PENDEKATAN DAN STRATEGI PEMBELAJARAN BIPA
PENDEKATAN DAN STRATEGI PEMBELAJARAN BIPA
Apa itu BIPA?
BIPA merupakan pembelajaran bahasa Indonesia yang subjeknya adalah pembelajar asing. BIPA dipandang lebih pada faktor pembelajarnya. Orang-orang yang menjadi subjek pembelajaran BIPA adalah orang asing, bukan penutur bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan bahasa asing bagi pembelajar, entah sebagai bahasa kedua, bahasa ketiga, keempat, atau lainnya. Pembelajaran BIPA menjadikan orang asing (pembelajar) dapat menguasai bahasa Indonesia atau mampu berbahasa Indonesia (Kusmiatun, 2018, p. 1).
Program Pembelajaran BIPA?
Pembelajaran BIPA adalah sebuah proses pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing yang dilakukan secara terencana dan sistematis. Pembelajaran BIPA merupakan pembelajaran yang mempunyai target tertentu dan ditata dalam sebuah perencanaan pembelajaran. Perencanaan pembelajaran ini dinamakan program pembelajaran BIPA. Program ini berkait dengan prinsip yang dipatuhi dalam pembelajaran BIPA. Selain itu, pembelajaran BIPA merupakan sebuah pembelajaran yang tersistem. Ada beberapa komponen atau aspek pembelajaran yang saling berkaitan dan tertata untuk mencapai tujuan belajar bahasanya. Pembelajaran BIPA berbeda dengan pembelajaran bahasa Indonesia pada umumnya karena adanya karakteristik khusus pada pembelajarnya juga faktor lain yang membuat pembelajaran BIPA ini berbeda (Kusmiatun, 2018, p. 37).
Pembelajaran BIPA terselenggara dalam berbagai ragam. Pembelajaran BIPA dapat terselenggara di bawah sebuah institusi, baik institusi perguruan tinggi maupun institusi atau lembaga nonperguruan tinggi yang menyelenggarakan pembelajaran BIPA. Di samping itu, ada pembelajaran BIPA yang terselenggara secara personal atau tidak berada di bawah naungan institusi resmi. Program BIPA yang terselenggara di bawah institusi resmi ada beberapa macam. Berdasar jumlah peserta atau pembelajarnya terdapat pembelajaran BIPA program kelompok dan program private. Program kelompok adalah program pembelajaran BIPA yang diikuti oleh lebih dari satu orang, baik kelompok kecil (2-4 orang) maupun kelompok besar (lebih dari 4 orang). Hal ini dapat berlangsung di institusi perguruan tinggi dan lembaga penyelenggara BIPA non-perguruan tinggi. Sementara itu, berdasarkan waktu pelaksanaannya terdapat program pembelajaran BIPA jangka pendek (kurang dari 2 bulan) dan program pembelajaran BIPA jangka panjang (2 bulan – 1 tahun). Khusus di perguruan tinggi diselenggarakan pula program pembelajaran BIPA dalam bentuk layanan khusus untuk pengambilan kuliah (credit transfer). Kegiatan tersebut biasanya dilakukan dengan adanya hubungan kerjasama antaruniversitas (MoU) (Kusmiatun, 2018, p. 38).
Prinsip Pembelajaran BIPA?
Berikut ini beberapa prinsip dalam pembelajaran BIPA (Kusmiatun, 2018, pp. 40-41).
1. Sistematis
Pembelajaran BIPA harus dilakukan secara teratur dan terencana. Ada sistem yang dibuat dan mengatur jalannya program sehingga pembelajaran lebih terarah. Keteraturan ini berkaitan dengan urutan materi yang akan dibelajarkan dan aturan lainnya yang mendukung keberhasilan pembelajaran.
2. Relevan
Pembelajaran harus relevan dengan kebutuhan pembelajar, kondisi pembelajar dan lingkungan belajar, tujuan pembelajaran, lembaga pengelolanya, kemampuan pengajar, dan perkembangan bahasa sebagai bahan utama pembelajarannya.
3. Aktual, faktual, dan kontekstual
Bahan yang dibelajarkan dalam pembelajaran BIPA hendaknya bahan bahan yang aktual. Materi pembelajaran haruslah faktual agar pembelajar dapat mengaitkan pengetahuan baru dengan apa yang ia temukan di lingkungan sekitar. Pembelajaran BIPA yang kontekstual akan membantu pembelajar menguasai dengan baik bahasa yang ia pelajari.
4. Teruji dan terpercaya
Pembelajaran BIPA hendaknya sudah teruji dan terpercaya.
5. Menyeluruh dan lengkap
Artinya, meliputi berbagai aspek bahasa sesuai kebutuhan pembelajar dan tersajikan secara lengkap. Belajar bahasa pada dasarnya adalah integratif, bukan terpisah-pisah dalam beberapa bagian saja.
6. Fleksibel
Pembelajaran BIPA tidak selalu harus di dalam kelas dan menggunakan cara yang monoton. Fleksibel ini berlaku untuk tempat belajar, waktu belajar, bahan materi ajar, media, bahkan evaluasinya.
Aspek Pembelajaran BIPA?
Ada dua aspek penting dalam pembelajaran BIPA, yaitu aspek instruksional dan aspek non-instruksional. Aspek instruksional berhubungan dengan pelaksanaan pembelajaran secara langsung di kelas, sedangkan aspek non-instruksional berkaitan dengan pembelajaran BIPA namun tidak secara langsung di kelas. Keduanya akan saling mendukung dalam pelaksanaan proses belajar dan hasil belajarnya (Kusmiatun, 2018, p. 42).
Cakupan Materi Pembelajaran BIPA?
Pembelajaran BIPA berorientasi pada pemberian materi bahasa dan berbahasa pada para pembelajarnya. Kontennya mencakup segala hal yang berkait dengan kebahasaan, keterampilan berbahasa, dan budaya. Materi kebahasaan mencakup berbagai materi ajar yang berupa aspek pengetahuan bahasa, antara lain: kosakata, pola kalimat, bentukan kata, ungkapan, lafal – intonasi, dan sebagainya. Cakupan keterampilan berbahasa meliputi keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Di lain hal, budaya merupakan materi yang akan mendukung pemahaman konteks bahasa karena bahasa dan budaya memiliki kaitan yang erat (Kusmiatun, 2018, p. 65).
Perbedaan pendekatan , strategi, metode, dan teknik?
Ada beberapa istilah yang tumpang tindih dengan strategi, yakni pendekatan, metode, model, dan teknik pembelajaran. Pendekatan (approach) adalah landasan dasar yang menjadi pegangan dalam pembelajaran. Pendekatan menentukan arah pembelajaran. Pendekatan bersifat aksiomatik. Pendekatan yang ada akan memunculkan metode metode pembelajaran. Metode dimaknai sebagai upaya prosedural untuk mengimplementasikan rencana pembelajaran. Langkah praktis dalam implementasi ini adalah strategi. Strategi menunjuk pada suatu cara atau sebuah perencanaan dalam mencapai sesuatu. Aplikasi secara langsung cara-cara dalam belajar ini disebut teknik pembelajaran (Kusmiatun, 2018, p. 77) .
Pendekatan Pembelajaran BIPA
1. Tradisional (struktural)
Lebih menekankan bentuk formal kebahasaan (grammar translation).
2. Fungsional
Lebih menekankan pengajaran bahasa secara komunikatif
Strategi Pembelajaran BIPA?
Sebuah pemilihan strategi belajar akan mempertimbangkan aspek materi, waktu, pembelajar (jumlah dan usia), langkah belajar, serta media pendukung (Kusmiatun, 2018, p. 77). Hal lain yang dapat membantu maksimalnya strategi pembelajaran dalam proses belajar adalah pengelolaan kelasnya (Kusmiatun, 2018, p. 78). Adapun urutan kegiatan pembelajaran BIPA sebagai berikut (Kusmiatun, 2018, pp. 80-82):
PENDAHULUAN | PENYAJIAN | PENUTUP |
Bagian pertama, membuka pelajaran, adalah sebuah tahapan untuk menyiapkan pembelajar agar siap menerima materi yang akan diajarkan. Pendahuluan ini biasanya akan diisi dengan salam, menggali pengalaman yang relevan dengan materinya, mengenalkan materi, memotivasi, dan menjelaskan tujuan. 1. Memberi salam secara klasikal/individual 2. Bertanya jawab dengan pembelajar tentang perasaan, kesehatan, situasi lingkungan, cuaca, kegiatan kesehariannya, dan sebagainya. 3. Bercerita singkat 4. Menanyakan kosakata baru. 5. Menanyakan tugas 6. Menjelaskan tujuan dan materi yang diajarkan. |
Materi akan baik disajikan dengan runtut dan banyak diberi contoh otentik. Kegiatan penyajian materi adalah tahap inti belajar karena di tahap ini pembelajar diberi pengetahuan baru dan mengembangkan pemahamannya. Penyajiannya adalah pemberian materi, pemberian contoh, latihan-latihan, dan praktik langsung. Pembelajaran BIPA lebih pada pembelajaran berbahasa, bukan pengetahuan bahasanya sehingga praktik-praktik dan latihan akan baik diberikan pada | Bagian akhir dalam proses pembelajaran adalah penutup. Bagian ini digunakan untuk menegaskan kembali materi yang ada dan melihat ketercapaian hasil belajarnya. Di tahap ini materi disimpulkan bersama dan pengajar dapat memberikan evaluasi pada pembelajar untuk melihat pemahaman mereka atas materi yang ada. Penugasan lanjutan dapat diberikan sebagai penguatan pemahaman. |
Workshop Seni Budaya sebagai Strategi Pembelajaran BIPA
Belajar bahasa Indonesia pada dasarnya dapat dilakukan secara integratif dalam kegiatan budaya, dalam bentuk workshop. Workshop budaya adalah sebuah kegiatan budaya yang diberikan dalam durasi waktu tertentu sebagai pengenalan budaya Indonesia yang dilakukan secara praktis dan hasilnya dapat dinikmati oleh pembelajar (Kusmiatun, 2018, p. 89). Beberapa workshop budaya yang dapat diberikan dan mengandung rasa ‘Indonesia’, misalnya: workshop musik tradisional, workshop tari tradisional, workshop kuliner nusantara, workshop olahraga/permainan tradisional, workshop alat musik tradisional, workshop pakaian adat tradisional, workshop acara adat, dan sebagainya.
Ekskursi sebagai Strategi Pembelajaran BIPA
Pandangan bahwa belajar tidak harus di dalam kelas juga berlaku untuk pembelajaran BIPA. Pembelajaran ke luar kelas akan memberikan penyegaran suasana bagi pembelajar. Hal ini dapat menghindarkan pembelajar dari kejenuhan. Belajar di luar kelas dengan mengunjungi beberapa objek disebut ekskursi. Ada beberapa ekskursi yang dapat dilakukan dalam pembelajaran BIPA, yaitu: ekskursi budaya, ekskursi wisata, ekskursi akademika, dan ekskursi sosial (Kusmiatun, 2018, p. 91).
Metode Pembelajaran BIPA?
Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) dapat diajarkan dengan menggunakan metode yang bervariasi mulai dari metode yang konvensional hingga metode yang menggunakan teknologi. Adapun jenis metode yang bisa digunakan dalam pembelajaran BIPA sebagai berikut (Syafryadin, et al., 2020):
1. Metode Visualisasi Kosakata ABC
Merupakan metode yang dikembangkan dengan menerapkan penggunaan visualisasi kosakata untuk meningkatkan kemampuan menulis kalimat (Syafryadin, et al., 2020, p. 8).
2. Metode Immersion Terintegrasi Budaya Indonesia
Proses mengintegrasikan budaya Indonesia ke dalam pembelajaran BIPA dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dengan memungkinkan pembelajar BIPA berinteraksi langsung dengan masyarakat Indonesia, metode pengajaran yang imersif dapat diadopsi. Immersion merupakan metode yang menekankan pada pengalaman peserta didik dalam situasi nyata (Syafryadin, et al., 2020, p. 12).
3. Metode Dictogloss
Dictogloss adalah teknik pengajaran bahasa yang digunakan untuk mengajarkan struktur tata bahasa, yang dapat diimplementasikan di kelas dengan pasangan atau kelompok kecil di mana siswa mendengarkan teks pendek dan menulis kata-kata kunci dari teks yang mereka dengar, kemudian membahasnya dengan pasangan/kelompok dan merekonstruksi membuat teks dengan bahasa sendiri) teks berdasarkan kata-kata kunci yang telah didapat (Syafryadin, et al., 2020, p. 23).
4. Metode Scramble
Scramble merupakan metode pembelajaran dimana siswa diajak untuk mencari jawaban dan memecahkan masalah yang ada dengan cara memberikan lembar soal dan lembar jawaban, serta tersedia alternatif jawaban. Scramble digunakan dalam permainan anak-anak, yang merupakan latihan untuk mengembangkan dan menambah wawasan tentang pemikiran kosa kata (Syafryadin, et al., 2020, p. 28).
5. Metode Thieves
Metode THIEVES akan memandu siswa untuk mempratinjau teks secara efektif dengan menarik perhatian mereka pada elemen tekstual penting, dan membantu mereka membuat prediksi dan mengantisipasi makna (Syafryadin, et al., 2020, p. 35). Siswa menggunakan akronim THIEVES, yang merupakan singkatan dari:
T : Title (Judul)
H : Headings (Bagian dari judul)
I : Introduction (Pendahuluan)
E : Every first paragraph sentence (setiap kalimat pada paragraf)
V : Visuals and vocabulary (gambar dan kosakata)
E : End of chapter questions (Akhir bagian pertanyaan)
S : Summary (Ringkasan)
6. Metode Mind Mapping
Pembelajaran berbasis konsep peta pikiran (mind map) merupakan metode pembelajaran yang menggunakan konsep pembelajaran berpikir total komprehensif . Peta pikiran adalah cara inovatif dalam membuat catatan, sehingga kita dapat dengan mudah mengingat banyak informasi (Syafryadin, et al., 2020, p. 39).
7. Metode Word Square
Metode pembelajaran melalui word square merupakan permainan yang memadukan kemampuan menjawab pertanyaan dengan ketelitian serta mencocokan jawaban pada kotak-kotak tersebut. Dan huruf-huruf pada word square dapat dibaca secara vertikal, diagonal ataupun horizontal dan dapat dibaca terbalik serta di tambahkan kata-kata lain sebagai pengecoh (Syafryadin, et al., 2020, p. 45).
8. Metode Round Robin
Metode Round-Robin merupakan salah satu metode pembelajaran kelompok atau cooperative learning yang dapat digunakan dalam pembelajaran BIPA. Metode ini adalah metode yang dapat meningkatkan partisipasi kelompoknya dalam belajar, baik itu berbicara, menulis, membaca dan mendengar (Syafryadin, et al., 2020, p. 48).
9. Metode Talking Chips
Metode Talking Chips merupakan salah satu metode yang bisa digunakan dalam pembelajaran BIPA, khususnya untuk berbciara. Metode ini dikembangkan oleh Kagan (1992), dimana para pembelajar menggunakan chips dalam berbicara. Dalam hal ini, chips bisa berupa kertas, kancing baju atau bahan apa saja yang bisa digunakan untuk mencatat. Metode ini bisa digunakan untuk semua level BIPA dari level A, B, dan C. Metode ini juga merupakan salah satu metode dalam cooperative learning yang mana mengutamakan bekerja dalam kelompok (Syafryadin, et al., 2020, p. 51).
10. Metode Respon Total Fisik
Total physical response adalah metode pembelajaran bahasa yang digunakan untuk mengekplor sejauh mana respon fisik yang diberikan siswa melalui instruksi-instruksi sederhana yang diberikan guru terkait pembelajaran bahasa yang dengan instruksi tersebut siswa dapat melakukan aksi atau aktivitas dalam proses pembelajaran bahasa (Syafryadin, et al., 2020, p. 55).
11. Metode Langsung
Metode langsung merupakan metode pembelajaran yang memusatkan komunikasi atau penggunaan bahasa target yang mengalir secara alami dan tanpa mempermasalahkan bahasa ibu dari siswa, siswa bahasa. Direct method adalah metode yang menfokuskan perhatian pada cara penggunaan bahasa asing sebagai alat untuk komunikasi (Syafryadin, et al., 2020, p. 59).
