BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan dampak yang signifikan terhadap proses belajar. Di dalam proses belajar itu sendiri membutuhkan sarana untuk ketercapaian kualitas pembelajaran. Berbagai sarana tersebut didefinisikan sebagai sumber belajar. Sumber belajar sangat erat kaitannya dengan media pembelajaran. Sumber belajar yang tak terbatas hanya lewat guru dan buku, akan tetapi beragam wujud bisa berupa tempat, teks, benda, dan makhluk hidup yang dimanifestasikan secara interaksi langsung maupun tak langung lewat audio, visual dan audiovisual. Sumber belajar sebagai komponen penting dalam aktivitas pembelajaran disajikan melalui efektivitas media pembelajaran.

Media pembelajaran yang merupakan bagian integral dari sumber belajar didayagunakan untuk menunjang proses pembelajaran. Sumber belajar dan media pembelajaran ini pemanfaatannya telah merambah di segala ruang lingkup diantara sekolah, kampus, dan perkantoran. Keterampilan dalam pengusaan memanfatkan berbagai sumber belajar dan media pembelajaran bersesuaian dengan hasil pembelajaran yang aktual dan faktual.

Berangkat dari latar belakang tersebut, maka makalah ini berusaha memaparkan secara mendetail mengenai sumber belajar dan media pembelajaran.

 

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:

Bagaimanakah hakikat sumber belajar?Bagaimanakah peranan sumber belajar?Bagaimanakah fungsi sumber belajar?Bagaimanakah tujuan sumber belajar?Bagaimanakah hakikat media pembelajaran?Bagaimanakah peranan media pembelajaran?Bagaimanakah fungsi media pembelajaran?Bagaimanakah tujuan media pembelajaran? 

1.3  Tujuan Penulisan

Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:

Untuk mengetahui hakikat sumber belajarUntuk memahami peranan sumber belajarUntuk mengetahui fungsi sumber belajarUntuk mengetahui tujuan sumber belajarUntuk mengetahui hakikat media pembelajaranUntuk memahami peranan media pembelajaranUntuk mengetahui fungsi media pembelajaranUntuk mengetahui tujuan media pembelajaran. 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 SUMBER BELAJAR

2.1.1 Hakikat Sumber Belajar

Ada beberapa pengertian learning resources atau sumber belajar yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan yaitu :

1.        Degeng dalam Andi Prastowo sebagai semua sumber yang mungkin dapat digunakan oleh peserta didik supaya terjadi perilaku belajar (Prastowo, 2015).

2.        Sumber belajar pada hakikatnya adalah segala sesuatu baik benda, data, fakta, ide, orang, dan lain sebagainya yang bisa menimbulkan proses belajar. Contohnya buku paket, modul, LKS (lembar kerja siswa), realia, model, market, bank, museum, kebun binatang, dan pasar (Prastowo, 2015).

3.        Sumber belajar adalah suatu sistem yang terdiri atas sekumpulan bahan atau situasi yang dikumpulkan secara sengaja dan dibuat agar memungkinkan peserta didik belajar secara individual (Syukur N.C, 2008).

4.        Sumber belajar adalah segala jenis media, benda, data, fakta, ide, orang, dan lain- lain yang dapat mempermudah terjadinya proses belajar bagi peserta didik (Yusuf, 2010).

5.        AECT (Association for Education and Communication Technology), sumber belajar adalah semua sumber yang meliputi data, orang dan barang yang digunakan oleh peserta didik baik secara sendiri-sendiri maupun dalam bentuk gabungan, biasanya dalam situasi informal, untuk memberikan kemudahan belajar. Sumber-sumber itu meliputi pesan, orang, bahan, alat, teknik dan latar. Pesan merupakan informasi yang ditransmisikan atau diteruskan oleh komponen lain dalam bentuk ide, ajaran, fakta, makna, nilai dan data. Orang yaitu manusia yang berperan sebagai pencari, penyimpan, pengelola dan penyaji pesan. Bahan yaitu sesuatu wujud tertentu yang mengandung pesan untuk disajikan dengan menggunakan alat atau bahan tanpa alat penunjang apapun. Bahan ini disebut sebagai media atau software atau perangkat lunak. Alat yaitu suatu perangkat yang digunakan untuk menyampaikan pesan yang tersimpan dalam bahan. Alat ini disebut hardware atau perangkat keras, seperti proyektor slide, proyektor film, OHP, dan lain-lain. Teknik diartikan sebagai prosedur yang sistematis atau acuan yang dipersiapkan untuk menggunakan bahan peralatan, orang dan lingkungan belajar secara terkombinasi dan terkoordinasi untuk menyampaikan pesan atau materi pembelajaran. Terakhir, latar atau lingkungan yaitu situasi di sekitar proses pembelajaran berlangsung. Latar dibedakan menjadi dua macam yaitu lingkungan fisik dan non fisik. Lingkungan fisik seperti gedung, sekolah, perpustakaan, laboratorium, rumah, studio, ruang rapat, museum, taman, dan sebagainya. Sedangkan lingkungan non fisik, seperti tatanan ruang belajar, sistem ventilasi, tingkat kegaduhan lingkungan belajar, cuaca dan sebagainya (AECT, 1994).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa sumber   belajar merupakan berbagai atau semua sumber baik yang berupa data, orang, metode, media, tempat berlangsungnya pembelajaran, yang digunakan oleh peserta didik  dalam belajar (baik secara terpisah maupun secara terkombinasi).

 

2.1.2 Peranan Sumber Belajar

Menurut Rohani (2010: 73) sumber belajar mempunyai peran yang sangat erat dengan pembelajaran yang dilakukan, adapun peranan tersebut dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:

1)         Peranan sumber belajar dalam pembelajaran Individual.

Dalam pembelajaran individual terdapat tiga pendekatan yang berbeda yaitu:

a)         Front line teaching method, dalam pendekatan ini guru berperan menunjukkan sumber belajar yang perlu dipelajari.

b)        Keller Plan, yaitu pendekatan yang menggunakan teknik personalized system of instruksional (PSI) yang ditunjang dengan berbagai sumber berbentuk audio visual yang didesain khusus untuk belajar individual.

c)         Metode proyek, peranan guru cenderung sebagai penasehat disbanding pendidik, sehingga peserta didiklah yang bertanggung jawab dalam memilih, merancang dan melaksanakan berbagai kegiatan belajar.

