris.ac.id/index.php/inspirasi/article/view/51/32 (diakses 18 Oktober 2022)

PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN

15 October 2022 01:20:34 Dibaca : 28413

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami perkembangan yang pesat, menuntut akselerasi pemanfaatan teknologi untuk mengemas pembelajaran yang berkualitas demi ketercapaian tujuan pendidikan. Penggunaan media pembelajaran harus disesuaikan dengan penyajian  materi pembelajaran yang dipersiapkan pendidik. Seorang pendidik tidak lagi semata-mata hanya mengandalkan buku teks ajar atau dirinya sendiri dalam proses transformasi pembelajaran. Di tengah nuansa semangat pendidikan abad 21 ini, pendidik dituntut harus memanfaatkan dan mengembangkan media pembelajaran yang proporsional.

Penulis sendiri sebagai seorang pendidik telah melakukan upaya pemanfaatan dan pengembangan media pembelajaran. Seperti saat masa pandemi Covid-19, prioritas pembelajaran daring mengharuskan penulis memanfaatkan dan mengembangkan media pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran. Media pembelajaran yang penulis gunakan yaitu media pembelajaran berbasis digital diantaranya Whatsapp, Google Meet, Google Classroom,Prezi, Quizizz, dan Canva.

Pada masa pembelajaran saat ini, penulis banyak memanfaatkan aplikasi Canva untuk mendesain penyajian presentasi bahan ajar. Penulis juga memanfaatkan Macromedia untuk perancangan asesmen belajar dan Filmora untuk pembuatan video materi pembelajaran terkait. Selain berbagai pengembangan media berbasis digital yang penulis sebutkan di atas, penulis juga melakukan pengembangan media berbasis lingkungan. Sekolah tempat penulis mengajar yang berada di kawasan pantai, memberikan banyak kesempatan bagi penulis untuk merancang pembelajaran di luar kelas. Pembelajaran di luar kelas yang dimaksud adalah pembelajaran yang memanfaatkan media pantai sebagai tempat belajar. Pernah pula penulis memanfaatkan limbah sampah plastik makanan ringan yang berada di lingkungan sekolah, digunakan sebagai alat dan media pembelajaran sesuai materi teks pembelajaran terkait. Dengan begitu penulis melaksanakan pembelajaran sekaligus melakukan gerakan kebersihan.

Penulis menyadari dalam melakukan pengembangan media pembelajaran mesti memperhatikan berbagai aspek dan pertimbangan. Termasuk pemahaman terkait upaya pengembangan media pembelajaran. Oleh karena itu, makalah ini berupaya menguraikan secara kajian pustaka terkait pengembangan media pembelajaran.

 

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:

Bagaimanakah hakikat pengembangan  media pembelajaran?Bagaimanakah prinsip pengembangan media pembelajaran?Bagaimanakah prosedur pengembangan media pembelajaran?Bagaimanakah jenis-jenis pengembangan media pembelajaran? 

 

1.3  Tujuan Penulisan

Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:

Untuk memahami hakikat pengembangan  media pembelajaranUntuk memahami prinsip pengembangan media pembelajaranUntuk mengetahui prosedur media pembelajaranUntuk memahami jenis-jenis pengembangan media pembelajaran 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN

2.1.1  Hakikat Pengembangan Media Pembelajaran

Keterbatasan media pembelajaran yang melatarbelakangi upaya pengembangan media pembelajaran. Kebanyakan sekolah belum mampu menghadirkan beragam media pembelajaran alternatif, ditambah guru yang hanya mengandalkan media pembelajaran berbasis teks dari media cetak seperti buku, modul, poster dan surat kabar. Mengabaikan pemanfaatan media pembelajaran berbasis audio visual, media elektronik, multimedia dan lainnya.

Maka guru sebagai pendidik mesti menganggap penting asa kebermanfaatan media pembelajaran yang memberikan jalan kreativitas dan inovasi bagi guru dalam mengemas dan mengembangkan media pembelajaran yang bermuara pada terciptanya proses pembelajaran yang berkualitas.Pengembangan media pembelajaran dirancang untuk memberikan situasi pembelajaran yang bermakna bagi siswa dan menciptakan interaksi interpersonal antara guru dan siswa.