12. Metode Audio Lingual
Metode audio-lingual adalah metode pembelajaran bahasa yang diaplikasikan dengan mempelajari bahasa untuk membentuk kebiasaan berbahasa atau kebiasaan menggunakan bahasa tersebut. Salah satu ciri metode ini adalah menggunakan bahasa dalam dialog untuk setiap situasi komunikasi. Metode audio-lingual ini akan melatih keterampilan menyimak dan berbicara pada siswa yang mempelajari bahasa target. Selain keterampilan menyimak, siswa juga dapat meningkatkan kemampuan menyampaiakn pendapat, ide, atau argumentasi dari setiap dialog atau tindak komunikasi yang berlangsung (Syafryadin, et al., 2020, p. 64).
13. Metode Desuggestopedia
Metode desuggestopedia adalah metode yang diberikan untuk menyelesaikan permasalahan psikologis siswa yang merasa tidak memiliki kemampuan untuk belajar bahasa atau sukses dalam meningkatkan kemahiran bahasa. Metode ini dapat dilakukan dengan memberikan suatu topik berupa materi pembelajaran, kemudian siswa diberi pengantar yang berupa clue atau kata-kata kunci dari topik tersebut (Syafryadin, et al., 2020, p. 69).
14. Metode Diam
Pada metode ini, yang lebih bayak berbicara atau beraktivitas dalam pembelajaran bahasa adalah siswa. Metode ini dilakukan dengan cara pengajar pemberi sedikit instruksi, kemudian meminta siswa atau siswa melakukan apa saja yang mereka bisa atau dapat lakukan terkait instruksi tersebut (Syafryadin, et al., 2020, p. 73).
15. Metode Komunitas Pembelajaran Bahasa
Komunitas pembelajaran bahasa adalah metode yang digunakan dengan sudut pandang pendekatan pembelajaran konseling. Metode ini memandang bahwa siswa merupukan keseluruhan orang di mana guru atau pengajar tidak hanya memperhatikan intelegensi siswa, namun juga memiliki pemahaman tentang relasi antar-siswa, perasaan, reaksi fisik, reaksi perlindungan naluriah, dan keinginan untuk belajar dalam komunitas bahasa. Komunitas pembelajaran bahasa juga dapat diimplementasikan dengan cara membangun jejaring sosial antara guru atau dosen dan siswa-siswa/mahasiswa dalam kelompok (grup), namun bersifat personal (Syafryadin, et al., 2020, p. 78).
16. Metode Grammar-Translation
metode grammar-translation adalah metode awal yang digunakan dalam mempelajari bahasa dengan pusat kajian pada tata bahasa atau unsur gramatikal. Fokus dari metode ini adalah penerjemahan teks-teks kalimat, tata bahasa (grammar) dan memperbanyak pembelajaran kosa kata (Syafryadin, et al., 2020, p. 84).
17. Metode Tidak Langsung
Metode nondirective adalah metode pembelajaran yang menekankan kepada perintah-perintah dari peserta didik itu sendiri baik dari pikiran maupun perasaan yang dirasakan oleh pembelajar ketika berada di dalam kelas. Instruksi dan perintah tersebut dapat merangsang kemampuan berbicara pembelajar BIPA di kelas dengan cara mengemukaan opini dan pandangan secara konkret atau nyata (Syafryadin, et al., 2020, p. 90).
18. Metode Drilling
Metode drilling adalah suatu metode yang dilakukan dengan cara memberikan tugas tugas atau latihan latihan kepada siswa oleh guru dengan materi yang selaras dengan yang telah diajarkan sebelumnya dan diharapakan siswa mampu mengerjakannya, dapat mengembangkan pola pikir yang ada menjadi lebih baik dari sebelumnya dan memiliki keterampilan dari menyelesaikan tugas tugas yang diberikan tersebut (Syafryadin, et al., 2020, p. 94).
Teknik Pembelajaran BIPA?
1. Teknik Mengajar Kosakata
Belajar kosakata pada dasarnya adalah upaya untuk mendapatkan penguasaan kata-kata bahasa Indonesia sebanyak mungkin sehingga akan meninjang kemahiran berbahasanya. Beberapa teknik mengajar kosakata adalah sebagai berikut ini yang dikombinasikan dengan permainan (Kusmiatun, 2018, p. 84), yakni:
a. Teknik Ucap – Lakukan
b. Teknik Ucap – Pegang
c. Teknik Asosiasi Kata
d. Teknik Induktif Kata Bergambar
e. Permainan Scramble
f. Permainan Teka Teki Silang
g. Permainan Tebak Gambar
h. Permainan Tebak Gaya
i. Permainan Acak Kata
2. Teknik Mengajar Tata Bahasa
Belajar tata bahasa, khususnya bagian afiksasi merupakan hal yang diakui oleh pembelajar BIPA sebagai materi yang tidak mudah. Pengajar memerlukan suatu cara untuk menyampaikan materi tata bahasa ini dengan teknik yang variatif dan menyenangkan. Secara integratif materi ini dapat juga masuk dalam berbagai materi keterampilan berbahasa, bahkan saling membutuhkan (Kusmiatun, 2018, p. 86). Berikut beberapa teknik mengajar tata bahasa, yakni:
a. Teknik Terjemahan
b. Teknik Kalimat Rumpang
c. Teknik Baca dan Temukan
3. Teknik Mengajar Berbicara-Menyimak
Berbicara dan menyimak adalah dua jenis keterampilan berbahasa yang sangat dekat dan sangat erat berkaitan. Keduanya dapat dibelajarkan secara bersama meskipun kadang fokus kajian dapat mengarah pada salah satunya. Berikut beberapa teknik belajar yang dapat dimanfaatkan untuk keterampilan berbicara dan mendengarkan/menyimak (Kusmiatun, 2018, p. 87), yakni:
a. Teknik Ucap – Tirukan
b. Teknik Mendengar – Menyanyikan Lagu
c. Teknik Simak – Diskusikan
d. Teknik Bertelepon
e. Teknik Pidato Singkat
f. Teknik Debat
g. Teknik Karaoke
h. Teknik “Jika Aku Menjadi ....”
i. Teknik Wawancara
4. Teknik Mengajar Membaca
Dalam membaca pemahaman, panjang dan kompleksitas teks disesuaikan tingkat kemampuan pebelajar. Makin tinggi level belajarnya makin kompleks teks bacaan yang diberikan. Jumlah kosakata dalam teks juga menyesuaikan pebelajarnya. Biasanya di bagian bawah bacaan akan diberikan penguatan kosakata atau kata khusus (istilah). Beberapa teknik belajar dalam kaitannya kemampuan membaca untuk pebelajar BIPA (Kusmiatun, 2018, p. 88) adalah sebagai berikut:
a. Teknik Membaca Proses
b. Teknik Jawab Pertanyaan Bacaan
c. Teknik Diskusi
d. Teknik Membaca Berantai
e. Teknik Menceritakan Kembali
f. Teknik Baca – Tutup – Parafrase
g. Teknik Meresume
h. Teknik Meresensi
5. Teknik Mengajar Menulis
Keterampilan menulis adalah keterampilan berbahasa yang biasanya cenderung mudah dikuasai oleh pebelajar asing dalam belajar bahasa baru. Hanya saja menulis sesuai kaidah yang benar bukan sesuatu yang mudah juga. Kebanyakan para pebelajar menulis dengan gaya bahasa lisan. Ada berbagai jenis tulisan (narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, report, recount, dan sebagainya). Berbagai jenis penulisan itu dapat menguatkan pemerolehan bahasa Indonesia bagi pebelajar BIPA. Berikut ini beberapa teknik belajar menulis yang dapat digunakan dalam pembelajaran menulis dalam kelas BIPA (Kusmiatun, 2018, pp. 88-89), yakni:
a. Teknik Buat Kartu Nama
b. Teknik Dikte
c. Teknik Cerita Biografi/Autobiografi
d. Teknik Resep Makanan
e. Teknik Deskripsi Gambar
f. Teknik Menulis Ping Pong
g. Teknik Menulis Berantai
h. Teknik Menulis Cerita Bergambar
i. Teknik Rangsang Imajinasi
DAFTAR RUJUKAN
Kusmiatun, A. (2018). Mengenal BIPA ((Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) dan Pembelajarannya (Cetakan Ketiga ed.). Yogyakarta: Penerbit K-Media.
Syafryadin, Yuniarti, V., Wijaya, A. S., Wardani, N., Haryani, Oktariza, et al. (2020). Metode Pengajaran BIPA. Jakarta: Halaman Moeka Publishing.
MEDIA DAN EVALUASI PEMBELAJARAN BIPA
MEDIA DAN EVALUASI PEMBELAJARAN BIPA
Fungsi media pembelajaran?
Fungsi media pembelajaran secara garis besar dapat disimpulkan sebagai perantara informasi, pencegah terjadinya hambatan dalam proses pembelajaran, penstimulus motivasi siswa dan guru dalam proses pembelajaran, dan memaksimalkan proses pembelajaran (Hasan, et al., 2021, p. 41).
Manfaat media pembelajaran?
Secara umum manfaat media pembelajaran adalah memperlancar interaksi antara guru dengan siswa sehingga kegiatan pembelajaran lebih efektif dan efisien (Kristanto, 2016, p. 12). Secara rinci, manfaat media pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. Menyaksikan benda yang ada atau peristiwa yang terjadi pada masa lampau.
2. Mengamati benda/peristiwa yang sukar dikunjungi, baik karena jaraknya jauh, berbahaya, atau terlarang.
3. Memperoleh gambaran yang jelas tentang benda/hal-hal yang sukar diamati secara langsung karena ukurannya yang tidak memungkinkan, baik karena terlalu besar atau terlalu kecil.
4. Mendengar suara yang sukar ditangkap dengan telinga secara langsung.
5. Mengamati dengan teliti binatang-binatang yang sukar diamati secara langsung karena sukar ditangkap.
6. Mengamati peristiwa-peristiwa yang jarang terjadi atau berbahaya untuk didekati.
7. Mengamati dengan jelas benda-benda yang mudah rusak/sukar diawetkan.
8. Dengan mudah membandingkan sesuatu.
9. Dapat melihat secara cepat suatu proses yang berlangsung secara lambat.
10. Dapat melihat secara lambat gerakan-gerakan yang berlangsung secara cepat.
11. Mengamati gerakan-gerakan sesuatu yang sukar diamati secara langsung.
12. Melihat bagian-bagian yang tersembunyi dari suatu alat.
13. Melihat ringkasan dari suatu rangkaian pengamatan yang panjang/lama.
14. Dapat menjangkau audien yang besar jumlahnya dan mengamati suatu obyek secara serempak.
15. Dapat belajar sesuai dengan kemampuan, minat, dan temponya masing-masing (Kristanto, 2016, p. 13).
Peran media dalam pembelajaran BIPA?
Media mempunyai manfaat besar dalam pembelajaran BIPA agar pembelajaran dapat menarik dan memotivasi pembelajar. Motivasi akan menjadikan pembelajar bersemangat dan senang belajar. Motivasi akan menjadikan hidupnya interaksi karena pembelajar terangsang untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran di kelas. Media juga bermanfaat untuk mempermudah pembelajar dalam memahami materi. Media dapat berupa gambar, realia, suara, atau stimulus lainnya yang dapat memudahkan pemahaman materi bagi pembelajarnya. Media dapat dimanfaatkan sebagai jembatan pemahaman lintas budaya juga. Melalui media pembelajaran akan budaya yang berbeda dapat diberikan dan pembelajar dapat lebih mengerti akan hal itu. Pembelajaran akan menjadi lebih efektif dan sesuai dengan sasarannya.
Pengajaran BIPA diselenggarakan dalam iklim pembelajaran multikultural. Oleh karena itu, media pembelajaran tidak hanya berfungsi sebagai penyampai materi kebahasaan namun juga sebagai sarana pengantar pemahaman budaya Indonesia. Dengan demikian, peran media pembelajaran BIPA antara lain: (1) penyampai materi kebahasaan; (2) penstimulus ide bagi pembelajar untuk memproduksi bahasa lisan dan tulis, (3) penumbuh minat dan motivasi belajar, media yang interaktif akan menambah semangat pembelajar untuk terlibat dalam segala proses pembelajaran baik individu maupun kelompok; dan (4) pendukung pemahaman lintas budaya (Kusmiatun, 2018, p. 99).
Media dalam Pembelajaran BIPA?
Berbagai media yang dapat digunakan dalam pembelajaran BIPA selama ini berupa gambar, karikatur, foto, teks otentik, rekaman audio, rekaman audiovisual, media berbasis HP, media berbasis komputer, sosial media (facebook, twitter, skype, dan lainnya), lingkungan, permainan tradisional, lagu, dan sebagainya. Pengajar juga merupakan media langsung yang potensial. Pengajar merupakan media yang berupa visual dan verbal. Pengajar menjadi model dalam berbahasa. Apa yang diucapkan dan bagaimana cara mengucapkan bahasa Indonesia oleh guru dapat menjadi model bagi pembelajar. Pengajar yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia juga mempunyai gaya berbicara yang sesuai daerahnya. Logat dan gaya berbahasa para pengajar ini menjadi cerminan budaya yang menjadi bagian dalam pembelajaran BIPA. Pembelajaran BIPA yang diselenggarakan di Indonesia akan lebih mudah menemukan media belajar daripada BIPA yang diselenggarakan di luar negeri. Ada banyak pilihan dalam memilih media yang sesuai materi yang diberikan. Lingkungan penutur asli bahasa Indonesia menjadi sebuah media, terutama dengan adanya interaksi langsung dengan para penutur asli bahasa Indonesia. Media dalam pembelajaran BIPA digunakan pengajar untuk membantu terlaksananya pembelajaran yang menarik dan tepat guna. Namun demikian, tiap media memiliki kelemahan dan kelebihan dalam praktik (Kusmiatun, 2018, p. 101).
Contoh media pembelajaran yang diterapkan dalam pembelajaran BIPA, tergambar dalam beberapa jurnal penelitian berikut:
1. Pengembangan Media Pembelajaran BIPA Tingkat Menengah Melalui E-Book Interaktif di Program in country Universitas Negeri Malang Tahun 2014 (Megawati, 2014).
2. Media Wayang Mini dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara Bagi Pemelajar BIPA A1 Universitas Ezzitouna Tunisia (Widianto, 2017).
3. Pengembangan Film Seri Animasi 3D “Cerita Made” sebagai Media Pembelajaran BIPA di Universitas Pendidikan Ganesha (Widiatmika, Darmawiguna, & Putrama, 2019).
4. Pengembangan Media Pembelajaran Dadu Bergambar untuk Keterampilan Berbicara Mahasiswa BIPA Tingkat Menengah (Violensia, 2020).
5. Pengembangan Kamus Bergambar Berwawasan Cinta Indonesia Berbasis Aplikasi Android Sebagai Media Pembelajaran Bagi Mahasiswa Penutur Asing (Putri & Yuniawan, 2017).
6. Pemanfaatan Lagu Daerah Nusantara sebagai Media Pembelajaran BIPA Berbasis Local Indigenous (Wulandari, Zamzani, & Nurhadi, 2022).
7. Pemanfaatan Media Digital G Suite For Education dalam Pembelajaran BIPA Jarak Jauh di University of Vienna (Septriani, 2022).
Evaluasi Pembelajaran BIPA?
Tujuan pengajaran BIPA sebagaimana tujuan pengajaran lainnya meliputi ranah pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Oleh sebab itu, model evaluasi yang diterapkan dalam BIPA juga harus mengacu pada ketiga ranah tersebut. Bila tidak demikian, pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan dari pebelajar tidak dapat diketahui dengan pasti. Padahal, kepastian hasil evaluasi inilah yang dijadikan titik tolak untuk menentukan kebijakan selanjutnya. Bentuk alat ukur evaluasi dapat berupa tes dan nontes. Bentuk alat ukur yang berupa tes dapat digunakan untuk menguji kompetensi (1) struktur dan ekspresi tulis, (2) kosakata dan membaca, serta (3) menyimak. Nontes digunakan untuk menguji kompetensi (1) berbicara dan (2) menulis dengan bentuk penugasan. Melalui pengamatan, pengukuran kompetensi berbicara dan menulis dilakukan. Untuk melakukan penskoran digunakan lembar pengamatan yang dilengkapi skala berjenjang. Semua bentuk evaluasi tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan pembelajaran BIPA (Muliastuti, 2010, p. 2).
Tes dalam pengajaran BIPA juga dapat dikelompokkan atas tes kebahasaan dan tes keterampilan berbahasa. Bidang kebahasaan terdiri dari sub-bidang ucapan/ejaan, kosakata, dan struktur. Bidang kecakapan berbahasa meliputi: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Pemisahan tersebut dalam praktiknya tidak mutlak sebab di dalam keempat kecakapan berbahasa itu diterapkan ucapan, kosakata, dan struktur (Muliastuti, 2010, p. 3).