2)         Peranan sumber belajar dalam belajar klasikal

Pola komunikasi dalam belajar klasikal yang dipergunakan adalah komunikasi langsung antara guru dengan peserta didik. Hasil belajar sangat tergantung oleh kualitas guru, karena guru merupakan sumber belajar utama. Sumber lain seolah-olah tidak ada peranannya sama sekali, karena frekuensi belajar didominasi interaksinya dengan guru (Sardiman, 2005: 155-156).

3)         Peranan sumber belajar dalam belajar kelompok

Pola komunikasi dalam belajar kelompok, menyajikan dua pola komunikasi yang secara umum ditetapkan dalam belajar yaitu:

a)         Buzz sessions (diskusi singkat).

b)        Controllet discussion (diskusi di bawah kontrol guru.

c)         Tutorial (belajar dengan guru pembimbing.

d)        Team project (tim proyek).

e)         Simulasi (persentasi untuk menggambarkan keadaan yang sesungguhnya).

f)         Micro teaching, (proyek pembelajaran yang direkam dengan video).

g)        Self helf group (kelompok swamandiri).

 

2.1.3 Fungsi Sumber Belajar

Sumber belajar memiliki fungsi penting dalam proses belajar. Adapun fungsi dari sumber belajar diantaranya adalah:

1)  Meningkatkan produktivitas pembelajaran dengan jalan: a) mempercepat laju belajar dan membantu guru untuk menggunakan waktu secara lebih baik, b) Mengurangi beban guru dalam menyajikan informasi, sehingga dapat lebih banyak membina dan mengembangkan gairah.

2)  Memberikan kemungkinan pembelajaran yang sifatnya lebih individual, dengan cara: a) mengurangi kontrol guru yang kaku dan tradisional, b) memberikan kesempatan bagi siswa untuk berkembang sesuai dengan kemampuannnya.

3)  Memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pembelajaran dengan cara: a) perancangan program pembelajaran yang lebih sistematis, b) pengembangan bahan pengajaran yang dilandasi oleh penelitian.

4)  Lebih memantapkan pembelajaran, dengan jalan: a) meningkatkan kemampuan sumber belajar, b) penyajian informasi dan bahan secara lebih kongkrit.

5)  Memungkinkan belajar secara seketika, yaitu: a) mengurangi kesenjangan antara pembelajaran yang bersifat verbal dan abstrak dengan realitas yang sifatnya kongkrit, b) memberikan pengetahuan yang sifatnya langsung.

6)  Memungkinkan penyajian pembelajaran yang lebih luas, dengan menyajikan informasi yang mampu menembus batas geografis (Rohani, 2010: 80).

 

2.1.4 Tujuan Sumber Belajar

Tujuan sumber belajar adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan proses belajar mengajar melalui pengembangan sistem instruksional. Hal ini dilaksanakan dengan menyediakan berbagai macam pilihan untuk menunjang kegiatan kelas dan untuk mendorong penggunaan cara-cara yang baru yang paling sesuai untuk mencapai tujuan program pembelajaran.

 

2.2 MEDIA PEMBELAJARAN

2.2.1 Hakikat Media Pembelajaran

Menurut Association of Education and Communication Technology/ AECT (dalam Sadiman, 2009:6) secara etimologi, kata “media” merupakan bentuk jamak dari “medium”, yang berasal dan Bahasa Latin “medius” yang berarti ‘tengah’. Dalam Bahasa Indonesia, kata “medium” dapat diartikan sebagai ‘antara’ atau ‘sedang’ sehingga pengertian media dapat mengarah pada sesuatu yang mengantar atau meneruskan informasi (pesan) antara sumber (pemberi pesan) dan penerima pesan. Media dapat diartikan sebagai suatu bentuk dan saluran yang dapat digunakan dalam suatu proses penyajian informasi. Djamarah (2006: 120) menjelaskan bahwa media juga dapat disebut sebagai alat-alat bantu apa saja yang bisa dipakai sebagai penyampai pesan dari guru kepada siswa dengan tujuan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan.

Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa media adalah semua hal yang fungsinya bisa dijadikan sebagai perantara dalam melakukan komunikasi baik antara sumber dengan penerima pesan yang disampaikan.

Corey mengungkapkan pembelajaran merupakan suatu proses di mana lingkungan seseorang yang secara disengaja dikelola sedemikian rupa dengan tujuan supaya memungkinkan dirinya turut serta di dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi khusus atau dapat menghasilkan respons tertentu terhadap situasi tertentu pula (Sagala, 2011: 61). Nasution (2005: 12) mendefinisikan pembelajaran sebagai suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak didik sehingga terjadi proses belajar. Gulo (2004: 24) mendefinisikan pembelajaran sebagai usaha untuk menciptakan sistem lingkungan yang mengoptimalkan kegiatan belajar.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan semua kegiatan yang dilakukan oleh seorang guru dengan sengaja untuk membelajarkan siswa atau bisa juga sebagai pengaturan sejumlah informasi dan juga lingkungan untuk memfasilitasi siswa dalam belajar.

Media dapat disebut sebagai ‘media pembelajaran’ (instructional media) ketika memuat pesan dengan tujuan pembelajaran (Cahyadi, 2019:2). . Miarso (2004) berpendapat bahwa “media pembelajaran adalah segala sesuatu yang digunakan untuk menyalurkan pesan serta dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan pembelajar sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar”.

Dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah alat, sarana, perantara, dan penghubung untuk menyebar, membawa atau menyampaikan sesuatu pesan (message) dan gagasan, sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perbuatan, minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar mengajar terjadi pada diri siswa

 

2.2.2 Peranan Media Pembelajaran

Peranan media pembelajaran dalam proses belajar dan mengajar merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari dunia pendidikan. Media pembelajaran merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan pengirim kepada penerima, sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat peserta didik untuk belajar.

Tafonao (2018:108-109) memaparkan peranan media pembelajaran dalam proses belajar sebagai berikut:

1.        Pembelajar memiliki kemampuan untuk menangkap pembelajaran dengan baik. Dengan demikian penggunaan media dalam pengajaran di kelas merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat diabaikan. Karena media pembelajaran adalah sumber belajar, secara luas media dapat diartikan dengan manusia, benda atau pun peristiwa yang membuat kondisi siswa untuk lebih memungkinkan memperoleh pengetahuan keterampilan atau pun sikap

2.        Media membangkitkan keinginan dan minat pembelajar untuk belajar. Bukan hanya membangkitkan motivasi untuk belajar, namun membawa pengaruh positif bagi psikologis pembelajar. Sebab media pembelajaran dapat memperlancar interaksi antara dosen/guru dengan peserta didik.

3.        Media memiliki kemampuan untuk menampilkan kembali objek atau kejadian dengan berbagai macam cara disesuaikan dengan keperluan dan penuh makna.

