Montolotosam

05 March 2014 10:54:20 Dibaca : 1070

Assalamualaikum warahmatillah
salam Montolotosam
Utus-utus doi mian na lipu (Lipu Hulondalo) modoa kinibian ano kp pengajian doi sekret (program bidang kerohanian (agama Islam)), babasal konoanggo kalu utus-utus mololo magaji.
tinai tauna,
wassalamualaikum warahmatullah.

KABID KEROHANIAN

T T D

Berhijra

01 March 2014 13:16:18 Dibaca : 554

Kapan kita berhijra?

bersambung

Untold History of Pangeran Diponegoro (10)

21 February 2014 16:16:26 Dibaca : 2337

Bab 4

Pertengahan Juli 1825

MALAM TELAH TURUN MENYELIMUTI LANGIT Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Di aula kraton, musik Ratu Wilhelmina terdengar mendayu-dayu dari piringan hitam yang diputar. Gelak tawa para pembesar Belanda dan para pejabat kraton yang tengah dimabuk whisky dan Brandy dalam pesta jamuan makan malam yang mewah terdengar kencang. Diseling cekikikan genit para Noni Belanda dan perempuan-perempuan muda yang didatangkan orang-orangnya Patih Danuredjo entah dari mana.

Di salah satu ruangan utama kraton, Patih Dalem Danuredjo IV tampak duduk semeja dengan Anthonie Hendriks Smissaert, Residen Yogyakarta. Penggila pesta dan minuman keras itu, dan tentu saja juga wanita, merupakan Residen Belanda ke-18 untuk Yogyakarta. Sejak bertugas tahun 1823, hampir tiap pekan Smissaert menggelar pesta dansa-dansi dan minuman keras dengan mengundang koleganya, termasuk para pembesar kraton seperti halnya Patih Danuredjo IV dan sebagian pangeran serta pejabat lainnya.

Di hadapan meja yang dipenuhi abu cerutu dan beberapa botol Whisky yang sudah berkurang isinya, Patih Danuredjo tengah berembug dengan residen itu untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya yang makin lama makin mencemaskan mereka.

Dari para mata-mata yang disebar Belanda dan juga kraton, mereka mendapatkan keterangan jika kian hari kian banyak saja orang yang bergabung dengan Diponegoro. Apalagi di Puri Tegalredjo, tempat kediaman Diponegoro dan Ratu Ageng, sudah lama tercium adanya pelatihan-pelatihan ilmu bela diri bagi pribumi yang dipimpin oleh sejumlah ulama pendekar dan para jagoan yang menyatakan setia kepada Diponegoro. Pelatihan itu tidak saja dilakukan dengan tangan kosong, namun juga menggunakan berbagai macam senjata.

“Patih, Kowe musti bisa bikin cara supaya Diponegoro itu bisa segera ditangkap!”

Patih Danuredjo tersenyum. Dengan suaranya yang lembut dan kalimat yang teratur rapi, dia menjawab, “Insya Allah, Tuan Residen tenang saja. Saya dan anak buah saya sedang mencari jalan supaya dia bisa sesegera mungkin ditangkap.”

“Kapan? Kowe tidak bisa berlama-lama begitu! Apa mau tunggu sampai pengikutnya banyak? Jadi susah kita nantinya!” sergah Smissaert sambil menenggak sebotol Whisky dari botolnya langsung. Jakunnya yang besar terlihat bergerak naik turun di lehernya. Dia kemudian menopangkan sebelah kakinya yang pendek naik di atas meja ke atas kaki yang lain. Tapak sepatu lars Smissaert kini menghadap lurus ke wajah Danuredjo. Patih Danuredjo benar-benar direndahkan olehnya. Tapi patih itu hanya berdiam diri sambil tetap tersenyum, walau hatinya serasa panas diperlakukan seperti itu.

Melihat Danuredjo yang belum juga menjawab pertanyaannya, dengan tidak sabaran lelaki kecil berwajah bulat dengan rambut tipis berwarna putih keperakan dan bermata biru itu berkata, “Aah, jangan-jangan kowe berkomplot dengan Diponegoro hah!”

Danuredjo yang ikut minum Whisky, hanya saja dia meminumnya dari sloki, tersedak. Airnya sampai tumpah membasahi pakaiannya.

“Tidak, bukan begitu, Tuan. Tuan salah besar jika sampai menduga hal itu. Saya sebenarnya sejak beberapa hari lalu berpikir jika kita sebenarnya punya cara yang bagus untuk menangkap Diponegoro itu…”

“Kenapa kowe dari tadi diam saja?” ketus Smissaert dengan sinis. Bekas Residen Rembang yang ditunjuk Gubernur Jenderal Van Der Capellen pada 3 Januari 1823 menjadi Residen Yogyakarta ini, walau bertubuh kecil dan kikuk, namun sikapnya sangat percaya diri.