Pengembangan media pembelajaran dilaksanakan secara sistematik berdasarkan kebutuhan dan karakteristik siswa, serta di arahkan kepada perubahan tingkah laku sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Dari sini kemudian berkembang suatu konsep pengembangan media pembelajaran yang dewasa ini mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Menurut (Gustafson, 1991) mengatakan bahwa pengembangan merupakan aktivitas yang terdiri dari lima kategori yaitu (1) menganalisis kebutuhan pembelajaran dan kondisi yang terjadi, (2) mendesain seperangkat spesifikasi lingkungan belajar yang efektif dan efisien, (3) mengembangkan aspek-aspek yang sesuai dengan peserta didik dan pengelolaan materi, (4) implementasi materi yang dikembangkan, (5) mengevaluasi formatif dan sumatif terhadap hasil pengembangan. Dari penjelasan tersebut dipahami bahwa pengembangan sebagai konsep pelaksanaan aktivitas yang dilakukan secara sistematis sehingga mencapai hasil yang maksimal. Asumsi tersebut sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh (Bahri, 2017) yang mengatakan bahwa pengembangan merupakan aktivitas atau proses mendesain pembelajaran secara sistematis dan logis dengan memperhatikan potensi dan kemampuan peserta didik sehingga mencapai hasil yang maksimal. Asumsi tersebut menekankan pada kreativitas berlandaskan sisteamtika kerja dengan melihat kondisi peserta didik dalam belajar. Oleh karena itu, konsep pengembangan pembelajaran memberikan kontribusi pengembangan potensi dan kemampuan peserta didik.

Sedangkan menurut (Suyitno, 2014) mengatakan bahwa pengembangan sebagai aspek bahan ajar yang dikondisikan dengan pengetahuan baik secara teoritis maupun secara praktis. Konsep tersebut memberikan penekanan terhadap pengembangan strategi pembelajaran sehingga sesuai dengan perkembangan pengetahuan yang ada.

Pada makalah sebelumnya telah banyak disajikan pengertian tentang media pembelajaran. Menurut Hasan (2021:4) Media pembelajaran dapat dideskripsikan sebagai media yang memuat informasi atau pesan instruksional dan dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Media pembelajaran merupakan media yang menyampaikan pesan atau informasi yang memuat maksud atau tujuan pembelajaran. Media pembelajaran sangat penting untuk membantu peserta didik memperoleh konsep baru, keterampilan dan kompetensi.

Dari berbagai pendefenisian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pengembangan media pembelajaran adalah serangkaian proses atau kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan suatu media pembelajaran berdasarkan teori pengembangan yang telah ada. Media yang dimaksud adalah media pembelajaran sehingga teori pengembangan yang digunakan adalah teori pengembangan pembelajaran.

 

2.1.2 Prinsip Pengembangan Media Pembelajaran

Terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pengembangan media pembelajaran, yaitu:

a.    Prinsip Efektifitas dan Efisiensi

Efektivitas yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah keberhasilan pembelajaran yang dapat diukur berdasarkan tingkat ketercapaian tujuan yang dapat dilihat setelah pembelajaran telah selesai dilakukan. Sementara itu efisiensi merupakan pencapaian tujuan pembelajaran dengan sumber daya seminimal mungkin. Materi yang disampaikan melalui media ini akan lebih mudah dipahami oleh siswa (Arsyad, 2013:75-76).

b.    Prinsip Taraf Berpikir Siswa

Seperti yang kita ketahui bahwa sebenarnya media hanyalah berfungsi sebagai sebagai alat bantu di dalam kegiatan belajar mengajar. Dalam hal ini media hanya sebagai sarana yang bisa memberikan pengalaman visual pada siswa dalam upaya memotivasi dalam belajar, memperjelas materi yang disampaikan, mempermudah konsep yang masih abstrak atau kompleks menjadi suatu hal yang lebih sederhana, nyata (konkrit) dan juga nantinya dengan mudah dipahami oleh siswa (Baharun, 2015). Media pembelajaran yang dipilih oleh guru hendaknya berdasarkan prinsip taraf berfikir dari masing-masing siswa secara menyeluruh. Media pembelajaran yang sifatnya nyata lebih baik digunakan dalam pembelajaran dibandingkan dengan media yang sifatnya abstrak. Sama halnya dengan media pembelajaran kompleks yang dapat dilihat dari struktur atau tampilan, maka akan sangat sulit dipahami siswa dibandingkan dengan media pembelajaran sederhana yang mampu membuat siswa paham materi yang disampaikan.

c.    Prinsip Interaktivitas Media Pembelajaran

Media pembelajaran yang dikembangkan hendaknya mempertimbangkan kemungkinan besar terciptanya interaksi, komunikasi dan partisipasi siswa sebagai subjek pembelajar.

d.   Ketersediaan Media Pembelajaran

Guru hendaknya juga bisa melihat tersedia atau tidaknya media pembelajaran yang nantinya akan digunakan. Tujuan pembelajaran tidak akan tercapai manakala media pembelajaran yang akan dipakai tidak tersedia di sekolah. Dengan demikian guru juga bisa meminjam atau juga membuat sendiri media pembelajaran yang dimaksud. Apabila kegiatan pembelajaran dilaksanakan secara berkelompok, maka media pembelajaran yang tersedia pun juga harus tercukupi.

e.    Kemampuan Guru menggunakan Media Pembelajaran

Penggunaan media pembelajaran diharapkan bisa merangsang siswa untuk belajar. Adapun media pembelajaaran tersebut juga bisa menjadi suatu stimulus guna meningkatkan kemauan siswa, sehingga mereka bisa mengikuti kegiatan belajar mengajar sebaik mungkin (Baharun, 2015). Media yang dipilih hendaknya disesuaikan dengan kemampuan dari guru yang bersangkutan, baik dari segi pengayaan ataupun pengoperasian medianya.