 

 

2.2.3        Fungsi Media Pembelajaran

Media pembelajaran tidak sekadar menjadi alat bantu pembelajaran, melainkan juga merupakan suatu strategi dalam pembelajaran. Menurut Cahyadi (2019:19), sebagai strategi media pembelajaran memiliki banyak fungsi yaitu:

1.    Media sebagai sumber belajar

Belajar adalah proses aktif dan konstruktif melalui suatu pengalaman dalam memperoleh informasi. Dalam proses aktif tersebut, media pembelajaran berperan sebagai salah satu sumber belajar bagi pembelajar. Artinya, melalui media peserta didik memperoleh pesan dan informasi sehingga membentuk pengetahuan baru pada diri peserta didik. Dalam batas tertentu, media dapat menggantikan fungsi guru sebagai sumber informasi atau pengetahuan bagi peserta didik

2.    Fungsi semantik

Semantik berkaitan dengan “meaning” atau arti dari suatu kata, istilah, tanda atau simbol. Saat seseorang mempelajari suatu arti dari kata baru, seseorang akan membutuhkan media seperti kamus, glossary, aatau narasumber. Melalui media tersebut seseorang dapat menambah perbendaharaan kata dan istilah.

3.    Fungsi manipulatif

Fungsi manipulatif adalah kemampuan media dalam menampilkan kembali suatu benda atau peristiwa dengan berbagai cara, sesuai kondisi, situasi, tujuan dan sasarannya. Manipulasi ini seringkali dibutuhkan oleh para pendidik untuk menggambarkan suatu benda yang terlalu besar, terlalu kecil, atau terlalu berbahaya serta sulit diakses mungkin karena letak dan posisinya yang jauh atau prosesnya terlalu lama untuk observasi dalam waktu yang terbatas

4.    Fungsi fiksatif (daya tangkap atau rekam)

Fungsi fiksatif adalah fungsi yang berkaitan dengan kemampuan suatu media untuk menangkap, menyimpan, menampilkan kembali suatu objek atau kejadian yang sudah lama terjadi. Artinya, fungsi fiksatif ini terkait dengan kemampuan merekam (record) media pada suatu peristiwa atau objek dan menyimpannya dalam waktu yang tidak terbatas sehingga sewaktu-waktu dapat diputar kembali ketika diperlukan.

5.    Fungsi distributif

Fungsi distributif memiliki dua fungsi di dalamnya yaitu mengatasi batas-batas ruang dan waktu, juga mengatasi keterbatasan inderawi manusia.

6.    Fungsi psikologis

Dari segi psikologis, media pembelajaran memiliki beberapa fungsi seperti fungsi atensi, fungsi afektif, fungsi kognitif, fungsi imajinatif dan fungsi motivasi.

7.    Fungsi sosio-kultural

Penggunaan media dalam pembelajaran dapat mengatasi hambatan sosio-kultural antar peserta didik. Peserta didik dalam jumlah besar dengan adat, kebiasaan, lingkungan dan pengalaman yang berbeda-beda sangat mungkin memiliki persepsi dan pemahaman yang tidak sama tentang suatu topik pembelajaran. Disinilah fungsi media mampu memberikan rangsangan, memberikan pemahaman tentang perlunya menjaga keharmonisan dan saling menghargai perbedaan yang ada

Pendapat lain oleh Sudrajat (dalam Putri, 2011: 20) menyatakan bahwa ada beberapa fungsi dari media pembelajaran. Beberapa fungsi tersebut antara lain sebagai berikut. 1) Media pembelajaran bisa melampaui batasan dari suatu ruang kelas. 2) Media pembelajaran dapat memungkinkan adanya interaksi secara langsung antara siswa dengan lingkungan sekitar. 3) Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang diperoleh oleh siswa. 4) Media pembelajaran dapat mengahsilkan kesamaan pengamatan. 5) Media pembelajaran dapat menanamkan kepada siswa tentang konsep dasar dari materi dengan benar, nyata dan realistis. 6) Media pembelajaran dapat menumbuhkan motivasi dan rangsangan kepada siswa untuk mau belajar. 7) Media pembelajaran dapat memberikan suatu pengalaman yang integral kepada siswa baik dari yang kongkrit sampai pengalaman abstrak. Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran dapat menumbuhkan motivasi dan minat siswa untuk belajar dan dapat memudahkan siswa untuk memahami materi yang disampaikan oleh guru.

 

2.2.4        Tujuan Media Pembelajaran

Sumantri (1999:178) menyatakan bahwa tujuan media pembelajaran di antaranya sebagai berikut. Pertama, memberikan kemudahan kepada siswa untuk memahami konsep, prinsip, sikap, dan keterampilan tertentu. Melalui media pembelajaran, guru dapat mengkonkretkan dan memberikan contoh konsepk, prinsip, dan sikap yang abstrak serta menunjukkan langkah konkret dan contoh keterampilan yang akan dibentuk pada siswa. Kedua, memberikan pengalaman belajar yang berbeda dan bervariasi sehingga lebih merangsang minat siswa untuk belajar. Melalui media pembelajaran, guru tidak hanya menjelaskan pembelajaran secara verbal, tetapi dapat dilakukan atau disertai dengan gambar, video, teks, dan suara. Di samping itu, media juga dapat digunakan siswa dalam pembelajaran mandiri, baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Ketiga, menumbuhkan sikap dan keterampilan tertentu dalam teknologi. Media dapat menyajikan bentuk konkret atau contoh dari sikap[1]sikap atau keterampilan yang hendak ditanamkan kepada siswa. Di samping itu, siswa tertarik untuk menggunakan atau mengoperasikan media sehingga secara tidak langsung juga akan bersikap positif terhadap perkembangan sekaligus terampil dalam menggunakan teknologi. Keempat, menciptakan situasi belajar yang tidak dapat mudah dilupakan oleh siswa. Karena media memberikan pengalaman belajar yang mengaktifkan beberapa alat indra secara bersamaan atau berturunan, maka hasil belajarnya dapat bertahan lebih lama daripada sekedar menggunakan satu atau beberapa alat indra. Apalagi dalam multimedia interaktif, siswa berkesempatan mengoperasikan sendiri dan belajar sendiri dari media yang mereka operasikan itu. Hal ini juga akan meningkatkan daya tahan (resistensi) siswa terhadap materi yang sudah mereka pelajari.