“Saya baru mau cerita, Tuan…”

“Ya, cepatlah cerita!”

Danuredjo membetulkan posisi duduknya. Kini punggungnya ditegakkan tanpa bersandar ke bagian sandaran kursi rotan yang tinggi. Setelah terbatuk-batuk kecil sebentar dia mulai memaparkan rencana bulusnya.

“Tuan Residen, Tuan pasti tahu proyek jalan lurus dari Yogyakarta ke Magelang yang sedang kita kerjakan bukan?”

Smissaert mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, ya, saya tentu tahu. Ada apa dengan proyek itu?”

Wajah Danuredjo mendadak cerah. Dia memang selalu begitu jika sedang merencanakan sesuatu. Raut wajahnya yang sedemikian licik mengingatkan Smissaert pada salah satu tokoh penasehat Kurawa dalam epik Bharata Yudha yang pernah dibacanya semasa masih kecil di Bataaf, kampung kelahirannya.

Ya, orang ini mirip sekali dengan Patih Sasngkuni!

“Tuan Residen, bagaimana jika jalan yang tadinya dibuat lurus itu, melewati Muntilan, dibelokkan sedikit ke barat, melewati Tegalredjo. Jalan itu kita buat sengaja menerabas tanah makam leluhur Diponegoro dan juga kebun miliknya. Kita tancapkan saja patok-patok proyek jalan di sana. Jika kita melakukan itu, Diponegoro pasti akan marah….”

Residen Smissaert menurunkan kedua kakinya dari atas meja. Wajahnya ikutan cerah. Kedua matanya yang biru terlihat berbinar-binar. “Ha! Ini baru namanya Patih Danuredjo! Tak sia-sia Belanda punya orang seperti kowe! Ayo, ayo, teruskan ceritamu!”

Disanjung demikian, Danuredjo tersenyum lebar. Dengan sikap yang dibuat-buat dia merendahkan diri dengan mengatakan jika dirinya biasa saja dan hanya bekerja semaksimal mungkin demi kemuliaan ratu Belanda.

“Tuan pasti sudah bisa menebak kemana arahnya. Kalau Diponegoro marah, dia pasti akan mengirim utusannya kesini untuk mengajukan protes. Kita acuhkan saja protesnya dan tetap mematoki tanah itu untuk dibuat jalan. Bahkan kita kirim saja para kuli ke Tegalredjo dan mulai mengerjakan proyek ini. Diponegoro pasti akan marah besar. Dia akan kehilangan akal sehatnya. Bisa jadi dia akan menyerang kuli-kuli kita itu. Atau bisa jadi pula dia akan menyerang langsung kita di sini. Kalau itu sampai terjadi, kita tinggal menangkapnya. Kita katakan saja jika Diponegoro mau memberontak terhadap pemerintah. Bukankah itu mudah?”

Smissaert tersenyum lebar, kedua matanya yang besar menyipit, “Ha..ha..ha.. betul. Betul itu. Nah, belokan saja jalan itu menuju tanah leluhurnya Diponegoro!”

“Kapan rencana kita bisa dilaksanakan, Tuan?”

“Secepatnya. Malam ini saja. Biar kita bisa cepat menangkap orang itu!”

“Baik, Tuan!”

Patih Danuredjo kemudian berdiri dari tempat duduknya. “Sebentar, Tuan. Saya akan panggil orang proyek jalan itu sekarang.”

“Ya, kowe harus bergerak cepat!”

Danuredjo membungkuk takzim pada Smissaert, kemudian dia keluar ruangan diiringi pandangan puas dari Smissaert. Dengan langkah agak limbung karena pengaruh minuman keras, Danuredjo pergi memanggil salah seorang anak buahnya yang sudah duduk menunggu di teras dekat dengan ruangan pertemuannya dengan Tuan Residen. Agaknya Danuredjo sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Melihat Patih Danuredjo datang, lelaki yang duduk menunggu itu segera bangkit dan menyongsong tuannya.

“Joko!” panggil Danuredjo dari pintu ruangan.

“Dalem, Kanjeng Patih!” ujar lelaki yang dipanggil Joko seraya bergegas menghampiri Danuredjo sambil terbungkuk-bungkuk. Lelaki itu berhenti tepat dua meter di hadapan Danuredjo dengan sikap tubuh masih sedikit membungkuk dengan kedua tangannya ditangkupkan ke bawah perut.