f.     Alokasi Waktu

Guru seringkali dikejar dengan waktu untuk bisa menyelesaikan kegiatan pembelajaran sesuai dengan tuntuntan kurikulum yang berlaku. Oleh sebab itu, pemakaian media pembelajaran yang sebenarnya sangat efektif guna mencapai tujuan pembelajaran dan juga kelebihan lain kadang kala dengan sangat terpaksa dikesampingkan oleh guru apabila alokasi waktu tidak sesuai. Bagi seorang guru seringkali ketersediaan waktu tersebut dapat mereka siasati dengan berbagai cara berdasarkan pengalaman mereka.

g.    Fleksibiltas Media Pembelajaran

Suatu media pembelajaran dapat dikatakan fleksibel manakala media tersebut bisa dipakai diberbagai situasi. Pada saat tertentu proses pembelajaran yang berlangsung terjadi perubahan situasi dan berdampak pada media pembelajaran tidak bisa digunakan. Oleh karena itulah perlunya media pembelajaran yang fleksibel di segala situasi kondisi.

h.    Keamanan Penggunaan

Penggunaan media pembelajaran juga harus memperhatikan  prinsip keamanan dari si pengguna. Apabila tidak hati-hati dalam penggunaan media tersebut, maka bisa menyebabkan kecelakaan tertentu contohnya siswa menjadi terluka. Dengan demikian media pembelajaran yang dipakai haruslah media yang aman, sehingga tidak terjadi hal yang tidak diinginkan selama kegiatan belajar-mengajar berlangsung.

 

2.1.3 Prosedur Pengembangan Media Pembelajaran

Pengembangan media pembelajaran memiliki tahapan prosedur yang mesti dilakukan oleh guru. Adapun prosedur pengembangan yang dimaksud dipaparkan dalam uraian berikut.

1.    Perencanaan Media Pembelajaran

Sadiman, dkk. (2006:100) menyebutkan hal-hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam merencanakan pengembangan media pembelajaran yaitu menganalisis kebutuhan dan karakteristik siswa; merumuskan kompetensi dan indikator hasil belajar; merumuskan butir-butir materi secara terperinci yang mendukung tercapainya kompetensi; mengembangkan alat pengukur keberhasilan; menulis naskah media; dan mengadakan tes dan revisi.

2.    Produksi Media Pembelajaran

Produksi media pembelajaran menempatkan naskah sebagai kebutuhan utama yang mesti dihadirkan. Naskah adalah rancangan produksi. Dengan naskah itu kita dipandu dalam mengambil gambar, merekam suara, memadukan gambar dan suara, memasukkan musik dan lainnya, serta menyunting gambar dan suara itu supaya penyajiannya sesuai dengan naskah, menarik dan mudah diterima oleh sasaran. Semua kegiatan  itu disebut kegiatan produksi (Sadiman, dkk., 2006: 165).

Kegiatan produksi ini memiliki tiga kelompok personil yang terlibat, yaitu sutradara atau pemimpin produksi, kerabat kerja, dan pemain. Ketiga kelompok personil itu mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berbeda namun semuanya menuju satu tujuan yaitu menghasilkan program media yang mempunyai mutu teknis yang baik. Program produksi memiliki tingkat kerumitan yang berbeda antara media yang satu dengan media yang lainnya. Produksi audio dapat dilakukan oleh seorang sutradara dengan dibantu dua orang teknisi dan beberapa orang pemain. Dalam produksi fi lm bingkai jumlah kerabat kerja yang diperlukan sudah lebih banyak, kecuali kerabat kerja untuk merekam audionya sutradara perlu dibantu pula oleh juru kamera, dan grafi k artis. Pada produksi TV/Video dan fi lm jumlah kerabat kerja tersebut sudah menjadi lebih kompleks. Selain itu, juru audio dan grafi k artis diperlukan juga juru kamera lebih dari seorang, juru lampu, juru rias, pengatur setting, juru perlengkapan dan juru catat. Karena kompleksnya pekerjaan, sutradara perlu dibantu oleh pembantu sutradara.

3.    Evaluasi Media Pembelajaran

Menurut Stufflebeam yang dikutip oleh Widoyoko (2009: 3), evaluasi pada dasarnya merupakan suatu proses menyediakan informasi yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk menentukan harga dan jasa (the word and merit) dari tujuan yang ingin dicapai, desain, implementasi, dampak untuk membantu membuat keputusan, membantu pertanggungjawaban dan meningkatkan pemahaman terhadap fenomena. Menurut pengertian ini dapat dipahami bahwa pada intinya evaluasi itu merupakan suatu proses yang sistematis dan berkesinambungan untuk mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan serta penyusunan dan penyempurnaan program/kegiatan selanjutnya. Ada dua macam bentuk evaluasi media yang dikenal, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif (Arief S. Sadiman, dkk., 2006:185). Evaluasi formatif adalah proses yang dimaksudkan untuk mengumpulkan data tentang efektivitas dan efisiensi media pembelajaran. Tujuannya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Data-data tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan media yang bersangkutan agar lebih efektif dan efisien. Evaluasi sumatif adalah kegiatan untuk mengumpulkan data dalam rangka untuk menentukan apakah media yang dibuat patut digunakan dalam situasi-situasi tertentu. Di samping itu, tujuan evaluasi sumatif adalah untuk menentukan apakah media tersebut benar-benar efektif seperti yang dilaporkan.