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Kesimpulan

Sumber belajar merupakan berbagai atau semua sumber baik yang berupa data, orang, metode, media, tempat berlangsungnya pembelajaran, yang digunakan oleh peserta didik  dalam belajar (baik secara terpisah maupun secara terkombinasi). Sumber belajar berperan dalam pembelajaran individual, klasikal, dan kelompok.. Fungsi sumber belajar antara lain: Meningkatkan produktivitas pembelajaran, memberikan kemungkinan pembelajaran yang sifatnya lebih individual, memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pembelajaran, lebih memantapkan pembelajaran, memungkinkan belajar secara seketika, dan memungkinkan penyajian pembelajaran yang lebih luas. Tujuan sumber belajar adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan proses belajar mengajar melalui pengembangan sistem instruksional.

Media pembelajaran adalah adalah alat, sarana, perantara, dan penghubung untuk menyebar, membawa atau menyampaikan sesuatu pesan (message) dan gagasan, sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perbuatan, minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar mengajar terjadi pada diri siswa. Peranan media pembelajaran antaralain: pembelajar memiliki kemampuan untuk menangkap pembelajaran dengan baik, media membangkitkan keinginan dan minat pembelajar untuk belajar, dan media memiliki kemampuan untuk menampilkan kembali objek atau kejadian dengan berbagai macam cara disesuaikan dengan keperluan dan penuh makna. Media pembelajaran dapat berfungsi menumbuhkan motivasi dan minat siswa untuk belajar dan dapat memudahkan siswa untuk memahami materi yang disampaikan oleh guru. Tujuan media pembelajaran adalah memberikan pengalaman belajar yang berbeda dan bervariasi sehingga lebih merangsang minat siswa untuk belajar.

3.2  Saran

Pada makalah ini kita telah diberikan pemahaman mengenai hakikat, peranan, fungsi, tujuan sumber belajaran dan media pembelajaran. Sangat besar harapan penyusun agar nantinya makalah ini dapat membantu pembaca untuk lebih memahami baik konsep maupun penerapan pengembangan media pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dan kampus. Selain itu, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca agar pada penulisan makalah selanjutnya  hal itu dapat diperbaiki. Tak luput penyusun menitipkan masukan sebagai berikut:

3.2.1        Bagi linguis, dosen, peneliti

a.       Memperkaya multi penafsiran kajian pengembangan media pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya sumber belajar dan media pembelajaran

b.      Memproduksi teori pengembangan media pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya sumber belajar dan media pembelajaran

c.       Mendokumentasikan penelitian bidang pengembangan media pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya sumber belajar dan media pembelajaran secara kontinuitas

3.2.2        Bagi guru dan mahasiswa bahasa

a.       Mendalami kajian pengembangan media pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya sumber belajar dan media pembelajaran dengan sumber beragam dan terbaru

b.      Melakukan penelitian kajian pengembangan media pembelajaran Bahasa Indonesia

c.       Berkolaborasi dengan dosen dan peneliti dalam berkarya

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

AECT. (1994). Definisi Teknologi Pendidikan Satuan Tugas Definisi Teknologi AECT (Y. Miarso (ed.)). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Cahyadi, Ani. (2019). Pengembangan Media dan Sumber Belajar: Teori dan Prosedur. Serang: Penerbit Laksita Indonesia.

Djamara, Syaiful Bahri.(2006). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta.

Gulo, D. (1982). Kamus Psikologi. Cetakan I. Bandung: Tonis.

Miarso, Yusuf Hadi. (2004). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Predana Media Group.

Nasution. (2005). Pengantar Psikologi Pendidikan Dasar. Yogyakarta: Cemerlang Publishing.

Prastowo, A. (2015). Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Tematik Terpadu: Implementasi Kurikulum 2013 untuk SD/MI (1st ed.). Jakarta: Prenadamedia Group.

Putri, Agustina. (2011). Psikologi Perkembangan. Surakarta: PGSD UMS.

Rohani, Ahmad. (2010). Pengelolaan Pengajaran Sebuah Pengantar Menuju Guru Profesional. Jakarta: Rineka Cipta.

Sadiman, S Arif. dkk. (2009). Media Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sagala, Syaiful. (2011). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta

Sardiman, A. M. (2005).  Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sumantri, Mulyani. (1999). Strategi Belajar-Mengajar. Jakarta: Depdikbud

Syukur N.C, F. (2008). Teknologi Pendidikan. Semarang: Rasail Media Group.

Tafonao, Talizaro. (2018). Peranan Media Pembelajaran dalam Meningkatkan Minat Belajar Mahasiswa. Jurnal Komunikasi Pendidikan, Vol.2 No.2, 108-109.

Yusuf, P. M. (2010). Komunikasi Instruksional. Jakarta: Bumi Aksara.

 

KONSEP DASAR SOSIOLINGUISTIK DAN MASYARAKAT BAHASA

30 September 2022 13:59:56 Dibaca : 6147

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Kemunculan sosiolinguistik sebagai sebuah disiplin ilmu tak lepas dari perkembangan sosial masyarakat yang menumbuhkembangkan bahasa sebagai identitas sosial kemasyarakatannya. Sosiolinguistik adalah ilmu antardisiplin. Secara istilah, sosiolinguistik berakar dari rumpun sosiologi dan linguistik.

Pengistilahan itu merujuk pada aspek sosial dan aspek bahasa yang berfusi dikarenakan bahasa dan strukturnya berkembang dalam pranata masyarakat. Hubungan mesra antara masyarakat dan linguistik dalam tataran sosiolinguistik memiliki kompleksitasnya tersendiri. Hal ini menunjukkan betapa berperannya sosiolinguistik.

Sosiolinguistik memaparkan tentang cara penggunaan bahasa dalam aspek sosial tertentu. Pemahaman sosiolinguistik dapat menunjang interaksi dan komunikasi dalam masyarakat. Hubungan antara bahasa dan masyarakat maupun berbagai fungsi bahasa dalam masyarakat dikenal sebagai masyarakat bahasa dalam kajian sosiolinguistik. Malabar (2015:12) menegaskan bahwa masyarakat bahasa yang dimaksudkan di sini tidak hanya berdasarkan pada perkembangan bahasa, tetapi berdasarkan pada sejarah, budaya, dan politik.

Hadirnya sosiolinguistik memperkaya pedoman dalam berkomunikasi dengan menampilkan bahasa, ragam bahasa, atau gaya bahasa yang sesuai digunakan dalam masyarakat penutur bahasa tertentu. Dengan demikian, kehadiran sosiolinguistik meredam pelbagai persoalan bahasa dalam masyarakat penutur.