1. Evaluasi Kebahasaan
a) Tes Ucapan dan Ejaan
Untuk siswa BIPA, tes ucapan dan ejaan merupakan bagian tes penting mengingat tanpa penguasaan dua hal tersebut komunikasi akan terhambat. Kendala yang dialami para siswa BIPA pada kedua aspek ini biasanya adalah kebiasaan dalam B1 yang akan terbawa ke dalam bahasa Indonesia yang sering kita sebut dengan istilah interferensi. Namun demikian, pengajar BIPA hendaknya tetap melakukan tes tersebut untuk dapat mengetahui kompetensi siswa dalam ucapan dan ejaan (Muliastuti, 2010, p. 4).
b) Tes Kosakata
Dalam pengajaran BIPA, tes kosakata tentu harus disesuaikan dengan tematema yang telah dikuasai siswa. Setiap kosakata terkait dengan tema-tema tertentu. Tes kosakata yang tidak relevan dengan tema yang telah dikuasai siswa akan menimbulkan frustasi pada siswa. Jika siswa telah menguasai tema hukum, maka kosakata yang terkait dengan bidang hukum dapat diujikan. Namun, untuk siswa BIPA tingkat dasar yang tentunya masih berhubungan dengan tema-tema yang dekat dengan kehidupannya (tema konkret) akan sulit mengerjakan tes kosakata tersebut (Muliastuti, 2010, p. 5).
c) Tes Struktur (Tata Bahasa)
Bagi siswa BIPA, keterkaitan konteks dengan tes akan memudahkan siswa berpikir untuk memilih kosakata atau kalimat yang tepat. Tanpa hal tersebut, siswa akan sangat sulit mengerjakan tes tersebut. Di samping itu, terintegrasinya tes bahasa dengan keterampilan berbahasa akan sangat membantu siswa dalam berkomunikasi lisan maupun tulisan, mengingat tujuan siswa BIPA adalah belajar berbahasa bukan bertata bahasa (Muliastuti, 2010, p. 5).
2. Evaluasi Keberbahasaan
a) Tes Menyimak/ Mendengarkan
Pada umumnya, tes menyimak selalu dilakukan dengan media audio atau audiovisual. Yang harus diingat oleh para pengajar BIPA adalah pembicara yang terekam pada media tersebut harus jelas baik suara, lafal, dan intonasinya. Rekaman yang buruk akan menyebabkan hasil tes tidak valid. Sebelum tes, pengajar harus terlebih dahulu menyiapkan perangkat tes dengan baik sehingga tes dapat berjalan lancar (Muliastuti, 2010, p. 6).
b) Tes Berbicara
Tes berbicara dapat dilakukan dengan berbagai cara di antaranya : tes jawaban terbatas, teknik terbimbing, dan wawancara.Tentu saja semua itu dilaksanakan secara lisan dan individual. Namun, dapat juga tes berbicara dilaksanakan secara tertulis dengan bentuk objektif yang dapat menunjukkan bukti-bukti tidak langsung mengenai kemampuan berbicara seseorang (Muliastuti, 2010, p. 7).
c) Tes Membaca
Bentuk soal tes dapat berupa soal tes objektif dengan jawaban benar-salah, jawaban singkat, dan pilihan ganda dengan berbagai variasinya. Karena tes ini berlaku untuk membaca pemahaman, secara umum teknik mengetesnya adalah memberikan kutipan yang berisi masalah kepada peserta dan mengetes ketepatan pemahaman mereka. Semua tes tentu saja dilaksanakan secara tertulis; dengan demikian, ketepatan ucapan, intonasi, dan kelancaran tidak diperhitungkan (Muliastuti, 2010, p. 8).
d) Tes Menulis
Bagi pengajar BIPA, kedua bentuk tes hendaknya digunakan untuk dapat mengukur kemampuan menulis siswa. Tes essai maupun tes objektif dapat digunakan baik untuk siswa BIPA tingkat dasar, menengah, maupun mahir. Yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya adalah tes harus mengukur sesuai tujuan. Jika pengajar akan mengukur kemampuan menulis narasi siswa, tentunya tes bentu essai yang lebih tepat digunakan. Sedangkan tes objektif akan sulit mengukur ranah psikomotor untuk kemampuan menulis (Muliastuti, 2010, p. 9).
Kriteria tes BIPA?
Untuk dapat menyusun tes BIPA yang baik, ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan pengajar. Dalam ilmu pendidikan,kriteria tersebut disebut dengan istilah validitas dan reliabilitas. Dalam tes BIPA, hal tersebut pun wajib menjadi perhatian pengajar. Sebagai alat ukur, tes harus memenuhi beberapa syarat, di antaranya validitas, reliabilitas, dan kepraktisan. Validitas menunjukkan apakah suatu alat ukur benar-benar mengukur sesuatu yang harus diukur dengan hasil yang tepat. Reliabilitas adalah ketetapan sampel. Reliabilitas dapat diuji dengan berbagai cara; salah satu di antaranya yang paling mudah adalah tes-ulang (retest); cara yang lain adalah tes bentuk lain (alternate form) dan belah-dua (split-half). Kepraktisan menyangkut segi ekonomi, kemudian administrasi, penyekoran, dan interpretasi (Muliastuti, 2010, pp. 9-10).
Hal-hal yang perlu dipersiapkan untuk penyusunan tes BIPA?
1. Analisis tujuan siswa belajar BIPA;
2. Persiapkan silabus, materi, dan media sesuai tujuan belajar
3. Susun kisi-kisi tes sesuai tujuan pokok bahasa yang telah ada pada silabus
4. Siapkan tes dengan jenis yang sesuai dengan aspek yang akan diukur
5. Menulis soal sesuai dengan kisi-kisi tes;
6. Uji coba soal agar valid dan reliabel (Muliastuti, 2010, p. 10).
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, M., Milawati, Darodjat, Harahap, T. K., Tahrim, T., Anwari, A. M., et al. (2021). Media Pembelajaran. Klaten: Tahta Media Group.
Kristanto, A. (2016). Media Pembelajaran. Surabaya: Penerbit Bintang Surabaya.
Kusmiatun, A. (2018). Mengenal BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) dan Pembelajarannya. Yogyakarta: Penerbit K-Media.
Megawati, C. (2014). Pengembangan Media Pembelajaran BIPA Tingkat Menengah Melalui E-Book Interaktif di Program in country Universitas Negeri Malang Tahun 2014. NOSI, 2(1) , 62-70.
Muliastuti, L. (2010). Evaluasi Pembelajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing. Semiloka Nasional Pengujian Bahasa Pusat Bahasa (pp. 1-13). Jakarta: Pusat Bahasa Kemendiknas.
Putri, N. A., & Yuniawan, T. (2017). Pengembangan Kamus Bergambar Berwawasan Cinta Indonesia Berbasis Aplikasi Android Sebagai Media Pembelajaran Bagi Mahasiswa Penutur Asing. Lingua, 13(1) , 60-67.
Septriani, H. (2022). Pemanfaatan Media Digital G Suite For Education dalam Pembelajaran BIPA Jarak Jauh di University of Vienna. Jurnal Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing (JBIPA), 3(2) , 70-77.
Violensia, I. (2020). Pengembangan Media Pembelajaran Dadu Bergambar untuk Keterampilan Berbicara Mahasiswa BIPA Tingkat Menengah. BASINDO: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pembelajarannya, 4(1) , 87-93.
Widianto, E. (2017). Media Wayang Mini dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara Bagi Pemelajar Bipa A1 Universitas Ezzitouna Tunisia. Kredo: Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra, 1(1) , 120-143.
Widiatmika, M., Darmawiguna, I., & Putrama, I. (2019). 3. Pengembangan Film Seri Animasi 3D “Cerita Made” sebagai Media Pembelajaran BIPA di Universitas Pendidikan Ganesha . KARMAPATI (Kumpulan Artikel Mahasiswa Pendidikan Teknik Informatika), 8(1) , 22-32.
Wulandari, A., Zamzani, & Nurhadi. (2022). Pemanfaatan Lagu Daerah Nusantara sebagai Media Pembelajaran BIPA Berbasis Local Indigenous. Jurnal Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (JBIPA), 4(2) , 156-167.
PEMBELAJARAN MULTILITERASI DALAM KONTEKS PENDIDIKAN ABAD 21
A. PEMBELAJARAN MULTILITERASI
Multiliterasi adalah konsep pendidikan dan pembelajaran yang bersifat multibudaya, multikonteks, dan multimedia yang dapat digunakan dalam kurikulum apapun yang berlaku di Indonesia. Melalui implementasi pembelajaran multiliterasi, siswa diajarkan sehingga mereka akan beroleh multikompetensi. Hal ini ditunjang pula oleh kenyataan bahwa pembelajran multiliterasi bukan sekedar bertemali dengan pembelajran literasi bahasa melainkan dengan pembelajaran literasi bidang ilmu lainnya, seperti literasi sains, literasi matematis, literasi seni, literasi teknologi, dan literasi-literasi lainnya (Abidin, 2015, p. 1).
Model pembelajaran multiliterasi adalah model pembelajaran yang dikaitkan dengan penggunaan berbagai macam sumber pembelajaran serta menempatkan keempat keterampilan berbahasa seefisien mungkin dan diintegrasikan dengan ilmu pengetahuannya (Rahman & Damaianti, 2019, p. 29).
Model multiliterasi merupakan pembelajaran yang menempatkan kemampuan membaca, menulis, menyimak, dan berbicara seefisien mungkin untuk meningkatkan kemampuan berpikir meliputi kemampuan mengkritisi, menganalisis, dan mengevaluasi informasi dari berbagai sumber dalam berbagai ragam disiplin ilmu dan kemampuan mengkomunikasikan informasi tersebut. keterampilan yang harus dikuasai agar tercipta pembelajaran multiliterasi adalah kemampuan membaca pemahaman yang tinggi, kemampuan menulis yang baik, keterampilan berbicara, dan keterampilan menguasai berbagai media digital. Keterampilan-keterampilan tersebut tidak akan terlepas dari penguasaan literasi dan integrasi bahasa (Abidin, 2015, p. 247).
Morocco dalam Yunus Abidin (2015:182) menyatakan bahwa dalam abad ke dua puluh satu ini kemampuan terpenting yang harus dimiliki oleh manusia adalah kompetensi abad ke-21. Kompetensi belajar dan berkehidupan dalam abad ke-21 ini ditandai dengan empat hal penting yakni:
1. Kompetensi pemahaman yang tinggi
Merupakan kompetensi yang berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk memiliki pemahaman tentang berbagai ilmu pengetahuan.
2. Kompetensi berpikir kritis
Merupakan kemampuan mendayagunakan daya pikir dan daya nalar seseorang sehingga mampu mengkritisi berbagai fenomena yang terjadi disekitarnya.
3. Kompetensi berkolaborasi dan berkomunikasi
Merupakan kemampuan yang berhubungan dengan kesanggupan seseorang untuk berkerja sama dan berinteraksi dengan orang lain.
4. Kompetensi berpikir kreatif
Merupakan kemampuan yang berhubungan dengan kesanggupan seseorang untuk menghasilkan gagasan, proses maupun produk yang bernilai lebih, unik dan memiliki sifat kebaruan.
Berdasarkan paparan diatas, terdapat keterhubungan keempat kompetensi abad ke-21 tersebut. Dan multilitersi merupakan daerah inti kompetensi yang mendukung pengembangan dan penggunaan empat kompetensi lainnya. Berkenaan dengan hal tersebut, agar mampu terlibat dalam berbagai kegiatan inkuiri kritis dan pengembangan keempat kompetensi abad ke-21 yang lain diperlukan keterampilan multiliterasi.
Secara lebih lanjut Marocco dalam Yunus Abidin (2015:184) menyatakan bahwa keterampilan-keterampilan multiliterasi yang harus dikuasai agar mampu mendukung dan mengembangkan keempat kompetensi abad ke-21 meliputi empat keterampilan yang menunjukkan bahwa penguasaan literasi apapun tidak bisa lepas dari konsep literasi dalam bidang ilmu keterampilan berbahasa. Keempat keterampilan tersebut yaitu sebagai berikut:
1. Keterampilan membaca pemahaman yang tinggi
Sejalan dengan esensi keterampilan membaca yang berfungsi sebagai salah satu jalan dalam meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan. Sehingga lebih lanjut, keterampilan ini berhubungan erat dengan kemampuan menyerap berbagai informasi dri berbagai sumber sehingga seseorang yang memiliki keterampilan ini akan secara tepat memahami informasi tersebut dan akan berujung pada berkembangnya khazanah keilmuan yang dimilikinya.
2. Keterampilan menulis yang baik untuk membangun dan mengekspresikan makna
Keterampilan ini bertujuan untuk menghasilkan gagasan kritis kreatif atas pengetahuan yang sudah dimiliki. Kegiatan menulis tidak hanya berfungsi sebagai sarana menyalurkan ide orang lain melainkan sarana untuk menyalurkan ide siswa sendiri sehingga pemahamannya atas sesuatu hal akan semakin meningkat.
3. Keterampilan berbicara secara akuntabel
Keterampilan ini merupakan kemampuan memproduksi ide secara lisan dengan isi yang berbobot dan saluran penyampaian yang tepat. Sangat berguna untuk berbagai kepentingan baik dalam hal menyampaikan ide, memengaruhi dan meyakinkan orang lain, maupun menghibur orang lain.
4. Keterampilan menguasai berbagai media digital
Keterampilan ini berhubungan dengan kesanggupan menguasai berbagai teknologi digitl yang berkembang pesat dan telah menjadi kebutuhan sehari-hari dalam kehidupan. Melalui media digital ini, informasi dapat secara cepat dan akurat disajikan. Selain itu, media digital ini memberikan berbagai pengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Sehingga melalui penguasaan keterampilan ini diharapkan berbagai pengaruh buruk dapat diantisipasi dan pengaruh positifnya dapat dimanfaatkan secara tepat guna dan tepat sasaran.
Keempat keterampilan yang mendukung kompetensi multiliterasi diatas merupakan keterampilan berbahasa yang difungsikan sebagai sarana menguasai berbagai disiplin ilmu dan bukan semata-mata untuk menguasai disiplin ilmu bahasa saja. Hal ini harus disadari bahwa apapun yang dipahami melalui membaca, yang dimaknai dan diekspresikan melalui menulis, dan dikomunikasikan melalui berbicara bisa berupa pengetahuan apa saja di luar pengetahuan tentang bahasa. Oleh karena itu, kemampuan multiliterasi ini dikenal dengan istilah kemampuan literasi lintas bidang ilmu atau kemampuan literasi interdisiplin ilmu.
Bertemali dengan kenyataan bahwa kompetensi multiliterasi merupakan inti kompetensi yang dapat digunakan untuk mendukung dan mengembangkan keempat kompetensi lainnya, konsep literasi bahasa dapat digunakan sebagai kerangka kerja pembelajaran berbagai bidang ilmu. Sejalan dengan hal ini, muncullah istilah dukungan literasi yang dapat disejajarkan dengan istilah pembelajaran multiliterasi.
B. KONSEP PEMBELAJARAN ABAD 21
Peserta didik yang hidup pada abad 21 harus menguasai keilmuan, berketerampilan metakognitif, mampu berpikir kritis dan kreatif, serta bisa berkomunikasi atau berkolaborasi yang efektif, keadaan ini menggambarkan adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan (Greenstein, 2012).
Untuk mengembangkan pembelajaran abad 21, pendidik harus memulai satu langkah perubahan yaitu merubah pola pembelajaran tradisional yang berpusat pada pendidik menjadi pola pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Pola pembelajaran yang tradisional bisa dipahami sebagai pola pembelajaran dimana pendidik banyak memberikan ceramah sedangkan peserta didik lebih banyak mendengar, mencatat dan menghafal.
Konsep Pembelajaran Abad 21 adalah membuat lulusan memiliki kompetensi dalam menguasai keterampilan berpikir, komunikasi yang kompleks dan menyelesaikan masalah yang sangat penting sesuai dengan kebutuhan dinamika global saat ini. Selain itu keterampilan kolaborasi dan kreatifitas juga dibutuhkan anak-anak muda untuk menghadapi kompleksnya perkembangan dunia yang pesat. Pendidikan abad 21 merupakan pendidikan yang mengintegrasikan antara kecakapan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta penguasaan terhadap teknologi informasi dan komunikasi (Chairunnisak, 2019).