“Tuan Residen sudah setuju dengan rencana kita. Bagaimana kalau malam ini juga rencana itu dilakukan?”

“Inggih, Kanjeng Patih. Saya siap…”

“Bagus. Kerjakan segera dan lapor setiap perkembangan yang ada padaku.”

“Inggih, Kanjeng Patih. Perintah segera saya laksanakan.”

Patih Danuredjo segera kembali ke dalam ruangan di mana Smissaert tengah asyik menenggak whisky-nya. Dia segera bergabung dengan orang Belanda nomor satu di Yogyakarta tersebut dan tenggelam dalam pesta minuman keras.

“Patih…, kowe sudah panggil itu Sari?” tanya Smissaert menyebut salah satu penari kraton dari Pacitan yang terkenal kecantikannya. Smissaert agaknya jatuh hati pada gadis yang usianya belum genap delapanbelas tahun itu. Danuredjo tersenyum lebar penuh arti ketika Smissaert menanyakan Sari.(Bersambung)


lihat juga

Untold History of Pangeran Diponegoro (9)

12 December 2013 15:45:19 Dibaca : 2597

Suromenggolo melanjutkan paparannya, “Danurejo juga telah memerintahkan dua orang kepercayaannya, Pangeran Murdaningrat dan Pangeran Ponular untuk menaikkan tarif pajak di beberapa ruas jalan yang makin ramai. Siapa saja yang tidak sanggup bayar, dilarang melintas di jalan itu…”

Pangeran Diponegoro bergumam, “Murdaningrat dan Ponular, jahat benar mereka…”

Suromenggolo mendengar gumamannya, “Ya, benar Kanjeng Gusti Pangeran. Mereka berdua telah benar-benar menjadi kaki tangan bagi Danurejo dan juga kafir Belanda. Bukankah mereka yang menggantikan Kanjeng Gusti Pangeran dan Pamanda Kanjeng Gusti Mangkubumi di dewan perwalian?”

Diponegoro mengangguk. “Ya, mereka yang menggantikanku dan

Paman Mangkubumi di Dewan Perwalian Kraton.”

Ustadz Taftayani dan semua orang yang berkumpul di ruangan itu tahu benar jika sesungguhnya Dewan Perwalian Kraton hanyalah alat bagi kepentingan Belanda untuk menipu rakyat.

Awalnya adalah ketika Sultan Hamengku Buwono III wafat pada tahun 1814. Saat itu Raden Mas Jarot, adik dari Pangeran Diponegoro, baru berusia sepuluh tahun. Rakyat menginginkan agar Diponegoro yang menjadi raja. Namun Diponegoro sejak awal menolak. Dan Belanda pun tidak menyukai Diponegoro yang tidak mau tunduk pada kepentingannya. Akhirnya Raden Mas Jarot pun naik tahta, menjadi Sultan Hamengku Buwono IV dalam usia belia. Belanda menunjuk Paku Alam I sebagai wali pemerintahannya.

Pada tanggal 20 Januari 1820, ketika Hamengku Buwono IV sudah hampir berusia enambelas tahun, Paku Alam I meletakkan jabatan sebagai wali raja. Namun pemerintahan mandiri Hamengku Buwono IV hanya berjalan selama dua tahun, karena pada tanggal 6 Desember 1822 tengah hari, ketika baru saja sepulangnya dari tamasya, dia meninggal dunia. Sebab itulah Hamengku Buwono IV disebut juga sebagai Sultan Seda ing Pesiyar, Sultan yang meninggal dunia ketika tengah tamasya.

Menurut keterangan Belanda, sakitlah yang menjadi sebab kematiannya. Namun banyak orang yang percaya, jika Belanda atau orang-orangnya telah meracuni Sultan. Belanda berbuat itu agar kekuasaan Patih Danuredjo IV bisa lebih besar.[1] Patih Danuredjo IV, yang berasal dari keluarga Danurejan yang memang sejak lama menjadi kaki tangan Belanda, kemudian menempatkan saudara-saudaranya menduduki jabatan-jabatan penting di kraton. Dengan meninggalnya Hamengku Buwono IV, maka otomatis, Raden Mas Gatot Menol, anaknya yang baru berusia tiga tahun akan naik tahta. Dengan adanya raja balita ini, maka Patih Danuredjo akan sangat leluasa untuk menguasai seluruh kraton. Dan kepentingan Belanda pun akan terjamin dalam waktu yang lama.