Atas rasionalitas seluk-beluk sosiolinguistik tersebut, maka penulis menyegarkan pemahaman pengetahuan melalui penyajian makalah yang mengangkat judul “Konsep Dasar Sosiolinguistik dan Masyarakat Bahasa”.

 

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:

Bagaimanakah hakikat sosiolinguistik?Apa saja objek kajian sosiolinguistik?

Bagaimana relevansi sosiolinguistik dengan cabang ilmu lain

Apa manfaat sosiolinguistik?

Bagaimanakah relevansi bahasa dan masyarakat?

Bagaimanakah pengertian masyarakat bahasa? 

1.3  Tujuan Penulisan

Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:

Untuk mengetahui tentang hakikat sosiolinguistik

Untuk memahami tentang objek kajian sosiolinguistik

Untuk mengetahui relevansi sosiolinguistik dengan cabang ilmu lain

Untuk mengetahui manfaat sosiolinguistik

Untuk memahami relevansi bahasa dan masyarakat

Untuk mengetahui pengertian masyarakat bahasa 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 KONSEP DASAR SOSIOLINGUISTIK

2.1.1 Hakikat Sosiolinguistik

Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik. Chaer dan Agustina (2010: 2) menjelaskan bahwa untuk memahami sosiolingusitik perlu dipahami terlebih dahulu sosiologi dan linguistik itu. Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari manusia di dalam masyarakat, menyangkut di dalamnya mengenai proses interaksi sosial manusia di dalam masyarakat. Sementara itu, linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajarai bahasa. Linguistik mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik merupakan bidang ilmu antardisiplin yang mempelajarai bahasa dalam kaitan penggunaan bahasa tersebut di dalam masyarakat.

Terkait dengan definisi sosiolinguistik, Soemarsono (2012: 1) mendefinisikan sosiolinguistik merupakan kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan. Beberapa pakar (melalui Chaer dan Agustina (2010: 3) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai berikut.

1.    Sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan pelbagai variasi bahasa, serta hubungannya di antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat (Kridalaksana, 1978).

2.    Pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan disebut sosiolinguistik (Nababan, 1984).

3.    Sociolinguistics is the study of characteristics of languange varieties, the characteristics of their functions, and the characteristics of their speakers as these three constantly interact, change, ang change one another within a speech comunity (J.A. Fishman, 1972).

4.    Sociolinguistics is developing subfield of linguistics which takes speech variation as it’s focus, viewing variation or it social content. Sociolinguistics is concerned with the corelation between such social factor and linguistics variation (Hickerson, 1980).

 

2.1.2 Objek Kajian Sosiolinguistik

Chaer dan Agustina (2010: 3) menjelaskan bahwa dalam sosiolinguistik bahasa tidak dilihat sebagai bahasa sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melaikan dilihat sebagai sarana interaksi sosial di dalam masyarakat. Soemarsono (2012: 8) menjelaskan bahwa sosiolinguistik melihat bahasa sebagai suatu sistem yang berkaitan dengan masyarakat, bahasa dilihat sebagai sistem yang tidak terlepas dari ciri-ciri penutur dan dari nilai-nilai sosiobudaya yang dipatuhi oleh penutur itu. Lebih lanjut, konferensi sosiolinguistik pertama yang berlangsung di University of California, LA, tahun 1964, telah merumuskan adanya tujuh dimensi dalam penelitian sosiolinguistik. Ketujuh dimensi tersebut yaitu (1) identitas sosial penutur, (2) identitas sosial pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan tenpat peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis penelitian sosiolingusitk (Dittmar, 1976).

 

2.1.2 Relevansi Sosiolinguistik dengan Cabang Ilmu Lain

Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mengkaji linguistik yang dihubungkan dengan faktor sosiologi. Dengan demikian, sosiolinguistik tidak meninggalkan linguistik. Apa yang dikaji dalam linguistik dijadikan dasar bagi sosiolinguistik untuk menunjukkan perbedaan penggunaan bahasa yang dikaitkan dengan faktor sosial. Apa yang dikaji dalam linguistik, meliputi apa yang ditelaah De Saussure, kaum Bloomfieldien (Bloomfield, Charles Fries, dan Hocket) serta kaum Neo Bloomfieldien dengan deep structure dan surface structurenya, dipandang oleh sosiolinguis sebagai bentuk bahasa dasar yang ketika dikaitkan dengan pemakai dan pemakaian bahasa akan mengalami perubahan dan perbedaan.

Kajian mengenai fonologi, morfologi, struktur kalimat, dan semantik leksikal dalam linguistik dipakai oleh sosiolinguistik untuk mengungkap struktur bahasa yang digunakan oleh tiap-tiap kelompok tutur sesuai dengan konteksnya. Karenanya, tidaklah mungkin seorang sosiolinguis dapat mengkaji bahasa dengan tanpa dilandasi pengetahuan mengenai linguistik murni itu. Sosiolinguistik mengkaji wujud bahasa yang beragam karena dipengaruhi oleh faktor di luar bahasa (sosial), yang dengan demikian makna sebuah tuturan juga  ditentukan oleh faktor di luar bahasa. Untuk dapat mengungkap wujud dan makna  bahasa sangat diperlukan pengetahuan tentang linguistik murni (struktur bahasa), supaya kajian yang di lakukan dengan dasar sosiolinguistik tidak meninggalkan objek bahasa itu sendiri (Sumarsono dan Partana, 2004: 7-9).

Sosiolinguistik membantu sosiologi dalam mengklasifikasi strata sosial. Sumarsono dan Partana (2004: 5-7) mengemukkan persamaan sosiolinguistik dengan sosiologi sebagai berikut.

1.  Sosiolinguistik memerlukan data atau subjek lebih dari satu orang individu.

2.  Menggunakan metode kuantitaif dengan teknik sampling random atau acak

3.  Menggunakan metode wawancara, rekaman, dan pengumpulan dokumen

4.  Pengolahan data menggunakan metode deskriptif.

5.  Keduanya memiliki hubungan simbiosis mutualisme (timbal balik) sebagai berikut:

a. Data sosiolinguistik yang memberikan ciri-ciri kehidupan sosial, menjadi barometer untuk sosiologi.

b. Aspek sikap berbahasa mempengaruhi budaya material dan spiritual suatu masyarakat.

c. Bahasa yang diteliti secara sosiolinguistik adalah alat utama dari perkembanagan penegetahuan mengenai sosiologi.