Perbedaan pembelajaran abad 21 dengan pembelajaran sebelumnya:
PEMBELAJARAN SEBELUMNYA | PEMBELAJARAN ABAD 21 |
v Berpusat pada guru v Pembelajaran langsung v Menekankan Pengetahuan v Berorientasi pada Isi/materi v Berkaitan dengan Ketrampilan dasar v Penekanan pada Teori v Akademik v Individual v Berlangsung di Ruang kelas v Penilaian sumatif v Belajar demi sekolah |
v Berpusat pada siswa v Pembelajaran kolaboratif v Menekankan ketrampilan v Berorientasi pada proses v Berpikir tingkat tinggi v Menekankan Praktik v Life Skills v Kelompok v Berlangsung dalam komunitas v Penilaian formatif v Belajar demi hidup |
Adapun keterampilan abad 21 yang dibutuhkan siswa:
1. Kualitas karakter
2. Kompetensi
3. Keterampilan literasi dasar
C. PEMBELAJARAN MULTILITERASI DALAM KONTEKS PENDIDIKAN ABAD 21
Model pembelajaran multiliterasi merupakan model pembelajaran yang mengoptimalkan keterampilan-keterampilan multiliterasi dalam mewujudkan situasi pembelajaran saintifik proses. Keterampilan-keterampilan multiliterasi yang digunakan yakni keterampilan membaca, keterampilan menulis, keterampilan berbicara dan keterampilan penguasaan media informasi dan komunikasi. Bertemali dengan definisi ini, perlu diketahui dimensi apa yang terkandung dalam keempat keterampilan tersebut yang bisa difungsikan untuk mengembangkan kemampuan belajar siswa. Berdasarkan aspek tersebut barulah akan terbentuk kerangka dasar multiliterasi.
Keterampilan membaca sebagai salah satu keterampilan multiliterasi menuntut pembelajaran hendaknya dilakukan dengan berdasarkan pada pengembangan kemampuan untuk berpikir tingkat tinggi. Upaya ini bermaksudkan agar keterampilan membaca yang dikembangkan dapat sesuai dengan isi materi pelajaran lain yang memang dikemas secara lebih terpola dan sistematis. Guna mencapai kondisi ini, ada beberapa sub keterampilan membaca yang harus diperhatikan agar keterampilan membaca berfungsi bagi penguasaan materi berbagai mata pelajaran. Beberapa subketerampilan membaca tersebut sebagai berikut:
1. Keterampilan memilih strategi membaca yang tepat
Subketerampilan membaca ini menyatakan siswa agar menggunakan berbagai strategi pembelajaran membaca yang sesuai dengan is materi yang akan dibacakan. Penggunaan berbagai strategi ini agar mendorong siswa memiliki kemampuan metakognisi sehingga nantinya siswa mampu menemukan strategi membaca yang paling tepat sesuai dengan isi materi pelajaran yang dibacanya.
2. Keterampilan memahami organisasi teks
Subketerampilan membaca ini menuntut siswa agar terampil memahami struktur berbagai jenis tulisan yang dibacanya. Subketerampilan membaca ini dapat dikembangkan melalui pelibatan siswa secaralangsung dalam dalam membangdingkan pola-pola organisasi berbagai jenis wacana sehingga mereka mengetahui bagaimana teks sains dikemas, teks ilmu sosial diorganisasikan, dan teks matematika disajikan.
3. Keterampilan mengkritisi teks
Subketerampilan membaca ini menuntut siswa agar terbiasa menguji dan mengkritisi kebenaran sebuah teks, akurasi sumber bacaan, dan kelengkapan teks dalam mata pelajaran sains, subketerampilan dapat terbentuk jika siswa secara langsung melakukan penelitian atau eksperimen sehingga berdasarkan eksperimen tersebut siswa mengetahui kebenaran, keakuratan, dan kelengkapan tersebut.
4. Keterampilan membangun makna kata.
Subketerampilan membaca ini menuntut pemahaman siswa atas makna kata-kata tertentu yang biasanya digunakan dalam mata pelajaran tertentu. Berdasarkan konsep ini, siswa harus dibiasakan menggali makna kata dan istilah sebelum mereka melakukan kegiatan membaca.
Keterampilan menulis sebagai bagian dari keterampilan multiliterasi menghendaki siswa mengekspresikan ide dan gagasannya dalam bentuk tertulis. Isi tulisan yang dibuat siswa tentu saja akan sangat beragam sesuai dengan isi materi yang dipelajarinya. Berdasarkan kondisi ini siswa harus memahami organisasi teks sehingga mampu menulis dengan menggunakan pola pengembangan tulisan yang benar untuk setiap materi yang berbeda.
Bertemali dengan penggunaan keterampilan menulis untuk mengembangkan empat kompetensi abad ke-21, keterampilan ini akan bermanfaat jika diterapkan dengan memerhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Kegiatan menulis harus digunakan sebagai sarana memahami teks.
2. Keterampilan menulis harus digunakan untuk mengkritisi isi bacaan.
3. Tulisan yang dihasilkan hendaknya jelas sesuai dengan jenis, tujuan dan sasarannya.
Penggunaan keterampilan berbicara untuk mendukung kompetensi abad ke-21 harus dilakukan melalui penggunaan berbicara sebagai sarana berpikir kritis dan rasional dalam mengungkapkan berbagai ide dan gagasan yang dimilikinya. Dalam konteks ini jenis-jenis keterampilan berbicara yang dapat digunakan antara lain debat, diskusi, presentasi, dan jenis percakapan lain yang relevan.
Berdasarkan konsep diatas, penerapan keterampilan berbicara dalam pembelajaran hendaknya memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Berbicara hendaknya digunakan sebagai sarana memaknai teks.
2. Berbicara hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan giliran peran sehingga terjalin komunikasi efektif.
3. Berbicara hendaknya digunakan sebagai sarana berpikir kritis melalui kegiatan berdiskusi, berdebat, dan atau kegiatan berbicara lainnya.
4. Berbicara hendaknya tetap dilaksanakan dalam koridor etika berbicara sehingga akan terjalin komunkasi efektif.
5. Berbicara hendaknya disertai kesempatan pascaberbicara yang bersifat terbuka, kritis, dan juga etis.
Penguasaan media dan media digital sebagai alat pendukung penguasaan kompetensi abad ke-21 dapat memainkan peran pentingnya jika berbagai media ini dijadikan alat berpikir kritis dan digunakan dalam berbagai kegiatan inkuiri yang dilakukan siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Y. (2015). Pembelajaran Multiliterasi: Sebuah Jawaban atas Tantangan Pendidikan Abad ke-21 dalam Konteks Keindonesiaan. Bandung: Refika Aditama.
Chairunnisak. (2019). Implementasi Pembelajaran Abad 21 di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pendidikan Pascasarjana UNIMED (pp. 351-359). Medan: Unimed.
Greenstein, L. (2012). Assessing 21st Century Skills:a guide to evaluating mastery and authentic learning. London: Sage Publications Ltd.
Rahman, F. A., & Damaianti, V. S. (2019). Model Multiliterasi Kritis dalam Pembelajaran Siswa Sekolah Dasar. Jurnal pendidikan dasar, 10(1), 27-34.
KESANTUNAN BERBAHASA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesantunan berbahasa berkaitan erat dengan penggunaan bahasa yang diujarkan masyarakat penutur bahasa. Setiap individu dalam masyarakat yang melakukan interaksi bahasa, baik sebagai penutur maupun mitra tutur hendaknya memahami dan mematuhi kaidah kesantunan berbahasa demi keharmonisan diantaranya dalam upaya menghindari onflik dan gesekan bahasa. Kesantunan berbahasa dilatarbelakangi oleh adanya konteks yang berkaitan dengan tempat, waktu, situasi, dan latar belakang penutur baik itu budaya, sosial, pekerjaan dan sebagainya.
Berdasarkan pengalaman pribadi penulis mengunjungi berbagai daerah dengan latar belakang budaya berbeda, terkadang aplikasi kesantunan berbahasa yang diwujudkan dalam ujarannya itu berbeda-beda. Namun secara umum watak orang Indonesia dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kesantunan dalam berbahasa.
Beragam tempat dan situasi lisan (misalkan di sekolah, terminal, siaran langsung televisi, seminar, dan sebagainya), ataukah bentuknya secara tulisan (pada media sosial, karya sastra, jurnal, pesan teks, dan sebagainya) harus mematuhi prinsip kesantunan berbahasa. Telah banyak tentunya penelitian yang terkait kesantunan berbahasa yang mencoba mengelaborasi pemahaman akan pentingnya kesantunan berbahasa diterapkan dalam berbagai onteks kehidupan. Berdasarkan asumsi tersebut maka penulis menyajikan makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:
Bagaimanakah hakikat kesantunan berbahasa?Bagaimanakah prinsip kesantunan berbahasa?Bagaimanakah ciri-ciri kesantunan berbahasa?Bagaimanakah faktor-faktor yang mempengaruhi kesantunan berbahasa?Bagaimanakah studi kasus kesantunan berbahasa?1.3 Tujuan Penulisan
Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:
Untuk memahami hakikat kesantunan berbahasaUntuk memahami prinsip kesantunan berbahasaUntuk memahami ciri-ciri kesantunan berbahasaUntuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kesantunan berbahasaUntuk memahami studi kasus kesantunan berbahasa
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 KESANTUNAN BERBAHASA
2.1.1 Hakikat Kesantunan Berbahasa
Setiap individu dalam sebuah masyarakat mesti menjunjung tinggi kesantunan berbahasa. Dikarenakan kesantunan berbahasa mencerminkan keluhuran budaya masyarakat tersebut. Pramujiono et al. (2020) menjelaskan bahwa kesantunan tidak hanya berkaitan dengan aspek personal, tetapi juga berkaitan dengan nilai-nilai sosial budaya yang disepakati oleh suatu masyarakat sehingga terbentuk suatu masyarakat yang beradab/(masyarakat madani).
Penggunaan bahasa tidak hanya sebatas memperhatikan ragam yang baik dan benar, akan tetapi juga mematuhi ketepatan penyampaian makna dan maksud tujuan yang ingin disampaikan kepada mitra tutur secara santun. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, santun merujuk pada definisi: (1) halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar dan tenang; sopan, (2) penuh rasa belas kasihan; suka menolong.
Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Kesantunan berbahasa tecermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannnya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Tujuan utama kesantunan berbahasa adalah memperlancar komunikasi (Mislikhah, 2020).
Kesantunan berbahasa merupakan tatacara berprilaku yang disepakati oleh suatu masyarakat sebagai aturan perilaku sosial. Kesantunan tidak hanya dapat dilihat dari sisi penutur saja, tetapi juga harus memperhatikan kesan lawan tutur yang mendengarkan hal yang disampaikan penutur (Agustini, 2017). Kridalaksana (2008:11) mendefinisikan kesantunan berbahasa adalah hal memperlihatkan kesadaran akan martabat orang lain dalam berbahasa, baik saat menggunakan bahasa lisan maupun bahasa tulis. Menurut Chaer (2010:11) menjelaskan bahwa sebuah tuturan disebut santun kalau ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan itu memberi pilihan tindakan kepada lawan tutur, dan lawan tutur itu menjadi senang. Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa.
Leech (1993) dalam Wahidah dan Wijaya (2017) mengungkapkan bahwa Kesantunan Berbahasa mengacu pada: (1) cost-benefit scale (skala ini mengacu pada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur. Semakin merugikan dampak tuturan itu bagi penutur, tuturan itu dianggap semakin santun. Begitu pula sebaliknya), (2) optionality scale (skala ini mengacu pada banyak sedikitnya alternatif pilihan yang disampaikan penutur), (3) indirectness scale (skala ini mengacu pada langsung atau tidaknya suatu maksud dikemukakan. Tuturan dianggap sopan bila disampaikan tidak secara langsung), (4) authority scale (skala ini mengacu pada hubungan status sosial antara penutur dan petutur), dan (5) social distance scale (skala ini mengacu pada hubungan sosial antara penutur dan penutur yang terlibat dalam pertuturan.
Berdasarkan pemaparan oleh para ahli di atas, kesantunan berbahasa adalah pengungkapan pikiran dan perasaan dengan halus, baik dan sopan dalam interaksi komunikasi verbal. Kesantunan berbahasa mencerminkan budi halus dan pekerti luhur seseorang dengan tidak menyakiti perasaan dan memberikan pilihan kepada orang lain.
2.1.2 Prinsip Kesantunan Berbahasa
Lakoff (1973) dalam Chaer (2010:46) menyatakan "kesantunan dikembangkan oleh masyarakat guna mengurangi friksi dalam interaksi pribadi". Menurutnya, ada tiga buah kaidah yang harus dipatuhi untuk menerapkan kesantunan, yaitu formalitas (formality), ketidaktegasan (hesitancy), dan kesamaan atau kesekawanan (equality atau cameraderie).
1. Formalitas berarti jangan terdengar memaksa atau angkuh.
2. Ketidaktegasan berarti berarti berbuatlah sedemikian rupa sehingga mitra tutur dapat menentukan pilihan.
3. Kesamaan atau kesekawanan berarti bertindaklah seolah-olah Anda dan mitra tutur menjadi sama.
Gunawan (2017) menjelaskan prinsip kesantunan berbahasa menurut teori Brown dan Levinson itu bermakna sebuah sikap kepedulian kepada wajah atau muka, baik milik penutur, maupun milik mitra tutur. Wajah dalam hal ini bukan berarti rupa fisik, akan tetapi public image, atau harga diri. Dalam kebudayaan Bugis, konsep wajah atau muka itu dikenal dengan istilah siri’ na pesse yang berarti menjaga harga diri, dan kehormatan. Siri’ berarti harga diri dan pesse berarti solidaritas. Dengan demikian, santun berarti kemampuan untuk selalu menjaga harga diri, perasaan, dan kehormatan baik diri sendiri maupun orang lain. Dalam pandangan Brown dan Levinson, konsep kesantunan ini berkaitan erat dengan persoalan bagaimana cara seseorang dapat menghindari sebuah konflik. Dalam teorinya, kesantunan juga berkaitan dengan konsep rasionalitas dan muka. Rasionalitas merupakan penalaran atau logika sarana-tujuan, sementara muka bermakna citra diri yang terdiri atas dua keinginan yang berlawanan, yaitu muka negatif dan muka positif. Muka negatif adalah keinginan agar tindakantindakan seseorang tidak dihalangi oleh orang lain, sementara muka positif adalah keinginan agar seseorang disenangi oleh orang lain. Kesantunan berbahasa merupakan cara untuk memelihara dan menyelamatkan muka. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa sebagian besar tindak tutur selalu mengancam muka penutur dan mitra tutur dan kesantunan berbahasa merupakan upaya untuk memperbaiki ancaman muka tersebut.
Brown dan Levinson (1987: 92) memostulatkan empat dasar strategi bertutur untuk menjaga muka atau harga diri, yaitu
1) melakukan tindak tutur secara langsung/apa adanya tanpa basa-basi (bald on record),
2) melakukan tindak tutur dengan menggunakan strategi kesantunan positif,
3) melakukan tindak tutur dengan menggunakan strategi kesantunan negatif,
4) melakukan tindak tutur secara tersamar/tidak langsung.
Berkaitan dengan strategi kesantunan negatif, Brown dan Levinson (1987) membagi kesantunan negatif menjadi sepuluh substrategi yang meliputi:
1) ungkapan secara tidak langsung,
2) menggunakan pagar,
3) bersikap pesimis dengan cara bersikap hati-hati,
4) meminimalkan pembebanan terhadap lawan tutur,
5) menyatakan rasa hormat,
6) menggunakan permohonan maaf,
7) jangan menyebutkan penutur dan lawan tutur,
8) menyatakan FTA (face trheatening act) sebagai suatu kaidah sosial yang umum berlaku,
9) nominalisasikan pernyataan, dan
10) menyatakan secara jelas bahwa penutur telah memberikan kebaikan (hutang) atau tidak kepada lawan tutur.
Berbeda dengan strategi kesantunan negatif, Brown dan Levinson (1987) menjabarkan kesantunan positif menjadi 15 substrategi, yaitu:
1) memperhatikan kesukaan, keinginan, dan kebutuhan pendengar,
2) membesar-besarkan perhatian, persetujuan, dan simpati kepada pendengar,
3) mengintensifkan perhatian pendengar dengan pendramatisiran peristiwa atau fakta,
4) menggunakan penanda identitas kelompok (bentuk sapaan, dialek, jargon, atau slang),
5) mencari persetujuan dengan topik yang umum atau mengulang sebagian atau seluruh ujaran,
6) menghindari ketidaksetujuan dengan pura-pura setuju, persetujuan yang semu (psedoagreement), menipu untuk kebaikan (white-lies), pemagaran opini (hedging opinions),
7) menggunakan basa basi (small talk) dan presuposisi,
8) menggunakan lelucon,
9) menyatakan paham akan keinginan pendengar,
10) memberikan tawaran atau janji,
11) menunjukkan keoptimisan,
12) melibatkan penutur dan pendengar dalam aktivitas,
13) memberikan pertanyaan atau meminta alasan,
14) menyatakan hubungan secara timbal balik (resiprokal), dan
15) memberikan hadiah (barang, simpati, perhatian, kerja sama) kepada pendengar.