 

2.1.4 Jenis-jenis Pengembangan Media Pembelajaran

Beragam jenis pengembangan media pembelajaran yang dapat menjadi opsi bagi pendidik untuk mengembangkan media pembelajaran disesuaikan karakteristik dan kebutuhan pembelajaran. Berikut diuraikan jenis-jenis pengembangan media pembelajaran:

1.    Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Audio Visual

Media audiovisual adalah media yang penyampaian pesannya dapat diterima oleh indra pendengaran dan indra penglihatan, akan tetapi gambar yang dihasilkannya adalah gambar diam atau sedikit memiliki unsur gerak. Menurut Arsyad(2011:9) media visual yang menggabungkan penggunaan suara memerlukan pekerjaan tambahan untuk memproduksinya. Salah satu pekerjaan penting yang diperlukan dalam media audio visual adalah penulisan naskah dan storyboard yang memerlukan persiapan yang banyak, rancangan dan penelitian. Beberapa kelebihan media audio visual dapat memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis (dalam bentuk kata-kata, tertulis atau lisan belaka), mengatasi perbatasan ruang, waktu dan daya indra, media audio visual bisa berperan dalam pembelajaran tutorial. Peran guru dalam inovasi dan pengembangan media pengajaran sangat diperlukan mengingat guru dapat dikatakan sebagai pemain yang sangat berperan dalam proses belajar mengajar di kelas, yang hendaknya dapat mengolah kemampuannya untuk membuat media pengajaran lebih efektif dan efisien. Hal ini disebabkan perkembangan jaman yang terus terjadi tanpa henti dengan kurun waktu tertentu.

Jenis media audio visual yang dapat dikembangkan yaitu media audio visual gerak dan media audio visual diam. Media audio visual gerak adalah media intruksional modern yang sesuai dengan perkembangan zaman (kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi) karena meliputi penglihatan, pendengaran dan gerakan, serta menampilkan unsur gambar yang bergerak. Jenis media yang termasuk dalam kelompok ini adalah televisi, video tape, dan film bergerak. Media audio visual diam yaitu media yang menampilkan suara dan gambar diam, seperti film bingkai suara (sound slides) dan film rangkai suara.

Dalam pengaplikasian media audio visual ada hal-hal yang harus dipersiapkan misalnya; guru harus tau cara pengoprasian media tersebut, guru harus terlebih dahulu tahu konten alat bantu yang akan digunakan, dan yang pasti harus sesuai dengan indikator pencapaian yang akan dicapai. Dari beberapa penjelasan mengenai media pembelajaran berbasis audio visual di atas, maka dapat diambil benang merah bahwa karakteristik media audio visual: bersifat linier; menyajikan visual yang dinamis; digunakan dengan cara yang telah ditetapkan sebelumnya oleh perancang/pembuatnya; merupakan representasi fisik dari gagasan real atau gagasan abstrak; dikembangkan menurut prinsip psikologis behaviorisme dan kognitif; serta berorientasi kepada guru dengan tingkat pelibatan interaktif murid yang rendah.

2.    Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Grafis (Visual)

Media grafis adalah media visual yang menyajikan fakta, ide atau gagasan melalui penyajian kata-kata, kalimat, angka-angka, dan simbol/gambar. Grafis biasanya digunakan untuk menarik perhatian, memperjelas sajian ide, dan mengilustrasikan fakta-fakta sehingga menarik dan diingat orang. Media grafis merupakan media pembelajaran yang sangat penting karena dengan menggunakan media grafis siswa dapat menghubungkan hal[1]hal yang saling berkaitan misalnya adanya perubahan dalam pergaulan sehari-hari, kebudayaan-kebudayaan daerah yang telah unjuk gigi di dunia internasional, mudahnya akses informasi dan lain-lain. Manfaat media grafis dalam proses pembelajaran adalah membantu dalam penyampaian dan penjelasan mengenai informasi, pesan, ide dan sebagainya dengan tanpa banyak menggunakan bahasa-bahasa verbal, tetapi dapat lebih memberi kesan. Indriana (2011: 64) menjelaskan bahwa media grafis merupakan media visual yang menyajikan fakta, ide, dan gagasan melalui kata-kata, kalimat, angka-angka, dan berbagai simbol atau gambar.