Antropologi merupakan kajian mengenai masyarakat, seperti asal usul budaya, adat istiadat, dan kepercayaan. Antropologi memandang bahwa budaya yang dimiliki masyarakat memiliki kaitan dengan bahasa. Jika kita menengok linguistik bandingan historis yang di dalamnya mengkaji asal usul bahasa menyebutkan bahwa suatu daerah yang mempunyai persamaan bahasa pasti memiliki kesamaan budaya atau terletak dalam daerah yang tidak saling berjauhan. Misalnya antara Indonesia dengan Malaysia yang mempunyai bahasa yang sama, yakni bahasa melayu austronesia.

Sosiolinguistik mengkaji ulang apa yang ditemukan oleh antropologi adanya kaitan antara budaya dan bahasa. Sehingga muncullah berbagai pandangan yang juga mempengaruhi penggunaan bahasa seperti hipotesis Saphir-Whorf. Kemudian melalui budaya yang dikaji oleh antropologi akan diketahui sistem kekerabatan yang kemudian diambil alih oleh sosiolinguistik dalam kaitannya dengan terms of addres atau kata sapaan. Selain itu, antropologi juga memberikan pengetahuan yang cukup bagaimana seorang penutur dari daerah lain berkomunikasi dengan warga yang berasal dari daerah yang berbeda. Hal tersebut merupakan kajian sosiolinguistik (Sumarsono dan Partana, 2004: 13-14).

 

2.1.3 Manfaat Sosiolinguistik

Kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis sangat banyak, sebab bahasa merupakan alat komunikasi verbal manusia. Dalam penggunaannya, sosiolinguistik memberi pengetahuan bagaimana menggunakan bahasa di dalam masyarakat. Sosiolinguistik memberikan pengetahuan tentang berbagai variasi bahasa yang ada di masyarakat. Kita sebagai manusia yang hidup di dalam masyarakat, sosiolinguistik memberikan pengetahuan tentang bagaimana kita dapat menempatkan diri dalam penggunaan bahasa kita ketika berada pada masyrakat tertentu. Sosiolinguistik juga memberikan deskripsi variasi bahasa dalam kaitannya dengan pengguna maupun kegunaannya. Selain itu, sosiolingusitik memungkinkan kita mengkaji fenomena dan gejala bahasa yang ada di dalam masyarakat melalui sosiolinguistik.

Sebagai ilmu yang mengkaji bahasa di dalam masyarakat, sosiolingusitik mampu membaur dengan bidang-bidang ilmu yang lain. Hal ini karena bahasa merupakan alat verbal manusia yang ada di berbagai bidang ilmu lain. Sebagai alat komunikasi, tentu bahasa tidak mungkin terlepas dari ilmu-ilmu lain sebagai sarana untuk mengungkapkan hasil pemikiran. Selain itu, objek kajian sosiolinguistik adalah bahasa di dalam masyarakat. Tentu hal tersebut sangat memungkinkan sosiolinguitik untuk saling terkait dengan bidang-bidang ilmu yang lain seperti politik, budaya, ekonomi, dan lain sebagainya.

 

2.2 MASYARAKAT BAHASA

2.2.1 Relevansi Bahasa dan Masyarakat

Menurut Ferdinand de Saussure (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:30-34) membedakan antara yang disebut langage, langue, dan parole. Ketiga istilah yang berasal dari bahasa Prancis itu, dalam bahasa Indonesia secara tidak cermat, lazim dipadankan dengan satu istilah, yaitu bahasa. Padahal ketiganya mempunyai pengertian yang sangat berbeda, meskipun ketiganya memang sama-sama bersangkutan dengan bahasa.

Dalam bahasa Prancis istilah langage digunakan untuk menyebutkan bahasa sebagai lambang bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama. Jadi, penggunaan langage pada istilah bahasa tersebut tidak mengacu pada bahasa tertentu melainkan mengacu pada bahasa secara umum sebagai alat komunikasi manusia.

Istilah kedua yang digunakan oleh Ferdinand De Saussure yakni langue. langue dimaksud sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya. langue mangacu pada suatu sistem lambang bunyi tertentu yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu.

Istilah ketiga yaitu parole. parole bersifat konkret, karena parole merupakan pelaksanaan dari langue dalam bentuk ujaran dan tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat dalam berinteraksi dan berkomunikasi antara sesamanya.

Dalam studi linguistik yang menjadi kajiannya adalah langue, sebagai suatu sistem bahasa tertentu tetapi dilakukan dengan parole karena parole dapat diamati secara empiris sedangkan langue tidak bisa diamati. Dari ketiga istilah di atas, langage, langue, dan parole terlihat bahwa kata atau istilah bahasa dalam bahasa Indonesia menanggung beban konsep yang amat berat, karena istilah itu berasal dari bahasa Prancis maka dapat dipadankan dengan satu kata bahasa meski harus dalam konteks yang berbeda.

Sebagai langage bahasa itu bersifat universal, sebab dia adalah satu sistem lambang bunyi yang digunakan manusia pada umumnya, bukan manusia pada suatu tempat atau suatu masa tertentu. Tetapi sebagai langue bahasa itu, meskipun ada ciri-ciri keuniversalannya, bersifat terbatas pada satu masyarakat tertentu. Satu masyarakat tertentu ini memang agak sukar rumusannya; namun adanya ciri saling mengerti (mutual intelligible) barangkali bisa dipakai batasan adanya satu bahasa. Jadi, misalnya, penduduk yang ada di Popayato dengan yang ada di Atinggola dan di Suwawa, masih berada dalam satu masyarakat bahasa dan dalam satu bahasa, karena mereka masih dapat mengerti dengan alat verbalnya. Mereka dapat berkomunikasi atau berinteraksi secara verbal. Begitu juga penduduk yang berada di Yogyakarta dengan yang berada di Semarang dan yang berada di Surabaya, masih berada dalam satu bahasa dan satu masyarakat bahasa karena masih ada saling mengerti di antara mereka sesamanya.

Adanya saling mengerti itu disebabkan karena adanya kesamaan sistem dan subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik) di antara parole-parole yang mereka gunakan. Begitu juga dengan penduduk yang ada di Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya, mereka bisa saling mengerti tentunya karena adanya kesamaan-kesamaan sistem dan subsistem dalam parole-parole yang mereka gunakan. Tetapi antara penduduk di Popayato dengan penduduk di Yogyakarta tidak ada saling mengerti secara verbal di antara mereka sesamanya. Hal ini terjadi karena parole-parole yang digunakan di antara penduduk di kedua tempat itu tidak mempunyai kesamaan sistem maupun subsistem. Ketiadaan kesamaan sistem dan subsistem di antara kedua masyarakat bahasa ini yang menyebabkan tidak terjadinya saling mengerti, menandai adanya dua sistem langue yang berbeda. Maka dalam kasus parole yang digunakan penduduk di Popayato dan di Yogyakarta itu, kita menyebutnya ada dua buah sistem langue, yaitu bahasa Gorontalo di Popayato dan bahasa Jawa di Yogyakarta.