Terkait prinsip kesantunan berbahasa, Leech (1983) mendefinisikan kesantunan sebagai "strategi untuk menghindari konflik" yang "dapat diukur berdasarkan derajat upaya yang dilakukan untuk menghindari situasi konflik". Enam maksim kesantunan (politeness maxims) yang diajukan oleh Leech adalah sebagai berikut:
1) Maksim kebijaksanaan (tact): minimalkan kerugian bagi orang lain; maksimalkan keuntungan bagi orang lain. Contoh: Bila tidak berkeberatan, sudilah datang ke rumah saya.
Rahardi (2005: 60) mengungkapkan gagasan dasar dalam maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Wijana (1996: 56) menambahkan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diuturakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
Contoh:
Tuan rumah : “Silahkan makan saja dulu, Nak! Tadi kami semua sudah mendahului.”
Tamu : “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”
Penjelasan :
Dituturkan oleh seorang Ibu kepada seorang anak muda yang sedang bertamu di rumah Ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus berada di rumah Ibu tersebut sampai malam karena hujan sangat deras dan tidak segera reda (Rahardi, 2005:60). Dalam tuturan diatas, tampak dengan jelas bahwa apa yang dituturkan si tuan rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang tamu. Lazimnya, tuturan semacam itu ditemukan dalam keluarga pada masyarakat tutur desa. Orang desa biasanya sangat menghargai tamu, baik tamu yang datangnya secara kebetulan maupun tamu yang sudah direncanakan terlebih dahulu kedatangannya (Rahardi, 2005: 60-61).
2) Maksim kedermawanan (generosity): minimalkan keuntungan bagi diri sendiri; maksimalkan kerugian bagi diri sendiri. Contoh: Bapak silakan beristirahat. Biar saya yang mencuci piring kotor ini.
Menurut Leech (1993: 209) maksud dari maksim kedermawanan ini adalah buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin, buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. Rahardi (2005: 61) mengatakan bahwa dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Chaer (2010: 60) menggunakan istilah maksim penerimaan untuk maksim kedermawanan Leech.
Contoh:
Anak kos A: “Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak kok, yang kotor.”
Anak kos B: “Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga, kok!”
Penjelasan:
Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antar a sebuah rumah kos di kota Yogyakarta. Anak yang satu berhubungan demikian erat dengan anak yang satunya. Dalam tutursn yang disampaikan si A di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menabahkan beban bagi dirinya sendiri. Orang yang tidak suka membantu orang lain, apalagi tidak pernah bekerjasama dengan orang lain, akan dapat dikatakan tidak sopan dan biasanya tidak akan mendapatkan banyak teman di dalam pergaulan keseharian hidupnya (Rahardi, 2005:62).
3) Maksim pujian (approbation/penghargaan): minimalkan cacian kepada orang lain; maksimalkan pujian kepada orang lain. Contoh: Sepatumu bagus sekali. Beli di mana?
Menurut Wijana (1996:57) maksim penghargaan ini diutarakan dengan kalimat ekspresif dan kalimat asertif. Dalam maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. Rahardi (2005:63) menambahkan, dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Dalam maksim ini Chaer menggunakan istilah lain, yakni maksim kemurahan.
Contoh:
Dosen A : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Bussines English.”
Dosen B : “Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari sini.”
Penjelasan:
Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi (Rahardi, 2005:63). Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai pujian atau penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu, dosen B berperilaku santun (Rahardi, 2005:63)
4) Maksim kerendahanhatian (modesty)/kesederhanaan: minimalkan pujian kepada diri sendiri; maksimalkan cacian kepada diri sendiri. Contoh: Duh, saya bodoh sekali. Saya tidak dapat mengikuti kecepatan dosen tadi saat menerangkan. Boleh saya pinjam catatanmu?
Rahardi (2005:63) mengatakan bahwa di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, kesederhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang. Wijana (1996:58) mengatakan maksim kerendahan hati ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Bila maksim kemurahan atau penghargaan berpusat pada orang lain, maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
Contoh:
Sekretaris A : “Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya!”
Sekretaris B : “Ya, Mbak. Tapi saya jelek, lho.”
Penjelasan:
Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang masih junior pada saat mereka bersama-sama bekerja di ruang kerja mereka (Rahardi, 2005: 64). Dari tuturan sekretaris B di atas, dapat terlihat bahwa ia bersikap rendah hati dan mengurangi pujian untuk dirinya sendiri. Dengan demikian, tuturan tersebut terasa santun.
5) Maksim kesetujuan (agreement): minimalkan ketidaksetujuan dengan orang lain; maksimalkan kesetujuan dengan orang lain. Contoh: Betul, saya setuju. Namun, ....
Menurut Rahardi (2005: 64) dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun. Wijana (1996: 59) menggunakan istilah maksim kecocokan dalam maksim pemufakatan ini. Maksim kecocokan ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka.
Contoh:
Noni : “Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!”
Yuyun : “Boleh. Saya tunggu di Bambu Resto.”
Penjelasan:
Dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya yang juga mahasiswa pada saat mereka sedang berada disebuah ruangan kelas (Rahardi, 2005: 65). Tuturan di atas terasa santun, karena Yuyun mampu membina kecocokan dengan Noni. Dengan memaksimalkan kecocokan di antara mereka tuturan akan menjadi santun.
6) Maksim simpati (sympathy): minimalkan antipati kepada orang lain; maksimalkan simpati kepada orang lain. Contoh: Saya turut berdukacita atas musibah yang menimpa Anda.
Dalam maksim ini diharapkan agar peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Orang yang bersikap antipati terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat (Rahardi, 2005: 65). Menurut Wijana (1996: 60), jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan, atau musibah, penutur layak turut berduka, atau mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.
Contoh:
Ani : “Tut, nenekku meninggal.”
Tuti : “Innalillahiwainailaihi rojiun. Ikut berduka cita.”
Penjelasan:
Dituturkan oleh seorang karyawan kepada karyawan lain yang sudah berhubungan erat pada saat mereka berada di ruang kerja mereka (Rahardi, 2005: 66). Dari tuturan tersebut, terlihat Tuti menunjukkan rasa simpatinya kepada Ani. Orang yang mampu memaksimalkan rasa simpatinya kepada orang lain akan dianggap orang yang santun.
Dengan menerapkan prinsip kesantunan, orang tidak lagi menggunakan ungkapan-ungkapan yang merendahkan orang lain sehingga komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif. Selain menggunakan prinsip kesantunan tersebut, kesantunan berbahasa juga dapat dilakukan dengan menggunakan eufemisme (ungkapan penghalus) dan pilihan kata honorifik (ungkapan hormat untuk menyapa orang lain). Eufemisme merupakan ungkapan halus untuk menggantikan acuan yang dirasa menghina atau merendahkan martabat orang lain. Di mana kamar kecilnya? Kata kamar kecil digunakan untuk menggantikan kata tempat buang air karena penyebutan tersebut di rasa kurang sopan. Dalam komunikasi politik, eufemisme diperlukan untuk menghindari ketidakterimaan dari sasaran komunikasi. Contoh kata pemekaran wilayah yang arti sebenarnya pemecahan wilayah. Kata pemecahan wilayah tidak dipilih karena dimungkinkan maknanya mengganggu fungsi negara kesatuan.
Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan, sebutan kata diri Engkau, Anda, Saudara, Bapak/Ibu mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika kita pakai untuk menyapa orang. Keempat kalimat berikut menunjukkan tingkat kesantunan ketika seorang pemuda menanyakan seorang pria yang lebih tua.
(1) Engkau mau ke mana?
(2) Saudara mau ke mana?
(3) Anda mau ke mana?
(4) Bapak mau ke mana?
Dalam konteks ini, kalimat ke-1 dan ke-2 tidak atau kurang santun diucapkan oleh orang yang lebih muda, tetapi kalimat ke-4 yang sepatutnya diucapkan jika penuturnya ingin memperlihatkan kesantunan. Kalimat ke-3 lazim diucapkan kalau penuturnya kurang akrab dengan orang yang disapanya, walaupun lebih patut penggunaan kalimat ke-4.
2.1.3 Ciri-Ciri Kesantunan Berbahasa
Berdasarkan keenam maksim kesantunan yang dikemukakan Leech, Chaer (2010: 56-57) memberikan ciri kesantunan sebuah tuturan sebagai berikut :
1) Semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginannya untuk bersikap santun kepada lawan tuturnya.
2) Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung, lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
3) Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih santun dibandingkan dengan kalimat perintah (imperatif).
Zamzani, et al. (2012) merumuskan beberapa ciri tuturan yang baik berdasarkan prinsip kesantunan Leech, yakni sebagai berikut:
1) Tuturan yang menguntungkan orang lain
2) Tuturan yang meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri
3) Tuturan yang menghormati orang lain
4) Tuturan yang merendahkan hati sendiri
5) Tuturan yang memaksimalkan kecocokan tuturan dengan orang lain
6) Tuturan yang memaksimalkan rasa simpati pada orang lain
Pranowo (2009) dalam Agustini (2017) menguraikan ciri kesantunan berbahasa bisa nampak pada indikator kesantunan berbahasa. Sebuah indikator diperlukan untuk dapat menjadi tolak ukur pencapaian suatu hal yang akan dinilai. Indikator kesantunan adalah penanda yang dapat dijadikan penentu apakah pemakaian bahasa Indonesia si penutur itu santun ataukah tidak.
1. Indikator Kesantunan Menurut Dell Hymes (1978)
a. Setting and Scene (waktu dan tempat berlangsungnya komunikasi).
b. Participants (pihak pihak yang terlibat dalam pertuturan).
c. Ends (maksud dan tujuan pertuturan).
d. Act Sequence (bentuk dan isi ujaran).
e. Key (cara penyampaian).
f. Instrumentalities (jalur bahasa yang digunakan).
g. Norms (norma atau aturan berinteraksi).
h. Genres (ragam bahasa yang digunakan).
2. Indikator Kesantunan Menurut Grice (2000)
a. Ketika berbicara harus mampu menjaga martabat mitra tutur agar tidak merasa dipermalukan.
b. Ketika berkomunikasi tidak boleh mengatakan hal-hal yang kurang baik mengenai diri mitra tutur atau orang atau barang yang ada kaitannya dengan mitra tutur.
c. Tidak boleh mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur.
d. Tidak boleh menyatakan ketidaksetujuan dengan mitra tutur sehingga mitra tutur merasa jatuh harga dirinya.
e. Tidak boleh memuji diri sendiri atau membanggakan nasib baik atau kelebihan diri sendiri.
3. Indikator Kesantunan Menurut Leech (1983)
a. Tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur (maksim kebijaksanaan “tact maxim”).
b. Tuturan lebih baik menimbulkan kerugian pada penutur (maksim kedermawanan “generosity maxim”).
c. Tuturan dapat memberikan pujian kepada mitra tutur (maksim pujian “praise maxim”).
d. Tuturan tidak memuji diri sendiri (maksim kerandahan hati).
e. Tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur (maksim kesetujuan “agreement maxim”).
f. Tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh mitra tutur (maksim simpati “sympathy maxim”).
g. Tuturan dapat mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang pada mitra tutur (maksim pertimbangan “consideration maxim”).
Menurut Agustini (2017) terdapat dua bentuk kesantunan yaitu bentuk kesantunan linguistis dan bentuk kesantunan pragmatis. Bentuk kesantunan linguistis terdiri dari intonasi, diksi, dan struktur kalimat sedangkan bentuk kesantunan pragmatis yaitu cara atau gaya bahasa.
2.1.4 Faktor Penyebab Ketidaksantunan Berbahasa
Ketidaksantunan bisa terjadi ketika penutur tidak mampu mengendalikan apa yang mereka bicarakan sehingga bahasa yang digunakan menjadi tidak santun. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Pranowo (dalam Chaer, 2010) yang menjelaskan beberapa faktor pemakaian bahasa yang tidak santun di antaranya yaitu: 1) menyampaikan kritik secara langsung dengan berkata kasar; 2) emosi pada diri penutur; 3) protektif terhadap pendapat penutur; 4) penutur sengaja memojokkan mitra tutur; 5) menuduh atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur. Faktor yang mempengaruhi kesantunan dalam bertutur dibedakan menjadi dua (Pranowo, 2009) yaitu: 1) faktor kebahasaan seperti, intonasi, nada, pilihan kata 2) faktor nonkebahasaan seperti, pranata sosial budaya masyarakat, sikap penutur, topik yang dibicarakan.
Faktor yang mempengaruhi ketidaksuntan berbahasa yakni:(1) Faktor dorongan rasa emosi penutur. (2) Faktor sengaja memojokkan mitra tutur. (3) Faktor mengkritik secara langsung dengan kata-kata yang kasar.(4) Faktor kebiasaan siswa. (5) Faktor kedudukan di kelas dan (6)Faktor latar belakang sosial penutur (Sugiarti, 2017).
Mislikhah (2020) menjelaskan faktor yang menyebabkan pemakaian bahasa menjadi tidak santun adalah sebagai berikut.
1. Penutur menyampaikan kritik secara langsung dengan kata atau frasa kasar.
Komunikasi menjadi tidak santun jika penutur ketika bertutur menyampaikan kritik secara langsung kepada mitra tutur. Sebagai contoh, ungkapan-ungkapan yang sering kita dengar dari demo mahasiswa yang mengkritik pimpinan dengan mengunakan istilah-istilah kasar. Komunikasi dengan cara seperti itu dinilai tidak santun karena dapat menyinggung perasaan mitra tutur yang menjadi sasaran kritik.
2. Penutur didorong rasa emosi ketika bertutur
Ketika bertutur, penutur didorong rasa emosi yang berlebihan sehingga terkesan marah kepada mitra tutur
3. Penutur protektif terhadap pendapatnya
Ketika bertutur, seorang penutur kadang-kadang protektif terhadap pendapatnya. Hal demikian dimaksudkan agar tuturan mitra tutur tidak dipercaya oleh pihak lain.
4. Penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur
Ketika bertutur, penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur. Perhatikan contoh di bawah ini. Mereka sudah buta mata hati nuraninya. Apa mereka tidak sadar kalau BBM naik, harga barang-barang lainnya bakal membubung. Akibatnya, rakyat semakin tercekik. Tuturan di atas terkesan sangat keras dan intinya memojokkan mitra tutur. Tuturan dengan kata-kata keras dan kasar seperti itu menunjukkan bahwa penutur berbicara dengan nada marah, rasa jengkel, dan memojokkan mitra tutur.
5. Penutur menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur
Tuturan menjadi tidak santun jika penutur terkesan menyampaikan kecurigaan terhadap mitra tutur. Hal ini dapat dilihat pada data tuturan di bawah ini. …kawasan hutan lindung dan konservasi biasanya dialihfungsikan menjadi areal perkebunan, pertambangan, atau hanya diambil kayunya lalu ditelantarkan. Tuturan di atas berisi tuduhan penutur kepada mitra tutur atas dasar kecurigaan penutur terhadap yang dilakukan oleh mitra tutur, seperti “hanya diambil kayunya lalu ditelantarkan”, Tuturan demikian menjadi tidak santun karena isi tuturan tidak didukung dengan bukti yang kuat, tetapi hanya atas dasar kecurigaan. Atas dasar identifikasi di atas, ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidaksantunan pemakaian Bahasa Indonesia. Pertama, ada orang yang memang tidak tahu kaidah kesantunan yang harus dipakai ketika berbicara. Jika faktor ini yang menjadi penyebabnya, terapi yang harus dilakukan adalah memperkenalkan kaidah kesantunan dan mengajarkan pemakaian kaidah tersebut dalam berkomunikasi. Hal ini biasanya terjadi pada anak kecil yang memang belum cukup pengetahuannya mengenai kesantunan berbahasa Indonesia. Kedua, ada orang yang sulit meninggalkan kebiasaan lama dalam budaya bahasa pertama sehingga masih terbawa dalam kebiasaan baru (berbahasa Indonesia). Jika faktor ini yang menjadi penyebabnya, terapi yang harus dilakukan adalah secara perlahan-lahan meninggalkan kebiasaan lama dan menyesuaikan dengan kebiasaan baru.