Karakteristik media grafis dapat dilihat menurut kemampuan membangkitkan rangsangan indera penglihatan, pendengaran, perabaan, pengecapan, maupun penciuman atau kesesuaiannya dengan tingkatan hierarki belajar. Jenis-jenis media grafis yang dapat dikembangkan adalah diagram, poster, kartun, foto, sketsa, bagan, dan komik.

Secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut, bahwa media grafis mempunyai kebaikan yang dapat mengatasi kekurangan daya mampu panca indera manusia yaitu : 1) Media grafis dapat menarik perhatian. 2) Media grafis dapat menjelaskan sajian ide. 3) Media grafis dapat mengilustrasikan atau menghiasi fakta. 4) Media grafis murah harganya dan mudah didapat serta digunakan, tanpa memerlukan peralatan khusus. 5) Siswa mendapatkan pengalaman secara langsung yang tidak mudah dilupakan atau diabaikan bila tidak digrafiskan. Namun media grafis juga mempunyai kelemahan yaitu : 1) Media grafis hanya menekankan persepsi indera mata sehingga kegiatan pembelajaran siswa kurang. 2) Benda-benda yang komplek tidak dapat diperagakan melalui media grafis karena media grafis belum dapat mewakili.

3.    Pengembangan Media Pembelajaran Interaktif Berbasis Multimedia

Anitah (2010) berpendapat bahwa multimedia diartikan sebagai penggunaan berbagai jenis media secara berurutan maupun simultan untuk menyajikan suatu informasi. Multimedia saat ini bersinonim dengan format computer based yang mengkombinasikan teks, grafis, audio, bahkan video ke dalam satu penyajian digital tunggal dan koheren. Di sisi lain, tujuan penggunaan multimedia dalam pembelajaran adalah melibatkan siswa dalam pengalaman multisensoris untuk meningkatkan hasil belajar. Lebih lanjut diutarakan tentang konsep multimedia dengan lebih konkret dengan menyebutkan kompenen-komponen yang ada dalam multimedia.

Multimedia merupakan perpaduan antara berbagai media (format file) yang berupa teks, gambar (vector atau bitmap), grafik, suara, animasi, video, interaksi, dan lain-lain yang telah dikemas dalam file digital (komputerisasi), digunakan untuk menyampaikan pesan kepada publik (Niken dan Ariyani, 2010). Berdasarkan pendapat tersebut maka yang disebut multimedia tidak lagi hanya sebatas pada penggabungan beberapa media saja, tetapi yang dimaksud multimedia di sini lebih mengarah pada penggabungan berbagai unsur, seperti teks, gambar, dan yang lain yang sudah diolah dengan program tertentu dengan bantuan komputer.

Multimedia pembelajaran dapat diartikan sebagai aplikasi multimedia yang digunakan dalam proses pembelajaran, dengan kata lain untuk menyalurkan pesan (pengetahuan, keterampilan dan sikap) serta dapat merangsang piliran, perasaan, perhatian dan kemauan yang belajar sehingga secara sengaja proses belajar terjadi, bertujuan dan terkendali. Multimedia pembelajaran harus dibuat semenarik mungkin agar dalam penggunaannya tidak hanya dapat menyalurkan pesan dan pengetahuan, tetapi juga dapat membuat siswa tertarik dan termotivasi untuk belajar. Dengan demikian, apabila multimedia pembelajaran dipilih, dikembangkan, dan digunakan secara tepat pembelajaran akan lebih menarik dan kualitas belajar siswa pun dapat ditingkatkan. Jenis-jenis mutimedia yang dapat dikembangkan menurut Smaldino dalam Anita(2010) yaitu:

a)      Multimedia kits

Multimedia kits merupakan kumpulan bahan-bahan yag berisi lebih dari satu jenis media yang diorganisasikan untuk satu topik. Jenis ini termasuk CD-ROM, slides, audiotape, videotape, gambar diam, model, media cetak, OHT, lembar kerja, gambar, grafis, dan objek.

b)      Hypermedia

Hypermedia merupakan media yang memiliki komposisi materi-materi yang tidak berurutan. Hypermedia mengacu pada software komputer yang menggunakan unsur-unsur teks, grafis, video, dan audio yang dihubungkan dengan cara yang dapat mempermudah pemakai untuk beralih ke suatu informasi. Hypermedia didasarkan pada teori kognitif tentang bagaimana seseorang menstruktur pengetahuannya dan bagaimana ia belajar

c)       Media interkatif

Media interaktif adalah media yang meminta pebelajar mempraktikan suatu keterampilan dan menerima balikan. Media interaktif berbasis komputer menciptakan lingkungan belajar multimedia dengan ciri-ciri baik video maupun pembelajaran berbasis komputer. Ini merupakan suatu sistem penyajian pelajaran dengan visual , suara, dan materi video, disajikan dengan kontrol komputer, sehingga pebelajar tidak hanya dapat mendengar dan melihat gambar dan suara, tetapi juga memberi respon aktif.