Dengan demikian kita menyebut dua parole dari dua masyarakat yang berbeda sebagai dua buah bahasa yang berbeda adalah karena tiadanya saling mengerti secara verbal. Penamaan ini adalah berdasarkan kriteria linguistik. Namun, dalam berbagai kasus ditemui adanya dua masyarakat bahasa yang saling mengerti, tetapi mengaku menggunakan dua bahasa yang berbeda dengan nama yang berbeda. Misalnya, penduduk Malaysia dapat saling mengerti dengan penduduk Indonesia karena secara linguistik ada persamaan sistem dan subsistem di antara kedua parole yang digunakan. Tetapi penduduk Malaysia menyatakan dirinya berbahasa Malaysia, sedangkan penduduk Indonesia menyatakan dirinya berbahasa Indonesia. Maka dalam kasus ini penamaan bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia bukanlah berdasarkan kriteria linguistik, melainkan berdasarkan kriteria politik. Bahasa yang digunakan di Malaysia adalah bahasa Malaysia dan yang digunakan di Indonesia adalah bahasa Indonesia.

Kasus yang agak berbeda terjadi di daratan Cina. Suku-suku bangsa yang ada di daratan Cina itu tidak dapat berkomunikasi verbal secara lisan karena secara linguistik bahasa-bahasa mereka berbeda. Tetapi secara tertulis mereka dapat berkomunikasi dengan baik, karena sistem tulisan mereka sama, yaitu bersifat ideografis. Artinya, setiap huruf melambangkan sebuah konsep atau makna, meskipun wujud bunyinya tidak sama. Dalam kasus bahasa Inggris dewasa ini sudah tampak adannya usaha untuk memberi nama berbeda pada bahasa Inggris yang digunakan penduduk di Inggris, di Amerika, dan di Australia dengan munculnya nama British English, American English, dan Australian English.

Sudah dikemukan bahwa parole yang digunakan penduduk di Garut Selatan, di Karawang, dan di Bogor adalah berbeda, meskipun mereka saling mengerti, karena masih terdapatnya kesamaan sistem atau subsistem di antara parole di ketiga tempat tersebut. Jadi, di dalam “keberbedaan” mereka masih terdapat “kesaling-mengertian”. Dalam kasus ini, parole-parole yang digunakan di ketiga tempat itu disebut sebagai dialek-dialek dari sebuah bahasa yang sama. Irwan (2011:22) menjelaskan bahwa dialek merupakan variasi dari sebuah bahasa menurut pemakaiannya. Oleh karena itu, secara konkret lazim dikatan sebagai: bahasa Sunda dialek Garut, bahasa Sunda dialek Karawang, dan bahasa Sunda dialek Bogor. Begitu juga di Minang, ada bahasa Minang dialek Sungai Tarab, Minang dialek Lima Kaum, atau Minang dialek Padang Luar, dan lain-lain

Setiap orang secara konkret memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam berbahasa (berbicara atau menulis). Kekhasan ini dapat mengenai volume suara, pilihan kata, penataan sintaksis, dan penggunaan unsur-unsur bahasa lainnya. Itulah sebabnya, kalau kita akrab dengan seseorang, kita akan dapat mengenali orang itu hanya dengan mendengar suaranya saja (orangnnya tidak tampak), atau hanya dengan membaca tulisannya saja (namanya tidak disebutkan dalam tulisan itu). Ciri khas bahasa seseorang disebut dengan istilah idiolek. Jadi, kalau ada 1000 orang, maka akan ada 1000 idiolek.

Dari pembicaraan di atas, secara linguistik dapat disimpulkan bahwa setiap bahasa sebagai langue dapat terdiri dari sejumlah dialek, dan setiap dialek terdiri dari sejumlah idiolek. Namun perlu juga dicatat bahwa dua buah dialek yang secara linguistik adalah sebuah bahasa, karena anggota dari kedua dialek itu bisa saling mengerti; tetapi secara politis bisa disebut sebagai dua buah bahasa yang berbeda.

Stephen Ulimann (dalam Mahliana, 2011:2) menjelaskan perbedaan bahasa dan tutur itu sebagai berikut:

1.    Bahasa adalah wahana komunikasi (untuk semua orang dalam suatu masyarakat), dan tutur adalah penggunaan wahana itu oleh seseorang pada suatu kejadian tertentu. Jelasnya, bahasa adalah sandi (kode) sedangkan tutur adalah  penyandian (enkode), yaitu penggunaan sandi dengan isi makna tertentu, oleh penutur, yang kemudian didekodekan (ditafsirkan maknannya) oleh pendengar.

2.    Bahasa itu masih merupakan sesuatu yang potensial (berupa daya yang tersembunyi), merupakan sistem tanda yang tersimpan di dalam benak (memory) kita, yang siap diaktualisasikan (diwujudkan) dan diterjemahkan ke dalam bunyi-bunyi yang bersifat fisik dalam proses tutor. Jadi, sebenarnya bahasa itu tidak terdiri dari bunyi-bunyi dalam arti fisik, melainkan terdiri dari kesan-kesan bunyi yang tinggal di balik bunyi-bunyi nyata yang kita ujarkan atau kita dengar dari orang lain.

 

2.2.2 Pengertian Masyarakat Bahasa

Masyarakat bahasa atau masyarakat tutur secara teori termasuk ke dalam variasi atau ragam bahasa dalam konteks sosial. Ragam bahasa dalam konteks sosial  memiliki dua hal yang saling berkaitan yaitu verbal repertoire dan masyarakat tutur.

Berdasarkan penjelasan Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:34-35), dapat diambil kesimpulan bahwa verbal repertoire merupakan kemampuan komunikatif di mana kemampuan ini terbagi dua yaitu kemampuan komunikatif yang dimiliki oleh setiap penutur secara individu dan kemampuan komunikatif yang dimiliki oleh masyarakat tutur secara keseluruhan. Adapun kemampuan komunikatif setiap penutur ditentukan oleh masyarakat di mana ia merupakan anggotanya, dan kemampuan komunikatif suatu masyarakat tutur terjadi dari himpunan kemampuan komunikatif seluruh penutur dalam masyarakat menjadikan pengertian masyarakat tutur bukan sekedar kelompok orang yang mempergunakan bentuk bahasa yang sama. Akan tetapi, kelompok orang-orang yang juga mempunyai norma yang sama dalam memakai bentuk-bentuk bahasa.