2.1.5 Studi Kasus Kesantunan Berbahasa
Berikut penulis sajikan studi kasus yang khusus meneliti tentang kesantunan berbahasa, sebagai berikut:
1. Penelitian oleh Mey Jayanti dan Subyantoro(Universitas Negeri Semarang), berjudul “Pelanggaran Prinsip Kesantunan Berbahasa pada Teks di Media Sosial” pada tahun 2019 yang dimuat di Jurnal Sastra Indonesia, Volume 8 Nomor 2, halaman 119-128:
Adapun salah satu hasil temuan terkait kesantunan berbahasa dalam penelitian tersebut yakni:
Tindak pengancaman muka negatif berupa ungkapan peringatan
Konteks : Dituturkan oleh Tifatul Sembiring pada tanggal 30 Januari 2018 di twitter
Tuturan : Assalamulaikum, panggung politik kerap bersikap munafik, beda antara ucapan dan perbuatan. Kata-kata yang manis belum tentu benar tak selalu enak di dengar. Drama politik tak kan pernah mengubah masyarakat.
Data tersebut merupakan penggalan tuturan dari teks media sosial twitter. Tuturan tersebut melanggar prinsip kesantunan tindak mengancam muka negatif dengan mengungkapkan peringatan terhadap lawan tutur. Tuturan yang melanggar terdapat dalam tuturan ”kata-kata yang manis belum tentu benar tak selalu enak di dengar. Drama politik tak kan pernah mengubah masyarakat”. Tuturan tersebut menunjukkan bahwa kata-kata yang manis ataupun drama politik untuk masyarakat belum tentu dapat mengubah pikiran masayarakat, yaitu terbukti pada tuturan “drama politik tak kan pernah mengubah masyarakat”. Tifatul mengungkapkan tuturan tersebut agar lawan tutur dalam berpolitik tidak harus mengandalkan perkataan dari beberapa golongan (partai) yang bertentangan.
2. Penelitian oleh Dita Armeilia, Resmi, dan Berlian R. Turnip (Universitas Simalungun Pematangsiantar) berjudul “Kesantunan Berbahasa dalam Novel ‘Selena’ karya Tere Liye” pada tahun 2021 yang dimuat di Journal on Teacher Education, Volume 2 Nomor 2, halaman 184-194:
Adapun salah satu hasil temuannya terkait kesantunan berbahasa yaitu:
Maksim Kebijaksanaan
Maksim ini menggariskan bahwa setiap peserta tuturan harus meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain.
Data 1 : Aku ingat sekali kejadian malam itu, dengan senyum tipis Ibu berkata padaku, “Selena jadilah anak yang kuat. Kamu akan sendirian menghadapi kehidupan. Ibu akan pergi, Nak, seperti ayahmu. Maafkan Ibu yang tidak bisa membesarkanmu dengan baik”. Aku kembali mengangguk pelan. Aku tidak memangis. Sejak kecil aku tidak pernah menangis. Bahkan saat lahir pun aku tidak menangis. Kejadian langkah yang membuatku kadang dipanggil “Anak yang tidak pernah menangis” (hlm. 3)
Dari kutipan di atas menggambarkan Ibu meminta maaf kepada Selena. Tindakan tersebut agar menimimalkan kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan orang lain.
3. Penelitian oleh Sri Yulianti Lahabu, Dakia Djou, dan Muslimin (Universitas Negeri Gorontalo) berjudul “Kesantunan Berbahasa di SMA Negeri 1 Dulupi Kabupaten Boalemo dan Implementasinya dalam Pembelajaran” pada tahun 2021 yang dimuat di Jurnal Reduplikasi: Jurnal Penelitian Pendidikan Bahasa Indonesia, Volume 1 Nomor 1, halaman 31-39:
Adapun hasil temuan penelitiannya dapat disajikan sebagai berikut:
Bentuk kesantunan berbahasa terbagi dalam dua bentuk yakni bentuk kesantunan linguistis dan bentuk kesantunan pragmatis. Bentuk kesantunan linguistis antar siswa di SMA Negeri I Dulupi Kabupaten Boalemo dalam ragam resmi dan ragam pergaulan meliputi pilihan kata (diksi) yang tepat, intonasi, dan struktur kalimat yang menunjukkan kesantunan berbahasa. Bentuk kesantunan pragmatis dalam ragam resmi ditandai dengan penggunaan majas perumpamaan sedangkan dalam ragam pergaulan ditandai dengan penggunaan majas metonimia. Kesantunan berbahasa di SMA Negeri 1 Dulupi Kabupaten Boalemo berdasarkan prinsip kesantuan Leech ditemukan beberapa maksim, yaitu: (1) maksim kebijaksanaan, (2) maksim kedermawanan, (3) maksim kesederhanaan, (4) maksim kesepakatan, dan (5) maksim kesimpatian. Sementara Pelanggaran maksim menurut prinsip kesantunan berbahasa menurut Leech yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, dan maksim kesederhanaan.
a. Bentuk kesantunan berbahasa antar siswa di lingkungan sekolah
Salah satu faktor penentu bentuk kesantunan yaitu penggunaan pilihan kata (diksi) yang tepat sesuai dengan peristiwa tutur dan lawan tutur. Interaksi dengan siswa dalam ragam resmi menggunakan pilihan kata (diksi) yang sesuai dengan situasi pertuturan. Sementara dalam ragam pergaulan, terdapat dua pilihan kata yang digunakan yakni kata “jangan” dan “belum”. Kata “jangan” digunakan sebagai larangan. Dalam konteks tuturan di atas, kata “jangan” bukan sekedar larangan tetapi juga memunculkan daya bahasa. Kata “jangan” juga dipersepsi bukan sekedar dari maknanya tetapi melalui daya bahasanya. Kata “jangan” dipersepsi sebagai “larangan sambil menyuruh introspeksi diri”.
b. Bentuk Kesantunan Berbahasa Siswa dalam Berinteraksi dengan Guru
Penggunaan pilihan kata (diksi) “beliau”, “maaf”, “dananya”, “perkenalkan” memiliki kadar yang lebih santun jika dibandingkan dengan kata “dia”, “uangnya”, dan “beritahukan”. Meskipun dalam kata-kata tersebut sering digunakan akan tetapi dalam konteks tuturan tertentu kata-kata tersebut masih dirasa belum mencerminkan kesantunan. Penggunaan kata “beliau” memberikan kesan bahwa penutur sangat menghormati orang yang sedang dibicarakannya
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesantunan berbahasa di SMA Negeri 1 Dulupi Kabupaten Boalemo
Kesantunan berbahasa di SMA Negeri I Dulupi Kabupaten Boalemo didukung oleh beberapa faktor, yaitu faktor bahasa daerah Gorontalo, lingkungan sekolah, dan juga lingkungan keluarga atau tempat tinggal. Implementasi kesantunan berbahasa di SMA Negeri I Dulupi Kabupaten Boalemo dapat dilaksanakan dalam proses pembelajaran maupun dalam situasi informal di luar jam pelajaran.
4. Penelitian oleh Diansyah Ramadhan, Ngudining Rahayu, dan Bambang Djunaidi (Universitas Bengkulu) berjudul “Kesantunan Berbahasa dalam Diskusi pada Acara Indonesia Lawyers Club di TV One” pada tahun 2020 yang dimuat di Wacana: Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengajaran, Volume 18 Nomor 2, halaman 132-142:
Adapun hasil temuannya sebagai berikut:
Pematuhan Maksim Kesimpatian
Di dalam maksim kesimpatian, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggapsebagai tindakan tindak santun.
Konteks Penutur: M. Efendi Gazali (MEG),narasumber
Mitra tutur: Andi Arif
Hari/tanggal: Selasa, 05 Maret 2019,
Pukul 20.00 WIB
Tempat: Studio Tv One
Situasi: Formal
Topik: Andi Arif Terjerat Narkoba; Pukulan Bagi Kubu 02
MEG: “Kembali ke judul ini pukulan bagisiapa maka dengan agak cepat tentunyakita harus melihat basis pendekatn yang kita pakai apa? Yang pasti kalau secara sederhana mengatakan sesudah ini Bang Andi Arif, salam juga ya bagi Bang Andi Arif mudah-mudahan sebagai dalam tanda petik korban ya cepatlah bisa terhabilitasi dan kembali seperti aktivitas sedia kala”.
Tuturan data di atas, MEG sebagai penutur, Andi Arif sebagai mitra tutur. Penggunaan kata tuturan “Salam juga ya bagi Bang Andi Arif mudah-mudahan sebagai dalam tanda petik korban ya cepatlah bisa terhabilitasi dan kembali seperti aktivis sedia kala” merupakan wujud pematuhanmaksim kesimpatian. Tuturan MEG mengandung pematuhan maksim kesimpatian maknanya adalah memberikan dukungan kepada mitra tutur. Tuturan MEG di atas mematuhi maksim kesimpatian karena penutur MEG menunjukan sikap simpati atas kejadian yang menipa Andi Arif. Tuturan ini memperlihatkan sikap simpati, memberikan dukungan, dan ketabahan kepada Andi Arif yang menjadi korban narkoba. Sikap penutur MEG menandakan bahwa penutur MEG mematuhi maksim kesimpatian
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesantunan berbahasa adalah pengungkapan pikiran dan perasaan dengan halus, baik dan sopan dalam interaksi komunikasi verbal. Kesantunan berbahasa mencerminkan budi halus dan pekerti luhur seseorang dengan tidak menyakiti perasaan dan memberikan pilihan kepada orang lain. Prinsip kesantunan berbahasa menurut teori Brown dan Levinson itu bermakna sebuah sikap kepedulian kepada wajah atau muka, baik milik penutur, maupun milik mitra tutur. Wajah dalam hal ini bukan berarti rupa fisik, akan tetapi public image, atau harga diri. Leech mengajukan enam maksim kesantunan yaitu maksim kebijaksanaan (tact), maksim kedermawanan (generosity), maksim pujian (approbation), maksim kerendahanhatian (modesty), maksim kesetujuan (agreement), maksim simpati (sympathy).
Ciri kesantunan berbahasa menurut Chaer yaitu (1) semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginannya untuk bersikap santun kepada lawan tuturnya, (2) tuturan yang diutarakan secara tidak langsung, lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung, (3) memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih santun dibandingkan dengan kalimat perintah (imperatif). Faktor pemakaian bahasa yang tidak santun di antaranya yaitu: 1) menyampaikan kritik secara langsung dengan berkata kasar; 2) emosi pada diri penutur; 3) protektif terhadap pendapat penutur; 4) penutur sengaja memojokkan mitra tutur; 5) menuduh atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur. Faktor yang mempengaruhi kesantunan dalam bertutur dibedakan menjadi dua yaitu: 1) faktor kebahasaan seperti, intonasi, nada, pilihan kata 2) faktor nonkebahasaan seperti, pranata sosial budaya masyarakat, sikap penutur, topik yang dibicarakan.
3.2 Saran
Pada makalah ini kita telah diberikan pemahaman mengenai kesantunan berbahasa. Sangat besar harapan penyusun agar nantinya makalah ini dapat membantu pembaca untuk lebih memahami baik konsep maupun penerapan sosiolinguistik itu sendiri di masayarakat. Selain itu, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca agar pada penulisan makalah selanjutnya hal itu dapat diperbaiki. Tak luput penyusun menitipkan masukan sebagai berikut:
3.2.1 Bagi linguis, dosen, peneliti
a. Memperkaya multi penafsiran kajian kesantunan berbahasa
b. Memproduksi teori pengembangan kesantunan berbahasa
c. Mendokumentasikan penelitian bidang sosiolinguistik secara kontinuitas
3.2.2 Bagi guru dan mahasiswa bahasa
a. Mendalami kajian sosiolinguistik dengan sumber beragam dan terbaru
b. Melakukan penelitian kajian sosiolinguistik di masyarakat
c. Berkolaborasi dengan dosen dan peneliti dalam berkarya
DAFTAR PUSTAKA
Agustini, R. (2017). Bentuk Kesantunan Berbahasa Indonesia (Studi Deskriptif Terhadap Penggunaan Bahasa Indonesia oleh Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Galuh Ciamis). Literasi: Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia serta Pembelajarannya, 1(1), 9-17.
Armeilia, D., Resmi, R., & Turnip, B. R. (2021). Kesantunan Berbahasa dalam Novel “Selena” Karya Tere Liye. Journal on Teacher Education, 2(2), 184-194.
Brown, P. dan Levinson, S.C. 1987. Politeness Some Universals in Language Usage. New York: Cambridge University Press.
Chaer, A. (2010), Kesantunan Berbahasa, Jakarta: Rineka Cipta.
Gunawan, F. (2017). Representasi kesantunan Brown dan Levinson dalam wacana akademik. Kandai, 10(1), 16-27.
Jayanti, M., & Subyantoro, S. (2019). Pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa pada teks di media sosial. Jurnal Sastra Indonesia, 8(2), 119-128.
Kridalaksana, H. (2008), Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lahabu, S. Y., Djou, D., & Muslimin, M. (2021). Kesantunan Berbahasa di SMA Negeri 1 Dulupi Kabupaten Bolaemo dan Implementasinya dalam Pembelajaran. Reduplikasi: Jurnal Penelitian Pendidikan Bahasa Indonesia, 1(1), 31-39.
Leech, G.N. (1983), Principles of Pragmatics, New York: Longman
Mislikhah, S. (2020). Kesantunan Berbahasa. Ar-Raniry, International Journal of Islamic Studies, 1(2), 285-296.
Pramujiono, A., et al. (2020). Kesantunan Berbahasa, Pendidikan Karater, Dan Pembelajaran Yang Humanis.Magetan: Indocamp.
Rahardi, R. K. (2005). Pragmatik: kesantunan imperatif bahasa Indonesia. Erlangga.
Ramadhan, D., Rahayu, N., & Djunaidi, B. (2020). Kesantunan Berbahasa dalam Diskusi pada Acara Indonesia Lawyers Club di TV One. Wacana: Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra dan Pengajaran, 18(2), 132-142.
Sugiarti, M., Rahayu, N., & Wulandari, C. (2017). Analisis ketidaksantunan berbahasa di smp negeri 18 kota bengkulu. Jurnal Ilmiah KORPUS, 1(2), 150-156.
Wahidah, Y., & Wijaya, H. (2017). Anaslisis Kesantunan Berbahasa Menurut Leech pada Tuturan Berbahasa Arab Guru Pondok Pesantren Ibnul Qoyyim Putra Yogyakarta Tahun Ajaran 2016/2017 (Kajian Prgmatik). Jurnal Al Bayan: Jurnal Jurusan Pendidikan Bahasa Arab, 9(1), 1-16.
Wijana, I. D. P. (1996). Dasar-dasar pragmatik. Andi Offset.
Zamzani, Z., Musfiroh, T., Maslakhah, S., Listiyorini, A., & Rahayu, Y. E. (2012). Pengembangan Alat Ukur Kesantunan Bahasa Indonesia Dalam Interaksi Sosial Formal Bersemuka. Jurnal Penelitian Humaniora, 17(2).
Sumber rujukan:
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/
KOMPUTER SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN (E-LEARNING)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Era digital merambah dunia pendidikan khususnya aktifitas pembelajaran. Kebutuhan akan media pembelajaran interaktif yang disesuaikan dengan perkembangan jaman menempatkan komputer seabagai media pembelajaran memanfaatkan jaringan internet demi akses penggunaan e-learning sebagai proses pembelajaran. Pemanfaatan komputer sebagai e-learning tentunya mengedepankan aspek efisiensi dan fleksibilitas pembelajaran. Apalagi ketika pandemi Covid-19 bergejolak, pun berimbas dalam dunia pendidikan. Pada akhirnya, pembelajaran secara daring menjadi model pilihan utama bagi guru untuk tetap memastikan keberlangsungan proses pembelajaran.
Telah banyak website dan aplikasi yang menawarkan konsep pembelajaran online berbasis e-learning. Namun guru harus memastikan penggunaan e-learning tersebut harus memiliki karakteristik model yang sesuai diterapkan dalam pembelajaran. Sebelum mengaplikasikan e-learning, guru harus mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan e-learning tersebut sebagai langkah relevansinya diintegrasikan dalam proses pembelajaran. Atas dasar asumsi tersebut, penulis menyajikan makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:
Bagaimanakah hakikat komputer sebagai media pembelajaran?Bagaimanakah karakteristik media pembelajaran berbasis komputer?Bagaimanakah hakikat e-learning?Bagaimanakah fungsi dan manfaat e-learning?Bagaimanakah kelebihan dan kekurangan e-learning?Bagaimanakah penerapan e-learning sebagai media pembelajaran?