d)      Virtual reality

Media ini melibatkan pengalaman multisensoris dan berinteraksi dengan fenomena sebagaimana yang ada di dunia nyata. Virtual reality merupakan suatu aplikasi teknologi komputer yang relatif baru. Virtual Reality adalah teknologi yang digunakan oleh pengguna untuk berinteraksi dengan lingkungan simulasi komputer baik berdasarkan objek nyata maupun animasi. Lingkungan realitas maya terkini umumnya menyajikan pengalaman visual, yang ditampilkan pada sebuah layar komputer atau melalui sebuah penampil stereokopik, tapi beberapa simulasi mengikutsertakan tambahan informasi hasil penginderaan, seperti suara melalui speaker atau headphone. Virtual reality disingkat dengan VR yang dapat menciptakan sebuah simulasi dunia tiga dimensi.

e)      Expert system

Expert system merupakan paket software yang mengajarkan pada pebelajar bagaimana memecahkan masalah yang kompleks dengan menerapkan kebijakan para ahli secara kolektif di lapangan. Setelah komputer menjadi kenyataan, para ahli tergugah oleh apa yang dilihat sebagi paralel bagaimana otak manusia bekerja dan bagaimana komputer dapat belajar sebaik mengulang dan menyusun informasi. Eksperimen para ahli tersebut membawa ke permainan komputer, sampai akhirnya pada apa yang disebut expert system

 

4.    Pengembangan Media Pembelajaran Interaktif Bahasa dengan Piranti Lunak Presentasi

Piranti lunak pengembangan materi pembelajaran yang ada saat ini seperti Course Builder, Visual Basic, atau Dream Weaver cukup rumit sehingga hanya dikuasai oleh para pemrogram komputer sedangkan pengelola bahasa asing pada umumnya hanya menguasai pembelajaran bahasa. Jadi pengembangan materi pembelajaran interaktif dengan komputer kurang optimal. Pembuatan media pembelajaran bahasa asing interaktif akan menggunakan piranti lunak presentasi Microsoft Powerpoint, sebuah piranti lunak yang memberikan banyak sekali manfaat bagi pembelajaran bahasa.

Meskipun piranti lunak ini mudah dan sederhana namun dapat memberikan manfaat yang besar bagi pembelajaran bahasa. Piranti lunak ini dapat menampilkan teks, gambar, suara, dan video. Dengan demikian, piranti lunak ini bisa mengakomodasi semua kegiatan pembelajaran bahasa interaktif seperti mendengarkan, membaca, menulis dan juga bermain language games. Tampilan yang dihasilkan dari piranti lunak ini bisa semenarik program yang dibangun dengan piranti lunak yang canggih

5.    Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Animasi Interaktif 2D

Animasi adalah rangkaian gambar yang disusun berurutan atau dikenal dengan istilah frame. Satu frame terdiri dari satu gambar jika susunan gambar tersebut ditampilkan bergantian dengan waktu tertentu maka akan terlihat bergerak. Satuan yang dipakai adalah frame per second (FPS). Misalkan animasi diset 25 frame per second berarti animasi tersebut terdiri dari 25 gambar dalam satu detik. Menurut definisi yang dikemukakan oleh Seels and Glasgow dalam Purnasiwi (2013) animasi interaktif adalah proses penyampaian yang disajikan dalam bentuk video, atau gambar yang dapat bergerak dengan pengendalian yang dilakukan oleh komputer kepada penonton dengan tidak hanya menonton namun juga ada audio yang dapat didengar, sekaligus efek grafik yang timbul untuk menarik respon yang aktif. Secara kompleks, animasi interaktif dapat ditarik kesimpulan dengan alat perantara yang diciptakan dengan mudah melalui komputer mengggunakan unsur audio, gambar, teks untuk menyampaikan pesan secara menarik. Selain animasi 2D interaktif, dapat pula dikembangan media pembelajaran edukasi permainan dalam bentuk quiz game, simulator game, puzzle game, role playing game dan adventure game.

6.    Pengembangan Media Pembelajaran berbasis Animasi 3D

Animasi 3D adalah pengembangan dari animasi 2D. Dengan animasi 3D, karakter yang diperlihatkan semakin hidup dan nyata, mendekati wujud aslinya. Disebut tiga dimensi karena jenis ini memiliki sifat kedalaman/ruang pada objeknya. Secara sepintas kita akan mudah mengenali film animasi dengan jenis tiga dimensi ini. Karena bentuknya yang halus, pencahayaannya yang lebih nyata dan kesan ruang yang lebih terasa. Semua itu bisa dilakukan karena dibantu dengan teknologi komputer saat ini yang sudah sangat canggih. Objek dibuat secara digital dengan menggunakan software 3D khusus.