Dan memang demikian adanya. Raden Mas Gatot Menol yang baru berusia tiga tahun pun diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono V. Untuk mendampingi raja kecil ini, Belanda bersama Patih Danuredjo IV membentuk Dewan Perwalian Kraton, yang terdiri dari orang-orang terdekat dari sang raja. Dewan ini dibentuk salah satunya untuk menghilangkan kecurigaan rakyat banyak soal sebab kematian Hamengku Buwono IV. Dengan adanya Dewan Perwalian, maka Patih Danuredjo bisa berlindung di balik dewan ini atas semua tindak-tanduknya.

Naiknya Raden Mas Gatot Menol menjadi Hamengku Buwono V dan dibentuknya Dewan Perwalian Kraton menimbulkan dilema tersendiri bagi seorang Pangeran Diponegoro. Dia sudah curiga jika Dewan Perwalian hanyalah hasil akal-akalan dari seorang Danuredjo. Karena keputusan final pemerintahan tetap berada di tangan Patih Danuredjo IV bersama-sama dengan Residen Belanda.

Namun jika dia tidak bergabung di dalamnya, maka kraton akan sepenuhnya dikuasai Danuredjo dan para penjilat kafir Belanda lainnya. Setelah bertafakur cukup lama di Parangkusumo, dengan mengucapkan Bismillah, maka Pangeran Diponegoro pun memilih untuk mau bergabung sebagai anggota Dewan Perwalian, bersama dengan Mangkubumi, pamannya yang sangat dihormati Diponegoro. Diponegoro berharap dengan bergabungnya dia dan Mangkubumi di dalam Dewan Perwalian Kraton, maka mereka bisa mewarnai kraton agar lebih memihak umat ketimbang memihak penguasa kafir Belanda.

Namun kenyataan berkata lain. Hampir setiap hari rapat demi rapat berlangsung, memutuskan ini dan itu terkait kebijakan kraton terhadap berbagai macam masalah menyangkut rakyat banyak, namun segala keputusan Dewan Perwalian ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Semua kebijakan pemerintah ternyata tidak sejalan dengan hasil musyawarah atau rekomendasi dari Dewan Perwalian. Patih Danuredjo yang sangat licin dan mahir berbicara ini. bahkan dengan menyitir banyak ayat Qur’an, hadits, dan juga siroh Rasul, selalu menelikung semua keputusan Dewan ini. Sehingga keberadaan Dewan seolah tidak ada artinya, kecuali hanya sebagai panggung sandiwara. Danuredjo bisa dengan mudah dan leluasa memutuskan segala hal walau itu bertentangan dengan hasil musyawarah Dewan Perwalian Kraton. Patih Danuredjo lebih berkuasa ketimbang Dewan Perwalian itu sendiri. Dewan yang berfungsi sebagaimana layaknya Dewan Syuro ini tidak memiliki kekuatan apa-apa jika Danuredjo berkehendak lain.

Semua ini membuat Pangeran Diponegoro bertambah muak. Maka dengan tegas, Diponegoro-bersama Mangkubumi-menyatakan keluar dari dewan ini dan bersama-sama umat berjuang dari luar lingkaran kekuasaan yang bertambah korup. Danuredjo sendiri mengiming-imingi kedudukan dan uang yang banyak kepada Diponegoro, namun Sang Pangeran tidak goyah dan tetap memilih berjuang dari luar tembok kraton sepenuhnya.

Dengan tetap mengecilkan volume suara, Suromenggolo melaporkan semua informasi yang diterimanya di lapangan, baik berkenaan dengan pergerakan pasukan Belanda dan antek-anteknya, juga kebijakan baru yang diambil oleh Patih Danuredjo yang kian menyusahkan rakyat.

Di akhir laporannya, Suromenggolo dan kedua rekan anggota pasukan telik sandi-nya bersepakat jika perkembangan di luar semakin panas dan bukan tidak mungkin Belanda dan Danuredjo akan mengambil suatu langkah untuk memprovokasi Pangeran Diponegoro untuk memulai perang.

“Maaf Kanjeng Pangeran..,” ujar Suromenggolo. “…saat ini Kanjeng Pangeran dan semua yang ada di sini harap lebih waspada dan hati-hati. Dari berbagai informasi yang kami dapatkan di lapangan, kami yakin jika Belanda dan Patih Danuredjo tengah menyusun siasat agar kita semua terpancing . Mereka ingin kita melawan mereka secara terbuka terlebih dahulu. Semua ini agar mereka memiliki alasan untuk menangkap dan membunuh kita semua di sini…” [] (Bersambung)

Sumber