1.3 Tujuan Penulisan
Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:
Untuk memahami hakikat komputer sebagai media pembelajaranUntuk memahami karakteristik media pembelajaran berbasis komputerUntuk memahami hakikat e-learningUntuk memahami fungsi dan manfaat e-learningUntuk memahami kelebihan dan kekurangan e-learningUntuk memahami penerapan e-learning sebagai media pembelajaran
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 KOMPUTER SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN (E-LEARNING)
2.1.1 Hakikat Komputer sebagai Media Pembelajaran
Komputer berasal dari bahasa latin Computare yang mengandung arti menghitung. Karena luasnya bidang garapan ilmu komputer, para pakar dan peneiiti sedikit berbeda dalam mendefinisikan terminologi komputer (Sudjiman:2018). Komputer adalah mesin yang dirancang khusus untuk memanipulasi informasi yang diberi kode, mesin elektronik yang otomatis melakukan pekerjaan dan perhitungan sederhana dan rumit. Satu unit komputer terdiri atas empat komponen dasar, yaitu input (misalnya keyboard dan writing pad), prosesor (CPU unit pemroses data yang diinput), penyimpanan data (memori yang menyimpan data yang akan diproses oleh CPU balk secara permanen (ROM) maupun untuk sementara (RAM), dan output misalnya layar monitor, printer atau plotter (Ramli, 2012:94).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, komputer adalah alat elektronik otomatis yang dapat menghitung atau mengolah data secara cermat menurut instruksi, dan memberikan hasil pengolahan, serta dapat menjalankan sistem multimedia (film, musik, televisi, faksimile, dan sebagainya), biasanya terdiri atas unit pemasukan, unit pengeluaran, unit penyimpanan, serta unit pengontrolan. Harmayani et al. (2021:3-4) menyajikan berbagai definisi komputer dari beberapa ahli, sebagai berikut:
1. Menurut Robert H. Blissmer, pengertian komputer adalah suatu alat elektronik yang mampu melakukan beberapa tugas, yaitu menerima input, memproses input sesuai dengan instruksi yang diberikan, menyimpan perintah-perintah dan hasil pengolahannya, serta menyediakan output dalam bentuk informasi.
2. Menurut V. C. Hamacher, definisi komputer adalah mesin penghitung elektronik yang cepat dan dapat menerima informasi input digital, kemudian memprosesnya sesuai dengan program yang tersimpan di memorinya, dan menghasilkan output berupa informasi.
3. Menurut Sanders, pengertian komputer adalah sistem elektronik yang digunakan untuk memanipulasi data yang cepat serta tepat, dirancang dan diorganisasikan agar dapat secara otomatis menerima dan menyimpan data, memproses data hingga menghasilkan output berdasarkan perintah yang sudah tersimpan di dalam memori.
4. Menurut Fuori, pengertian komputer adalah suatu alat pemroses data yang bisa melakukan perhitungan secara besar dan cepat, termasuk perhitungan aritmatika serta operasi logika, dan tidak ada campur tangan manusia.
5. Menurut Robert H. Blissmer, pengertian komputer adalah suatu alat elektronik yang mampu melakukan beberapa tugas diantaranya menerima input, memproses input, menyimpan perintah-perintah dan menghasilkan output yang berbentuk informasi.
6. Menurut Williams & Sawyer, definisi komputer adalah mesin serbaguna yang dapat diprogram, bisa menerima data (fakta-fakta serta gambar-gambar kasar) dan memproses atau memanipulasi data tersebut ke dalam informasi yang dapat digunakan.
Komputer memberikan beberapa kelebihan untuk produksi media audio visual. Komputer dapat menghasilkan grafik dan peta yang memiliki ketepatan statistik untuk bermacam-macam media visual. Beberapa komputer yang menghasilkan sistem grafis dapat dengan cepat menghasilkan beberapa pandangan dari suatu objek tiga dimensi. Dengan demikian dapat memberikan pilihan gambar kepada pemakainya. Film bingkai judul, film bingkai kata, dan film bingkai grafis yang menarik dapat dihasilkan dengan cepat dan relatif murah oleh sistem komputer. Komputer digunakan untuk penyuntingan yang tepat dan pengumpulan produksi video dan film. Komputer untuk keperluan sistem word processing pun sudah umum dalam sebagian besar media cetak (Ramli, 2012:94).
Komputer sebagai media pembelajaran memberikan pengertian bahwa pemanfaatan komputer diterapkan sebagai salah satu komponen penunjang kegiatan pembelajaran. Saefulloh (2007) mengungkapkan keistimewaan komputer sebagai media pembelajaran, adalah sebagai berikut:
1. Komputer dapat berperan sebagai media yang efektif untuk menumbuhkembangkan minat dan kreativitas siswa dalam pembelajaran.
2. Komputer dapat menjadikan siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran (terciptanya hubungan interaktif).
3. Dengan menggunakan komputer sebagai media pembelajaran, seringkali siswa berhasil mempelajari bahan ajar yang sama banyaknya dengan waktu yang lebih sedikit.
4. Siswa yang belajar dengan media komputer mempunyai kemampuan mengingat materi kuliah dalam waktu yang lebih lama dan dapat menggunakannya dalam bidang-bidang lain.
5. Komputer memberi fasilitas bagi siswa untuk mengulangi pelajaran apabila diperlukan, dengan tujuan memperkuat proses belajar dan memperbaiki ingatan.
6. Komputer membantu siswa memperoleh umpan balik secara leluasa dan bisa memacu motivasi siswa dengan peneguhan positif yang diberikan jika siswa memberikan jawaban.
2.1.2 Karakteristik Media Pembelajaran Berbasis Komputer
Pemanfaatan komputer sebagai media pembelajaran mengisyaratkan penyajian berbagai model pembelajaran melalui pendekatan komputer. Adapun beberapa model pembelajaran melalui pendekatan komputer menurut Saefulloh (2007) adalah sebagai berikut:
1. Simulasi
Pada model simulasi, komputer menyediakan suatu situasi buatan yang serupa dengan situasi yang sebenarnya, di mana siswa dapat melakukan latihan sama persis seperti dalam situasi yang sesungguhnya tanpa harus menghadapi risiko buruk seperti yang terjadi dalam situasi sesungguhnya. Siswa menganalisis suatu hipotesis/konsep, mengambil keputusan berdasarkan informasi yang diberikan dan membuat kesimpulan
2. Latihan dan Praktik (Drill and Practice)
Model ini membantu siswa dalam mengingat dan menggunakan informasi yang diberikan dosen, menguatkan pelajaran yang sudah lewat melalui pengulangan, misalnya dalam memahami fakta, konsep, aturan, dan prosedur (algoritma). Latihan berfungsi untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam mengaplikasikan konsep dan ide yang telah dipelajarinya.
3. Hiperteks dan Hipermedia
Konsep hiperteks mulai diperkenalkan oleh Vannevar Bush pada tahun 1945. Hiperteks adalah penyampaian informasi dalam bentuk teks atau kalimat dengan cara yang tidak berurutan, pengguna komputer boleh mencari kata yang diperlukan mengikuti yang dikehendakinya tanpa harus mengikuti urutan tertentu melalui kata kunci (password) dan teks yang diberi warna lain (hotword) yang terdapat dalam teks. Adapun hipermedia adalah gabungan berbagai media seperti video, suara, musik, teks, animasi, film, grafik dan gambar yang diatur oleh hiperteks.
4. Tutorial
Tutorial dirancang untuk menyampaikan materi perkuliahan yang baru, di mana siswa belum pernah diajarkan materi ini sebelumnya. Program komputer diformat berupa dialog antara komputer dan siswa, informasi disajikan, pertanyaan diajukan oleh siswa dan jawaban diberikan, lalu keputusan dibuat untuk melanjutkan materi baru atau me-review materi yang telah disajikan.
5. Permainan (Game)
Pola interaksi dalam bentuk permainan menyajikan materi pembelajaran dengan cara yang kompetitif dan menghibur dalam upaya memelihara minat belajar siswa.Pembelajaran yang memanfaatkan komputer dalam bentuk permainan dapat berfungsi sebagai pembelajaran yang bersifat instruksional hanya jika sajian di dalamnya mengandung unsur-unsur yang bersifat akademis-edukatif dan memuat tujuan pembelajaran (instruksional yang harus dicapai), di samping menawarkan unsur-unsur yang meningkatkan keterampilan.
Adapun karakteristik media pembelajaran berbasis komputer menurut Cahdriyana dan Richardo (2016) adalah sebagai berikut:
1. Tujuan pembelajaran jelas
Salah satu menu yang ditampilkan dalam media pembelajaran berbasis komputer adalah menu kompetensi, yang menampilkan beberapa tujuan dari penggunaan media. Hal ini dimaksudkan agar siswa mengetahui kompetensi apa saja yang dapat mereka kuasai nantinya. Pernyataan ini disimpulkan dari hasil analisis lembar penilaian media pembelajaran matematika interaktif oleh guru dan lembar respon oleh siswa yang telah memenuhi kriteria yang ditetapkan.
2. Materi yang disajikan sesuai dengan kompetensi kurikulum
Materi yang ada dalam media berbasis komputer harus menunjukkan adanya kesesuaian dengan kurikulum sehingga dapat membimbing siswa untuk memiliki kompetensi yang diharapkan.
3. Kebenaran konsep
Penyampaian materi yang dituangkan dalam bentuk animasi ataupun simulasi interaktif pada media pembelajaran berbasis komputer tidak menyimpang dari konsep yang ada.
4. Alur pembelajaran jelas
Analisis kurikulum yang dilakukan pada tahap awal penyusunan media berbasis komputer ditujukan agar materi yang disampaikan mempunyai sistematika yang baik dan benar. Pengguna (siswa) dapat mengetahui urutan penguasaan materi melalui tampilan awal media yang memperlihatkan link-link submateri yang tersusun secara berurutan.
5. Penjelasan materi sesuai kemampuan berpikir siswa
Bentuk simulasi melalui percobaan-percobaan merupakan salah satu cara agar siswa tergerak untuk mempelajari lebih dalam tentang materi yang sedang mereka pelajari. Interaksi seperti ini merupakan upaya untuk mengurangi sifat abstrak dari materi sehingga makna yang terkandung di dalamnya dapat dipahami oleh siswa.
6. Terdapat petunjuk yang jelas
Media berbasis komputer memiliki petunjuk umum penggunaan media yang terletak pada tampilan awalnya. Setiap menu yang ditampilkan juga memiliki petunjuk khusus yang dapat menuntun pengguna untuk menelusuri setiap penjelasan materi yang disampaikan
7. Terdapat apersepsi
Bagian intro (pendahuluan) pada media berbasis komputer memuat apersepsi yang menampilan contoh-contoh materi yang dihubungkan dengan kehidupan nyata. Apersepsi tersebut juga memuat kalimat pertanyaan interaktif yang berfungsi untuk mengaktifkan siswa dalam menyebutkan hal-hal yang dimaksud.
8. Terdapat kesimpulan, contoh, dan latihan yang disertai umpan balik
Media berbasis komputer mempunyai beberapa submateri yang masing-masing memiliki kesimpulan, contoh, ataupun latihan yang disertai umpan balik yang berfungsi sebagai penguatan terhadap uraian dan penjelasan materi yang telah disajikan. Misalnya, pada latihan soal meminta siswa untuk memasukkan jawaban dari soal dengan umpan balik berupa tanda silang untuk jawaban salah dan kata “oke” untuk jawaban benar.
9. Mampu membangkitkan motivasi belajar siswa
Tanggapan yang dituliskan beberapa siswa pada kolom “komentar/saran” dalam lembar respon menunjukkan bahwa siswa antusias menggunakan media pembelajaran berbasis komputer karena tampilannya yang menarik dan tidak membosankan. Selain itu, simulasi interaktif yang disajikan mempermudah siswa dalam mempelajari materi yang ada.
10. Terdapat evaluasi yang disertai hasil dan pembahasan
Setiap akhir pengerjaan soal terdapat “hasil evaluasi” yang berfungsi agar siswa mengetahui tingkat kemampuannya, sedangkan “pembahasan” yang berfungsi sebagai penjelasan dari soal yang diberikan.
11. Gambar, animasi, teks, warna tersaji serasi, harmonis, dan proporsional
Suatu media berbasis komputer telah mencapai desain visual yang baik karena pemilihan jenis dan ukuran huruf yang tepat, pemakaian jenis huruf yang konsisten, pengaturan jarak yang tepat, tampilan gambar yang disajikan terlihat jelas dan tidak memecah konsentrasi, perpaduan warna yang tepat, dan tata letak unsur-unsur dalam slide yang konsisten.
12. Interaktif
Penyajian materi dalam media pembelajaran menuntut pengguna untuk melakukan berbagai percobaan-percobaan melalui simulasi yang disajikan.
13. Navigasi mudah
Setiap tombol di dalam media pembelajaran didesain dan diletakkan sedemikian rupa sehingga mudah dimengeri oleh pengguna
14. Bahasa yang digunakan mudah dipahami oleh siswa
Penggunaan bahasa baku, tidak menimbulkan penafsiran ganda, dan komunikatif menjadikan bahasa dalam media berbasis komputer ini mudah dipahami oleh siswa.
2.1.3 Hakikat E-Learning
Di dunia pendidikan dan pelatihan sekarang, banyak sekali praktik yang disebut E-Learning. Sampai saat ini pemakaian kata E-Learning sering digunakan untuk menyatakan semua kegiatan pendidikan yang menggunakan media komputer dan Internet. Banyak pula terminologi lain yang mempunyai arti hampir sama dengan E-Learning, diantaranya : Web-based training, online learning, computer-based training/ learning, distance learning, computer-aided instruction, dan lainnya (Suanti dan Soleh, 2008). Purbo (2002) dalam Elyas (2018) menjelaskan bahwa istilah “e” atau singkatan dari elektronik dalam e-learning digunakan sebagai istilah untuk segala teknologi yang digunakan untuk mendukung usaha-usaha pengajaran lewat teknologi elektronik internet. Fenny (2016) dalam Marlina et al. (2021) menyatakan Electronic Learning atau di singkat E-Learning adalah suatu konsep pembelajaran dengan memanfaatkan media elektronik sebagai instrumen dalam media pembelajarannya. E-learning adalah proses pembelajaran yang difasilitasi dan didukung melalui pemamfaatan teknologi informasi dan internet (Chandrawati, 2010).
Purbo dan Hartanto (2002) dalam Susanti dan Sholeh (2008) menjelaskan konsep E-Learning adalah penyediaan kelas-kelas baru setara dengan kelas konvensional di lembaga pendidikan yang selama ini ada. Oleh karena itu, pembangunan sebuah lembaga pendidikan virtual seperti E-Learning ini haruslah memberikan hasil yang kurang lebih sama dengan cita-cita untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan konvensional. Intinya, sistem E-Learning ini diadaptasikan dari sistem yang ada di lembaga pendidikan konvensional ke dalam sebuah sistem digital melalui Internet. Sebagai sebuah hasil pencangkokan dari benih sistem pendidikan induk yang sama, juga mewarisi sifat-sifat dan sistem yang dilakukan oleh induknya. Salah satu contoh yang paling nyata adalah proses belajar-mengajar. Seorang pengajar akan memberikan materinya kepada para siswa yang ada di berbagai tempat dengan dihubungkan oleh Internet. Metode ini kurang lebih sama dengan proses belajar-mengajar yang ada di sekolah konvensional. Dari sifat tersebut, jelaslah bahwa pengembangan teknologi E-Learning harus didasarkan pada sifat dan karakter asli dari sistem pendidikan yang telah ada.
2.1.4 Fungsi dan Manfaat E-Learning
Pembelajaran dengan menggunakan media elektronik. E-learning, seperti juga namanya “Electronic Learning” disampaikan dengan menggunakan media elektronik yang terhubung dengan Internet (World Wide Web yang menghubungkan semua unit komputer di seluruh dunia yang terkoneksi dengan Internet) dan Intranet (jaringan yang bisa menghubungkan semua unit komputer dalam sebuah perusahaan). Jika Anda memiliki komputer yang terkoneksi dengan Internet, Anda sudah bisa berpartisipasi dalam e-learning. Dengan cara ini, jumlah pembelajar yang bisa ikut berpartisipasi bisa jauh lebih besar dari pada cara belajar secara konvensional di ruang kelas (jumlah siswa tidak terbatas pada besarnya ruang kelas). Teknologi ini juga memungkinkan penyampaian pelajaran dengan kualitas yang relatif lebih standar dari pada pembelajaran di kelas yang tergantung pada “mood” dan kondisi fisik dari instruktur. Dalam e-learning, modul-modul yang sama (informasi, penampilan, dan kualitas pembelajaran) bisa diakses dalam bentuk yang sama oleh semua siswa yang mengaksesnya, sedangkan dalam pembelajaran konvensional di kelas, karena alasan kesehatan atau masalah pribadi, satu instruktur pun bisa memberikan pelajaran di beberapa kelas dengan kualitas yang berbeda (Elyas, 2018).