Animasi Tiga dimensi (3D) adalah teknik pembuatan animasi pada sebuah bidang yang menggunakan tiga sumbu X, Y, dan Z sebagai sumbu kedalaman. Objek yang dihasilkan bisa diputar berdasarkan ke tiga sumbunya. Umumnya animasi 3D dikerjakan di dalam komputer yakni sudah berupa file digital. Background dalam 3D dapat dibuat dengan modeling bagunan, hutan, gunung, dan lainnya. Sebagai langkah terakhir agar hasil animasinya lebih sempurna ditambahkan efek gambar lainnya seperti debu, angin, hujan, petir, dan air. Metodologi yang paling umum dipakai pada proses produksi multimedia adalah yang biasa disebut dengan alur produksi tiga tahap. Dalam pembuatan animasi 3D ada beberapa tahap yang harus dilakukan yaitu:

a. Pra Produksi, dalam tahap pra produksi ini ada beberapa hal yang harus kita lakukan terlebuh dahulu seperti menyiapkan ide, konsep, sketsa model/karakter, storyboard, pengambilan suara ataubacksound.

 b. Produksi, dalam proses produksi animasi 3D ada beberapa tahap yang perlu dilakukan yaitu modeling, teksturing, lighting, environment effect, pergerakan animasi, rendering.

c. Pasca Produksi, dalam tahap pasca produksi animasi 3D hal yang harus dilakukan yaitu mengedit animasi dan suara, menambah audio, menambah efek visual, dan pratinjau akhir.

Adapun aplikasi pendukung yang digunakan adalah Skecth up, Adobe premiere pro, dan lumion. Dalam perancangan animasi 3D sangat membutuhkan konsep yang baik agar animasi 3D yang dihasilkan lebih maksimal, terutama pada pembuatan animasi dibutuhkan kemampuan modeling dan arahan kamera yang sangat baik agar menghasilkan objek yang realistis atau nyata. Untuk merancang animasi 3D yang digunakan sebagai media pembelajaran, diperlukan riset tentang pembelajaran yang akan diajarkan dan bagaimana mengaplikasikannya ke dalam hasil jadi yaitu berupa animasi 3D  sehingga memperkaya model pembelajaran.

7.    Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Film Dokumenter

Film Dokumenter adalah Film yang menyajikan cerita nyata, dilakukan pada lokasi yang sesungguhnya. Juga sebuah gaya dalam memfilmkan dengan efek realitas yang diciptakan dengan cara penggunaan kamera, sound, dan lokasi(Muslimin, 2017:174). Film dokumenter memiliki karakter tersendiri di mana audiensi menyaksikannya antara serius dan rileks. Sehingga produser dokumenter dapat melakukan beberapa alternative gaya seperti: humoris, puitis, satire (sindiran), anekdot, serius, dan semi serius. Hal tersebut disesuaikan dengan peristiwa serta genre dokumenter yang akan dikembangkan. Melalui sebuah media film dokumenter maka dapat disampaikan gagasan kepada audiens dengan cara kreatif. Sebuah fakta disampaikan melalui cerita yang menarik dengan sudut pandang yang berbeda, dapat menjadi cerminan penonton tentang berbagai hal-hal kecil yang ada di sekitar namun memiliki sebuah makna yang besar.Dalam proses pembuatannya menggunakan tiga tahapan yaitu proses pra produksi, produksi dan pasca produksi.

8.    Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Motion Comic

Motion comic adalah perpaduan antara komik cetak dengan animasi dengan memberikan efek suara dan panel bergerak dari karya asli. Motion comic dipilih sebagai media karena melihat dari psikologi anak pada umumnya yang memiliki ketertarikan lebih pada gambar dan cerita, sehingga nantinya dalam penyampaian pesan tidak bersifat menggurui sekaligus memberikan gambaran yang mudah dicerna oleh anak. Motion comic berkembang tidak hanya sebagai komik yang berdiri sendiri melainkan bisa dipakai juga sebagai media pendukung, seperti bumper event, opening film, info grafis, dan ilustrasi dalam sebuah film dokumenter. Media Motion Comic sendiri merupakan percampuran dari animasi, dalam kasus ini teknis motion graphic dengan komik. Komik menyediakan cerita serta karakter dan aset visual, sedangkan motion graphic memberikan dampak baru bagi para pembacanya.

Sedangkan untuk variabel balon kata, yang dalam beberapa kasus digantikan oleh suara manusia seperti animasi, masih diperdebatkan dalam arti baik atau tidaknya, Ada pendapat yang menyatakan bahwa Motion Comic haruslah menggunakan balon kata, namun dalam beberapa kasus komik konvensional pun tidak menggunakan balon kata seperti yang diperdebatkan. Sehingga khusus untuk penyampaian dialog masih belum bisa dipastikan untuk menggunakan suara atau pun balon kata. Hal yang ditekankan disini adalah unsur gerakan yang ditambahkan di dalam komik merespon dengan kemajuan teknis pengerjaan komik konvensional yang menyediakan gambar-gambar yang diurutkan dalam panel, Motion Comic menggerakkan gambar di dalam panel tersebut sehingga satu panel dapat merangkum beberapa sekuens cerita.(Pradinta:2014.)