Kalau suatu kelompok atau suatu masyarakat mempunyai verbal repertoir yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma norma pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat itu, maka dapat dikatakan kelompok orang itu atau masyarakat itu adalah sebuah masyarakat tutur. Jadi, masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk bentuk bahasa.

“Sebagai masyarakat bahasa, untuk sementara dapat berarti kelompok penutur yang berdasarkan pandangan hidup mereka membentuk kelompok berdasarkan bahasa yang sama” (Malabar, 2015:13).

Untuk dapat disebut satu masyarakat tutur adalah adanya peranan diantara para penuturnya, bahwa mereka merasa tutur yang sama.   Fishman dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:36), memberi batasan bahwa masyarakat tutur ialah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi tutur beserta norma-norma yang sesuai dengan pemakaiannya. Hal ini menjelaskan bahwa masyarakat tutur bersifat netral dalam arti dapat digunakan secara luas dan besar serta dapat pula digunakan dalam menyebut masyarakat kecil atau sekelompok orang yang menggunakan bahasa relatif sama dan mempunyai penilaian yang sama dengan pemakaian bahasanya.

Masyarakat tutur yang besar dan beragam memperoleh verbal repertoirnya dari pengalaman atau dari adanya interaksi verbal langsung di dalam kegiatan tertentu. Mungkin juga di peroleh secara referensial. Yang diperkuat dengan adanya integrasi simbolik, seperti integrasi dalam sebuah wadah yang disebut negara, bangsa, atau daerah. Jadi, mungkin saja suatu wadah negara, bangsa, atau daerah membentuk suatu masyarakat tutur dalam pengertian simbolik itu. Dalam hal ini tentu saja yang disebut bahasa nasional dan bahasa daerah jelas mewakili masyarakat tutur tertentu dalam hubungan dengan variasi kebahasaan.

Dilihat dari sempit dan luas verbal repertoirnya dapat dibedakan adanya dua macam masyarakat tutur yaitu (1) masyarakat tutur yang repertoir pemakaiannya lebih luas, dan menunjukkan verbal repertoir setiap penutur lebih luas pula, dan (2) masyarakat tutur yang sebagian anggotanya mempunyai pengalaman sehari hari dan aspirasi hidup yang sama dan menunjukkan pemilikan wilayah linguistik yang lebih sempit, termasuk juga perbedaan variasinya.

Kedua jenis masyarakat tutur ini terdapat baik dalam masyarakat yang termasuk kecil dan tradisional maupun masyarakat besar dan modern. Masyarakat modern mempunyai kecenderungan memiliki masyarakat tutur yang lebih terbuka dan cenderung menggunakan berbagai variasi dalam bahasa yang sama. Sedangkan masyarakat tradisional bersifat lebih tertutup dan cenderung menggunakan variasi dalam beberapa bahasa yang berlainan. Penyebab kecenderungan itu adalah berbagai faktor sosial dan faktor kurtural.

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Kesimpulan

Sosiolinguistik merupakan bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitan penggunaan bahasa tersebut di dalam masyarakat. Objek kajian sosiolinguistik meliputi 7 dimensi yakni (1) identitas sosial penutur, (2) identitas sosial pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan tenpat peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis penelitian sosiolinguistik.

Sosiolinguistik berhungungan erat dengan cabang ilmu lain. Kajian mengenai fonologi, morfologi, struktur kalimat, dan semantik leksikal dalam linguistik dipakai oleh sosiolinguistik untuk mengungkap struktur bahasa yang digunakan oleh tiap-tiap kelompok tutur sesuai dengan konteksnya. Sosiolinguistik membantu sosiologi dalam mengklasifikasi strata sosial. Sosiolinguistik mengkaji ulang apa yang ditemukan oleh antropologi adanya kaitan antara budaya dan bahasa. Kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis sangat banyak, sebab bahasa merupakan alat komunikasi verbal manusia. Dalam penggunaannya, sosiolinguistik memberi pengetahuan bagaimana menggunakan bahasa di dalam masyarakat.

Dalam kajian sosiolinguistik dibahas tentang masyarakat bahasa. Masyarakat bahasa adalah kelompok penutur yang berdasarkan pandangan hidup mereka membentuk kelompok berdasarkan bahasa yang sama. Setiap bahasa sebagai langue dapat terdiri dari sejumlah dialek, dan setiap dialek terdiri dari sejumlah idiolek. Namun perlu juga dicatat bahwa dua buah dialek yang secara linguistik adalah sebuah bahasa, karena anggota dari kedua dialek itu bisa saling mengerti; tetapi secara politis bisa disebut sebagai dua buah bahasa yang berbeda.

3.2  Saran

Pada makalah ini kita telah diberikan pemahaman mengenai konsep dasar sosiolinguistik, mulai dari pengertian, hubungan sosiolinguistik dengan ilmu lain, manfaat mempelajari sosiolinguistik, serta penjelasan tentang masyarakat bahasa. Sangat besar harapan penyusun agar nantinya makalah ini dapat membantu pembaca untuk lebih memahami baik konsep maupun penerapan sosiolinguistik itu sendiri di masayarakat. Selain itu, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca agar pada penulisan makalah selanjutnya  hal itu dapat diperbaiki. Tak luput penyusun menitipkan masukan sebagai berikut:

3.2.1        Bagi linguis, dosen, peneliti

a.       Memperkaya multi penafsiran kajian sosiolinguistik

b.      Memproduksi teori pengembangan sosiolinguistik

c.       Mendokumentasikan penelitian bidang sosiolinguistik secara kontinuitas

3.2.2        Bagi guru dan mahasiswa bahasa

a.       Mendalami kajian sosiolinguistik dengan sumber beragam dan terbaru

b.      Melakukan penelitian kajian sosiolinguistik di masyarakat

c.       Berkolaborasi dengan dosen dan peneliti dalam berkarya

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Chaer, Abdul & Leonie Agustina. (2004). Sosiolinguistik. Jakarta: PT Pineka Cipta.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. (2010).  Sosiolingusitik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Irwan. (2011). Pengantar Perkuliahan Sosiolinguistik. Batusangkar: STAIN Batusangkar Press.

Mahliana. (2011). Sosiolinguistik (Bahasa dan Tutur, Verbal Refertoire). Available in http://mahliana-himai.blogspot.com, retrieved on September 16, 2022..

Malabar, Sayama. (2015). Sosiolinguistik. Gorontalo: Ideas Publishing.

Soemarsono. (2012). Sosiolingusitik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumarsono & Paina Partana. (2004). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.