Menurut Yustanti dan Novita (2019) E-learning memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Suplemen (tambahan)
Peserta didik mempunyai kebebasan memilih, apakah akan memanfaatkan materi pembelajaran elektronik atau tidak. Dalam hal ini, tidak ada kewajiban/keharusan bagi peserta didik untuk mengakses materi pembelajaran elektronik.Mengakses materi pembelajaran elektronik hanya sebagai himbauan pengajar kepada peserta didik.
2. Komplemen (pelengkap)
Materi pembelajaran elektronik diprogramkan untuk melengkapi materi pembelajaran yang diterima peserta didik di dalam kelas, sebagai pengayaan bagi peserta didik berkemampuan rata-rata, atau remedial bagi peserta didik yang lamban kemampuan belajarnya.
3. Substitusi (pengganti)
E-learning sebagai pengganti digunakan di beberapa perguruan tinggi di negara-negara maju.Tujuannya untuk membantu mempermudah siswa mengelola kegiatan pembelajaran/perkuliahan sehingga siswa dapat menyesuaikan waktu dan aktivitas lainnya dengan kegiatan perkuliahan.Siswa dapat memilih model kegiatan pembelajaran yaitu tatap muka saja, sebagian tatap muka dan sebagaian melalui internet, atau sepenuhnya melalui interne
Menurut Elyas (2018), beberapa manfaat yang bisa dinikmati dari proses pembelajaran dengan e-learning, diataranya:
1. Fleksibilitas.
Jika pembelajaran konvensional di kelas mengharuskan siswa untuk hadir di kelas pada jam-jam tertentu (seringkali jam ini bentrok dengan kegiatan rutin siswa), maka elearning memberikan fleksibilitas dalam memilih waktu dan tempat untuk mengakses pelajaran. Siswa tidak perlu mengadakan perjalanan menuju tempat pelajaran disampaikan, e-learning bisa diakses dari mana saja yang memiliki akses ke Internet. Bahkan, dengan berkembangnya mobile technology (dengan palmtop, bahkan telepon selular jenis tertentu), semakin mudah mengakses e-learning. Berbagai tempat juga sudah menyediakan sambungan internet gratis (di bandara internasional dan cafe-cafe tertentu), dengan demikian dalam perjalanan pun atau pada waktu istirahat makan siang sambil menunggu hidangan disajikan, Anda bisa memanfaatkan waktu untuk mengakses elearning.
2. Independent Learning
E-learning memberikan kesempatan bagi pembelajar untuk memegang kendali atas kesuksesan belajar masing-masing, artinya pembelajar diberi kebebasan untuk menentukan kapan akan mulai, kapan akan menyelesaikan, dan bagian mana dalam satu modul yang ingin dipelajarinya terlebih dulu. Ia bisa mulai dari topik-topik ataupun halaman yang menarik minatnya terlebih dulu, ataupun bisa melewati saja bagian yang ia anggap sudah ia kuasai. Jika ia mengalami kesulitan untuk memahami suatu bagian, ia bisa mengulang-ulang lagi sampai ia merasa mampu memahami. Seandainya, setelah diulang masih ada hal yang belum ia pahami, pembelajar bisa menghubungi instruktur, nara sumber melalui email atau ikut dialog interaktif pada waktu-waktu tertentu. Jika ia tidak sempat mengikuti dialog interaktif, ia bisa membaca hasil diskusi di message board yang tersedia di LMS (di Website pengelola). Banyak orang yang merasa cara belajar independen seperti ini lebih efektif daripada cara belajar lainnya yang memaksakannya untuk belajar dengan urutan yang telah ditetapkan.
3. Biaya
Banyak biaya yang bisa dihemat dari cara pembelajaran dengan e-learning. Biaya di sini tidak hanya dari segi finansial tetapi juga dari segi non-finansial. Secara finansial, biaya yang bisa dihemat, antara lain biaya transportasi ke tempat belajar dan akomodasi selama belajar (terutama jika tempat belajar berada di kota lain dan negara lain), biaya administrasi pengelolaan (misalnya: biaya gaji dan tunjangan selama pelatihan, biaya instruktur dan tenaga administrasi pengelola pelatihan, makanan selama pelatihan), penyediaan sarana dan fasilitas fisik untuk belajar (misalnya: penyewaan ataupun penyediaan kelas, kursi, papan tulis, LCD player, OHP).
2.1.5 Kelebihan dan Kekurangan E-Learning
Menurut Susanti dan Sholeh (2008), E_Learning memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan E-Learning:
1. Biaya
Kelebihan pertama E-Learning adalah mampu mengurangi biaya pelatihan. Organisasi perusahaan atau pendidikan dapat menghemat biaya karena tidak perlu mengeluarkan dana untuk peralatan kelas seperti penyediaan papan tulis, proyektor dan alat tulis.
2. Fleksibilitas Waktu
E-Learning membuat pelajar dapat menyesuaikan waktu belajar, karena dapat mengakses pelajaran di Internet kapanpun sesuai dengan waktu yang diinginkan.
3. Fleksibilitas tempat
Adanya E-Learning membuat pelajar dapat mengakses materi pelajaran dimana saja, selama komputer terhubung dengan jaringan Internet.
4. Fleksibilitas kecepatan pembelajaran
E-Learning dapat disesuaikan dengan kecepatan belajar masing-masing siswa.
5. Efektivitas pengajaran
E-Learning merupakan teknologi baru, oleh karena itu pelajar dapat tertarik untuk mencobanya sehingga jumlah peserta dapat meningkat. E-Learning yang didesain dengan instructional design mutahir membuat pelajar lebih mengerti isi pelajaran.
6. Ketersediaan On-demand
E-Learning dapat sewaktu-waktu diakses dari berbagai tempat yang terjangkau Internet, maka dapat dianggap sebagai “buku saku” yang membantu menyelesaikan tugas atau pekerjaan setiap saat.
Kekurangan E-Learning:
1. Budaya
Pengguna E-Learning menunutut budaya self-learning, dimana seseorang memotivasi diri sendiri agar mau belajar. Sebaliknya, pada sebagian besar penduduk di Indonesia, motivasi belajar lebih banyak tergantung pada pengajar. Pada E-Learning 100% energi dari pelajar, oleh karena itu, beberapa orang masih merasa segan berpindah dari pelatihan di kelas ke pelatihan E-Learning.
2. Investasi
Walaupun E-Learning menghemat banyak biaya, tetapi suatu organisasi harus mengeluarkan investasi awal cukup besar untuk mengimplementasikan E-Learning. Investasi dapat berupa biaya desain dan pembuatan program learning management system, paket pelajaran dan biaya lain, seperti promosi.
3. Teknologi
Karena teknologi yang digunakan beragam, ada kemungkinan teknologi tersebut tidak sejalan dengan yang sudah ada dan terjadi konflik teknologi sehingga E-Learning tidak berjalan baik.
4. Infrastruktur Internet belum terjangkau semua kota di Indonesia. Akibatnya belum semua orang atau wilayah dapat merasakan E-Learning dengan internet.
5. Materi
Walaupun E-Learning menawarkan berbagai fungsi, ada beberapa materi yang tidak dapat diajarkan melalui E-Learning. Pelatihan yang memerlukan banyak kegiatan fisik, seperti praktek perakitan hardware, sulit disampaikan secara sempurna.
2.1.6 Penerapan E-Learning sebagai Media Pembelajaran
1. Google Classroom sebagai E-Learning
Google Classroom juga merupakan media e-learning karena Google classroom adalah fitur terbaru dari google app for education yang dapat dimanfaatkan oleh guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Google Classroom atau ruang kelas Google merupakan suatu serambi pembelajaran campuran untuk ruang lingkup pendidikan yang dapat memudahkan pengajar dalam membuat, membagikan dan menggolongkan setiap penugasan tanpa kertas (paperless). Jadi, dapat dikatakan sangat efisien karena dapat diakses dimana saja dan kapan saja.Berdasarkan website resmi dari Google, Google Classroom ini memberikan beberapa manfaat seperti: 1) Kelas dapat disiapkan dengan mudah; pengajar dapat menyiapkan kelas dan mengundang siswa serta asisten pengajar. Kemudian di dalam aliran kelas, mereka dapat berbagi informasi seperti tugas, pengumuman dan pertanyaan; 2) Menghemat waktu dan kertas; pengajar dapat membuat kelas, memberikan tugas, berkomunikasi dan melakuan pengelolaan, semuanya di satu tempat; 3) Pengelolaan yang lebih baik; siswa dapat melihat tugas di halaman tugas, di aliran kelas maupun di kalender kelas. Semua materi otomatis tersimpan dalam folder Google Drive; 4) Penyempurnaan komunikasi dan masukan; pengajar dapat membuat tugas, mengirim pengumuman dan memulai diskusi kelas secara langsung. Siswa dapat berbagi materi antara satu sama lain dan berinteraksi dalam aliran kelas melalui email. Pengajar juga dapat melihat dengan cepat siapa saja yang sudah dan belum menyelesaikan tugas, serta langsung memberikan nilai dan masukan real -time; 5) Dapat digunakan dengan aplikasi yang anda gunakan; kelas berfungsi dengan Google Document, Calender, Gmail, Drive dan Formulir; 6) Aman dan terjangkau; kelas disediakan secara gratis. Kelas tidak berisi iklan dan tidak pernah menggunakan konten atau data siswa untuk tujuan iklan. Sebagai tambahan, Google Classroom dapat diakses melalui 2 cara yaitu melalui website dan aplikasi. Google Classroom sebagai media pembelajaran yang juga cocok diterapkan sebagai pemanfaatan e-learning karena sangat efisien bagi para pendidik dan peserta didik yang tidak mengharuskan pembelajaran face to face, dan dapat diakses melalui handphone
2. Aplikasi Moodle sebagai Virtual Learning Environment
Seiring kemajuan teknologi dan perubahan tren serta gaya hidup manusia yang cenderung bergerak secara dinamis (mobile), kebutuhan akan proses belajar jarak jauh atau yang biasa disebut dengan teleedukasi semakin meningkat pula. E-learning sebagai salah satu bagian dari teleedukasi memberikan alternatif cara belajar baru. Murid dan guru tidak berada dalam ruang dan waktu yang sama. Meskipun demikian, proses belajar dan mengajar tetap dapat berjalan dalam lingkungan virtual. Oleh karena itu, e-learning sering disebut juga dengan Virtual Learning Environment (VLE). Moodle adalah sebuah nama untuk sebuah program aplikasi yang dapat merubah sebuah media pembelajaran kedalam bentuk web. Aplikasi ini memungkinkan siswa untuk masuk kedalam “ruang kelas” digital untuk mengakses materi-materi pembelajaran. Dengan menggunakan Moodle, kita dapat membuat materi pembelajaran, kuis, jurnal elektronik dan lain-lain. Moodle itu sendiri adalah singkatan dari Modular Object Oriented Dynamic Learning Environment. Moodle merupakan sebuah aplikasi Course Management System (CMS) yang gratis dapat diunduh, digunakan ataupun dimodifikasi oleh siapa saja dengan lisensi secara GNU (General Public License). Anda dapat mendownload aplikasi Moodle di alamat http://www.moodle.org. yang dikembangkan oleh Martin Dougiamas. Saat ini Moodle sudah digunakan pada lebih dari 150.000 institusi di lebih dari 160 negara di dunia. Beberapa keunggulan dan yang kita dapatkan dari membangun e-learning dengan menggunakan Moodle: (1) Sederhana, efisien, ringan dan kompatibel dengan banyak browser, (2) Mudah cara instalasinya serta mendukung banyak bahasa, termasuk Indonesia, (3) Tersedianya manajemen situs untuk pengaturan situs keseluruhan, mengubah theme, menambah module, dan sebagainya, ( 4) Tersedianya manajemen pengguna.( 5) Manajemen kursus, penambahan jenis kur sus, pengurangan, atau pengubahan kursus, (6) Modul Chat, modul pemilihan (polling), modul forum, modul untuk jurnal, modul untuk kuis, modul untuk survei dan workshop, dan masih banyak lainnya. (7) Free dan open source software. Ini sejalan dengan kebijakan pemerintah dengan IGOSnya, Moodle bersifat free dan open source. Oleh karena itu, Moodle sesuai digunakan di lingkungan pendidikan. Di samping itu, Moodle bisa dimodifikasi dan disesuaikan dengan kultur yang ada di Indonesia.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Komputer sebagai media pembelajaran memberikan pengertian bahwa pemanfaatan komputer diterapkan sebagai salah satu komponen penunjang kegiatan pembelajaran. Karakteristik komputer sebagai media pembelajaran adalah interaktif, navigasi dan penggunaan mudah, tampilan menarik, dan dirancang efisien dan efektif. Beberapa konsep model pembelajaran yang menggunakan komputer yaitu simulasi, latihan dan praktik, tutorial, hiperteks dan hipermedia, dan game edukasi.
E-learning adalah proses pembelajaran yang difasilitasi dan didukung melalui pemamfaatan teknologi informasi dan internet E-Learning memiliki fungsi sebagai pelengkap, pengganti maupun tambahan dalam kehadirannya sebagai media pembelajaran. Pemanfaatan E-Learning sebagai media pembelajaran sangat fleksibel, efisien, hemat biaya, dan berorientasi kemandirian pembelajaran. Meskipun begitu e-learning tak dapat menggantikan proses pembelajaran yang membutuhkan aktifitas fisik secara nyata, serta mahalnya biaya pembuatan website yang dikembangkan sebagai e-learning.
3.2 Saran
Pada makalah ini kita telah diberikan pemahaman mengenai komputer sebagai media pembelajaran (e-learning). Sangat besar harapan penyusun agar nantinya makalah ini dapat membantu pembaca untuk lebih memahami baik konsep maupun penerapan penerapan aplikasi media dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Selain itu, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca agar pada penulisan makalah selanjutnya hal itu dapat diperbaiki. Tak luput penyusun menitipkan masukan agar lebih variatif lagi kajian tentang komputer sebagai media pembelajaran(e-learning) dan semakin banyak kehadiran media pembelajaran berbasis e-learning.
DAFTAR PUSTAKA
Cahdriyana, R. A., & Richardo, R. (2017). Karakteristik media pembelajaran berbasis komputer untuk siswa SMP. AlphaMath: Journal of Mathematics Education, 2(2).
Chandrawati, S. R. (2010). Pemamfaatan E-learning dalam Pembelajaran. Jurnal Cakrawala Kependidikan, 8(2).
Elyas, A. H. (2018). Penggunaan model pembelajaran e-learning dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Warta Dharmawangsa, (56).
Harmayani, H., Abdilah, D., Mapilindo, M., Oktopanda, O., & Hutahaean, J. (2021). Aplikasi Komputer. Drestanta Pelita Indonesia Press, 1-89.
Ramli, Muhammad. (2012). Media dan Teknologi Pembelajaran. Banjarmasin: IAIN Antasari Press.
Saefulloh, A. (2007). Penggunaan Komputer sebagai Media Pembelajaran di perguruan tinggi. INSANIA: Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan, 12(1), 57-65.
Sudjiman, P. E., & Sudjiman, L. S. (2018). Analisis Sistem Informasi Manajemen Berbasis Komputer dalam Proses Pengambilan Keputusan. TeIKa, 8(2), 55-66.
Susanti, E., & Sholeh, M. (2008). Rancang Bangun Aplikasi E-Learning. Jurnal Teknologi, 1(1), 53-57.
Yustanti, I., & Novita, D. (2019). Pemanfaatan e-learning bagi para pendidik di era digital 4.0 utilization of e-learning for educators in digital era 4.0. In Prosiding Seminar Nasional Program Pascasarjana Universitas Pgri Palembang (Vol. 12, No. 01).
Sumber referensi:
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/komputer
Kategori
- ASESMEN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
- BIPA
- FILSAFAT ILMU
- ISU MUTAKHIR PENDIDIKAN
- KEMAHIRAN BERBAHASA
- METODOLOGI PENELITIAN
- MODEL PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
- PENGEMBANGAN KURIKULUM BAHASA INDONESIA
- PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
- PENULISAN ARTIKEL ILMIAH
- PROBLEMATIKA PENDIDIKAN
- PSIKOLINGUISTIK LANJUT
- SOSIOLINGUISTIK LANJUT
- STATISTIKA
- STUDI WACANA BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
- TEKNOLOGI INFORMASI
- UMUM
Blogroll
- Masih Kosong