Selain berbagai macam jenis penembangan media yang dikemukakan di atas, menurut hemat penulis saat ini guru dimudahkan dengan berbagai macam aplikasi yang ddapat digunakan sebagai media pembelajaran. Aplikasi tersebut tentunya dirancang untuk menuntun pembelajaran dalam berbagai situasi, kondisi, ruang dan waktu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Kesimpulan

Pengembangan media pembelajaran adalah serangkaian proses atau kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan suatu media pembelajaran berdasarkan teori pengembangan yang telah ada. Media yang dimaksud adalah media pembelajaran sehingga teori pengembangan yang digunakan adalah teori pengembangan pembelajaran. Terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pengembangan media pembelajaran, yaitu:a) prinsip efektifitas dan efisiensi, b) prinsip taraf berpikir siswa, c) prinsip interaktivitas media pembelajaran, d) ketersediaan media pembelajaran, e) kemampuan guru menggunakan media pembelajaran, f) alokasi waktu, g) fleksibiltas media pembelajaran, h) keamanan penggunaan.

Pengembangan media pembelajaran memiliki tahapan prosedur yang mesti dilakukan oleh guru. Adapun prosedur pengembangan yang dimaksud adalah perencanaan media pembelajaran, produksi media pembelajaran, dan evaluasi media pembelajaran. Beragam jenis pengembangan media pembelajaran yang dapat menjadi opsi bagi pendidik untuk mengembangkan media pembelajaran disesuaikan karakteristik dan kebutuhan pembelajaran yaitu: audio visual, grafis(visual), multimedia interaktif, interaktif bahasa dengan piranti lunak, animasi 2D/3D, film dokumenter, dan motion comic.

 

3.2  Saran

Pada makalah ini kita telah diberikan pemahaman mengenai pengembangan media pembelajaran.. Sangat besar harapan penyusun agar nantinya makalah ini dapat membantu pembaca untuk lebih memahami baik konsep maupun penerapan pengembangan media pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dan kampus. Selain itu, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca agar pada penulisan makalah selanjutnya  hal itu dapat diperbaiki. Tak luput penyusun menitipkan masukan sebagai berikut:

3.2.1        Bagi linguis, dosen, peneliti

a.       Memperkaya multi penafsiran kajian pengembangan media pembelajaran Bahasa Indonesia.

b.      Memproduksi teori pengembangan media pembelajaran Bahasa Indonesia

c.       Mendokumentasikan penelitian bidang pengembangan media pembelajaran Bahasa Indonesia

3.2.2        Bagi guru dan mahasiswa bahasa

a.       Mendalami kajian pengembangan media pembelajaran Bahasa Indonesia dengan sumber beragam dan terbaru

b.      Melakukan penelitian kajian pengembangan media pembelajaran Bahasa Indonesia

c.       Berkolaborasi dengan dosen dan peneliti dalam berkarya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Bahri, S. (2017). Pengembangan Kurikulum Dasar dan Tujuannya. Jurnal Ilmiah Islam Futura, 11(1), 15–34.

Gustafson, K. L. (1991). Survey of Instructional Development Models. ERIC Clearinghouse on Information & Technology

Suyitno, I. (2014).  Pengembangan Bahan Ajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) berdasarkan Hasil Analisis Kebutuhan Belajar. Wacana, Journal of the Humanities of Indonesia, 9(1)

Hasan, Muhammad dkk. (2021).  Media Pembelajaran.  Klaten: Penerbit Tahta Media Group.

Baharun, Hasan. (2015). Penerapan Pembelajaran Active Learning Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Di Madrasah. Jurnal Pendidikan Pedagogik 1, 34–46.

Arsyad, Azhar. (2013). Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers.

Sadiman, Arief S. (2006). Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Widoyoko, S. Eko Putro. (2009). Evaluasi Program Pembelajaran: Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Arsyad , Azhar. (2011).  Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Indriana, Dina. (2011).  Ragam Alat Bantu Pengajaran, Mengenal, Merancang dan Mempraktikannya . Yogyakarta: DIVA Press.

Niken dan Dany Haryanto Ariani, Pembelajaran Multimedia di Sekolah ( Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2010), h. 11.

Anitah, Sri. (2010).  Media Pembelajaran . Surakarta: Yuma Pustaka.

Purnasiwi, Rona Guines., dan Kurniawan, Mei P. (2013). Perancangan dan Pembuatan Animasi 2D “Kerusakan Lingkungan” Dengan Teknik Masking.  (Ilmiah DASI 14, 2013). h. 4:54 – 57.

Pradinta, Rangga. (2014).  Perancangan Motion Comic Thandara dan Arsip Gundala. Jurnal Tingkat Sarjana Bidang Seni Rupa dan Desain, ITB,http://jurnals1.fsrd.itb.ac.id/index.php/viscom/a rticle/view/431, (diakses tanggal 12 Oktober 2022).

Muslimin, Nurul. (2017). Bikin Film, Yuk!. Tutorial Asyik Bikin Film Kamu Sendiri. Yogyakarta: Araska.